Meramu

MERDABA ~ Meramu Damai Bersama

SASTRA

Goresan Tinta Cerpen dan Puisi

BOOK CORNER

Temukan Rekomendasi dan Review Buku dari Meramu.com

SEPUTAR ISLAM

Artikel Seputar Islam.

Biology Corner

Belajar Biologi Bersama

Lemme Give The Heart a Space


Few days back, I have a short conversation with my roommate. She is my friend in work and is two years younger than me. We actually just met 5 months ago. But we are close enough.

Bahagia itu Diciptakan, Bukan Dicari.


Satu kata yang sangat didambakan semua orang adalah bahagia. Entah siapapun dari titik manapun di bumi, setiap hati pasti ingin bahagia. Dan bahagia sesungguhnya adalah pekerjaan mudah, sekaligus sulit.

JARAK


Sebenar-benarnya jarak bukan pada hitungan angka
Tetapi pada sesuatu yang tidak bisa kita ungkapkan dengan kata.

NALA NAILA



Terkadang kita memang perlu berkepompong.
Bersembunyi sementara waktu untuk menjelma menjadi putri yang jelita parasnya.
Atau sekedar memikirkan kembali sesuatu yang bisa jadi kita telah buta karena
sepihaknya asas kebenaran.

Pertengahan September yang basah. Hujan setiap saat mencumbu bumi. Hanya
sekali waktu ia sirna. Pada petang menjelang maghrib misalnya, atau pada petang
menjelang pagi.

Begitupun saat ini, ia datang seperti tanpa ada niatan untuk pergi.
Ia menyeruakkan bau ampo masuk ke rongga nasal gadis berjilbab biru muda,
yang tengah berbaring di ranjang sebuah kamar rumah sakit. Selang infus dan oksigen
menjulur di sekitar tubuhnya. Seorang perempuan paruh baya duduk disebelahnya.
Membacakan surat Yaasiin yang katanya bisa menjadi wasilah untuk menyembuhkan
atau justru mempercepat kematian. Bergantung pada takdir.
“Nduk, Umi ikhlas. Umi ikhlas. Sungguh“ ia menitikkan air mata.


Agustus 2102

Kantor sepetak itu riuh oleh muda-mudi yang tengah mempersiapkan acara
tahlilan rutinan. Mereka menyebut dirinya aktivis Bintara. Terinspirasi dari sejarah
Walisongo yang dulu sering berkumpul di Demak Bintoro. Kegiatan rutin mereka
adalah menggelar rumah baca, menyuarakan (kembali) perdamaian, dan Bhakti Sosial
di kampung-kampung miskin yang keadaannya lebih memprihatinkan dibanding
kampung miskin abad 21.

Abad 22 seharusnya merupakan abad kejayaan dimana teknologi berkembang
semakin pesat. Kendaraan jalur udara, -bukan pesawat-, sudah umum dipakai.
Telepon genggam bermetamorfosa menjadi tombol kecil di tangan yang ketika
dipencet akan mengeluarkan semacam layar transparan non-permanen. Makanan juga
sudah beralih fungsi sebagai sumber energi saja, berbentuk pil kecil yang cukup

dikonsumsi sekali sehari, sebagai solusi semakin sempitnya lahan pertanian
dikarenakan membludaknya populasi manusia.
Tetapi itu diluar negeri. Berbeda lagi dengan tempat tinggal para aktivis
Bintara. Mereka hidup di negara yang sejak 50 tahun lalu telah berubah menjadi
daerah mencekam. Sewaktu-waktu bom dapat mendarat di depan rumah, di pasar,
atau bahkan di tempat para anak-anak belajar. Itu sudah rahasia publik.

PBB sudah lepas tangan dari negara para aktivis itu. Tersebab telah berbagai
cara dilakukan tetapi tak juga membuahkan hasil. Sebelumnya, negara mereka adalah
negara yang penuh cinta. Dimana perbedaan suku, budaya, dan agama disatukan oleh
toleransi menjadi sebuah harmoni yang indah. Masyarakatnya dapat dengan tenang
beribadah dan bertetangga baik meski memiliki banyak perbedaan.

Begitulah, mereka adalah leluhur yang santun perangainya dan besar toleransi serta pengetahuannya.
Hingga entah sejak kapan, sekelompok orang puritan muncul untuk menghilangkan
kemajemukan itu dengan dalih jihad.

Bagi mereka, halal saja mengafirkan saudara seiman yang tidak sepemikiran.
Terlebih saudara yang tak seiman, akan dikunyah hingga lumat. Jika yang tak sejalan
berbuat salah, maka ia akan dihina karena kesalahannya itu. Jika yang tak sejalan
berbuat benar, maka akan dipelintir sedemikian rupa untuk menimbulkan kesan
bahwa yang tak sejalan tetaplah salah.

