Jakarta, waktu yang sama
Seorang pria berseragam batik coklat memasuki Cafe Phoenam
tak jauh dari gedung MPR. Wajahnya nampak sedikit cemas tetapi tak terlihat
jika tak diperhatikan dengan jeli. Kecemasan itu tertutup oleh sikap tenangnya.
Pria itu memilih tempat duduk di pojok, menghadap keluar jendela, sehingga
nampak olehnya kendaraan yang berlalu-lalang dan juga hydroponik yang bergelantungan
di beranda Cafe. Diraihnya buku tebal bergambar sampul 2 laki-laki dan 2
perempuan yang sedang menaiki cikar di rak buku tak jauh dari tempat ia
duduk. Rak itu sengaja disediakan oleh
pemiliki Cafe sebagai bacaan pengunjung. Ia kemudian memanggil pelayan,
memesan segelas jus alpukat dan kopi hitam kental tanpa gula.
Setelah pelayan pergi, pria itu bergegas melihat layar ponselnya.
Ia menulis beberapa karakter di pesan singkat lalu mengirimkannya kepada kontak
bernama Bondan. Sejurus kemudian ia mulai membaca lembar pertama buku di
tangannya.
“Kau bisa meletakkan buku karya Pram itu dan memulai pembicaraan
kita.“ seorang pria bertubuh gempal dan berotot yang baru saja memasuki cafe
duduk di hadapan si pria berseragam batik. Pria gempal itu berpakaian
biasa, celana jeans panjang dengan bagian lutut bolong dan kaos pendek berkerah
warna abu-abu. Suaranya sedikit berat dan serak.
“Kau tau waktuku tidak banyak.“ si pria berseragam menyahut.
“Maafkan aku. Aloe menahanku untuk pergi karena hari ini adalah
waktu liburku. Dia memintaku tetap
tinggal bersamanya di rumah“
“Bondan. Bondan. Masih saja kau tidak bisa bersikap tegas kepada
istrimu. Kau tau laki-laki bebas menentukan pilihannya, seharusnya kau
menekankan itu kepada Aloe“, si pria berseragam menutup bukunya dan
meletakkannya di meja. Ia menyeruput jus alpukat, “Bagaimana persiapan yang
sudah kau lakukan?“
“Semuanya beres. Tinggal
eksekusi.“, Bondan melirik segelas kopi yang masih mengepulkan asap di
depannya, “Itu untukku?“ ia menatap si pria berseragam.
“Untuk siapa lagi. Aku tidak pernah meminum sumber kafein itu.“ si
pria berseragam menyahut cepat.
Bondan tersenyum. Ia meminum sedikit kopi lalu meletakkannya lagi
di atas meja, “Pahit. Seperti ucapan pria berkelas di depanku ini“.
Si pria berseragam nampak acuh, ia tidak peduli dengan ucapan
rekannya.
“Sasaran kita sudah terbang ke NYC satu jam yang lalu. Itu artinya paling
lambat besok, di jam yang sama, dia sudah berada di Amerika. Kita biarkan dia
beristirahat selama 7 jam, untuk membiarkan laki-laki tua itu berspekulasi
dengan pujian-pujian yang akan diterimanya. Sementara dia beristirahat, kita
lancarkan aksi ke zona X. Dan kita akan segera melihat hasilnya melalui
media-media asing.“ ucap si pria berseragam, sesekali ia menengok ke kiri dan
menoleh ke belakang, memastikan bahwa tidak ada orang yang akan mendengarkan
pembicaraannya dengan Bondan.
“Aku mendengar kabar tadi malam Nuha terbang ke Dili, ikut pesawat
carteran Reuters. Jika kabar itu benar, itu artinya dia akan meliput banyak hal
terkait aksi-aksi di zona sasaran kita.“ Bondan memasang wajah datar, atau
sebenarnya Bondan memang selalu berwajah datar, tidak pernah menampakkan
ekspresi apapun. Senang susah sama saja. Setelah sejenak mengamati perubahan
wajah lawan bicaranya, Bondan melanjutkan bicara “dan kita tahu bagaimana Nuha.
