(SUROSO 4) SELAMAT DATANG KEMBALI KE RUMAH

Senin, akhir Juli 2001
Pada hari ini, sejarah mencatat bahwa kebenaran tidak selalu menang dalam perhelatan akbar politik sebuah negara besar, yang lebih mencintai produk instan dan pencitraan daripada proses.
Atau mungkin, istilah benar dalam hakikat kebenaran global tidak selalu benar dalam pandangan politik. Tepat sekali dengan teori kebenaran relatif manusia. Seharusnya ada kacamata berbeda yang digunakan untuk melihat kebenaran umum dan kebenaran politik, dan seharusnya ada kompromi non-manusiawi yang dilakukan sehingga jabatan tetap bisa dipegang. Namun Suroso tidak melakukan semua itu. Baginya jabatan bisa dikompromikan, tetapi tidak dengan keyakinan dan kemanusiaan.
“Biarkan sejarah mencatat saya sebagai presiden yang digulingkan. Biarkan orang-orang menuduh saya koruptor dan pemimpin fasik. Suatu saat apa yang benar-benar terjadi saat ini akan diketahui juga. Siapa yang benar siapa yang salah akan kelihatan juga. Jadi kita tidak perlu repot-repot merasa didholimi atau menyimpan dendam. Biarkan alam bekerja sesuai hukumnya.“ Suroso menyampaikan pidatonya di Lapangan Merdeka, yang terletak berseberangan dengan Istana Negara.
Di lapangan itu, para pendukung setia Suroso yang berasal dari puluhan organisasi keagamaan, non-pemerintahan, dan parpol serta orang-orang biasa tengah berkumpul untuk menyambut Suroso. Mereka berjumlah ribuan dan sedang dalam semangat berapi-api.
Mereka tidak rela Suroso dilengserkan dengan cara tidak terhormat, dan benar saja Sulastri dijaga ketat oleh keamanan, karena dengan jumlah massa yang sebegitu banyak, bisa saja pendukung Suroso yang marah tiba-tiba muntab dan menyerang Sulastri secara membabi buta. Siapa tahu kan. Hanya siapa tahu.
Untuk itu, demi meredam amarah pendukungnya yang sedang emosional, Suroso yang masih merasa sangat terpukul kemudian berkata demikian,
“Sekali lagi, saya tekankan bahwa tidak ada perlunya merasa dendam. Yang sudah terjadi biarkan berlalu. Tidak usah diungkit-ungkit. Tidak usah disesali. Semua itu sudah ada yang ngatur. Paling tidak, dari peristiwa ini – kita bisa mengerti siapa yang harus kita percayai –dan siapa yang harus kita waspadai. Mari tetap berjalan. Mari melanjutkan revolusi di luar roda pemerintahan.“ Lanjutnya disambut dengan tepuk tangan riuh dari para pendukung.
Hari ini, hari di mana Suroso berdiri di hadapan pendukungnya, adalah hari ketiga paska Sidang Istimewa. Pagi kemarin sebelum Suroso beranjak dari Istana Negara dan berada di podium Lapangan Merdeka seperti sekarang, ia dan keluarganya disibukkan dengan tamu-tamu yang datang ke Istana untuk menemui Presiden yang sudah termakzulkan itu.
Kemarin, kompleks Istana yang berduka dipenuhi oleh berbagai macam manusia, mulai dari para elit politik  hingga orang-orang biasa yang mengenakan pakaian sederhana. Sebagian dari orang-orang itu malam harinya telah menempuh jarak ratusan kilometer untuk bisa sampai ke Istana dan mengucapkan dukungannya kepada Suroso. Mereka adalah orang-orang yang tulus dan tidak berpretensi.
Tidak jarang dari mereka yang menangis ketika sudah berada di depan Suroso dan bersalaman. Orang-orang yang menangis itu kebanyakan adalah mereka yang pernah sangat terpojok, entah dipojokkan karena perbedaan agama maupun dipojokkan karena dianggap berideologi menyimpang, dan pernah dibela Suroso di masa silam.
Hadir juga diantara kerumunan itu beberapa lawan politik Suroso yang datang untuk mengucapkan simpati dan sekedar memenuhi formalitas. Setidaknya mereka harus menampakkan batang hidung agar nama mereka tidak terlalu buruk untuk dikenang.
Selain orang-orang tadi, ada juga para aktivis, jurnalis, dan intelektual-intelektual yang dulu pernah mengkritik Suroso habis-habisan. Mereka datang untuk mengungkapkan rasa sedih mereka atas pelengseran ini dan meminta maaf atas apa yang terjadi.  Barangkali mereka baru sadar, bahwa kritikan lantang yang mereka layangkan di hari-hari sebelumnya merupakan salah satu pendukung diturunkannya Suroso dari kursi kepresidenan. Tentu saja tindakan mereka di masa silam tidak sepenuhnya salah, mereka hanya memenuhi tugas dan menyalurkan aspirasi mereka. Tidak ada yang salah.
