Buyong



Mei, 4 2020
Sudah satu tahun lebih sejak aku begitu tertarik dengan banyak hal tentang Blabla. Semua tentang Blabla menjadi begitu indah untuk digali dan diketahui. Aku sadar aku masuk terlalu jauh dalam ilusi yang aku ciptakan sendiri. Sedikit berbahaya, tetapi menyenangkan bisa bermain di dalamnya.
Awalnya aku merasa begitu beruntung bisa menemukan Blabla dalam kehidupanku yang sekali ini. Dia seperti bintang yang bersinar terang. Menyilaukan. Mendadak aku begitu tenggelam dalam segala hal tentangnya. Semua tentang Blabla, semuanya saja -baik, buruk, lebih dan celanya- bagiku layak untuk dikagumi.
Kuakui, aku memang terlalu buta karena sebuah rasa. Entah perasaan yang bagaimana.
Perasaan itu muncul begitu saja tanpa bisa aku kendalikan. Sebenarnya, bukan tidak bisa dikendalikan, tetapi aku memang menikmati setiap apa yang lahir dari menyukai Blabla. Entah itu bahagia, patah, berharap, putus asa, semuanya.
Sejak aku begitu mengagumi Blabla, Oktober 2019 adalah pertama kalinya kami duduk bersama. Tentu saja aku menjadi gugup, sekaligus bahagia. Berharap setelah kuselesaikan pertemuan itu, bisa juga kuselesaikan perasaan yang ada. Rasanya tidak mengherankan mengetahui aku yang salah estimasi. Nyatanya setelah bertemu perasaanku menjadi semakin bertambah.
Setelahnya, aku menjalani hari dengan umpatan hatiku sendiri betapa bodohnya aku yang tidak mengaca. Aku menutup mata dari kenyataan bahwa jarak antara aku dan Blabla cukup jauh. Meskipun mungkin, tetapi terlihat lebih tidak mungkin.
Aku berusaha melepaskan perasaan yang masih kuat mencekam. Memang tidak seperti 2019 di mana setiap hari bayangan Blabla selalu hadir, 2020 aku sudah lebih bisa mengendalikan apa yang harus aku rasakan. Meskipun sesekali waktu, aku masih sangat ingin bertemu Blabla. Tetapi untuk menahanannya tak sesulit sebelumnya.
Aku mengetahui banyak hal tentang Blabla, mungkin di luar yang Blabla pikir akan aku ketahui. Satu-satunya yang luput dari pengetahuanku adalah apa yang Blabla inginkan, ke mana ia ingin melangkah, dan apa yang ia resahkan. Sulit mengetahui keinginan dan arah langkah seorang lelaki karena mereka memiliki harga diri yang harus dijaga. Lebih sulit lagi apabila kita tidak dekat dengannya.
Belakangan aku membuat pradugaku sendiri bahwa Blabla telah memiliki seseorang merujuk temuanku akhir-akhir ini. Sebenarnya, isu ini sudah lama ada. Aku yakin isu itu benar sejak ia pernah begitu gundah di Tahun 2019 kemarin. Tidak peduli yang sekarang dan yang dulu apakah seseorang yang sama atau berbeda, yang jelas aku juga percaya bahwa Blabla deserves a nice and sweet girl who will comfort and calm him, I think dia sudah memiliki that kind of girl. Jadi aku juga percaya itu bukan aku.
Belakangan juga aku mulai membulatkan niat bahwa aku harus menemukan seseorang untuk bisa diajak melangkah ke jenjang yang lebih serius. I mean I am not a young girl anymore. Sudah saatnya. Dan aku tahu dia mungkin bukan Blabla. Jadi aku melepaskan Blabla, demi kebaikanku sendiri. Karena aku tidak bisa selamanya tinggal dalam sebuah ilusi yang tidak nyata.
Untuk kali ini, aku benar-benar yakin bahwa aku bisa melepaskan Blabla. Ditambah dengan kabar gembira bahwa buku yang aku tulis telah usai, maka kurasa melepaskannya akan menjadi lebih mudah.
Tetapi ternyata memang tidak semudah itu.
Blabla di mataku adalah sosok yang sedikit berbeda dari kebanyakan orang. Dia sederhana dan tampil apa adanya tanpa perlu merasa memberi branding pada dirinya. How the way he is simply makes me admire him. Sesederhana itu memang. Dan beberapa sikap serta pernyataan yang ia munculkan, yang di mataku terlihat seperti sebuah kekhawatiran dan ketakutan dari seorang Blabla, jusru membuatku semakin ingin berada di dekatnya. Aku mungkin tidak membantu banyak, tetapi aku mungkin bisa menjadi pendengar yang baik. Hanya saja, aku sadar sepertinya bukan aku orang yang ia butuhkan.
Dengan semua kondisi itu, meski aku sudah berusaha keras melepaskan Blabla, sekali saja Blabla datang kembali, maka usaha melepaskannya adalah sesuatu yang nampaknya sia-sia. Dua hari yang lalu aku tidak menduga dia akan menelponku. Aku memang selalu berharap ada nama panggilan dengan nama Mas Blabla muncul di layar. Tetapi aku tidak mengira itu akan sungguh-sungguh terjadi. Maksudku, bagi Blabla yang tidak terlalu dekat denganku, dia biasanya akan cukup dengan memberikan pesan singkat tanpa perlu menelfon. Dia menelfonku malam-malam hanya untuk memberitahukan bahwa papanya mencariku. Ada sesuatu yang mau dibicarakan jadi aku diminta untuk datang ke rumahnya. Jujur saja itu berita yang menyenangkan.