Kita tidak bisa meremehkannya hanya karena dia masih bocah dan dia adalah
seorang perempuan.“
“Memangnya apa yang bisa dilakukan jurnalis seperti Nuha? Dia hanya
akan menulis dan paling mentok mengecam. Asal eksekusi berjalan sesuai rencana,
tidak akan ada yang tahu campur tangan kita di zona X“ si pria berseragam
menjawab dingin, “Yang terpenting, jangan ceroboh. Lakukan semua sesuai
perintah. Aku tidak mau ada jejak“ dia mengecilkan suaranya, memberikan
penekanan di setiap kalimat.
“Baiklah.“ Bondan kembali meminum kopinya, “Kau tahu resiko
pekerjaan ini tidak kecil kan? Tentu saja aku akan melakukan setiap detailnya
dengan hati-hati. Tetapi siapa yang bisa menjamin eksekusi akan berjalan lancar
sesuai dengan yang telah direncanakan. Kemungkinan terburuk bisa saja terjadi.
Aku mau kau bertanggung jawab penuh atas Aloe dan Fredi jika sesuatu terjadi,
urus mereka dengan baik. Dan sebagai imbalannya, namamu akan tetap bersih.“
Bondan memandang si pria berseragam dengan tatapan tajam.
Pria di depannya terkekeh, “Bondan! Bondan! Kenapa kau berbicara
seolah-olah umurmu tinggal sehari! Aku pastikan kau akan berjumpa dengan Aloe
dan putramu itu lagi. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan.“ Si pria
berseragam kembali duduk dengan tenang. Ia menyilangkan kaki kanannya di atas
kaki kiri, berbicara dengan serius dan volume suara yang kecil “Kau tau siapa
aku! Kalaupun sesuatu yang buruk terjadi, aku akan dengan mudah membersihkan
namamu dan mengeluarkanmu dari hotel prodeo. Apa lagi yang kau khawatirkan?“ Pria
itu meminum separo jus Alpukatnya lalu meletakkannya kembali di meja.
Setelah membenahi kerah baju dan memastikan bahwa seragam yang
dikenakannya masih rapi, ia berdiri, “Habiskan kopimu. Aku akan ke kasir dan
kembali ke kantor.“ Tanpa menunggu jawaban dari Bondan, ia segera beranjak menuju
kasir, menyerahkan selembar uang 50an, lalu berjalan ke arah pintu keluar Cafe
Phoenam yang berbahan kaca.
“Kenapa mereka susah-susah memasang pintu putar ini, membuang waktu
saja“ pria berseragam itu menggumam kesal. Ia terlihat kesusahan dan tidak
sabaran melewati pintu putar yang menjadi satu-satunya jalan keluar dari cafe
Phoenam. Selain tidak praktis, baginya pintu putar adalah hal yang menyusahkan.
Dia tidak tahu, bahwa niat pemilik cafe memasang pintu itu adalah untuk
efisiensi pemakaian AC dan menjaga kualitas udara.
Pria berseragam itu kemudian terlihat menyeberang jalan dengan
tergesa. Tanpa lupa mengecek ulang kerapian bajunya setiap beberapa menit
sekali, ia terus berjalan menuju pintu utama gedung MPR, dan kemudian lenyap
tak terlilhat.
“Dasar pria flamboyan! Pantas saja dia digandrungi banyak wanita“
Bondan berbisik pada dirinya sendiri. Sedari pria berseragam itu berdiri dari
tempat duduknya sampai lenyap di pintu gedung MPR, Bondan tak berhenti
menamatinya. Barulah setelah pria itu tak terlihat, Bondan kembali melirik
kopinya. Untuk beberapa lama, Bondan masih setia menikmati kopi yang tinggal
setengah gelas. Jari-jarinya yang pendek dan gemuk diketuk-ketukannya pada meja
kotak berbahan kayu di depannya. Setelah meneguk cairan kopi yang terakhir dan
merenung beberapa saat, ia lantas beranjak pergi.
***
0 comments:
Post a Comment