“Tidak papa. Tidak papa“ berulang kali Suroso mengucapkan kata itu, menunjukkan bahwa ia sudah berlapang dada dan memaafkan siapa saja yang meminta maaf ataupun tidak.
Sudah hampir 3 jam sejak pukul 7 pagi tadi Suroso, Diah, Nuha, dan Najib –si putra bungsu– berada di ruang jamuan Istana untuk menyambut para tamu. Sementara itu, di luar istana masih banyak orang-orang yang mengantri untuk dapat berjabat tangan dan mengucapkan dukungan kepada mantan presiden. Benar-benar suasana yang meriah untuk kondisi duka.
Lalu pagi tadi, sebelum Suroso benar-benar meninggalkan Istana Negara, sejumlah pemuka agama datang berkunjung ke Istana. Mula-mula, yang datang adalah pendeta-pendeta Budhis dengan beberapa jamaahnya. Mereka mendoakan agar Suroso tetap dalam kedamaian dan ketentraman abadi. Disusul oleh Kiai-kiai dan jamaah muslimnya yang mendoakan kesejahteraan dan kekuatan bagi Suroso,
“Sesungguhnya bersama kesulitan selalu ada kemudahan Gus, Anda lebih tahu itu. Maka doa kami semoga Allah selalu menyertai setiap langkah Anda dan memudahkannya.“ begitu ucap salah satu Kiai mewakili rombongannya. Sekedar memberi tahu, Gus adalah panggilan untuk putra Kiai. Dan Suroso adalah salah satu Gus di Jawa Timur, maka dengan alasan itu ia biasa dipanggil oleh pendukung-pendukungnya dengan panggilan, “Gus Sur“.
Di tengah kunjungan para pemuka agama, tiba-tiba datang tamu terakhir. Tamu itu adalah seorang perempuan yang mengaku beragama kristen. Dengan suara bergetar karena menahan rasa pilu, perempuan yang mungkin berumur 45an itu membacakan sesuatu dari kitab Injil. Ia kemudian mengoleskan minyak yang baunya semerbak sekali ke dahi Suroso seraya mendoakan kebaikan-kebaikan. Pada botol minyak yang ia pegang di tangan kirinya, terdapat merk minyak wangi yang bertuliskan Eternity, yang berarti keabadian.
Setelah selesai dengan ritualnya, perempuan itu menyalami Suroso dan keluarganya. Ia lekas pamit dan menghilang di balik pintu Istana yang kokoh. Dengan begitu, kunjungan presiden yang disingkirkan sudah selesai. Sementara beberapa staf Istana memboyong barang-barang Suroso dan keluarganya yang telah dikemas di dalam peti ke mobil, Suroso untuk terakhir kalinya duduk di ruang dansa yang luas di tengah istana.
Ia tampak lelah dan menahan perih yang lebih dicoba untuk disembunyikannya daripada ditampakkan. Ia duduk dengan dampingan istri dan putra-putrinya. Dalam keheningan yang beberapa saat menjelma, Diah kemudian tersenyum, mengelus-elus punggung suaminya, “Hari yang cukup melelahkan, dan setelah ini kita dapat kembali menghirup udara bebas tanpa perlu direpotkan aturan-aturan khusus yang membatasi gerakan kita“ ucapnya.
“Itu berita yang menyenangkan“ sahut Suroso, ia tersenyum. Senyum yang selalu sama dan tidak dapat diartikan dengan sembrono.
“Aku juga tidak betah tinggal di rumah bekas peninggalan Belanda ini. Langit-langitnya yang hampir 7 meter dan temboknya yang putih membuatku merasa ganjil. Dan privasiku terganggu dengan kehadiran personil keamanan serta protokoler yang merepotkan“ sahut Najib.
“Kamu memang tidak bisa tinggal di rumah mewah Jib. Kamu cuma cocok tinggal di gubuk sempit di tengah hutan“ Nuha menimpali. Suasana sedikit mencair dengan gurauan itu.
Sementara itu, di sekitar Suroso dan keluarganya, para staf istana yang jumlahnya ratusan berbaris mengelilingi ruang dansa. Mereka kemudian mengucapkan salam perpisahan dengan Suroso. Suasana berubah mengharukan, penuh linangan air mata.
Setelah dianggap cukup, Suroso dan keluarganya diantar menuju mobil yang telah disiapkan. Mobil itu berganti plat dari RI 1 menjadi B 111 TKD, dan berganti jalan keluar dari pintu depan menjadi pintu belakang.
Dan barulah setelahnya Suroso dapat berada di podium Lapangan Merdeka seperti sekarang ini. Dari kejauhan, jika kau sempat melewati lapangan yang berubah menjadi lautan manusia itu, kau akan dapat menemukan spanduk bertuliskan, “Selamat Datang Kembali ke Rumah“ yang ditulis besar-besar di atas kain seluas 2x2 meter yang berkibar-kibar di tiup angin.


*****

0 comments:

Post a Comment