Karena mereka begitu anti-mainstream dan mempromosikan diri besar-besaran
sebagai kelompok paling benar, maka banyak orang mengikuti. Ternyata masyarakat
setengah abad lalu begitu butuh sesuatu yang berbeda dan mudah manut tanpa
berpikir panjang. Mereka sangat terpesona dengan surga yang ditawarkan oleh kaum
puritan tanpa tahu arti surga itu sendiri. Mereka merasa seakan-akan sangat mengenal
Tuhan tanpa mengenal sifat-sifat Tuhan itu sendiri.

Kondisi masa itu begitu tidak stabil hingga pada gilirannya kelompok puritan
berhasil merebut sebagian besar hati masyarakat negara para aktivis Bintara. Mereka
selanjutnya bermakar dan berhasil merobohkan pemerintahan lama dan mendirikan
pemerintahan baru yang di idam-idamkan. Jadilah mereka berkuasa. Walhasil, yang
tak sejalan itu kemudian dimarginalkan habis-habisan. Menjadi buronan di negara

sendiri. Kericuhan dan pemberontakan terjadi dimana-mana. Itulah mengapa mereka
yang tak sejalan itu dapat kapan saja menjumpai bom dan meregang nyawa. Kondisi
demikian yang kemudian melahirkan para aktivis Bintara.

“Mereka hanya tidak siap berbeda“ Nala mengencangkan tali sepatunya.
Bergegas pergi meninggalkan kantor sepetak.
Zahid yang duduk di depan ruangan menimpali “ketidaksiapan mereka
sangatlah fatal Nal. Merebut hak asasi orang“

“Hak asasi?“ Nala tertawa, nyinyir. Ia kemudian memejamkan mata. Membatin.
Seandainya rumus hak asasi benar-benar efektif, maka Zahid tidak perlu menderita
karena bom yang ngawur jatuhnya itu. Pemuda yang katinya kafir itu kehilangan
salah satu kakinya beberapa tahun silam. Kau taulah kenapa. Masih untung yang
hilang hanya kaki, bukan nyawa.

“Negeri ini terlalu sibuk berdrama Hid. Kau tenang saja, para aktivis Bintara
akan terus berjuang menyuarakan perdamaian yang telah lama hilang. Tak lama lagi
Hid, hak yang telah dirampas akan dikembalikan. Politik kekuasaan atas nama agama
pasti akan dapat ditumbangkan“ Nala tersenyum, meyakinkan hatinya yang
sebenarnya meragu.

“Yang penting sekarang izin kegiatannya diurus dulu. Mainkan ilmu mantiqmu
biar mereka tidak menganggap Tahlilan sebagai perbuatan tahayyul, syirik, dan
khurafat. Kalau kau keplintir, bisa-bisa kita dianggap musyrik lalu
dibumihanguskan.“

Nala mengacungkan jempol lantas pergi. Meski sudah rutin, setiap kali
pengadaan tahlilan, aktivis Bintara haruslah mendapatkan izin tertulis. Pokoknya
setiap kegiatan sekecil apapun harus ada izin.

Pada hari yang telah direncanakan, para aktivis Bintara berkumpul di kantor
sepetak. Membaca tahlil, tahmid, dan bacaan-bacaan khas Arab lainnya. Mereka
khusu`. Sedang di luar kantor, beberapa orang yang tidak seiman bergerombol, bukan untuk menyerang, tetapi untuk jaga-jaga jika mendadak ada kondisi yang tidak
diharapkan.

Bagi aktivis Bintara dan orang-orang tidak seiman yang sekarang menjadi
minoritas itu, saling menjaga dan bertoleransi merupakan hal lumrah. Mereka tengah
sama-sama dimarginalkan dari kekuasaan dan ketenangan. Sama-sama hidup sebagai
orang kiri. Juga sama-sama melihat wajah Tuhan dari kesengsaraan, penindasan, dan
ketidakadilan. Merekalah yang justru menerapkan prinsip kasih sayang Tuhan, entah
Tuhan Allah, Alah, Yahweh, atau siapapun itu. Prinsip kasih sayang yang kemudian
menjelma ke berbagai aspek, termasuk perdamaian dan lembutnya perangai.

