Minggu, akhir Juli 2001
Dalam suasana politik yang kian memanas dan tekanan yang semakin
kuat, Suroso memilih untuk bersikap tenang dan berusaha menampakkan diri bahwa dia
baik-baik saja. Suroso sudah terbiasa bersikap demikian dalam menghadapi
situasi genting. Suroso selalu cenderung mengatakan apa yang diyakininya benar
dan disugestinya akan terjadi daripada menyuarakan isi hatinya yang sedang
tidak menentu. Tetapi tubuh pria berperawakan agak gendut itu tidak dapat
berbohong.
Bagaimanapun, tidak ada seorangpun di dunia ini yang akan baik-baik
saja ketika tau bahwa dia akan dimakzulkan dari suatu jabatan, lebih-lebih
dengan cara tidak terhormat. Bukan berarti Suroso gila pangkat dunia. Justru
baginya, tidak ada jabatan di dunia ini yang harus dipertahankan mati-matian.
Toh nanti kalau sudah mati, jabatan itu pasti akan ditinggalkan juga. Yang
tersisa hanya nama dan cerita. Tetapi rasa tanggung-jawabnya terhadap tugas
dari jabatan itu yang membuatnya resah.
Ia merasa belum menyelesaikan tugasnya dan masih ada banyak hal
yang perlu dibenahi dari negara yang baru saja lepas dari cengkraman rezim otoriter
itu, akan tetapi rongrongan budaya lama yang mengakar dan masih kuat-kuat
tertanam membuatnya mengalami banyak benturan dengan banyak pihak.
Tidak mudah membuat perubahan dalam waktu singkat ketika
orang-orang yang berkecimpung di dalam pemerintahan masih didominasi oleh
orang-orang lama.
Pada akhirnya, meskipun tidak begitu kentara dalam sikap, tekanan
yang tidak ada hentinya itu membuat Suroso kembali mengalami tanda-tanda
trombosis. Bisa saja ia terkena serangan
stroke mendadak dan kemudian terkapar tak berdaya di Rumah sakit selama
berbulan-bulan, atau lebih parahnya ia mungkin bisa terkena serangan jantung
secara tiba-tiba begitu resmi dicopot sebagai presiden pada hari yang sudah
jelas kapan. Siapa yang tahu.
Malam hari menjelang Sidang Istimewa yang tidak lebih dari 24 jam
lagi, Suroso duduk bercengkerama dengan keluarga dan beberapa koleganya di ruang
jamuan Istana negara. Bangunan kokoh yang pernah menjadi saksi ditetapkannya Cultuur
Stelsel oleh Gubenur Jenderal Graaf van den Bosch itu temboknya bercat
putih total, memberikan kesan dingin dan tak berperasaan.
Di setiap sudut gedung terdapat staf presiden lengkap dengan handy-talky
dan peralatan resmi lainnya. Penjagaan presiden sedang diperketat meskipun
tak seketat penjagaan wakil presiden yang dinaikkan menjadi level siaga 1.
Para anggota parlemen beserta perangkat keamanan negara lebih
mengkhawatirkan Sulastri dengan alasan ancaman pendukung Suroso yang kalap bisa
saja mengambil tindakan anarkis dan menyerang orang kedua di Indonesia itu.
Karena memang sudah jelas, ketika Suroso lengser, maka Sulastri sebagai wakil
yang akan maju. Jadi dia harus diamankan, begitu pertimbangan anggota parlemen.
“Orang-orang di negeri ini mahir bergurau ya.“ Nuha nyeletuk di
tengah-tengah percakapan yang semula mandek. Kata-katanya tidak
ditujukan untuk siapapun. Pemudi 25 tahun itu memasang senyum yang kau tau
bagaimana, senyum mengejek. Hanya saja yang diejek sedang tidak di sana.
“Ya biarkan saja Nuh. Kan bagus kalau orang-orang di negeri ini
punya selera humor tinggi. Artinya mereka bukan orang yang kaku“ Suroso menyahut,
mimik wajahnya tetap datar dan tidak dapat dibaca.
Sejurus kemudian ia tertawa, memperlihatkan giginya yang tidak rata
dan perasaannya yang sepertinya bahagia dan biasa saja. Tetapi jika kau
berkesempatan meletakkan telingamu di dadanya, niscaya kau dapat mendengar
suara detak jantung yang tak beraturan ritmenya, terlalu cepat dan seperti mau
copot.
Ya! Dalam hal seperti ini. Siapa saja boleh kagum pada Suroso. Karena
dibalik tekanan dan rasa putus asa yang sulit dihindari, dia masih bisa
bersikap biasa saja dan bahkan masih sempat bercanda.
“They do. Saya tidak pernah menemukan hal demikian selain di
negeri ini. Lucu sekali bahwa mereka memasang perangkat keamanan di sekitar
Istana negara seolah-olah sedang menjaga presiden, tetapi moncong senjatanya sendiri
di arahkan ke sini“ ucap Ferdinand setelah berhenti tertawa, “Siapa yang ingin
mereka lindungi sudah jelas.“ lanjutnya.
