Mari merenungkan lagi penciptaan kita di semesta ini.
Bagaimanapun, aku merasa begitu luar biasa karena lahir sebagai manusia. Berakal. Berperasaan. Menjadi umat dari Rasulullah.
Dalam perjalanan ke tempat ini,
Aku melihat sawah yang menghijau. Langit yang mendung. Merasakan Angin yang berhembus pelan. Lalu terpikir sesuatu yang rasanya luar biasa. Di semesta raya yang Maha luas ini, ada sebuah ciptaan bernama bumi. Di dalamnya hidup manusia dan berbagai makhluk lain. Jika bumi teramat kecil dibanding matahari, lalu manusia menjadi teramat amat amat kecil.
Luar biasa aku bisa menjadi bagian dari semesta ini. Menjadi sebuah titik yang mungkin sama sekali tidak terlihat dari angkasa sana, tetapi memiliki keistimewaan karena memiliki kesempatan menjadi kholifatullah fil ardli.
Aku sangat ingin tahu, apakah di luar sana, di semesta yang gelap dan terang karena ada dan tiadanya cahaya, adakah kehidupan makhluk lain? Yang berpikir dan bergerak seperti manusia? Rasa-rasanya dunia ini terlalu luas jika hanya dihuni oleh manusia sebanyak bumi. Meski beranak-pinak, menurutku jumlahnya tetap tak seberapa dibanding banyaknya benda langit di luar sana.
Berpikir begini membuatku merasa lucu bahwa terkadang manusia seperti aku ini mudah sekali merasa sombong. Hanya karena paras, harta benda, prestasi. Kesombongan manusia benar* sederhana padahal ia begitu kecil.
Sekaligus itu membuatku takut, aku yang manusia ini mudah sekali merasa sombong, sementara azazil yang dari api saja dinash menjadi penghuni neraka karena kesombongannya, apalagi yang hanya manusia begini.
Tetapi, jika melihat lebih jauh lagi, sebenarnya setiap penciptaan dan proses tidak pernah luput dari kehendak Allah. Sebagai awam aku berpikir bahwa tugas manusialah untuk berusaha menjadi insan kamil. Berlaku sebaik-baiknya. Menjaga hati sebersih*nya. Tetapi sebenarnya memang, kemutlakan tidak pernah ada di bumi ini. Paling tidak begitu menurutku. Manusia terbaik seperti rasulullah masih memiliki pembenci. Manusia terburuk seperti Fir'aun masih memiliki pengikut. Itu artinya baik dan buruk sifatnya relatif saja. Terlepas dari apakah yang mengikuti Rasulullah menggunakan dasar cinta dan pengikut Firaun menggunakan dasar takut, tapi tetap saja.
Bumi memang diciptakan lengkap dengan dilema. Barangkali itu kenapa manusia selalu dilema. Hampir tidak ada sesuatupun yang datang kepada kita tanpa melewati masa-masa didilemakan. Jadi sejak menyadari itu, kurasa dilema bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Asal ia tidak berlarut*.
Suatu ketika aku mendapati Yai Marzuki dalam sebuah pengajian. Beliau mengatakan bahwa Beliau tidak berani menyalahkan keturunan Muawiyah yang sudah jelas-jelas membunuh Dzurriyah Rasul. Sepertinya aku mengerti itu.
Sebagai manusia dan ummat rasulullah, sudah barang tentu perbuatan tercela itu tidak kami senangi. Sangat dikecam. Tetapi sekali lagi, jika melihatnya sedikit lebih dalam, itu memang sudah ketetapan Allah.
Semasa hidup, Rasulullah tahu bahwa kedua cucunya akan meninggal dengan cara yang menyedihkan. Bahwa sayyid Hasan diracun dan sayyid Husein dipenggal. Rasul orang yang mulia dan Beliau bisa saja berdoa dan memohon agar peristiwa yang sedemikian kejam tidak terjadi. Tetapi ternyata tidak demikian. Tentu Allah dan rasulNya lebih tahu.
Dan dari situ aku mencoba memahami takdir. Ada sesuatu yang telah diatur. Manusia tetal berusaha semampunya dan selebihnya adalah wewenang Allah.
Mungkin memang, begitulah peran Muawiyah. Kurang lebih sama seperti peran iblis yang menjadi musabab turunnya nabi Adam ke bumi. Bukan berarti membenarkan tindakan kejinya, tentu tetap membencinya, tetapi tidak berani sepenuhnya menyalahkan.
Barangkali begitulah pertimbangan Abah Yai.
Oleh karena yang demikian, sampai saat ini aku tidak berani benar* menyalahkan. Setiao sesuatu pasti terjadi karena sebuah alasan.
Jadi aku mencoba mengosongkan hati dari setiap kebencian. Mencoba memenuhinya dengan cinta, meski kadang terasa sangat sulit. Sulit untuk tidak membenci sesuatu yang terjadi di luar kehendak. Sulit untuk tidak bersedih ketika ada sessuatu yang hilang. Sulit untuk benar* berpasrah kepada Allah sementara hati ini masih condong kepada dunia. Sulit juga untuk istiqomah berpikiran dan berperilaku baik. Tapi sebisa mungkin diusahakan.
Kadang ambisi, pandangan subjektif, dan segala hal yang nampaknya menggiurkan sangat membelenggu. Seperti aku yang mencintai seseorang dan menciptakan pandangan dalam ilusiku, seperti itulah aku lupa bahwa bisa jadi apa yang aku sukai tidak baik untukku dan apa yang tidak aku sukai bisa jadi adalah yang terbaik. Ah manusia memang tidak banyak tahu, hanya Allah yang Maha Tahu.
Jadi pelan-pelan aku belajar ikhlas dengan setiap proses. Mencoba mengambil hikmah dari setiap titik yang ditempuh.
Laa haula wa laa quwwata illa billah.
0 comments:
Post a Comment