Saya dibesarkan dalam sebuah keluarga Kristen yang hidup di sebuah kampung yang seluruhnya adalah muslim. Tetangga berjarak lima rumah dari rumah kami bernama Pak Islam. Seorang pandai besi yang tekun dan ramah. Kami senang bermain di tempat kerjanya sambil sesekali ikut naik ke tempat pompa angina dan gembira ketika diijinkan untuk turut memompanya. Bersama kawan-kawan yang senang bermain di bengke pande itu kami sering berkelakar,
“kalau
pak Islam masuk Kristen, nanti di KTP bagaimana ya bacanya?”. Pak Islam tahu
kelakar itu dan selalu hanya tersenyum kepda kami.
Di kampung itu, tiap ada tahlilan yang kala itu disebut
slametan, Bapak saya selalu diundang dan selalu datang. Kalau Bapak sedang
keluar kampong karena ada panggilan mengobati orang sakit, saya paling senang
menggantikan Bapak untuk hadir dalam tahlilan.
Saat doa akan berakhir biasanya
yang hadir memberi sahutan ‘amin, amin, amin’ di sela-sela doa yang diucapkan. Ada
yang mengambil nada rendah ada juga yang mengambil nada tinggi. Karena tertarik,
sekali waktu saya Tanya pada paman yang duduk disamping saya: apakah kiranya
diijinkan saya yang Kristen juga turut mengucap amin(?), dengan senyum dia
mengangguk.
Di rukun tetanga (RT) di
mana kami tinggal ada seorang kiai kampong, kami hanya ingat panggilannya
adalah Pak Kiai. Beliau sangat baik hati, pendiam tapi murah senyum, dan sangat
dihormati bahkan oleh anak-anak di kampong.
Suatu kali, saya dan beberapa kawan
mencuri manga di lading tak jauh dari rumah pak Kiai. Agar aman, manga kami
bawa ke langgar (surau) di samping rumah Pak Kiai yang sepi dan disampingnya terdapat
kolam ikan. Ketika sedang asyik menikmati mangga curian, Pak Kiai datang hendak
sholat di langgar. Melihat kami yang merasa ketahuan dan ketakutan, pak Kiai
hanya bilang:
“Lain kali, sebaiknya minta izin saja kalau
mau mengambil mangga, pasti kalian akan mendapat yang lebih besar dan matang. Buah-buahan
di kebun itu tidak dijual kok”.
Belakangan akhirnya kami tahu bahwa kebun yang
terdapat tanaman mangga itu ternyata milik pak Kiai.
Mendengar nama KH Marzuqi Mustamar, walau mungkin
saya pribadi baru satu dua kali berjumpa dengan beliau, adalah mendengar
kembali bangunan nasionalisme Indonesia yang pondasinya sudah bermula dari
perjumpaan antar manusia di kampung-kampung, sebagaimana yang sejak kecil saya
kenali dengan baik.
Melihat sosok beliau dan bagaimana pemikiran beliau
tentang nasionalisme adalah seperti berada dalam tahlilan di kampung,
sebagaimana yang dulu menjadi tempat paling aman bagi setiap orang untuk tumbuh
dan berkembang menjadi manusia Indonesia seutuhnya. Keterbatasan interaksi
bukanlah halangan manakala moment perjumpaan itu menjadi moment kemanusiaan
dalam kehidupan bermasyarakat.
Tulisan-tulisan beliau, khotbah, dan ceramahnya
yang dipublikasikan lewat video, cukuplah untuk dijadikan kerangka acuan
memastikan bagaimana kecintaan Kiai Marzuqi terhadap tanah airnya. Bukan lewat
retorika teoretis yang seringkali justru menjebak orang dalam paradoks
demokrasi yang ditawarkan nasionalisme Indonesia, melainkan lewat
orang-orangnya, para pendiri dan pejuangnya, bahkan tiap-tiap orang yang ada di
sekitar.
Kiai Marzuqi memperlihatkan bagaimana semangat
nasionalisme itu hidup karena dihidupi melalui kesadaran iman yang kokoh pada
kemaslahatan seluruh umat manusia.
Ketia penulis buku: Mahalasari, Muhammad Faishol,
dan Uswatun Khasanah telah dengan jeli mampu menangkap momen-momen penting itu
yang secara mengalir dideskripsikan dalam buku ini. Dengan gaya bahasa yang
sangat enak dinikmati, penuturan ketiga penulis ini mengajak para pembaca untuk
melihlat bagaimana seorang sosok anak bangsa dengan segala pergumulan hidupnya,
dengan perjuangan imannya, dengan keteguhan batinnya, dengan dinamika hidup
keluarganya, pada akhirnya menemukan Indonesia itu ada dalam jiwanya. Dari situlah
kita bisa melihat, jika Indonesia itu perlu dijaga, tentulah itu terutama bagi
keselematan warganya, seluruhnya.
