Membincang Yogya seperti membincang kisah dalam dongeng 1001 malam. Tidak ada matinya. Yogya memiliki daya tarik tersendiri, yang membuat siapapun akan merasa ketagihan untuk berkunjung lagi.
Selain kekhususannya karena memiliki julukan Daerah Istimewa, Yogya masih lekat dengan budaya nusantara. Itu menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi Yogya.
Beberapa waktu lalu ketika berkunjung ke Yogya, aku dibuat rindu dengan nuansa pendidikan yang begitu kentara. Yogya menawarkan kita sebuah lingkungan yang progesif. Di sana dapat kau temukan apa saja yang ingin kau cari. Forum diskusi, forum kajian agama, pertunjukan budaya, kehidupan sederhana, keluarga keraton, dan banyak lagi lainnya.
Begitu kita menyebut kata Yogya, tentu pikiran kita salah satunya akan tertuju pada Universitas Gajah Mada, kampus yang namanya sudah semerbak dan menjadi incaran banyak orang. Dulu, aku sempat mendaftar di kampus bonafid tersebut, tetapi takdir berkata bahwa aku harus menimba ilmu di Malang. Jadilah, selama beberapa tahun setelah aku lulus SMA, aku masih asing dengan Yogya. dan asyik berjibaku dengan Malang.
Setelah memasuki dunia kerja, entah kenapa ada saja yang mengantarkanku ke Yogya. Dan aku bersyukur sekali diberi kesempatan itu.
Terakhir kali ke Yogya, aku berkesempatan menginap 3 malam. Karena waktu itu dalam rangka diklat, maka aku berangkat sendiri. Bermodal bismillah dan tekad, aku menghubungi teman mondok di Malang yang saat itu tengah menempuh S2 di UIN Sunan Kalijogo.
Call her Mbak Rifa.
Mbak Rifa mengiyakan permintaanku untuk menginap di kamar kos Beliau, yang letaknya dekat dengan komplek Pondok Krapyak.
Di hari pertama, Allah menganugerahiku kesempatan untuk bertemu dengan Abah, KH. Marzuki Mustamar. Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Sabilurrosyad, tempat aku mondok di Malang selama 4 tahun.
It was kinda a great blessing, semenjak lulus dari Malang, aku belum pernah menjumpai Beliau, dan bisa bertemu lagi itu rasanya bahagia.
Waktu itu Abah mengisi pengajian di Puncak Haul KH. Ali Maksum Krapyak. Sayangnya, karena aku tipe orang yang
easy sekali mabuk darat, akhirnya dalam perjalanan berangkat aku minum antimo, yang efeknya ternyata sampai malam. Jadi apa yang Abah
dhawuhkan, tidak sepenuhnya tercerna dengan baik. Tetapi aku pernah mendengar, segala sesuatu bergantung pada niatnya, semoga niat baikku untuk hadir di pengajian malam itu, cukup menjadi alasan diberikannya keberkahan.
Aku dan Mbak Rifa berjalan kaki hampir 15 menit dari tempat pengajian ke kamar kos. Setelahnya kami berbincang sedikit seputar kehidupan kami masing-masing. Suka duka yang telah ditempuh. dan kesan-kesan setelah tidak lagi mondok. Ada perasaan rindu bercampur haru. Ada perasaan ingin mengulang masa-masa di Malang. yang kesemua perasaan itu kemudian kami usaikan dengan tidur.
Di hari kedua, Mbak Rifa mengajakku berkeliling Marlboro dan mengunjungi beberapa tempat. I feel like I am a tourist haha.
Pagi hari ketiga, karena Mbak Rifa harus mengurusi Thesis di kampus, Beliau akhirnya meminjamiku sepeda motor. Itu pertama kalinya aku bersepeda di Yogya. Dengan rasa percaya diri yang tinggi aku mengendarai motor keliling Yogya. Sempat beberapa kali nyasar dan transit di beberapa tempat untuk tanya-tanya orang, tetapi rasa puasnya sebanding dengan rasa putus asa karena takut tidak tahu jalan pulang.