Aktivis Bintara masih khusu` melafalkan kata-kata suci ketika tiba-tiba
segerombolan keamanan datang dengan mengumandangkan takbir,
“Kemusyrikan harus disingkirkan. Orang musyrik sama saja artinya dengan
orang kafir. Tidak berhak berada di negara suci ini. Tanah kita bukan untuk dihuni
oleh orang kafir. Budaya-budaya khurafat harus dihentikan.“ nada-nada serupa
terdengar semakin mendekat.

Orang tak seiman segera masuk kedalam dan memberi kabar. Aktivis-aktivis itu
hanya bisa pasrah. Mereka tahu pasti apa yang akan terjadi.
“Kita orang kafir. Kita kafir. Kata mereka kita telah menyekutukan Tuhan dan
berbuat dholim. Surga hanya milik mereka“ Nala berucap lirih, matanya berkaca-
kaca, kentara sekali menahan tangis. Sedang aktivis lainnya memilih untuk tetap
khusu` dan orang tak seiman sudah siap dengan segala resiko.

Tak lama berselang, yang dikhawatirkan dan sudah diketahui akan terjadi,
terjadi juga. Itu pulalah yang membuat Nala, si gadis berkerudung biru muda itu
sekarang terbaring cantik di rumah sakit. Tak sadarkan diri.

“Nduk, Umi ikhlas. Umi ikhlas.“ peremuan paruh baya itu berucap lagi.
Dikecupnya kening sang putri dengan segenap cinta, yang mungkin atas cintanya itu
sang putri perlahan-lahan membuka matanya, tersenyum dan bergumam, “Umi“.
Melihatnya, sang Umi bahagia bukan main, “Alhamdulillah. Nduk, Nala, kamu
sudah bangun“ ucapnya.

“Umi, tuntun aku“ Nala terbata-bata berucap dengan suara yang tetap lirih.
Perempuan paruh baya itu berubah seketika wajahnya, ia teringat bahwa sesaat lalu ia
bilang telah ikhlas. Maka dengan hati yang entah bagaimana, ia pelan-pelan
membacakan kalimat syahadat dan tahlil di telinga putrinya.
Putri itu, Nala, meski dengan amat pelan dapat mengikutinya hingga kalimat
terakhir. Ia tersenyum melepas ruhnya. Ia yang dituduh kafir dan ahli khurofat telah
khusnul khotimah di akhir hayatnya. Menyusul sahabat-sahabat aktivis Bintaranya
yang telah lebih dulu meninggalkannya.
..
Langit masih sendu.
Di samping tanah kuburan yang belum kering sepenuhnya itu, seorang pemuda
dengan tongkat di salah satu tangannya tengah berdiri tertunduk. Seperti mengucap
sebuah doa. Atau mungkin menangis tanpa berair mata. Seorang perempuan paruh
baya mendekatinya dan berkata,
“Nak, bacalah ini setelah kau sampai di kantor Bintara. Itu catatan Nala“ Umi
menyerahkan selembar kertas lipatan kepada Zahid.
Pemuda itu mengangguk dan bergegas pamit undur diri. Sesampainya di
markas, ia segera membuka kertas itu, tulisan tangan Nala,

Zahid yang aku kasihi.
Betapa bersanding denganmu dalam sebuah pelaminan adalah salah satu
impianku. Aku bermimpi kita akan memiliki putra-putri yang cantik dan tampan,
riang dan pintar, dan untuk mereka sekarang kuperjuangkan sebuah kebebasan.
Zahid.
Dulu waktu aku masih 7 tahunan, Umi selalu bercerita kepadaku tentang negeri
kita pada zaman Umi kecil dulu. Katanya negeri kita adalah negeri yang damai dan
menerima perbedaan dengan sangat baik. Kurasa memang sudah seharusnya seperti
itu Hid, karena perbedaan adalah keniscayaan yang tidak seharunya dihilangkan.

Kau sepakat kan Hid? Seperti halnya ayam tidak perlu berusaha menjadi
burung hanya untuk bisa terbang tinggi, dan macan tidak perlu memaksa hewan
apapun untuk bisa berkulit bloreng seperti yang ia miliki?
Hid, Aku selalu merasa perbedaan itu indah.

Dan aku enggan memandang salah kepada sesuatu hal. Entah mengapa aku selalu percaya, selama kita adalah manusia, maka tidak satupun dari kita menjadi paling benar. Demikian sebaliknya, tidak
satupun menjadi selalu salah. Terlepas dari semua itu Hid. Aku sungguh berharap, cerita Umi yang bagiku hanya seperti dongeng itu bisa benar-benar terwujud.. Agar kau dan aku bisa
menjadi layaknya Bapak kita Adam dan Ibu kita Hawa. Agar anak-anak kita tak lahir
dalam kekalutan percobaan penyeragaman dan ketegangan sepanjang hari karena
ketidaksamaan.