Pertama, aku bisa bertemu Blabla di rumahnya.
Kedua, ada hawa segar dari draf buku yang aku tulis.
Tetapi aku juga sedikit khawatir, kenapa sampai dipanggil di rumah? Apa aku menulis sesuatu yang kurang pas?
Di hari yang ditentukan ternyata aku tidak jadi ke rumah Blabla. Blabla tidak mengatakan alasan kenapa ditunda, tetapi kurasa karena papanya sibuk, jadi harus reschedule.  Blabla baru memberitahukan itu esok harinya. Jadi seharian penuh, di hari yang ditentukan, aku sibuk sekali mengecek notif HP, siapa tahu ada pesan dari Blabla. Tetapi dia tidak juga memberi kabar. Aku jadi tahu, begini rasanya menunggu yang benar-benar menunggu. Cukup menguras pikiran.
Besoknya, baru dia mengatakan aku ditunggu papanya jam 8 di hari berikutnya.
Hari berikutnya itu adalah hari ini. Sebelumnya Blabla memberitahuku untuk menelfon jika sudah sampai di rumahnya karena mungkin saja dia masih tidur. Jadi jam 8 tepat, begitu aku sampai di depan rumah, aku langsung menelfonnya. Tapi Wanya off dan nomor Blabla yang tersimpan di Hpku adalah nomor Singapura. Jadi terlfonku tidak bisa masuk. Aku tanya ke supir papanya yang sedang membersihkan mobil di garasi depan, katanya Bapak (panggilanku untuk papanya Blabla) mungkin masih istirahat.
Ah, begini amat. Batinku. Sudah tahu ada yang mau datang kenapa Blabla tidak mengusahakan terjaga dulu - paling tidak sampai jam 8.
Setelah mendapatkan nomor +62nya Blabla dari seorang teman, aku menelfon lagi. Alhamdulillah diangkat. Di telefon, suara Blabla terdengar baru bangun tidur.
Tidak lama setelah menutup telfon, Blabla muncul dari dalam rumah, membukan pintu pagar dengan wajah masih kusut, rambut acak-acakan, kaos putih dan mengenakan sarung yang hanya diselampirkan sembarangan. Dia ini ga ada niat tampil sedikit lebih baik di depanku ya? Aku bukan orang dekatnya, seharusnya ia merasa perlu untuk menjaga image. Ya tapi memang begitulah Blabla. Dan itu satu penguatan agar aku melepaskan Blabla, karena dengan dia tampil sebegitu rembesnya di depanku, itu berarti aku bukan orang yang penting bagi Blabla, sehingga ia tidak perlu repot tampil stunning.
Begitu Blabla mempertemukanku dengan papa dan mamanya, ia langsung kembali ke kamar. Ah baiklah terserah. Aku hanya 1 jam di sana. Membicarakan sesuatu yang harus aku tulis, tapi ini tidak ada kaitannya dengan buku biografi. Ini tulisan yang lain.
Setelah percakapan tentang tulisan selesai, Bapak bertanya sesuatu yang bagiku sedikit tidak lazim,
“kenapa ya Us, Blabla kok gamau lanjut studi?”
Maksudnya studi S2.
“Kenapa Blabla itu kuliah di Singapura ga punya buku sama sekali?”
Aku juga kaget ditanya seperti itu. Mana mungkin aku tahu alasannya Blabla tidak mau S2, karena Blabla juga jarang membagi kisah pribadinya denganku. Hubunganku dengan Blabla sebatas hubungan menulis buku. Meskipun aku berharap lebih :D. Tapi hubunganku memang sebatas itu. Aku yang terlalu formal dan prosedural ini sulit membuka jalan untuk lebih dekat dengan Blabla. Kalau soal tidak punya buku, aku menjawab mungkin Blabla belajar dari softfile buku di PDF.
Semoga jawabanku membantu. Di tengah diskusi, Bapak mengatakan bahwa Blabla pernah bilang, dia akan lanjut S2 kalau ada sesuatu yang dipelajari.
Anak ini, batinku. Ada banyak sekali hal yang perlu dipelajari di luar sana. Kenapa dia bilang begitu. Belajar memang tidak harus dari bangku sekolah. Tetapi kita juga tidak bisa memungkiri bahwa lingkungan seperti sekolah adalah lingkungan yang baik untuk memantapkan teori dan sedikit praktik tentang kehidupan. Praktik sungguhannya menyusul.
Aku tidak tahu jalan pikiran Blabla. Benar-benar tidak tahu.
Dan Bapak mengatakan itu kepadaku.. apa Beliau biasa berkata begitu kepada semua orang, atau Beliau hanya mengatakan itu kepada beberapa orang yang dianggap dekat dengan Blabla?
Lagi-lagi aku tidak tahu.
Yang jelas, dengan siapapun kelak Blabla bersanding, semoga ia bisa menemukan kebahagiaan dan ketentramannya. Ke manapun ia memutuskan untuk berjalan, semoga kemudahan dan keberkahan senantiasa menyertainya.




0 comments:

Post a Comment