Sudah kukatakan sebelumnya, tidak ada kawan
atau lawan abadi, yang ada hanya kepentingan abadi. Siapa suruh dia tetap
mempercayaiku. Maka ketika aku menghianatinya, tentu itu bukan hal yang keliru.
Dan sudah barang tentu, dia tahu, aku tidak
mungkin melakukan ini kalau saja dia mau mendengar setiap ucapanku.
Aku mengerti, Suroso memang orang berpendirian
teguh, berpengetahuan luas, dan dicintai banyak simpatisan dari kalangan
menengah ke bawah. Aku tahu persis, dia adalah orang yang sangat berani dalam
mengkritis dan mengambil tindakan. Tetapi bukankah itu bodoh – jika keberanian
dan simpati yang ia dapatkan tidak ia manfaatkan dengan baik, hanya karena satu
prinsip: demi kemashlahatan umat.
Ah! Persetan dengan prinsip itu. Di depan
rakyat, memang kita harus menyampaikan bahwa segala tindakan kita murni untuk
kepentingan rakyat. Setidaknya itu perlu, agar citra kita terlihat baik. Tetapi
di ruang pribadi, seharusnya kita tinggalkan itu. Kita harus realistis, bahwa
kita sebagai pemimpin juga punya kepentingan. Lagipula, jika bukan kita
sendiri, siapa yang akan menyejahterakan kita?
Rakyat? Jangan harap! Mereka terlalu banyak menuntut kesejahteraan. Koalisi? Mereka berkoalisi
pada dasarnya untuk mengenyangkan perut sendiri. Jadi, sungguh-sungguh, dalam
demokrasi semacam ini, kita harus pandai-pandai mencari celah untuk bia membuat
diri kita sejahtera. Kau sepakat, bukan?
Nah! Pemahaman seperti itu telah berkali-kali kusampaikan pada Suroso,
dengan bahasa yang paling halus tentunya, agar dia tidak menganggapku busuk. Namun
tetap saja, Suroso memegang prinsipnya. Tidak sedikitpun ia goyah dan berniat
belok.
Sebenarnya kalau mau sombong, tanpa aku, Suroso tidak akan menduduki
kursinya yang sekarang. Dulu, aku yang mendorong ia maju sampai ke sana. Pada
masa peralihan yang mendebarkan itu, ketika orang-orang telah begitu kehilangan
kepercayaan, dan berharap besar pada adanya sebuah revolusi, aku sengaja
mendorong Suroso untuk maju.
Pertama, karena Suroso pada waktu itu sangat digandrungi oleh masyarakat,
yang melihat sosoknya sebagai sebuah mercusuar di tengah-tengah gelap gulitanya
pemerintahan di masa lalu.
Kedua, aku melihat kemungkinan, meskipun agak tipis, bahwa Suroso dapat
lebih unggul dibanding lawan-lawannya di pemilu nanti.
Dan ketiga, ketika dia menang nanti, maka aku akan dapat menduduki tempat
yang setimpal dengan perjuangan dan dukungan yang telah kuberikan.
Hanya saja, setelah hampir setahun memimpin, aku melihat Suroso terlalu
banyak melakukan hal-hal yang menyimpang dari kemauanku. Akhirnya, meski dia
dulu sangat kudukung, pelan-pelan aku menata bidak untuk membuatnya mundur.
Jika dia tidak mau mundur, maka dengan sangat terpaksa – aku akan membuatnya
jatuh.
Dan dia memilih untuk bertahan.
Walaupun sebenarnya hati ini sangat tidak tega melihat mantan sahabat
karibku itu menderita, aku tidak memiliki pilihan lain kecuali menjalankan
bidak-bidak yang telah kususun. Kubuat ia dipandang bersalah, kubuat dia
dibenci oleh publik, kubuat dia dikritik habis-habisan oleh para akademisi yang
gemar mencari informasi, tanpa peduli hal-ihwal yang sebenarnya ada dibalik
informasi itu.
Dan itu berjalan dengan baik. Mulus sesuai rencanaku.
Sehingga, tepat pada tahun pertama abad ini, tak lama setelah ia menjabat,
melalui sebuah sidang yang sangat istimewa dan penuh rekayasa, Suroso dengan
terpaksa turun dari tempat ia berada.
Kau tidak seharusnya mempersalahkanku dan mengecapku sebagai seorang
penjilat, bukan?
