(SUROSO 5) TIDAK ADA LAWAN DAN KAWAN ABADI, YANG ADA HANYA KEPENTINGAN ABADI

Selasa, Awal September 2000
Ibu kota selalu menjadi kawasan yang sibuk. Ia tak pernah absen dari para urban yang setiap lebaran usai – berdatangan seperti jamur di musim hujan. Sebagian dari mereka tak memiliki perbekalan cukup sehingga ketika tiba di Jakarta terkatung-katung dan tak memiliki tujuan jelas.
Lain lagi dengan yang sudah terkoneksi dengan orang-orang tertentu, mereka akan dapat bertahan hidup dengan kehidupan ibu kota yang hedon dan memiliki pekerjaan mapan. Hanya satu hal yang perlu mereka hadapi, persaingan yang ketat dan lingkungan kerja yang berpotensi saling menjatuhkan. Lingkungan kerja seperti itu yang dihadapi hampir oleh semua orang. Terlebih orang-orang yang memilih berada dalam lingkaran politik,
“Tidak ada lawan ataupan kawan, yang ada hanya kepentingan abadi.“
“Apa benar demikian?“
“Mari kita lihat saja.“
“Lalu apa kita bukan kawan?“
“Bukan. Kita adalah kepentingan yang saling mementingkan.“
“Itu terdengar baik.“
Dua orang paruh baya yang terhubung lewat telepon seluler itu terkekeh.
“Bagaimana keluarga di Solo?“
“Alhamdulillah. Kami semua sehat.“
“Senang mendengarnya“
“Semoga keluarga di Jakarta juga demikian.“
“Diah dan anak-anak semuanya sehat dan dalam keadaan baik“
“Syukurlah. Apa kepala negara sangat longgar sehingga bisa bertelepon selama ini?“
Terdengar gelak tawa di telepon, “Saya lebih khawatir pembicaraan kita yang tidak penting ini disadap daripada mengkhawatirkan waktu longgar.“
“Baiklah. Mari kita tutup telepon sebelum kekhawatiranmu terjadi.“
Setelah menjawab salam, Suroso meletakkan ponsel di atas meja kerjanya yang penuh buku. Ia memutar kursi kerjanya ke samping kanan dan kiri. Sudah lama sekali ia tidak berjumpa dengan Harun, sahabat karibnya yang lebih memilih berkecimpung di dunia sastra daripada terjun ke politik praktis.
“Aku tidak bisa menari dengan baik di panggung politik. Bisa saja sekali melangkah aku langsung tersandung dan jatuh. Biarlah itu menjadi porsimu. Aku di sini saja. Menjalani kedamaian bersama kitab-kitab kuning dan puisi-puisiku.“ Ucap Harun kepada Suroso 32 tahun silam.
Ketika itu mereka berdua adalah mahasiswa Universitas Baghdad yang tengah asyik menyeduh kopi di pinggiran sungai Tigris. Sungai yang mengalir dari Pengunungan Taurus di bagian timur Turki itu selalu menjadi rujukan bagi para mahasiswa atau seniman di Baghdad untuk berkumpul, mengadakan diskusi-diskusi intelektual. Kedai-kedai kopi di sepanjang sungai Trigis menawarkan akomodasi yang mendukung mereka untuk selalu datang di malam hari. Terlebih, pantulan cahaya rembulan di atas beriak air sungai yang membias menjadikan pinggiran sungai Tigris adalah tempat yang indah untuk dikunjungi dan patut dirindukan.
“Katakan padaku Run, apa sastra selalu lebih menentramkan dari politik?“ Suroso bergumam seorang diri. Ia tidak membutuhkan jawaban, ia hanya merindukan sahabatnya itu. Percakapan di telepon yang rutin mereka lakukan tidak cukup untuk memutuskan kerinduan.
“Rindu adalah hukumanku karena memiliki sahabat sepertimu Sur, yang sibuk sendiri dan selalu dirisaukan urusan kemanusiaan sampai lupa makan.“ Suroso tertawa mengingat ucapan Harun.
Pukul 9 lebih 27. Seorang staf memasuki kantor Suroso, mengatakan bahwa Rabu besok presiden ada jadwal layatan ke New York untuk menghadiri Pertemuan Puncak Millenium.
“Tiket pesawat dipesan jam 11.30. Mobil dinas sudah siap, tinggal menunggu instruksi Anda untuk berangkat.“ ucap si staf laki-laki bertubuh jangkung yang mengenakan seragam hitam.
“Yasudah, ayo berangkat. Saya sudah siap. Siapa lagi yang perlu ditunggu“
  Mobil RI 1 segera melaju ke Bandara Soekarno Hatta. Dalam layatan kali ini, Suroso mengajak Ferdinand dan Menteri Luar Negeri –Malik Syadzili– untuk turut serta.
“Ada banyak yang bisa kau tuliskan dari pertemuan nanti Fer“
“Tentu saja Gus. Saya tidak akan melewatkan apapun“
“Kau harus memastikan itu.“
“Tidak usah khawatir Gus, kita tau kredibilitas Ferdinand. “ Malik ikut menyahut. Rombongan itu tertawa.

Beberapa menit berikutnya, Suroso dan rombongannya sudah duduk di kursi pesawat. Mendengarkan instruksi pramugari tentang safety flight dan terbang menuju Dubai International Airport. 

0 comments:

Post a Comment