Aku benar-benar harap usia kita cukup panjang untuk bisa sampai ke sana Hid.
Semoga.

PADA SUATU KETIKA




Tidak ada yang lebih aku sukai dibanding suasana syahdu sore hari di dekat masjid Jelag. Terlebih ketika Pak Kusnan – si takmir Masjid yang sudah setengah orang itu– memutarkan MP3 haji Mu’ammar. Rasa-rasanya aku ingin menghentikan waktu tepat di situ saja. Ada perasaan damai yang susah dijelaskan. Lantunan ayat suci, sapaan angin yang lembut menyentuh kulit, dan nuansa pergantian siang ke malam menciptakan suatu harmoni yang bagiku sempurna.
Demi menikmati harmoni itu, setiap pukul 16.00 aku tidak pernah alpa untuk berada di serambi masjid Jelag, bahkan jika harus sembunyi-sembunyi keluar pondok dengan meloncati pagar tembok yang tinggi dan mbolos Diniah.
“Ngaji bisa nanti-nanti, kalau sore hanya ada sekali sehari.“ batinku suatu ketika, dan aku kembali meloncati pagar yang tinggi, jalan berputar menghindari satpam untuk dapat sampai kepada pujaan hati.
Tetapi aku tidak setiap saat beruntung. Ketika nasibku kurang baik, satpam yang garang itu akan memergokiku dan membawaku ke kantor keamanan. Keesokan harinya, sudah dapat dipastikan rambutku yang indah itu lepas seluruhnya dari kepala. Para santriwati yang kebetulan berpapasan denganku akan berbisik-bisik,
“Lihat-lihat, Abdul digundul. Dia pasti habis mblancong lagi. Kok tidak ada kapok-kapoknya anak itu.“ lalu mereka akan berlalu sambil tertawa-tawa kecil.
“Rupa-rupanya aku sangat terkenal di kalangan wanita.“ ucapku berbangga diri, aku bergumam kepada diriku sendiri.
Terkadang juga aku sangat baik hati ingin berbagi kesyahduan harmoni yang sempurna itu dengan teman-temanku. Tetapi mereka tak terlalu berani mengambil resiko melawan peraturan. Mereka terlalu disibukkan dengan pertanyaan –bagaimana jika rambutku digundul? Ketampananku akan berkurang. Imejku di kalangan Hawa akan merosot–.
“Kalau ganteng ya tetap ganteng kuy“ aku tak lelah mengucapkan itu kepada mereka.
Pada suatu sore yang lain, di penghujung bulan Februari yang katanya penuh cinta, aku duduk manis di serambi kanan masjid Jelag. Seperti biasa aku menunggu pak Kusnan untuk datang. Ketika sosok yang rambutnya sudah sebagian beruban itu tiba, aku akan bergegas menyalaminya, mencium punggung tangannya dan berbasa-basi menawarkan bantuan, menyapu masjid misalnya, atau membersihkan mushaf-mushaf yang berdebu karena jarang disentuh manusia.
Dan selama aku melakukan rutinitas itu, pak Kusnan tidak pernah sungkan-sungkan untuk mengiyakan, padahal di dalam hati aku berharap Beliau akan menolak dengan halus.
Sampean istiqomah sekali berada di sini setiap sore, apa sampean tidak ada jadwal ngaji?“ Pak Kusnan bertanya padaku, suaranya serak dan berat, tidak seperti biasanya.
Aku hanya meringis, “Pak Kusnan pilek ya?“ timpalku sebagai jawabannya.
Biasanya aku akan tetap berada di masjid sampai selesai jamaah sholat maghrib. Setelahnya aku akan kembali ke pondok dan mengikuti kegiatan ngaji Quran. Dengan mengikuti kegiatan itu, aku jadi bisa meyakinkan diriku bahwa aku masih santri yang baik dengan hanya beberapa catatan takziran.
“Dul, tadi aku dapat amanat dari pengurus. Katanya kamu disuruh menghadap ke Abah setelah ngaji Quran.“ Muslimin berkata kepadaku. Dia adalah teman satu kamarku yang berasal dari Bojonegoro, santri yang patuh dan rajin, tidak pernah mendapatkan kartu merah. Kita berdua seperti butiran emas dan debu, dia butiran emasnya – yang berkilau dan dicari, sedangkan aku butiran debunya – yang sekedar remah-remah tak berarti.