Karena sebelumnya sudah kukatakan, tidak ada lawan dan kawan abadi, yang
abadi – kau tahu itu. Jadi bijaklah dalam bertindak dan mengambil keputusan.
***
Benar kata istriku dulu: hidup itu berputar, seperti roda, jika kita tidak
mengayuhnya, kita akan terjatuh. Yang lupa disampaikan oleh istriku adalah,
terkadang – meski kita telah dengan sekuat tenaga mengayuh, ada kalanya kendali
kita tidak seimbang, dan akhirnya tetap terjatuh.
Dan itu pula yang aku lihat dari kayuhan roda Tuan Suroso. Dia telah
mengayuh sepedanya dengan segenap tenaga dan kemampuan. Memegang kendali dengan
penuh kehati-hatian dan keseimbangan, tetapi takdir telah menetapkan bahwa ia
akan terjatuh, jadi begitulah akhirnya – dia jatuh.
Sekilas, jika kau lihat, Tuan Suroso memang tidak tampak menyesal apalagi
putus asa setelah turun dari jabatannya. Ia bilang, tidak ada jabatan di dunia
ini yang perlu dipertahankan mati-matian, dan memang demikian seharusnya.
Tetapi jika kau punya kesempatan, melihat kepadanya sedikit lebih dekat, kau
akan tahu – bahwa tak satupun manusia merasa baik-baik saja ketika ada sesuatu
yang terambil darinya. Itu sudah menjadi fitrah.
Hanya saja, kuakui, memang tidak ada orang yang setangguh dan seikhlas Tuan
Suroso. Dia mampu meredam amarah dan bersikap bijaksana. Termasuk amarah para
pendukungnya, yang andai saja Tuan Suroso berkata untuk maju dan serang, maka
para pendukung itu akan dengan rela hati melakukan perintahnya. Untung sekali,
Tuan Suroso tidak melakukannya, dan memilih memadamkan bara api yang bisa saja
sewaktu-waktu membesar.
Aku ingat sekali, tidak kurang dari beberapa bulan yang lalu, kami – Tuan
Suroso, aku, Ibu wakil, dan beberapa menteri lainnya – duduk bersama di sebuah meja
makan untuk sarapan pagi. Memang, agenda sarapan bersama itu rutin kami lakukan
sebulan sekali. Seperti biasa, Ibu Wakil akan meladeni Tuan Suroso dengan penuh
kelembutan dan rasa cinta, seperti seorang adik yang melayani kakaknya. Ibu
wakil hafal benar, menu-menu apa saja yang tidak boleh dimakan oleh Tuan
Suroso, dan akan tidak merasa segan untuk melarang Tuan Suroso memakan menu
itu, meskipun Tuan Suroso sendiri sebenarnya merasa sangat ingin.
“Demi kesehatanmu, Mas.” Begitu ucap Ibu wakil.
Dalam jamuan sarapan itu, aku dapat merasakan betapa harmonisnya hubungan
kami, yang ada di jajaran pemerintahan.
Bahkan, salah satu menteri yang terkenal begitu serius dan kaku, dapat
tertawa terbahak-bahak dalam momen sarapan itu. Tentunya dia tertawa karena guyonan
Tuan Suroso yang memang renyah.
Terkadang, ibu wakil akan meminta Tuan Suroso untuk mengulang beberapa guyonan
yang sudah diceritakan.
“Itu sudah pernah loh Mbak Ratri.” Aku akan nyeletuk begitu ketika Ibu
Wakil meminta Tuan Suroso mengulangi ceritanya.
“Ndak papa toh Din. Cerita yang itu lucu sekali, saya ingin mendengarnya
lagi.”
Dan jika sudah demikian, maka Tuan Suroso akan mengulang cerita sesuai permintaan
Ibu Wakil.
Sayang sekali, pergulatan politik yang kian hari kian memanas, membuat
keharmonisan antara Tuan Suroso dan Mbak Ratri berkurang. Mbak Ratri, sebagai
adik bagi Tuan Suroso, tentu tidak mungkin menusuk kakaknya dari belakang. Rasa
cinta dan kasihnya kepada kakak begitu besar. tetapi Mbak Ratri, sebagai
seorang pemimpin partai terbesar di negeri ini, tidak mungkin menyia-nyiakan
kesempatan emas yang ada di depannya. Karena sudah pasti, jika Tuan Suroso
jatuh, maka mbak Ratri yang akan menduduki kursi Tuan Suroso.