Ruangan besar itu hening sejenak setelah tawa yang hampir
beriringan.
“Begitulah, sebagai pribumi saya sudah terbiasa denga basa-basi dan
pretensi semacam ini“ Suroso menimpali. Semua orang di ruang jamuan tertawa lagi
demi memprihatinkan kepura-puraan yang terjadi karena formalitas semata.
Termasuk juga Ferdinand, sahabat Suroso yang berkewarganegaraan Australia.
Sudah dua setengah tahun Ferdinand tinggal di Indonesia dan mengikuti kegiatan
Suroso dengan setia.
Awal bertemu pada tahun 90an silam, Ferdinand adalah mahasiswa
pasca sarjana yang kikuk dan malu-malu. Dia mengenal Suroso karena nama itu
sering ditulis di media asing, dan bahkan wajah Suroso yang terhitung tidak
tampan pernah terpampang sebagai cover majalah Editor dengan judul Man
of The Year yang ditulis besar-besar. Sebagai sub-judul, redaktur majalah Editor
menulis “Suroso orang terpopuler tahun 1999: Sering bersikap
kontroversial dan tidak takut menjadi merdeka“.
Lalu jika kau membuka majalah berkaliber internasional itu, kau
akan menemukan ulasan tentang Suroso di 15 halaman awalnya. Rasa penasaran dan
rasa kagum Ferdinand kemudian mengantarnya menemui Suroso yang waktu itu belum
menjadi presiden. Sebagai akademisi yang menekuni bidang politik Islam global, Ferdinand
waktu itu sangat berharap bisa menulis tentang Suroso beserta pemikiran dan
kiprahnya di kancah global. Dan Suroso menyambut hangat niat Ferdinand.
Sementara kondisi di luar istana ruwet, kondisi di dalam Istana
justru sebaliknya. Benar-benar biasa saja. Masih diliputi dengan semangat dan
rasa optimis yang tinggi. Tetapi entah seoptimis apapun orang-orang di dalam
istana bersikap, nuansa kehilangan masih begitu kentara. Rasa sakitnya tidak
bisa dielakkan meskipun kejatuhan ini sebenarnya sudah dapat mereka prediksi
beberapa bulan sebelumnya.
“Saya siap“ ucap Suroso. Semua orang di dalam istana negara segera
terdiam. Mereka memperhatikan Suroso yang wajahnya tetap datar dan penuh
tekanan, “Saya siap untuk tetap tinggal di sini entah apapun yang terjadi. Biar
saja jika mereka akan memutuskan aliran listrik ataupun air. Biar saja jika
mereka memaksa masuk dan mencincang saya. Saya akan tetap tinggal di sini“ ia
menuntaskan kalimatnya, yang entah diungkapkan karena rasa putus asa atau niat
untuk menggertak semata.
Tidak ada yang menyahut. Orang-orang tidak tahu harus memberikan
balasan apa atas kalimat Suroso. Selain itu, mereka juga masih
menimbang-nimbang, kalimat barusan itu sekedar gurauan atau pernyataan
sungguhan.
Yang jelas, mereka tahu bahwa Suroso memang orang yang gemar
menentang arus dan akan sulit merubah pendiriannya jika sudah memutuskan
sesuatu. Dan Nuha, sebagai anak tertua, tidak ingin Bapaknya berakhir seperti khalifah
ke-tiga dan ke-empat pada masa Khulafaur Rosyidin, yang harus
menjadi korban dari kemelutnya politik yang kolot seperti permen karet.
Suasana tetap hening hingga Diah, –istri Suroso–, yang sedari tadi hanya duduk di samping
suaminya dan diam saja, mengangkat suara dengan intonasi yang lembut dan kalem,
“Bagus Pak. Pilihan Bapak memang bagus. Dan selama Bapak masih
tinggal di istana, Bapak tidak bisa menolong mereka yang menunggu Bapak di luar
istana“ Diah mengelus-elus tangan kanan suaminya. Sebuah senyum terulas di
wajahnya yang berbentuk oval, giginya yang seperti biji mentimun terlihat
berjajar rapi.
Suroso tertawa mendengar jawaban istrinya itu.
Meskipun sangat ahli berpidato di podium-podium, nyatanya Suroso
adalah orang yang sangat lemah dalam hal romantisme. Ia tidak pernah dapat
mengungkapkan rasa sayangnya kepada Diah, istri yang sangat dihormati dan
dicintainya. Tidak juga kepada anak-anaknya. Bahkan waktunya untuk keluargapun
terbilang sangat sedikit karena ia selalu disibukkan dengan berbagai kegiatan
di luar.
Demikian memang konsekuensi menjadi tokoh pergerakan dan politik
sekaligus. Namun sebagai tebusan atas ketidaksanggupannya mengungkapkan
perasaan, ia selalu menuruti apa yang dikatakan Diah dan ia selalu mendengar
apa yang dikatakan putra-putrinya.
“Nah – karena Ibuk berkata demikian, maka mari kita keluar. Mari
tinggalkan istana ini. Sudah tidak ada lagi yang harus dipertahankan“ demikian
Suroso kemudian berucap.
***
0 comments:
Post a Comment