LINGSIR WENGI

Beberapa waktu terakhir rasanya aku mulai kehilangan arah.

Aku pernah membaca, ketika seorang santri mulai kehilangan rutinitas wiridnya, maka saat itu juga ia kalah. Dan kurasa, aku kalah. Kalah dengan hawa nafsuku sendiri. Kalah dengan banyak hal yang tampaknya menarik di muka bumi ini.

Sulit sekali untuk memulai lagi.

Lalu suatu hari, ketika sedang mencuci, entah bagaimana karena HP sedang dicharge aku nyanyi-nyanyi lingsir wengi sendiri. Tembang itu favoritku. Ya, aku pecinta semua genre lagu asal lagu itu enak didengar.

Biar kutulis ulang liriknya,

 

Lingsir wengi

Sepi durung biso nendro

Kagodho mring wewayang kang reridu ati

Kawitane ra sengojo njur kulino

Ra ngiro yen bakal nuwuhke trisno

Nanging duh tibake aku dewe kang nemahi

Nandhang bronto kadung loro sambat-sambat sopo

Rino wengi sing tak puji ojo lali

Janjine ugo biso tak ugemi

 

Sedari aku tahu lagu ini digubah Sunan Kalijaga, aku berpikir bahwa lirik ini pasti mengandung unsur-unsur agama. Tetapi sejauh aku merenungi, aku hanya bisa menangkap nada-nada jatuh cinta dan patah hati. “Tidak menyangka akan menimbulkan rasa cinta. Sudah terlanjur sakit harus mengadu kepada siapa”. Bagi siapapun yang sedang patah hati, kukira lagu ini tepat untuk dinyanyikan. Menggambarkan sedikit keputusasaan dan harapan.

Tetapi kemudian aku mengerti, lagu ini tidak bercerita tentang patah hatinya seseorang karena cinta yang entah tidak tersampaikan atau tidak disampaikan.

Mungkin pemaknaannya bergantung pada kondisi setiap individu.

Lingsir wengi sepi durung biso nendro.

Menceritakan kondisi seseorang di mana ia sedang sangat gundah. Sehingga banyak pikiran di kepalanya menghalanginya untuk terlelap dalam tidur.

Kagodho mring wewayang kang reridu ati

Pikiran itu dapat berupa apa saja. Hal-hal yang berkaitan dengan dunia. Hal-hal yang sifatnya menarik hati. Harta, tahta, wanita? Apa saja yang berpotensi menjauhkan hati kita dari Sang Pencipta.

Kawitane ra sengojo njur kulino Ra ngiro yen bakal nuwuhke trisno

Semua hal itu awalnya hanya coba-coba. Dengan keyakinan yang luar biasa bahwa kita tidak akan terjerumus ke dalamnya. Tidak akan mencintai terlalu dalam. Mengharapkan terlalu dalam. Terlena terlalu dalam. Sehingga pada akhirnya selalu merasa kurang. Dan ujung-ujungnya susah berhenti dari apa yang awalnya hanya ingin kita coba.

Nanging duh tibake aku dewe kang nemahi

Nandhang bronto kadung loro sambat-sambat sopo

Sampai pada akhirnya kita sadar, bahwa kita telah menempuh jalan yang keliru. Bisa jadi sadar sebelum terlambat, bisa jadi sadar karena sudah terlanjur jatuh. Dan mau tidak mau, ada rasa sakit yang harus dihimpun. Bingung mau ke mana. Lalu saat itu kita ingat, Allah tidak pernah meninggalkan kita.

Rino wengi sing tak puji ojo lali

Janjine ugo biso tak ugemi

Bait terakhir ini seakan menagih janji Allah yang akan mengampuni setiap hambaNya yang mau bertaubat. Janji yang mengatakan bahwa pintuNya akan selalu terbuka bagi mereka yang mau kembali. Dan dengan begitu, kita yang pernah salah ini, bisa mengharapkan ridho dan kasih sayangNya lagi.

 

Setelah diangan-angan seperti itu, menyanyikan lagu ini menjadi terasa menentramkan. Karena ternyata, Allah memang selalu ada untuk kita. Tidak peduli apa.


0 comments:

Post a Comment