“Habis ngaji? Sekarang dong Mus!“ aku bergegas meletakkan Mushafku di loker, lalu berlari menuju Ndalem, bagiku panggilan Abah Yai itu seperti panggilan presiden, yang darurat dan harus segera dipenuhi, “Eh Mus, kan Abah kalau jam segini biasanya ada jadwal pengajian di luar.“ aku berlari kembali ke kamar dengan nafas tersengal-sengal.
“Ndak tau Dul, tadi pengurus pesennya gitu. Coba saja ke Ndalem dulu.“
Mendengar jawaban Muslimin aku bergegas lari menuju Ndalem lagi, yang jaraknya hampir 1 km dari asramaku dan terletak di pondok putri. Dalam hati aku berpikir, apa pelanggaranku sudah terlalu berat sehingga Abah yang bahkan tidak tahu namaku sampai memanggilku.
Tak butuh waktu lama untuk bisa sampai ke Ndalem, dengan alasan yang aku berikan, keamanan juga tidak menghalangiku untuk keluar gerbang pondok putra.
Aku mulai merunduk-runduk, menunjukkan rasa ta’dhimku sekaligus mempraktikkan isi kitab Adabul ’alim wal muta’allim yang baru saja aku baca malam kemarin, ketika para santri lainnya tengah tertidur dengan pulas karena lelah mengaji dan sekolah seharian.
Belum sempat mengucapkan salam, suara Abah yang serak dan berwibawa sudah memanggilku terlebih dulu, irama jantungku menjadi semakin cepat,
Sampean Abdul? Ayo sini masuk.“
Nggih Bah.“ aku menganggukkan kepala satu kali. Lalu mendekat ke tempat Beliau duduk. Dengan posisi duduk tasyahud akhir, aku sekarang telah berada tepat di depan Abah, hanya di sela oleh toples-toples kaca berisi jajan yang sengaja disuguhkan untuk tamu-tamunya Abah.
Aku melirik sebentar ke arah lelaki yang sangat aku hormati itu. Wajahnya tenang dan sudah berkeriput di beberapa bagian. Dan entah mengapa, Abah seperti selalu memancarkan aura-aura syahdu seperti yang aku rasakan ketika berada di masjid Jelag waktu sore. Barangkali itu yang dinamakan kharisma.
Dalam kesibukanku termenung, Abah menyebut namaku lagi. Aku masih merunduk dan menyahut dengan redaksi kata yang tidak berubah. Aku sudah bersiap dengan segala kemungkinan buruk, bahkan jika tiba-tiba Abah mengeluarkanku dari Pesantren Darul Hikmah ini.
Sampean tahu kenapa dipanggil ke sini?“ tanya Abah.
Aku menggeleng, “Mboten Bah.“ jawabku sambil tetap merunduk, itu adalah jawaban paling aman menurutku.
“Pengurus mengeluhkan sikap sampean yang tidak pernah ngaji sore. Saya pikir, daripada memberitahu orangtua sampean dan membuat mereka resah, akan lebih baik jika Abah memberi hukuman lain.“ Abah bertutur pelan.
Jantungku sudah berdebar semakin kencang, rasa-rasanya mau copot, aku mendadak tidak siap jika harus tidak diakui santri lagi.
Nggih Bah.“ terus itu saja yang aku ucapkan, aku sudah pasrah.
“Abah sudah memutuskan untuk menghukum sampean dengan cara lain.“ Abah menatapku lekat-lekat, rasanya aku semakin kecil, tak sepatah katapun aku ucapkan, hanya tetap merunduk.
“Hukumanmu adalah ziyaroh wali songo.“ Abah melanjutkan dengan intonasi yang tegas tapi tak terkesan seperti marah, iya! Abah memang selalu ramah.
Aku bernafas lega. Ziyaroh wali songo bukan hal berat, batinku. Lagipula aku memang sangat suka mengunjungi makam para auliya’ dan melakoni apa yang para auliya’ itu senangi.
Nggih Bah“ aku mengiyakan dengan perasaan yang bungah.
“Tetapi sampean tidak boleh naik kendaraan apapun dalam perjalanan. Sampean hanya diperbolehkan jalan kaki. Mulai dari berangkat sampai kembali ke pondok ini.“ Abah menegaskan lagi, terlihat sesungging senyuman di wajah Beliau yang damai.
Aku terhentak mendengar penuturan Abah. Bagaimana bisa aku ziyaroh wali songo hanya dengan berjalan kaki. Aku harus berjalan ke timur untuk tiba di Sunan Ampel, lalu kembali lagi ke barat untuk sampai pada sunan gunung jati. Terlebih, mana mungkin aku meninggalkan Mbah Kholil Bangkalan. Aku juga harus menyambangi Beliau.
