FROM BAJULMATI WITH LOVE




Hamparan laut selatan tersuguh di depan mata. Panorama yang sempurna. Ditambah deret pegunungan yang berjejal beberapa meter di muka pantai. Pemandangan menjadi tak terperi cantiknya. Dua setengah jam perjalanan dengan truk terbayar sudah. Tak ada lelah yang bersisa di hati. Bahkan mual akibat mabuk daratkupun telah pergi.
Truk terus melesat. Menyibak keindahan jajaran pantai kabupaten Malang. Sepanjang jalan aku hanya dapat bertasbih. Mengagumi indahnya ciptaan Sang Maha Esa. Sungguh, nikmat tuhan manakah yang engkau dustakan? Alam ini sangat luar biasa.
Kualihkan pandang pada kawan seperjuangan. Beberapa menit sebelum sekarang, mereka adalah orang-orang memprihatinkan. Tak terkecuali juga aku. Bak cacing kepanasan, menggeliat sana-sini. Tersengat terik matahari. Mual dan pusing karena bau solar truk. Tetapi sekarang wajah-wajah lelah itu telah terganti dengan rasa takjub yang sama, seperti yang aku rasakan.
Di sudut belakang truk, Mas Ridho tengah asyik bermesraan dengan DSLRnya. Jepret sana-sini. Sibuk mengabadikan waktu. Takut jika momen seperti ini tak terulang untuk kedua kali.
Hai kalian, Selamat menjadi keluarga baru, kita akan menjadi tim tangguh tak tergoyahkan. Kukuhku dalam hati. Bibirku terkembang. Menebar senyum paling ikhlas. Meyakinkan alam bahwa mulai dari sekarang mereka adalah saudara. Saudara yang tak di ikat oleh darah.
Arakan burung kuntul membuyarkan lamunanku. Mereka berbondong-bondong menjemput lembayung senja yang tengah bertahta. Mengantarkan siang pada peristirahatannya. Tak lama, suara adzan sayup terdengar. Beberapa dari kami segera mengakhiri puasa tarwiyah dengan segelas air mineral dan sebungkus nasi bekal dari Malang. Lauknya tahu tempe saja. Sederhana. tapi jangan tanyakan betapa nikmatnya.
Aku masih menikmati senja di rantau ketika gelap seutuhnya merebah. Tak hanya sinar mataharinya yang redam. Tetapi juga cahaya lampunya. Pendaran rembulan menjadi satu-satunya penerang. Abailah aku dengan wajah bulan yang jerawatan. Selama ia memberikan penerangan, maka bagaimanapun rupanya tak kan jadi masalah.
Ya begini Mbak Mas, Bajulmati kalau malam memang sering mati lampu. Gak pisan pindo tok. Kalau sudah gini ya gelap semua. Tapi sing penting atine lak ora melok-melok peteng toh. Pak Marsudi, -takmir masjid Al Ikhlas- terkekeh. Beliau sederhana, sesederhana bangunan masjid yang hanya berdiri satu lantai. Ukurannya kutaksir 7x8 m2. Dan ketika adzan dikumandangkan, jamaah sholatnya masih dapat dihitung jari.
Tentu saja kecuali hari ini. Sekarang, ditengah mati lampu, masjid tengah ramai oleh bocah-bocah SD. Mereka adalah peserta Idul Adha Camp (IAC). Kau tahu apa itu? IAC adalah kegiatan tahunan untuk menyambut hari raya idul adha di Bajulmati. Khusus diadakan oleh LPKM dalam serangkaian acara bhakti sosial. Disini kau dapat berbagi hati dengan pemilik tanah gersang yang haus akan tetesan air kasih sayang.
Aku tersenyum kecil. Bahagia dapat menjadi bagian dari anak-anak ini.
Aku tersenyum. Sekali lagi. Sejenak membulatkan niat. Bahwa untuk  menemani merekalah sekarang aku berada disini.
_____
Aku dan beberapa teman LPKM telah melalui pagi dengan membantu anak-anak peserta camp memasak nasi menggunakan tungku. Tungku? Amazing. Bahkan dirumahpun aku tak pernah menggunakan tungku. Lalu sekarang, aku harus berjuang menyalakan api menggunakan kayu-kayu kering dan bergumul dengan asap.
Sore hari, kami berpindah medan ke pesisir pantai. Bertolak dari pemukiman menggunakan truknya pak Idzar. Tak banyak yang dilakukan, hanya beberapa outbound kecil untuk adik-adik. Sebut saja estafet sarung, mandi tepung.
Anak-anak Bajulmati adalah generasi jaman modern yang tak tersentuh gadget. Tak juga terjamah sinyal. Sehingga hanya dengan permainan kecil itu, mereka tampak gembira bukan main. Ada unsur puas ketika aku melihat mereka tertawa lepas dan merekah senyum lebar-lebar.
