Senin, akhir Juli 2001
Pada hari ini, sejarah mencatat bahwa kebenaran tidak selalu menang
dalam perhelatan akbar politik sebuah negara besar, yang lebih mencintai produk
instan dan pencitraan daripada proses.
Atau mungkin, istilah benar dalam hakikat kebenaran global tidak
selalu benar dalam pandangan politik. Tepat sekali dengan teori kebenaran
relatif manusia. Seharusnya ada kacamata berbeda yang digunakan untuk melihat
kebenaran umum dan kebenaran politik, dan seharusnya ada kompromi non-manusiawi
yang dilakukan sehingga jabatan tetap bisa dipegang. Namun Suroso tidak melakukan
semua itu. Baginya jabatan bisa dikompromikan, tetapi tidak dengan keyakinan
dan kemanusiaan.
“Biarkan sejarah mencatat saya sebagai presiden yang digulingkan.
Biarkan orang-orang menuduh saya koruptor dan pemimpin fasik. Suatu saat apa
yang benar-benar terjadi saat ini akan diketahui juga. Siapa yang benar siapa
yang salah akan kelihatan juga. Jadi kita tidak perlu repot-repot merasa didholimi
atau menyimpan dendam. Biarkan alam bekerja sesuai hukumnya.“ Suroso
menyampaikan pidatonya di Lapangan Merdeka, yang terletak berseberangan dengan
Istana Negara.
Di lapangan itu, para pendukung setia Suroso yang berasal dari
puluhan organisasi keagamaan, non-pemerintahan, dan parpol serta orang-orang
biasa tengah berkumpul untuk menyambut Suroso. Mereka berjumlah ribuan dan
sedang dalam semangat berapi-api.
Mereka tidak rela Suroso dilengserkan dengan cara tidak terhormat,
dan benar saja Sulastri dijaga ketat oleh keamanan, karena dengan jumlah massa
yang sebegitu banyak, bisa saja pendukung Suroso yang marah tiba-tiba muntab
dan menyerang Sulastri secara membabi buta. Siapa tahu kan. Hanya siapa tahu.
Untuk itu, demi meredam amarah pendukungnya yang sedang emosional,
Suroso yang masih merasa sangat terpukul kemudian berkata demikian,
“Sekali lagi, saya tekankan bahwa tidak ada perlunya merasa dendam.
Yang sudah terjadi biarkan berlalu. Tidak usah diungkit-ungkit. Tidak usah
disesali. Semua itu sudah ada yang ngatur. Paling tidak, dari peristiwa ini – kita
bisa mengerti siapa yang harus kita percayai –dan siapa yang harus kita
waspadai. Mari tetap berjalan. Mari melanjutkan revolusi di luar roda
pemerintahan.“ Lanjutnya disambut dengan tepuk tangan riuh dari para pendukung.
Hari ini, hari di mana Suroso berdiri di hadapan pendukungnya,
adalah hari ketiga paska Sidang Istimewa. Pagi kemarin sebelum Suroso beranjak
dari Istana Negara dan berada di podium Lapangan Merdeka seperti sekarang, ia
dan keluarganya disibukkan dengan tamu-tamu yang datang ke Istana untuk menemui
Presiden yang sudah termakzulkan itu.
Kemarin, kompleks Istana yang berduka dipenuhi oleh berbagai macam
manusia, mulai dari para elit politik
hingga orang-orang biasa yang mengenakan pakaian sederhana. Sebagian
dari orang-orang itu malam harinya telah menempuh jarak ratusan kilometer untuk
bisa sampai ke Istana dan mengucapkan dukungannya kepada Suroso. Mereka adalah
orang-orang yang tulus dan tidak berpretensi.
Tidak jarang dari mereka yang menangis ketika sudah berada di depan
Suroso dan bersalaman. Orang-orang yang menangis itu kebanyakan adalah mereka
yang pernah sangat terpojok, entah dipojokkan karena perbedaan agama maupun
dipojokkan karena dianggap berideologi menyimpang, dan pernah dibela Suroso di
masa silam.
Hadir juga diantara kerumunan itu beberapa lawan politik Suroso
yang datang untuk mengucapkan simpati dan sekedar memenuhi formalitas. Setidaknya
mereka harus menampakkan batang hidung agar nama mereka tidak terlalu buruk
untuk dikenang.
Selain orang-orang tadi, ada juga para aktivis, jurnalis, dan
intelektual-intelektual yang dulu pernah mengkritik Suroso habis-habisan.
Mereka datang untuk mengungkapkan rasa sedih mereka atas pelengseran ini dan
meminta maaf atas apa yang terjadi.
Barangkali mereka baru sadar, bahwa kritikan lantang yang mereka
layangkan di hari-hari sebelumnya merupakan salah satu pendukung diturunkannya
Suroso dari kursi kepresidenan. Tentu saja tindakan mereka di masa silam tidak
sepenuhnya salah, mereka hanya memenuhi tugas dan menyalurkan aspirasi mereka.
Tidak ada yang salah.
