Suroso dan rombongannya telah mendarat di Bandara John F Kennedy
jam 10 p.m waktu setempat. Setelah mengurus surat-surat di bagian imigrasi dan
mengambil baggage, rombongan itu segera melaju ke penginapan yang telah dirujuk
oleh panitia lokal. Seorang utusan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk
Amerika memandu mereka menemukan lokasi penginapan dengan mudah dan cepat.
Utusan itu adalah seorang pemuda bertubuh jenjang dan kulit kuning langsat
serta rambut yang disisir dengan gaya side part.
“Perkenalkan nama saya Narendra Sofyan, utusan dari KBRI untuk
menjadi pemandu Tuan-Tuan sekalian selama berada di Negeri Paman Sam ini.
Jangan sungkan-sungkan untuk meminta sesuatu jika ada yang Tuan-Tuan butuhkan.“
Pemuda itu memperkenalkan diri dengan gaya yang sopan dan senyum yang ramah. Ia
nampak sangat terlatih dalam melakukan pekerjaan semacam itu.
“Jadi Anda terbang dari Washington ke New York hanya untuk memandu
kami?“ Suroso menyahut.
Narendra tersenyum, “Sebenarnya saya tinggal di New York. Saya
masih aktif sebagai mahasiswa di Columbia University, sehingga pekerjaan saya
di KBRI hanya sebatas informan dan jurnalis. Dan mendapat tugas untuk memandu
Tuan-Tuan sekalian di kota ini, saya sungguh merasa terhormat.“
“Tentunya kau adalah pemuda yang berbakat.“ Malik menyahut.
“Terimakasih Tuan. Tetapi sangat jauh dari Tuan Malik.“ timpal
Narendra.
Dalam perjalanan menuju Green Meadows Inn, tempat menginap
bagi rombongan Suroso, Narendra dapat membaur dengan baik bersama para
tamu-tamunya tanpa sedikitpun merasa canggung ataupun sungkan. Ia bertukar
banyak informasi dengan para tamunya mengenai aktivitas KBRI di Amerika Serikat
dan perkembangan kedaaan sosial politik Amerika beberapa tahun terakhir.
Sebagai seorang akademisi muda yang peduli pada isu-isu sosial, Narendra dapat
mengimbangi percakapan lawan bicaranya dengan sangat baik.
“Sepertinya peristiwa teror berentetan yang terjadi di tahun
kemarin telah mempengaruhi sikap pemerintah AS terhadap muslim di sini.“ ucap Ferdinand
yang duduk di kursi bagian tengah bersama Suroso.
“Tepat sekali Mr. Ferdinand.“ Narendra, yang duduk di kursi samping
supir menyahut. Ia menoleh ke belakang agar dapat melihat wajah Ferdinand, ia
perlu melakukan itu sebagai tanda penghargaan dan rasa hormat, “Presiden Bill
sangat geram dengan aksi para milisi. Dua aksi penembakan yang terjadi di
Illinois dan Los Angeles tahun lalu memakan 4 korban meninggal dan beberapa
luka-luka. Kasus terakhir adalah Arson[1]
yang dilancarkan Earth Liberation Front di Michigan yang untungnya tidak
menelan korban. Dan peristiwa-peristiwa itu sangat mempengaruhi sikap
mereka terhadap muslim minoritas di sini. Tidak ada peraturan khusus yang
kemudian sangat menekan, tetapi sikap yang mengindikasikan fobia dan rasa benci
dapat kami rasakan dari beberapa pihak.“ Narendra melanjutkan.
“Sejauh yang saya ikuti, aksi-aksi tersebut masih berkelindan
dengan satu kelompok di Timur Tengah.“ Malik menyahut, ia merasa prihatin
dengan peristiwa-peristiwa serupa yang mengatasnamakan jihad, “Saya sangat
memaklumi dan dapat memahami rasa takut dan fobia masyarakat dunia terhadap
Islam jika hal seperti itu terus saja terjadi.“ Ia melanjutkan.
“Ada cerita menarik ketika saya masih belajar di Pennsylvania.
Waktu itu para milisi Islam sedang semangat-semangatnya bergerak. Mereka
melancarkan aksi terorisme di beberapa daerah. Meskipun alat informasi tidak
secanggih sekarang, tetapi orang-orang Philadelpia sangat giat mengikuti
perkembangan berita internasional melalui media yang ada kala itu. Mereka tidak
mengalami atau menyaksikan sendiri aksis teror yang terjadi, tetapi mereka
turut merasakan ketakutan dan tekanan. Salah seorang teman yang sedikit usil
melihat situasi itu sebagai sesuatu yang lucu. Dia dengan sengaja memakai jubah
putih dan surban di pundak, lalu berjalan-jalan di tengah kota sembari
menenteng ransel hitam. Sesekali, dia melemparkan ranselnya ke arah kerumunan orang
banyak, ke pejalan kaki di trotoar, dan bahkan juga ke muda-mudi yang sedang
pacaran. Dia terpingkal berkali-kali melihat orang lari tunggang langgang
seperti sedang menerima paket bom. Terakhir, dia melemparkan ranselnya ke halaqoh
kecil di suatu masjid. Peserta halaqoh juga tak kalah bersemangat
lari menjauhi ransel seperti sedang menghindar dari serangan bom.“ Suroso
berhenti. Semua yang ada di dalam mobil tertawa, kecuali supir lokal yang tidak
mengerti pembicaraan mereka.
“Kemudian apa yang terjadi dengan teman Anda itu Gus?“ Malik
bertanya setelah ia berhenti tertawa.
“Dia ditangkap dan diinterogasi oleh pihak berwenang. Bahkan hak
belajarnya terancam dicabut. Nah gara-gara ditangkap itu dia menghubungiku dan
meminta bantuanku untuk berurusan dengan aparat-aparat yang menakutkan itu.“
Tawa meledak lagi, “Bagaimanapun, terorisme adalah masalah
kompleks. Dan mungkin saja tidak lepas dari campur tangan pihak-pihak
berkepentingan.“ Suroso menambahi, kali ini dengan lebih serius.
Mobil yang mengantar Suroso dan rombongannya sudah tiba di pintu
masuk utama Green Meadows Inn. Suroso turun dengan dipapah oleh Malik.
Disusul dengan rombongan lainnya. Sementara mobil menuju tempat parkir yang
terletak di lantai dasar, Narendra membimbing Suroso dan rekan-rekannya
berjalan ke lobi untuk check in.
Suroso berbaring di kamarnya. Perjalanan dari Bandara ke Green
Meadows memakan waktu 30 menit. Ia sangat lelah dan mengantuk setelah
perjalanan yang cukup panjang sejak hari kemarin. Tetapi agaknya ada sesuatu
yang ia pikirkan sehingga dia tidak bisa tidur sampai pukul 2 dini hari.
***
0 comments:
Post a Comment