Kalau Indonesia itu perlu dibela, hal itu adalah
agar kemanusiaan ditinggikan, sebagaimana iman kepercayaan yang diajarkan agama
selalu menegaskan adanya hidup yang menjunjung kebersamaan dalam
perbedaan-perbedaan yang ada. Nasionalisme itu bukan Cuma slogan kosong, dia
bermula dari bagaimana tiap orang menelusuri perjalanan hidupnya, membangun
kedisiplinan dirinya, mengembangkan bakat terbaiknya, serta mengupayakan hidup
bersama dengan orang-orang di sekitarnya dengan penuh penghargaan, pengertian
dan penghormatan.
Melalui buku ini pembaca akan diajak untuk melihlat
bagaimana sebenarnya setiap orang memiliki kesempatan menemukan Indonesia-nya
masing-masing. Pengalaman hidup Kiai Marzuqi adalah contoh yang tepat untuk
itu. Menemukan Indonesia itu terjadi dalam keseharian, di tengah hidup keluarga
dan masyarakat, di tengah proses berpikir dan bersikap kiris, bahkan di dalam
keheningan permenungan keimanan yang mendalam.
Nasionalisme Indonesia itu bukan sekedar jiplakan
matang dari konsep yang didiskusikan di dalam kelas dan ruang rapat belaka.
Nasionalisme Indonesia itu terutama berbicara tentang bagaimana sikap hidup
nyata manusia-manusianya. Oleh itulah ketika bicara tentang nasionalisme adalah
hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari itu sendiri. Maknanya
jelas. Yaitu agar tiap generasit erus dapat menemukan sendiri keIndonesia-annya
dalam pengalaman terkininya.
Tentu saja ada banyak alternatif jalur yang bisa
ditempuh untuk mengkonstruksi nasionalisme Indonesia itu. Buku ini juga
menawarkan secara singkat bagaimana jalur-jalur itu bisa dilalui.
Di sana ditawarkan eksplorasi singkat mengenai
usaha mengkonstruksi Indonesia itu melalui jalur historis, jalur proses tawar
menawar dasar ideologis, dan jalur model penafsiran kekinian yang mungkin
disenangi generasi millenial yang pluralis dan universalis.
Satu kesadaran dasar toh tetap harus dimiliki, dan
buku ini menawarkan agar apapun yang dapat kita telusuri pada jalur-jalur itu,
menjadi pembelajaran yang terbaik bagi kita untuk semakijn menemukan
kemanusiaan seutuhnya, lahir dan batinnya. Demikianlah maka mengkonstruksi
Indonesia itu juga dapat dijalani dengan perhatian yang benar terhadap hidup keimanan
seseorang.
Melalui Kiai Marzuqi, para penulis menyadari bahwa
keIslaman –dan pada umumnya keagamaan seseorang–, termasuk afiliasinya terhadap
alternatif organisasi keagamaan yang diikutinya, adalah ruh terpenting untuk
berjumpa dengan kemanusiaan yang luas, yang dalam konteks berbangsa dan
bernegara telah ditemukan oleh para pendahulu bangsa ini sebagai Indonesia yang
sekarang ini kita kenali.
Para pendahulu itu, tidak begitu saja menempatkan
agama dan pendirian penafsirannya sebagai satu-satunya yang harus menjadi
tonggak dasar terbangunnya nasionalisme keIndonesiaan. Ada banyak proses dialog
dan saling memahami, ada proses saling menghargai dan menerima, ada proses
damai menemukan pilihan terbaik baik bagi semua, pun bagi yang paling kecil dan
sedikit sekalipun, semata agar hidup nasionalisme itu tetaplah berada dalam
semangat ketulusan praktik beriman.
Maka menjauhkan diri dari semangat dan gelombang
kebencian yang cenderung memecah belah, pun kiranya itu berada di dalam
penafsiran tertentu dalam agama adalah penting untuk diklarifikasi dengan bijak
dan mendalam. Kiai Marzuqi khatam mengenai hal itu, dan layak untuk diteladani
oleh generasi muda saat ini.
Tentu hal ini bukan dalam arti hanya menyetujui dan
mengiyakannya belaka, melainkan meneladaninya melalui seluruh keutuhan
pengalaman hidup: di kampus, di masyarakat, di rumah sebagaimana yang dijalani
beliau. Kalau Kiai Marzuqi telah menemukan nasionalisme keIndonesiaannya dengan
sepenuh pergulatan imannya, maka tentu saja generasi saat ini juga akan dapat
menemukannya dengan lebih baik lagi.
*Kata pengantar Bapak Kristanto Budiprabowo, M.Th dalam buku -Kenapa Harus NKRI-
0 comments:
Post a Comment