Untuk beberapa waktu, aku menjadi penuh pertimbangan dan tenggelam dengan pikiranku sendiri. Akan butuh berapa lama, dan yang paling penting akan seberapa lelahnya kakiku ini nanti. Namun dhawuh tetap dhawuh, aku tidak mungkin mengatakan tidak pada apa yang Abah katakan padaku. Dengan berat hati akhirnya aku mengiyakan.
Abah lantas tersenyum, Beliau menyuruhku meminum segelas air mineral yang disuguhkan di depanku.
“Baca Al Ikhlas dulu setelah bismillah.“ perintah Beliau.
Nggih Bah.“
***
Aku memulai perjalananku dengan mengunjungi Sunan Drajat yang tak jauh dari pondok. Untuk beberapa saat lamanya aku duduk di sekitar pesarean Beliau, membaca apa yang perlu aku baca. Karena Sunan Drajat selalu berwasiat wenehono, maka aku memasukkan beberapa uang koin ke dalam kotak infaq dan memberi pengemis-pengemis di sepanjang jalan pesarean koin sisanya.
Aku melanjutkan perjalanan menuju Gresik dengan berjalan kaki. Butuh beberapa hari untuk sampai ke pesarean Maulana Malik Ibrohim. Baru dua wali, tetapi aku sudah sangat lelah dan perbekalanku juga semakin menipis.
Setelah selesai dengan ritual berdoa di Sunan Gresik, aku melanjutkan perjalanan ke Sunan Ampel, ke Mbah Kholil, lalu ke Sunan Bonang. Di tengah jalan menuju Tuban, rasanya kakiku sudah mau patah saja. Aku hampir-hampir putus asa mengingat perjalananku masih sangat panjang. Di tengah keletihan yang mendera, aku duduk sebentar di pinggiran jalan Duduk Sampean. Orang-orang melihatku seperti gelandangan, yang tidur di emperan-emperan dan berjalan dengan menjinjing tas ransel hitam lusuh.
Karena sudah sangat lelah, aku membulatkan niat untuk menumpang truk yang akan lewat. Anak-anak punk biasa melakukan itu, jadi supir truk dan kernetnya pasti tak keberatan jika aku menumpang juga. Lagipula Abah tidak melihatku. Beliau tidak akan tahu jika ternyata aku naik truk, aku senyum-senyum sendiri. Puas dengan keputusanku.
Tak berapa lama, sebuah truk pengangkut mobil lewat. Aku menghadangnya agar si supir truk menghentikan lajunya,
“Mohon maaf Pak, boleh saya menumpang ke Tuban? Perbekalan saya habis dan saya tidak tahu harus melanjutkan perjalanan dengan cara apa.“ aku berkata sesopan mungkin kepada kondektur truk. Tanpa berbicara apapun, kondektur truk itu tiba-tiba memukuliku dengan membabi buta. Aku hanya diam tak berkutik. Tidak berani membalas.
Setelah cukup dengan pukulannya, kondektur truk itu naik kembali dan melanjutkan perjalanannya. Sementara aku masih berada di pinggiran jalan, dengan beberapa luka lebam di wajah dan tangan. Pipi kananku terasa ngilu dan sepertinya kelopak mata sebelah kiriku membiru.
“Ah sial sekali.“ aku menggerutu. Dalam kepayahan yang aku alami, aku mendadak teringat pesan Abah,
Sampean tidak boleh naik kendaraan apapun. sampean hanya diperbolehkan jalan kaki.“ suara serak Beliau terngiang-ngiang di telingaku.
Sadar akan kesalahanku, aku segera melanjutkan perjalanan dengan luka-luka yang ada. Aku insyaf dan menyesali kelalailanku.
“Bismillah.“ aku menguatkan tekad.
Satu minggu berikutnya aku sudah sampai di Tuban. Setelah mengunjungi Sunan Asmoroqondi, aku bergegas menuju Sunan Bonang. Di pesarean yang terletak di belakang masjid Agung pas itu, aku menyempatkan diri untuk mandi di toilet umum, minum air dari genuk sambil ngalap barokah, dan duduk-duduk sebentar di alun-alun kota yang ramai pengunjung.
Aku benar-benar tergiur untuk membeli siwalan yang dijual oleh pedagang-pedagang di sekitar makam, tetapi jika aku membeli itu, uangku akan cepat habis. Jadi aku hanya menelan ludah. Bersabar dulu.
Setelah cukup beristirahat, aku melanjutkan perjalanan ke Jawa Tengah. Mengunjungi beberapa makam auliya’ yang dulunya dikenal sebagai bumi mataram itu.
