Berdiri dari kiri: Arma, Dhimas, Dek Galuh, Kak Faizin, Kak Rohmat
duduk dari kiri: Kak Wendy, Syafi'i, Si Nur, Aku, Pak Ali, dan si kecil Dafa
Setiap nama punya ceritanya masing-masing. Jika kau berkenan, aku ingin bercerita kepadamu tentang seseorang. Dia adalah sahabat yang cukup dekat, meskipun intensitas kebersamaan kita tidak begitu banyak.
Namanya Arma Abdillah. Lahir 4 bulan setelahku, tepat di hari Ibu. Jika berbicara tentang Arma, kata pertama yang paling ingin kusebut adalah tenang. Benar sekali. Arma adalah pribadi yang tenang dan low profile. Dia seorang introvert secara kepribadian, tetapi suka sekali terjun ke dalam kegiatan sosial. Selain Maudy Ayunda dan Koh siapa itu, Arma juga salah satu bukti bahwa menjadi introvert itu bukan hal yang buruk. It is a good thing we know. Beberapa orang mungkin memang mengartikan introvert sebagai sesuatu yang negatif. Mereka -yang tidak tahu- mengatakan bahwa introvert cenderung menarik diri dari pergaulan dan demam panggung. Tetapi sebenarnya introvert bukan itu, introvert memang butuh waktu lebih banyak untuk ber-me-time demi mengumpulkan energi, tetapi ia bukan sepenuhnya penyendiri dan kolot.
Februari 2018 lalu ada sebuah kabar tentang Arma. Sayangnya bukan kabar bahagia. Satu hari sebelum kabar itu datang, entah kenapa bayangan Arma kembali menyeruak. Waktu itu sekitar pukul 15.00 WIB, aku sedang berkendara menuju Bojonegoro, mau main ke rumahnya Aim. Di tengah jalan, tiba-tiba bayangan Arma muncul. Kuanggap itu biasa. Jam 17.00 aku bertolak dari Bojonegero ke daerah Lamongan pelosok untuk menginap di rumah teman yang besoknya mantenan. Aku lupa nama kecamatannya. Yang jelas aku masih ingat ternyata dari Bojonegoro ke daerah itu memakan waktu yang cukup lama. Sejujurnya itu pertama kalinya aku main ke daerah Lamongan pelosok, kukira bisa ditempuh dalam waktu 30 menit, tetapi ternyata hampir 2 jaman. Karena salah estimasi itu, aku harus berkendara seorang diri ketika hari sudah gelap. Jangan tanyakan betapa hatiku penuh dengan kekhawatiran dan pikiran-pikiran buruk. Sebenarnya pikiran buruk itu juga efek dari film thriller yang aku tonton. Aku jadi berpikir macam-macam. Terlebih daerah yang kulewati adalah hutan-hutan yang tidak ada lampunya. Sepenuhnya gelap. Pengendara motor juga jarang yang lewat.
Di tengah ketakutan itu aku terpikir lagi, coba kalau aku ga sendiri, pasti ga bakal takut seperti ini. Coba ada Arma, semua pasti akan terasa lebih baik. Entah kenapa aku berpikiran seperti itu. Mungkin rasa takut membuatku mengingat perjalanan ke Malang bersama Arma dulu, meskipun kita berangkat dari Tuban jam 15.30 dan sampai di Malang jam 21.00, aku merasa aman-aman saja. Waktu itu meskipun kembali ke Malang bareng, kita tetap sepedaan sendiri-sendiri. Arma memandu jalan di depan, dan aku mengikuti dari belakang. Aku sempat hampir nabrak motor ketika di tikungan Pujon karena mengikuti Arma yang lihai sekali menyalip truk-truk. Tetapi aku yang mau nabrak itu jadi pembahasan seru ketika kita berhenti sejenak untuk makan malam di dekat UMM. dan aku masih ingat, ketika itu Arma bercerita, bahwa ia dan ayahnya seperti batu dan besi, sama-sama keras, sehingga tidak ada yang mau mengalah. tetapi bagiku, dari luar, Arma tetap terlihat lembut dan dingin.
Pikiran tentang Arma segera lalu ketika ada seorang pengendara motor dari belakang. Dari suara motornya, orang itu rasanya semakin dekat. karena takut dan pikiran sudah ga karuan, akhirnya aku ngebut bukan main. Bagaimana kalau dia begal? Bagaimana kalau pengendara di belakangku bukan orang baik-baik?
aku sudah was-was sekali. Aku mengendara di atas kecepatan 90. Hampir lepas kendali juga ketika jalannya ternyata berbelok.
Begitu keluar dari jalan hutan yang lengang dan melihat sebuah toko. Aku segera berhenti. Tanganku masih gemetar. Jantungku masih tidak stabil. Aku benar-benar takut. Ketakutan luar biasa yang baru pertama kali kurasakan.
Akhirnya, aku mencoba menghubungi temanku. ternyata jaringan 3 di daerah itu tidak ada sinyal. Kebetulan ada mas-mas pembeli di toko depanku. Aku nekat meminjam HP kepada mas itu, dan ternyata dia mempersilakan aku untuk telfon dengan HPnya. Alhamdulillah, baik sekali.
Di telfon, ternyata keluarga temanku katanya ga ada yang bisa jemput. Aku mulai bingung, tidak tahu harus bagaimana. Tetapi tidak lama, temanku mengabari ada pak leknya yang mau jemput, aku disuruh nunggu di pom yang tak jauh dari tempatku saat itu.
Setelah berterimakasih, aku melanjutkan perjalanan, masih dengan pikiran yang kalut. Sesampainya di Pom, ternyata pak Leknya temanku sudah ada. Kita langsung cus menuju rumah temanku itu. Ternyata, rumahnya harus melewati hutan lagi, kali itu hutannya lebih panjang dan lebih sepi. Untung saja aku dijemput. Kalau enggak, aku gatahu mesti gimana.
Aku menginap di sana dan pulang sekitar jam 11an siang. Karena di daerah itu HPku sama sekali tidak bisa menangkap sinyal, aku jadi tidak tahu ada informasi apa di luar sana. Tetapi perasaanku pagi itu benar-benar tidak nyaman.
Sekitar jam 2 siang aku tiba di Tuban. Karena harus membelikan ibu beberapa keperluan, aku jadi mampir Bravo Supermarket dulu. Ketika sedang antri kasir, ada pesan dari Khusnul,
"Ga takziyah ke Arma?"
"Siapa yang meninggal? Ayah atau Ibunya?" balasku cepat
"Coba cek grup."
Begitu aku buka grup SMP, ada berita bahwa Arma kecelakaan di Soko and he passed away. Aku terkejut bukan main. Setengah tidak percaya. Tetapi itu benar-benar terjadi.
Akhirnya ketika sampai di rumah, aku bergegas membersihkan diri dan dengan dijemput Khusnul pergi takziyah ke Perbon, ke rumahnya Arma.
Aku tidak mengira bahwa bayangan-bayangan tentang Arma adalah firasat.
Aku tidak pernah berpikir bahwa ia akan pergi begitu cepat. Meninggalkan kami, sahabat-sahabatnya di Ilalang.
Barangkali Allah memang telah begitu rindu untuk berjumpa dengan Arma, sehingga lelaki baik itu dipanggil pulang terlebih dulu.
untuk Arma. Al fatihah.
0 comments:
Post a Comment