(SUROSO 7) NARENDRA SOFYAN

Suroso dan rombongannya telah mendarat di Bandara John F Kennedy jam 10 p.m waktu setempat. Setelah mengurus surat-surat di bagian imigrasi dan mengambil baggage, rombongan itu segera melaju ke penginapan yang telah dirujuk oleh panitia lokal. Seorang utusan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Amerika memandu mereka menemukan lokasi penginapan dengan mudah dan cepat. Utusan itu adalah seorang pemuda bertubuh jenjang dan kulit kuning langsat serta rambut yang disisir dengan gaya side part.
“Perkenalkan nama saya Narendra Sofyan, utusan dari KBRI untuk menjadi pemandu Tuan-Tuan sekalian selama berada di Negeri Paman Sam ini. Jangan sungkan-sungkan untuk meminta sesuatu jika ada yang Tuan-Tuan butuhkan.“ Pemuda itu memperkenalkan diri dengan gaya yang sopan dan senyum yang ramah. Ia nampak sangat terlatih dalam melakukan pekerjaan semacam itu.
“Jadi Anda terbang dari Washington ke New York hanya untuk memandu kami?“ Suroso menyahut.
Narendra tersenyum, “Sebenarnya saya tinggal di New York. Saya masih aktif sebagai mahasiswa di Columbia University, sehingga pekerjaan saya di KBRI hanya sebatas informan dan jurnalis. Dan mendapat tugas untuk memandu Tuan-Tuan sekalian di kota ini, saya sungguh merasa terhormat.“
“Tentunya kau adalah pemuda yang berbakat.“ Malik menyahut.
“Terimakasih Tuan. Tetapi sangat jauh dari Tuan Malik.“ timpal Narendra.
Dalam perjalanan menuju Green Meadows Inn, tempat menginap bagi rombongan Suroso, Narendra dapat membaur dengan baik bersama para tamu-tamunya tanpa sedikitpun merasa canggung ataupun sungkan. Ia bertukar banyak informasi dengan para tamunya mengenai aktivitas KBRI di Amerika Serikat dan perkembangan kedaaan sosial politik Amerika beberapa tahun terakhir. Sebagai seorang akademisi muda yang peduli pada isu-isu sosial, Narendra dapat mengimbangi percakapan lawan bicaranya dengan sangat baik.
“Sepertinya peristiwa teror berentetan yang terjadi di tahun kemarin telah mempengaruhi sikap pemerintah AS terhadap muslim di sini.“ ucap Ferdinand yang duduk di kursi bagian tengah bersama Suroso.
“Tepat sekali Mr. Ferdinand.“ Narendra, yang duduk di kursi samping supir menyahut. Ia menoleh ke belakang agar dapat melihat wajah Ferdinand, ia perlu melakukan itu sebagai tanda penghargaan dan rasa hormat, “Presiden Bill sangat geram dengan aksi para milisi. Dua aksi penembakan yang terjadi di Illinois dan Los Angeles tahun lalu memakan 4 korban meninggal dan beberapa luka-luka. Kasus terakhir adalah Arson[1] yang dilancarkan Earth Liberation Front di Michigan yang untungnya tidak menelan korban. Dan peristiwa-peristiwa itu sangat mempengaruhi sikap mereka terhadap muslim minoritas di sini. Tidak ada peraturan khusus yang kemudian sangat menekan, tetapi sikap yang mengindikasikan fobia dan rasa benci dapat kami rasakan dari beberapa pihak.“ Narendra melanjutkan.
“Sejauh yang saya ikuti, aksi-aksi tersebut masih berkelindan dengan satu kelompok di Timur Tengah.“ Malik menyahut, ia merasa prihatin dengan peristiwa-peristiwa serupa yang mengatasnamakan jihad, “Saya sangat memaklumi dan dapat memahami rasa takut dan fobia masyarakat dunia terhadap Islam jika hal seperti itu terus saja terjadi.“ Ia melanjutkan.
“Ada cerita menarik ketika saya masih belajar di Pennsylvania. Waktu itu para milisi Islam sedang semangat-semangatnya bergerak. Mereka melancarkan aksi terorisme di beberapa daerah. Meskipun alat informasi tidak secanggih sekarang, tetapi orang-orang Philadelpia sangat giat mengikuti perkembangan berita internasional melalui media yang ada kala itu. Mereka tidak mengalami atau menyaksikan sendiri aksis teror yang terjadi, tetapi mereka turut merasakan ketakutan dan tekanan. Salah seorang teman yang sedikit usil melihat situasi itu sebagai sesuatu yang lucu. Dia dengan sengaja memakai jubah putih dan surban di pundak, lalu berjalan-jalan di tengah kota sembari menenteng ransel hitam. Sesekali, dia melemparkan ranselnya ke arah kerumunan orang banyak, ke pejalan kaki di trotoar, dan bahkan juga ke muda-mudi yang sedang pacaran. Dia terpingkal berkali-kali melihat orang lari tunggang langgang seperti sedang menerima paket bom. Terakhir, dia melemparkan ranselnya ke halaqoh kecil di suatu masjid. Peserta halaqoh juga tak kalah bersemangat lari menjauhi ransel seperti sedang menghindar dari serangan bom.“ Suroso berhenti. Semua yang ada di dalam mobil tertawa, kecuali supir lokal yang tidak mengerti pembicaraan mereka.
“Kemudian apa yang terjadi dengan teman Anda itu Gus?“ Malik bertanya setelah ia berhenti tertawa.
“Dia ditangkap dan diinterogasi oleh pihak berwenang. Bahkan hak belajarnya terancam dicabut. Nah gara-gara ditangkap itu dia menghubungiku dan meminta bantuanku untuk berurusan dengan aparat-aparat yang menakutkan itu.“
Tawa meledak lagi, “Bagaimanapun, terorisme adalah masalah kompleks. Dan mungkin saja tidak lepas dari campur tangan pihak-pihak berkepentingan.“ Suroso menambahi, kali ini dengan lebih serius.
Mobil yang mengantar Suroso dan rombongannya sudah tiba di pintu masuk utama Green Meadows Inn. Suroso turun dengan dipapah oleh Malik. Disusul dengan rombongan lainnya. Sementara mobil menuju tempat parkir yang terletak di lantai dasar, Narendra membimbing Suroso dan rekan-rekannya berjalan ke lobi untuk check in.
Suroso berbaring di kamarnya. Perjalanan dari Bandara ke Green Meadows memakan waktu 30 menit. Ia sangat lelah dan mengantuk setelah perjalanan yang cukup panjang sejak hari kemarin. Tetapi agaknya ada sesuatu yang ia pikirkan sehingga dia tidak bisa tidur sampai pukul 2 dini hari.

***



[1] Pembakaran secara sengaja

0 comments:

Post a Comment