“Tidak papa. Tidak papa“ berulang kali Suroso mengucapkan kata itu,
menunjukkan bahwa ia sudah berlapang dada dan memaafkan siapa saja yang meminta
maaf ataupun tidak.
Sudah hampir 3 jam sejak pukul 7 pagi tadi Suroso, Diah, Nuha, dan Najib
–si putra bungsu– berada di ruang jamuan Istana untuk menyambut para tamu. Sementara
itu, di luar istana masih banyak orang-orang yang mengantri untuk dapat
berjabat tangan dan mengucapkan dukungan kepada mantan presiden. Benar-benar
suasana yang meriah untuk kondisi duka.
Lalu pagi tadi, sebelum Suroso benar-benar meninggalkan Istana
Negara, sejumlah pemuka agama datang berkunjung ke Istana. Mula-mula, yang
datang adalah pendeta-pendeta Budhis dengan beberapa jamaahnya. Mereka
mendoakan agar Suroso tetap dalam kedamaian dan ketentraman abadi. Disusul oleh
Kiai-kiai dan jamaah muslimnya yang mendoakan kesejahteraan dan kekuatan bagi
Suroso,
“Sesungguhnya bersama kesulitan selalu ada kemudahan Gus, Anda lebih
tahu itu. Maka doa kami semoga Allah selalu menyertai setiap langkah Anda dan
memudahkannya.“ begitu ucap salah satu Kiai mewakili rombongannya. Sekedar
memberi tahu, Gus adalah panggilan untuk putra Kiai. Dan Suroso adalah salah
satu Gus di Jawa Timur, maka dengan alasan itu ia biasa dipanggil oleh
pendukung-pendukungnya dengan panggilan, “Gus Sur“.
Di tengah kunjungan para pemuka agama, tiba-tiba datang tamu
terakhir. Tamu itu adalah seorang perempuan yang mengaku beragama kristen.
Dengan suara bergetar karena menahan rasa pilu, perempuan yang mungkin berumur
45an itu membacakan sesuatu dari kitab Injil. Ia kemudian mengoleskan minyak
yang baunya semerbak sekali ke dahi Suroso seraya mendoakan kebaikan-kebaikan.
Pada botol minyak yang ia pegang di tangan kirinya, terdapat merk minyak wangi
yang bertuliskan Eternity, yang berarti keabadian.
Setelah selesai dengan ritualnya, perempuan itu menyalami Suroso
dan keluarganya. Ia lekas pamit dan menghilang di balik pintu Istana yang
kokoh. Dengan begitu, kunjungan presiden yang disingkirkan sudah selesai.
Sementara beberapa staf Istana memboyong barang-barang Suroso dan keluarganya
yang telah dikemas di dalam peti ke mobil, Suroso untuk terakhir kalinya duduk
di ruang dansa yang luas di tengah istana.
Ia tampak lelah dan menahan perih yang lebih dicoba untuk
disembunyikannya daripada ditampakkan. Ia duduk dengan dampingan istri dan
putra-putrinya. Dalam keheningan yang beberapa saat menjelma, Diah kemudian
tersenyum, mengelus-elus punggung suaminya, “Hari yang cukup melelahkan, dan
setelah ini kita dapat kembali menghirup udara bebas tanpa perlu direpotkan
aturan-aturan khusus yang membatasi gerakan kita“ ucapnya.
“Itu berita yang menyenangkan“ sahut Suroso, ia tersenyum. Senyum
yang selalu sama dan tidak dapat diartikan dengan sembrono.
“Aku juga tidak betah tinggal di rumah bekas peninggalan Belanda
ini. Langit-langitnya yang hampir 7 meter dan temboknya yang putih membuatku
merasa ganjil. Dan privasiku terganggu dengan kehadiran personil keamanan serta
protokoler yang merepotkan“ sahut Najib.
“Kamu memang tidak bisa tinggal di rumah mewah Jib. Kamu cuma cocok
tinggal di gubuk sempit di tengah hutan“ Nuha menimpali. Suasana sedikit
mencair dengan gurauan itu.
Sementara itu, di sekitar Suroso dan keluarganya, para staf istana
yang jumlahnya ratusan berbaris mengelilingi ruang dansa. Mereka kemudian
mengucapkan salam perpisahan dengan Suroso. Suasana berubah mengharukan, penuh
linangan air mata.
Setelah dianggap cukup, Suroso dan keluarganya diantar menuju mobil
yang telah disiapkan. Mobil itu berganti plat dari RI 1 menjadi B 111 TKD, dan
berganti jalan keluar dari pintu depan menjadi pintu belakang.
Dan barulah setelahnya Suroso dapat berada di podium Lapangan
Merdeka seperti sekarang ini. Dari kejauhan, jika kau sempat melewati lapangan
yang berubah menjadi lautan manusia itu, kau akan dapat menemukan spanduk
bertuliskan, “Selamat Datang Kembali ke Rumah“ yang ditulis besar-besar di atas
kain seluas 2x2 meter yang berkibar-kibar di tiup angin.
*****
0 comments:
Post a Comment