Aku mengerti, sebagai perempuan, itu mutlak sebuah simalakama bagi mbak
Ratri. Maju salah mundurpun salah. Itu mengapa, Mbak Ratri cenderung memilih
untuk tidak banyak berbicara terkait Tuan Suroso di media publik. Dia menjaga
perasaan kakaknya – sekaligus mencari jalan untuk partainya.
***
Mas Suroso sangat kucintai. Itu sudah bukan rahasia pribadi lagi.
Sedari awal dia memenangkan Pemilu setahun silam, aku sudah sangat khawatir
dengan kesehatan dan keselamatan suamiku tercinta. Menjadi orang nomor satu di
sebuah negeri yang baru saja mencari jati diri demokrasinya, tentu akan sangat
sulit. Seperti mata uang, ia memiliki dua sisi. Satu sisi, tentu suamiku akan
sangat dicintai. Di sisi lain, dia akan menerima banyak cacian, makian, dan
hujatan.
“Tenangkan hatimu, Rumaysha. Mungkin jalan di depan akan penuh rintangan.
Tetapi kita memiliki Allah yang akan selalu menguatkan. Yang terpenting, aku
memilikimu dan anak-anak. Bagiku itu cukup, meskipun kelak ada hal-hal yang
akan membuatku sangat terpuruk.” Ujar Mas Suroso dua bulan paska ia dilantik.
Aku tersenyum, mengangguk, mengiyakan.
Dan sekarang, apa yang aku khawatirkan benar-benar terjadi. Dia
dipersalahkan sedemikian rupa. Bahkan untuk hal-hal yang tidak ia lakukan, ia
dituduh dan dipersalahkan. Sebagai istri, aku tidak boleh memperkeruh suasana
dengan mengatakan kata-kata yang membuat hatinya semakin meradang.
“Apapun yang terjadi nanti, Mas, aku yakin itu adalah kehendak Allah. Dan
pastilah itu memang yang terbaik untuk kita semua. Kalau ada orang yang dholim
ke kita, ya kita tahu bahwa Allah tidak tidur. Kita tinggal mengusahakan
yang terbaik dan pasrah saja.”
Aku hanya bisa menenangkannya dengan cara seperti itu, meski sebenarnya
kalimat-kalimat demikian telah rampung dalam pengertian Mas Suroso. Tetapi aku
merasa masih perlu mengatakannya.
Aku senantiasa mendampinginya. Dan berusaha bersikap tegar di hadapannya.
Agar ketika dia melihatku kuat, dia akan menjadi semakin kuat. Meski
sebenarnya, ingin kucaci habis-habisan orang-orang yang menghujat dan
melemparkan fitnah itu, tetapi aku mencoba mengikhlaskannya dan bersikap sabar.
Aku yakin itu yang Mas Suroso inginkan.
***
Aku tidak sempat mengucapkan selamat tinggal kepada Bapak. Maksudku Bapak
Presiden yang lengser. Orang-orang begitu banyak yang berdatangan, sehingga aku
merasa sungkan untuk berada di antara mereka. Aku, yang hanya tukang kebun ini,
merasa – entah bagaimana – sangat kehilangan.
Sebenarnya bisa saja aku menerobos, masuk, dan berjabat tangan dengan
Bapak. Toh semua orang melakukan itu. Tetapi aku takut nanti ketika di hadapan
Bapak, aku justru tersedu-sedu dan tampak memalukan, jadi aku mengurungkan
niatku.
Bapak pernah berpesan, “jika kau sangat ingin bertemu seseorang atau,
sangat mencintai seseorang, sementara kau tidak mampu menyampaikan hajatmu itu,
maka cukup kau doakan saja dia. Siapa tahu Tuhanmu memberi jalan.”.
Maka, atas besarnya rasa cinta dan juga sedih yang bercampur aduk ini, aku
memutuskan untuk tidak menemui Bapak. Kudoakan saja lelaki yang usianya sudah
semakin udzur itu, agar ia dikuatkan dan diberi kelapangan. Agar ia tetap dapat
membela orang-orang sepertiku, yang seringnya dilupakan ini – entah dengan cara
apa saja dan lewat pintu mana saja. Yang pasti aku telah berdoa.
0 comments:
Post a Comment