***
Sudah lebih dari satu setengah bulan aku berjalan kaki. Jangan tanyakan betapa lelahnya. Karena uangku yang benar-benar sudah nol rupiah, aku bahkan hanya minum air untuk beberapa hari dan makan makanan berkat di masjid-masjid ketika kebetulan ada hajatan.
Sebagai penutup ziyaroh, aku mengunjungi Sunan Gunung Jati di Cirebon. Seperti biasa aku membacakan doa-doa yang terkumpul dalam tahlilan, berwasilah kepada rasul dan sahabat-sahabatnya, serta berkirim fatihah kepada keluargaku yang sudah beberapa meninggal dunia.
Aku tidak lupa untuk meminum air di genuk yang disediakan dan mengemasnya sebagian di botol air mineral untuk bekal. Abah pernah bilang, kalau molekul air itu adalah zat pengikat yang kuat. Nah kalau banyak orang berdoa di sekitar tempat air itu, pastilah air yang sekarang aku minum akan mengandung banyak energi positif yang telah diserap dari doa orang-orang.
Merasa selesai dengan ritualku, aku kembali berjalan kaki menuju Lamongan. Sebelum berjalan cukup jauh, sudah terbayang olehku betapa lelahnya perjalanan yang akan aku lakukan nanti. Pada tahapan ini, aku sudah bosan dengan suara kendaraan yang berlalu lalang dan udara kotor di tepian jalan. Aku juga sudah lelah tidur di emperan toko dan kelaparan dengan hanya meminum air saja. Tetapi tak mengapa. Demi menuntaskan amanah Abah. Begitu tekadku dalam hati.
Aku terus berjalan dan berjalan. Melewati kota-kota yang saat ini terasa lebih akrab bagiku. Mengabaikan pandangan orang-orang yang melihatku dengan tatapan aneh. Tetapi seberapapun tangguhnya aku, kakiku kali ini benar-benar terasa mau patah dan tenagaku sudah semakin mendekati titik nol.
Sesampainya di Rembang, kelelahanku sudah semakin memuncak. Aku tidak kuat berjalan lagi. Akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat lebih lama. Aku duduk-duduk, tiduran di ruang hijau terbuka yang diperuntukkan bagi pengunjung, dan melihat-lihat langit yang tetap saja berwarna abu-abu dari aku kecil sampai umurku 18 tahun sekarang ini.
Karena tenagaku benar-benar telah terkuras habis, aku memutuskan untuk naik bis menuju Lamongan. Kali ini aku tidak berniat untuk membohongi Abah lagi, aku hanya berpikir bahwa tugasku untuk ziyaroh sudah selesai jadi tidak akan masalah jika sekarang aku naik bis.
Setelah niatku benar-benar bulat, aku kemudian berjalan ke arah halte bis. Aku menunggu bis jurusan Bungurasih lewat. Tak berapa lama yang kutunggu-tunggu datang juga.
Sebelum naik, aku mengatakan kepada kondektur,
“Mohon maaf sebelumnya Pak, saya benar-benar tidak punya uang. Tetapi saya sangat berharap Bapak akan memberi saya tumpangan sampai ke Lamongan.“ aku berbicara dengan lebih halus dan hati-hati mengingat pengalaman pahitku berminggu-minggu sebelumnya..
Kondektur itu tersenyum, tanpa mengatakan apapun beliau meraih tangan kananku, seperti mau dituntun untuk naik. Tetapi prediksiku ternyata salah. Beliau langsung menarikku dan memukuliku tanpa ampun. Aku benar-benar merasa kesakitan tetapi tak memiliki daya apapun. Aku mengutuk kesal para penumpang yang tidak turun untuk menolongku, tetapi apalah daya, kutukanku tak bermakna.
Setelahnya, kondektur itu naik kembali ke bis dan berlalu bersama bis dan seluruh penumpangnya. Meninggalkan aku seorang diri di pinggir jalan. Lagi-lagi tubuhku dipenuhi lebam. Aku duduk termenung di pinggir jalan. Sepintas kemudian, dhawuh Abah 3 bulan yang lalu terngiang kembali di telingaku,
Sampean tidak boleh naik kendaraan apapun. sampean hanya diperbolehkan jalan kaki. Mulai dari berangkat sampai kembali ke pondok ini.“ suara serak Beliau terdengar samar-samar meneduhkan.
Aku menangis tersedu-sedu mengingat itu. Mungkin ini memang balasan yang tepat karena aku tidak melakukan dhawuh Abah dengan benar.
