Catatan Kota Hujan

Bogor, 2 November 2019

Tidak pernah berkelana sejauh ini sebelumnya. Setelah menempuh 1 jam perjalanan dari Tuban ke Babat, 10 jam setengah di kereta menuju Stasiun Senen, 1 jam transit makan siang, 2 jam di KRL menuju Bogor, dan 1 jam dari pusat kota Bogor menuju Dramaga, akhirnya dapat kurebahkan badan di sebuah tempat istirahat yang nyaman.

Perjalanan yang sama panjangnya ketika pulang. Sama melelahkannya tetapi meninggalkan kesan mendalam dan pengalaman.

Tentang Bogor, tidak ada yang lebih kucintai daripada hijaunya kota hujan itu. Aku selalu jatuh cinta dengan tumbuhan, dan Bogor menawarkanku banyak tempat hijau untuk dikunjungi. Bogor bagi Jakarta adalah seperti Malang bagi Surabaya. sama-sama sejuk, sama-sama asri, dan sama-sama membuatku jatuh hati.

Terlebih Kebun Raya yang ada di jantung kota, seharian di sanapun aku betah. Sambil menyewa sepeda dan berkeliling di setiap sudutnya. Sambil sesekali berhenti dan duduk di samping kolam. Pastinya menyenangkan. Ditambah lagi di dalam Kebun Raya ada LIPI, rasanya tempat itu sempurna sekali.

Aku dengan gegabahnya jadi berangan-angan memiliki rumah dinas di lingkup Kebun Raya, tetapi satu-satunya rumah dinas yang ada di sana adalah Istana Bogor, itu artinya jika ingin berumah dinas di sana harus menjadi sesuatu yang berkaitan dengan kata presiden :D, jadi lupakan saja angan-angan itu.
..

Bogor mengajariku banyak hal. Kemewahannya didampingi dengan kesejukan. Laiknya kota-kota besar, Bogor memiliki banyak sekali pusat perbelanjaan yang bisa dikunjungi, mulai dari Botani, Lippo Plaza dan banyak lagi lainnya. Barangkali karena Bogor termasuk wilayah sekitar Ibu Kota, hiruk-pikuknya begitu terasa, ada kemacetan di setiap sudut, tetapi ada juga keindahan di setiap jengkal kotanya.

Bogor entah mengapa membuatku  teringat pada salah satu perkataan Seno Gumira Ajidarma, tentang betapa mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.

di Bogor, kalimat panjang itu terngiang-ngiang begitu saja di telinga.
Melihat betapa setiap pagi kita berangkat ke tempat kerja, pulang ketika hari telah sore atau tidak jarang juga ketika malam telah tiba. Melihat itu semua, kehidupan ini terasa dipenuhi oleh sesaknya hal-hal duniawi, yang terkadang terasa begitu membelenggu.

Kita bekerja, aku dan kau bekerja, sampai-sampai seringkali kita kehilangan waktu keluarga. Sekali waktu pernah terpikir olehku, suatu saat nanti ketika telah menikah, suatu saat nanti ketika telah memiliki anak-anak, apa waktuku tetap akan lebih banyak kuhabiskan di tempat kerja? sementara anak-anak perlu diasuh dan dijaga.

Bagaimanapun, dalam kondisi yang akan terjadi nanti, itu akan menjadi sebuah dilema. Tidak bekerja rasanya mematikan sendi-sendi pergerakan kita, pergaulan menjadi semakin terbatasi, gerak menjadi tak seluas ketika kita mempunyai tempat untuk mengeksplorasi diri. Tetapi jika bekerja, maka seorang perempuan harus rela membagi waktunya. membagi waktu antara anak dan pekerjaan.

Barangkali yang demikian memang sudah menjadi takdir pilihan yang harus perempuan pilih, dengan hati lapang.

Bogor membuatku kembali berpikir, untuk apa sebenarnya kita berjalan sejauh ini?
suatu saat langkah-lahkah yang kita ayun sudah pasti akan terhenti. Kita tidak tahu kapan. Tetapi itu pasti terjadi. gga

dan untuk itu semua, rasanya hal yang benar-benar paling menenangkan adalah jika dalam hati kita terisi oleh satu nama, yang merupakan Pemancar segala kehidupan dan segala cinta di dunia ini, Allah.

Di tengah hiruk pikuknya kehidupan, di tengah sibuknya kita menyelesaikan tugas-tugas harian, di tengah banyak hal yang menjadi kebanggaan juga kekecewaan, tidak ada lagi hal yang lebih menenangkan kecuali memiliki Allah dalam hati, dalam setiap langkah yang kita jalani.



0 comments:

Post a Comment