KUANTAR KAU KE GERBANG, DAN ESOK KAU KUJEMPUT LAGI


Bandung, 21 Juni 1970.
Aku sedang duduk di teras rumah ketika dua orang lelaki datang. Mereka berpakaian rapi seperti orang kantoran. Salah satunya tidak asing bagiku.
“Apa kau Sundoro?” tanyaku memastikan.
Lelaki itu mengangguk,

“Rupa-rupanya kau sudah bertambah gemuk.” Aku sedikit terkekeh. Sehingga gigi yang beberapa merapuh itu kelihatan oleh tamu-tamuku.
“Lama sekali kita tidak berjumpa, sejak mantan suamiku mengikrarkan kebebasan negara ini. Ngomong-ngomong, kau masih setia mengikutinya, kan? Bagaimana kabar Tuanmu itu sekarang?”, nadaku sedikit berbisik.
Beberapa saat lamanya, Sundoro dan temannya hanya terdiam. Tidak menjawab pertanyaanku. Aku berpikir, mungkin mereka tertegun melihat keriput-keriput di wajahku yang hebat. Atau mereka merasa iba, melihat rambutku yang sebagian besar memutih.
“Tidak biasanya orang-orang Bara datang kemari. Apa ada hal penting yang harus kuketahui, Doro? Katakan saja. Tidak perlu sungkan”, kejarku.
Sundoro menegakkan kepala. Dia menatapku dengan senyum kecil di wajah. Terbayang olehku, berpuluh tahun lalu, Sundoro dan beberapa teman Bara sering datang ke rumah ini. Aku masih ingat sekali, komposisi kopi dan gula yang bagaimana yang harus kuracik untuk kusuguhkan kepada mereka. Usai menyuguhkan kopi, selagi mereka sibuk membicarakan kepentingan Bangsa, aku akan dengan setia duduk di samping Bara.
Karena entah bagaimana, bagiku, Bara selalu terlihat gagah. Semangatnya yang menggebu, pidatonya yang berapi-api, dan postur tubuhnya yang jenjang, seperti sebuah kesempurnaan yang akan sulit ditemukan.
“Delilah,” Sundoro berucap lirih.
Aku memandangnya, ku isyaratkan bahwa aku telah memasang telinga untuk mendengar apa saja yang akan dia sampaikan.
“Kami tahu, Tuan kami -Bara-, telah menyakitimu sedemikian rupa. Ia pergi demi perempuan lain. Dan membiarkanmu merana di rumah ini, seorang diri. Kami tahu, betapa dulu kau melakukan segalanya untuk membersamai Tuan kami. Tidak ada perempuan setangguh dirimu, Delilah.”,
“Aku tahu itu,” timpalku sekenanya, di usia ini, untuk perkara seperti ini, aku tidak pantas menitikkan air mata.
“Dan kami juga tahu, Delilah, betapa besar cinta yang kau berikan untuk Bara. Kami yakin, sampai saat ini, cinta yang kau miliki tentu masih utuh seperti sedia kala. Untuk itu, kami berharap kau mau ikut bersama kami, untuk datang ke Wisma Yaso.” Sundoro tampak berhati-hati mengucapkan setiap katanya.
 “Tapi kenapa, Doro?”
“Tuan kami, jam 7 tadi berpulang, Delilah. Sebelum kepergiannya, namamu disebut. Tentu kedatanganmu diharapkan sebelum ia disemayamkan.”
Aku hampir-hampir tak percaya mendengar itu.
“Aku sudah lama memaafkannya Doro, bawa aku bersama kalian. Tunggu sebentar, biar kupersiapkan beberapa hal.”
...
Setelah perjalanan yang cukup memakan waktu, aku tiba di Wisma Yaso. Berjalan di sampingku, Doro dan satu rekannya tadi. Wisma Yaso dipenuhi banyak orang yang sengaja datang untuk mengantarkan kepergian Bung besar, satu-satunya kekasih hatiku, Bara. Pelataran wisma dipenuhi karangan bunga, dan suara bacaan Quran menggema.
Aku tidak bisa menahan air mata. Tapi aku terlalu tua untuk menangis. Jadi sebisa mungkin kutahan ia keluar. Aku melihat Atma, seseorang yang dulu telah merebut Bara dariku, menangis sesenggukan di samping jenazah. Juga putra-putrinya yang tampak sangat berduka, berada tak jauh darinya.