Setelah cukup menyesal dan merasa lebih baik, aku kembali berjalan sampai akhirnya tiba di pondok kembali. Ada rasa bahagia yang tidak bisa kujelaskan. Ada rasa puas yang tidak bisa kau bayangkan, dan yang terpenting aku sudah menjalani hukumanku dengan baik tanpa kurang suatu apapun kecuali tubuh yang masih terasa ngilu di beberapa bagian.
***
Tanpa  berpikir untuk istitrahat terlebih dahulu, aku langsung bergegas menuju ndalem. Aku lihat beberapa santri putri sedang ro`an membersihkan halaman ndalem dan satpam-satpam yang berpakaian hitam sedang menjaga pos pintu gerbang. Aku juga bisa mendengar suara santri-santri yang sedang lalaran alfiyah di gedung lantai 2 depan ndalem.
“Ah syahdunya. Biasanya di jam-jam ini aku selalu berada di Masjid Jelag“ aku bergumam pelan. Entah kenapa aku begitu rindu pondok ini, suara gaduh santri-santrinya, dan juga wajah galak keamanannya.
Aku berjalan merunduk-runduk masuk ke ndalem.
“Tunggu sebentar, saya panggilkan Abah.“ ucap Mbak Fathonah, si mbak –Abdi Ndalem–.
Ku mengangguk, mengiyakan. Jeda beberapa menit, Abah keluar dari ruang tengah menuju ruang tamu, mengenakan sarung putih kotak-kotak dan baju koko hijau, setelan yang sering Beliau gunakan ketika ngaji Ihya` Jumat pagi.
Aku bergegas mendekat ke arah Abah, menyalami Beliau dengan sepenuh hati, mencium punggung tangan kanannya berlama-lama, dan meneteskan air mata yang sudah tidak dapat kubendung.
Abah diam saja untuk beberapa saat,
“Bagaimana perjalananmu?“ Abah bertutur pelan. Aku mengusaikan salamanku dan duduk dengan posisi tasyahud akhir tak jauh dari Abah.
“Saya belajar banyak hal Bah. Dan saya sangat rindu pondok ini karena sudah 3 bulan tidak berada di sini.“ jawabku santun, aku ingin menceritakan detail cerita perjalananku tetapi rasanya tidak sopan, jadi aku menahannya.
“Tiga bulan?“ Abah menatap ke arahku, sambil tersenyum teduh.
Nggih Bah“ aku mengangguk satu kali.
Abah mendadak tertawa pelan, “Tiga bulan bagaimana toh Dul Dul. Sampean itu berangkat kemarin malam, dan sekarang sudah di sini. Itu artinya Cuma sehari, bahkan tidak sampai 24 jam“ Abah menepuk bahuku.
Aku menjadi bingung sendiri. Aku yakin sudah 3 bulan aku melalang-buana mengelilingi pulau Jawa, tetapi kenapa Abah berkata demikian. Apa Beliau sudah pikun? Ah tidak mungkin. Aku segera menepis anggapan itu.
Dalam kebingungan yang menyelimuti, aku berpamitan kepada Abah untuk kembali ke asrama. Sesampainya di kamar, aku melihat Muslimin sedang muroja’ah hafalannya. Aku segera memeluk bujang Bojonegoro itu, ku katakan aku rindu karena sudah 3 bulan tidak bertemu.
“Kamu ini apa-apaan sih Dul. Rindu. Rindu. Baru juga sehari ga ketemu, kok sudah bilang rindu. Kamu sehat kan? Ga kena dari mana mana?“ Muslimin menempelkan punggung tangan kanannya ke dahiku.
“Tidak panas.“ sambungnya lagi.
Aku hanya meringis dan menjadi semakin bingung. Akhirnya aku memutuskan untuk melihat kalender dan bertanya ke beberapa kawan lainnya, dan ternyata ini memang masih tanggal 1 Maret 2017. Entahlah.

SELEPAS PURNAMA




Kenapa justru namaku adalah nama dari seorang ibu yang melahirkan anak-anak pembawa malapetaka bagi dunia? Apakah bapak ibuku memang bermaksud menjadikan aku sebagai rahim bagi kekacauan di semesta? Atau justru mereka sengaja menjadikan aku ibu dari nestapa, sebagaimana Gandhari adalah ibu yang dengan hati entah bagaimana menguburkan keseratus anaknya. Ucap Gandhari pada suatu senja.

SAMPAI HABIS CERUTU



(1)
Aku masih ingat kau duduk di kursi goyang.
Menghabiskan cerutu sepanjang petang.
Membuat kamar sempit itu gamang
“Maling itu naik pangkat, hanya dengan menjaga anak sungai ia naik pangkat
 Kau terkekeh dan bau cerutumu semakin mencekat --