Siang itu, aku memutuskan untuk menghubungi mas Bakhru setelah membeli bakpia pathok. Mas Bakhru adalah senior di komunitas Gusdurian Malang yang saat itu tengah menempuh S2 Kimia di UGM. Aslinya aku tidak begitu akrab dengan Mas Bakhru, yah.. tapi ketika kau tengah berada di kota perantauan, maka siapapun bisa jadi akrab bukan? :D
Aku dan Mas Bakhru sepakat bertemu di Cafe Basabasi. Berbekal
google map aku mencari cafe yang dimaksud.
so sad, karena jalan utama menuju kafe itu di blokir sehubungan dengan adanya perbaikan jalan. Waktu itu aku jadi bolak-balik di jalan yang sama. Bingung mau ke mana. dan aku lupa, entah bagaimana aku bisa menemukan jalan ke sana.
Begitu aku tiba di Cafe Basabasi, hari sudah menjelang petang. Aku memesan segelas kopi susu lalu duduk di tempat yang sudah dipesan Mas Bakhru. Kami memilih tempat duduk lesehan dengan pertimbangan akan lebih leluasa bergerak.
"Di sini biasanya ada forum-forum diskusi. Kapan hari Faisal Oddang datang ke sini. Diskusi seputar cerita pendek. Kapan hari lagi ada tokoh-tokoh muda juga yang ke sini. Tapi sayang, begitu Uswah ke sini, kok ndak ada forum apa-apa :D" sambut Mas Bakhru.
Aku tertawa. Mungkin memang belum rezeki untuk mengikuti diskusi di Cafe Basabasi.
Satu hal yang membuatku betah di sana, tempatnya luas, bersih, nuansa alamnya dapat, dan ada mushola legnkap dengan mukenanya yang harum. Sebuah kafe yang pas dibuat nongkrong sambil nugas. Ditambah lagi, depan Cafe basabasi itu ada sungai kecil. pas lah pokoknya.
"Aku biasanya kalau udah di sini itu,
Stay dari sore sampai pagi. Nginep-nginep sini. Tidur-tidur. Lumayan lah, cuma bayar berapa buat beli menu terus dapat tempat sama wifi sepuasnya."
Aku tertawa lagi, begitu enaknya laki-laki, bebas ke manapun mau pergi dan melakukan apapun. Tapi aku suka sekali dengan ide menginap di cafe basabasi, andainya aku Mahasiswa Yogya mungkin sekali dua kali aku juga akan melakukan hal yang sama.
Setelahnya kami sibuk dengan laptop masing-masing. Aku tengah merampungkan cerpenku dan Mas Bakhru sedang sibuk dengan tugas kuliahnya. Sampai mbak RIfa datang tidak lama sebelum maghrib, kami masih hening.
Kebetulan waktu itu Mbak Rifa datang bersama dengan Mas Herba yang baru saja selesai ujian, kami jadi sekalian merayakan ujiannya mas Herba dan suasana yang tadinya hening jadi hidup. Karena sama-sama penulis amatir, kami berempat jadi sibuk membincang berbagai macam tulisan.
"Yogya ini akan mengasah bakat menulismu Mbak. Di sini banyak sastrawan dan orang-orang hebat, yah meskipun kalau bertemu di jalan, sampean ndak akan sadar kalau itu sastrawan"
Aku menyepakati ucapan Mas Herba. Yogya memang gudangnya banyak hal.
Setelah nongki ala-ala di basabasi cukup lama, aku dan Mbak Rifa izin undur diri lebih dulu. Mbak Rifa mengajakku untuk mendengarkan kajian filsafat Gus Faiz. katanya eman kalau udah di Yogya tapi ndak sempet mendengarkan kajian filsafatnya Gus Faiz.
Akhirnya kita cuss ke sana dan
ndelalah ketemu sama mbak Anifa Hambali dan Mas Ali Adhim. Dunia memang sesempit itu. Benang merahnya terhubung sana sini.
Dan pengembaraanku di Yogya cukup untuk sementara waktu. Aku masih betah berlama-lama di Yogya tetapi tugas sudah menunggu. Pagi harinya, aku pulang ke Tuban dengan sepatu yang masih setengah basah karena malamnya - sepulang dari pengajian gus Faiz- hujan turun dengan lebatnya dari masjid sampai ke kosan yang jaraknya hampir 45 menit.
Untungnya naik kereta. jadi perjalanan tidak begitu terasa, meskipun kaki tetap terasa lembab. sayangnya, kereta bisanya cuma sampai Surabaya. jadi, dari Surabaya ke Tuban harus tetap naik bis.
Semoga ke depan Tuban ada statiun kereta apinya juga biar kalau kemana-mana
easy dan ndak perlu khawatir mabuk darat :D
See you again and again Yogya ^^