Di sudut berbeda, aku melihat sebagian mantan istri Bara lainnya, yang sama berdukanya dengan diriku. Beberapa dari mereka masih tampak sangat muda dan cantik. Kasihan sekali, batinku. Mereka menjanda terlalu dini.
Orang-orang memberiku jalan ketika aku mendekat ke peti jenazah. Dengan hati yang kutegarkan, aku melihat wajah Bara untuk terakhir kalinya. Matanya tertutup. Pastilah ia telah tenang, perjuangannya telah usai. Ia telah melakukan banyak hal, dan telah menyumbangkan segala yang ia miliki untuk Bangsa ini. Kini sudah saatnya ia beristirahat.
Aku masih berusaha menahan isakan. Sudah bertahun-tahun aku tidak menjumpai Bara, kubiarkan dia berkelana, menapaki kehidupannya sendiri dengan orang-orang yang dicintainya. Lalu mendapatinya seperti ini, tentulah kau tahu bagaimana rasanya.
Kudekatkan mulutku ke telinga Bara, aku yakin ruhnya masih di sini, jadi aku mengatakan sesuatu kepadanya, sebelum ia benar-benar pergi.
“Bara, kiranya Bara mendahului, Delilah doakan ...” kalimatku terputus.
Ternyata usia tua tidak mampu membuatku bersikap tegar ketika ditinggalkan orang terkasih.
Maka kulanjutkan dalam hati, “kiranya Bara mendahului, maka Delilah berdoa agar tempatmu dimuliakan di sisi Sang Maha Kasih. Aku sudah lama memaafkanmu, bahkan sebelum kau datang ke rumah kita 10 tahun silam, aku sungguh telah memaafkanmu. Cukup kau ketahui Bara, tidak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang perempuan, kecuali ia dimadu. Tetapi cinta yang besar dan murni, dapat menghalau rasa sakit itu. Dan sampai saat ini, aku masih mencintaimu. Pergilah dengan tenang.”
...
Usai kutamati wajah Bara sekali lagi, aku melangkah mundur. Siapa sangka, lelaki yang 13 tahun lebih muda dariku itu pergi lebih cepat. Di usianya yang baru 69 tahun.
Betapa dulu, ketika pertama kali kami memutuskan bersama, aku sangat khawatir bahwa aku akan meninggalkan Bara terlalu cepat. Aku takut, aku tidak dapat lagi menemani perjuangannya, menyeka keringat dan juga peluhnya. Empat puluh enam tahun silam, aku benar-benar merasa tidak nyaman, memikirkan bahwa mungkin Bara akan terpukul dan bersedih meratapi kepergianku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana dia akan berjuang, terbuang, dan berjuang lagi tanpa keberadaanku di sisinya. Bagaimana jika hatinya terluka, dan ia menemui titik jenuh yang membuatnya putus asa? Bagaimana jika orang-orang membuatnya jatuh dan tidak berdaya, siapa yang akan menguatkannya?
Semua pikiran itu sangat menghantuiku, dulu.
Tetapi waktu pelan-pelan telah meruntuhkan semua kekhawatiranku. Kenyataannya, Bara yang selalu meninggalkanku. Kenyataannya, Bara selalu menemukan tempat berteduh, meski itu bukan aku. Aku lupa menyadari bahwa ia dicintai, tak hanya olehku. Oleh karenanya, kendati lama sekali prosesku mengikhlaskan, akhirnya aku bisa mengerti, bahwa tugasku hanyalah mengantarkan Bara untuk sampai pada tempatnya saat ini. Ku antar dia sampai ke gerbang impiannya: untuk membuat Bangsa ini merdeka. Dan dia telah mencapainya. Maka cukup bagiku, menjadi masa lalu baginya.
...
“Kaukah itu, Haji Malik?”
“Delilah Prameswari?”
Aku mengangguk.
“Apa aku harus mewakili mantan suamiku meminta maaf kepadamu, Haji Malik? Tetapi aku yakin, meskipun Bara telah memasukkanmu ke penjara, dan membuat hidupmu menderita, Haji, aku yakin dia sebenarnya sama sekali tidak bermaksud melakukan itu.”
Lelaki di depanku tersenyum, kami berjarak beberapa senti. Seperti teman lama yang telah berpuluh tahun tidak berjumpa. Karena Haji Malik adalah teman dekat Bara pada masanya, maka dia teman dekatku juga. Hanya saja perbedaan pendapat telah memutus persahabatan antara keduanya. Aku benar-benar menyesalkan kejadian itu. Tetapi ketika Bara telah memutuskan, dan pendapat pribadi telah terlalu dominan, apa yang bisa aku lakukan? Bara kukuh pada pendirian.  Termasuk pilihannya untuk memutus hubungan dengan Haji Malik.
“Kehadiranku di sini tentu membuatmu sedikit merasa ganjil kan, Delilah?” Haji Malik diam sejenak, ia tertawa kecil, “aku juga tidak mengerti. Malam kemarin, dua utusan Wisma Yaso menjemputku di rumah, mengajakku ke sini. Dan mereka memintaku untuk menjadi imam sholat jenazah bagi Bara.”
Aku mengangguk, membatin, betapa mulia orang di depanku ini. Dia disakiti, dimusuhi sedemikian rupa, tetapi ia masih mau memaafkan. Tapi kurasa akupun tak jauh berbeda, aku ditinggalkan, dan aku masih bisa memaafkan.
“Aku mencintai Bara, Haji Malik. Jadi aku memaafkannya dan datang kemari. Lantas kau, apa yang membuatmu mau datang ke mari?”
Haji Malik memegang jenggotnya, dia tampak berpikir,
“Aku harus bersyukur, Delilah. Jika bukan karena Bara yang telah memasukkanku ke penjara, mungkin aku tidak bisa menyelesaikan buku tafsir yang kutulis. Hidup dalam keterbatasan di penjara telah membuatku belajar dan mengilhami banyak hal. Aku yakin memang jalannya telah harus demikian, bahwa aku masuk penjara dengan perantara Bara. Ada Dzat yang menggerakkan hati Bara untuk melakukan semua itu. Meski tak kuelakkan betapa sakit dan kecewanya aku pada masa itu, tetapi apa hakku untuk membenci? Bagaimanapun aku dan Bara adalah sahabat, meski sempat tersekat.”
Aku tersenyum, lega karena Bara mungkin telah tenang dengan banyak keikhlasan yang menyertai kepergiannya.
 “Iya Haji Malik. Bersyukur karena orang berilmu dan berbekal pengertian sepertimu menjadi teman Bara. Jika bukan engkau Haji Malik, mana mungkin akan memaafkan? Barangkali kita memang harus cukup bersyukur karena menjadi bagian perjalanan dari Bung Besar. Tidak peduli, jika kemudian kita tersisihkan.”
“Begitulah Delilah, kita hanya perlu mengerti manusia selalu merengkuh kelebihan dan kekurangannya. Mungkin Bara melakukan hal-hal yang kurang berkenan untuk kita, tetapi tanpa perantara Bara, mana mungkin negara kita sekarang telah merdeka dan orang-orang bisa menikmati kebebasan seperti sekarang?”
Kami tertawa bersama. Dan pertemuan itu segera diakhiri karena waktu telah beranjak sore. Aku harus kembali ke Bandung, sementara Haji Malik, dia harus kembali ke pulau seberang. Kami harus melanjutkan hidup masing-masing, tanpa Bara tentunya.
...
Malam semakin larut. Dan Bandung tetap saja dingin. Pada angin yang berhembus, cat yang memudar, juga pepohonan rindang di pelataran, aku melihat jejak-jejak Bara masih begitu terasa. Bagiku, Bara masih ada di sini, bersamaku. Setelah sekian lama berkelana, akhirnya dia kembali ke rumah kami, meski tak terlihat dengan nyata seperti dulu.
Biarlah seperti ini. Aku ikhlas. Tuhan telah berkali-kali mengajariku keikhlasan. Lagipula – berapa lama lagi aku akan tinggal di sini bersama kenangan-kenangan ini? Aku sudah menjadi perempuan tua, sudah harus kucukupkan kecintaanku pada dunia. Dan aku cukup menghitung hari, untuk bisa membersamai Bara, lagi.
Tuban, 19 Juni 2019.

0 comments:

Post a Comment