Permainan usai dan kami harus segera kembali ke pemukiman. Tiba-tiba teriakan kecil menyembul diantara gelak tawa yang hangat menghias sore. Dari Udin datangnya. Salah satu peserta Idul Adha Camp. Ego kekanakannya tengah mencuat-cuat. Ia bertengkar dengan Salim, peserta camp juga yang sudah 2 kali tidak naik kelas. Masalahnya sepele, Udin ditegur Salim agar tidak memanjat keatas kepla truk. Khawatir jatuh. Tetapi kemudian urusannya menjadi panjang. Bahkan sampai kami pulang dari pantaipun Udin masih meluap-luap emosinya. Hingga terpaksa kami menyerahkannya pada pak Idzar dan bergegas mengakhiri puasa arofah karena adzan maghrib telah berkumandang.
Malam hari setelah takbir keliling, kami berkumpul untuk mengadakan rapat evaluasi. Ditengah rapat pak Idzar bertutur,
Kalian tau perihal Udin tadi sore kan?
Kami mengangguk. Mengiyakan. Kami telah sama-sama mengerti betapa Udin bersikeras memukul Salim dan betapa Salim juga membuat Udin menjadi semakin panas dengan kata-kata ejekannya. Sore tadi kami maklum dengan tingkah polah mereka, karena mereka memang masih bocah, pemahamannya masih dangkal. Hanya saja kami kesal, karena kami tak tahu bagaimana mengatasinya.
Udin itu hanya tinggal dengan kakek-neneknya. Orangtuanya bekerja jauh dari Bajulmati. Mereka hanya seminggu sekali pulang. Dan kalian tahu? Rata-rata anak Bajulmati itu seperti Udin. Hatinya gersang. Kekurangan kasih sayang.  Pak Idzar membenahi duduknya, bersila. Lalu mengembang senyum.  
Maka dari itu, mereka butuh sekali dengan kegiatan yang kalian adakan sekarang. Kegiatan seperti ini bagaikan air jernih yang menyiram tanah gersang di hati mereka. Lanjut beliau.
Aku manggut-manggut. Setuju. Sembari bersyukur. Betapa beruntungnya aku yang tak pernah kurang suatu apapun. Orangtua utuh. Fasilitas utuh. Pendidikan utuh. Semua utuh.
____
Ceritera Udin telah lalu bersama pekatnya Malam. Suara takbir menggema dari corong kecil masjid Al Ikhlas. Meneduhkan. Takbir ini yang selalu membuatku rindu pada desa kecilku di ujung Jawa Timur sana.
Aku masih syahdu mendengarkan gema takbir. Seraya takzim mendikte mendung putih yang tak juga lepas dari petala langit. Sampai sore hari ia setia meneteskan bulir air hujan di setiap sudut Bajulmati. Hujan adalah peluang untuk menunda kegiatan. Emas untuk bermalas-malasan. Namun hujan juga adalah berkah, dan karena ia berkah maka turunnya sama sekali tak mengurangi semangat kami untuk melanjutkan kegiatan Bhakti Sosial.
Usai sholat berjamaah, aku bersiap menggelar bazar bersama teman-teman LPKM lainnya. Begitu bazar digelar, aku terkejut dengan antusiasme ibu-ibu Bajulmati. Mereka saling berebut mencari barang-barang. Maklum saja kami hanya menjual segala jenis barang dengan kisaran harga Rp 1.000 – 10.000.
Jam 13.00 semua kegiatan usai. Setelah mengisi perut dengan gulai daging kurban, Pak Idzar mengajak kami pergi ke pantai. Kali ini tanpa anak-anak Idul Adha Camp.
Kami berangkat menggunakan truk terbuka. Sepanjang jalan kami bernyanyi Indonesia Raya sembari hormat pada bendera merah putih yang basah terpapar hujan, dan hanya ditalikan pada ranting usang.
Ajaibnya adalah, sesampainya di pantai, tak lagi kujumpai rinai hujan yang sedari tadi bersemayam. Langit mendadak terang. Dan aku tak peduli itu. Aku hanya peduli pada air laut di bibir pantai yang berwarna coklat susu akibat hujan seharian
Ayo berhitung satu dua hingga orang terakhir.  Pak Idzar memberi aba-aba. Kami manut saja. Setelah hitungan selesai, pemilik angka 1 berkumpul dengan sesama angka 1. Begitupun juga dengan angka 2.
Setelah tim terbagi menjadi 2, kami segera menaiki perahu layar kecil sesuai dengan kelompok masing-masing. Perahu kecil itu dimotori oleh diesel. Kemudian kami berlayar, menyusuri sungai dimulai dari ujung sungai yang bermuara di laut.
Ini adalah pengalaman pertamaku. Rasanya menakjubkan. Berjalan diatas air. Lebih tepatnya berlayar. Sepanjang pelayaran, Pak Idzar menjelaskan berbagai jenis tanaman mangrove di tepian sungai. Beliau juga  mengatakan bahwa sebagian oksigen yang kita hirup secara gratis berasal dari mangrove-mangrove ini.
Tetapi tangan-tangan jahil tak bosan-bosannya membuat onar. Padahal dalam Al Quran telah jelas ditegaskan bahwa  –janganlah engkau membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya-[1] Pak Idzar memasang wajah prihatin. Menggeleng-gelengkan kepala.
Sedangkan aku? Aku hanya terngaga, mengagumi jiwa konservatif beliau. Aku saja, yang mahasiswa biologi semester 7 jarang sekali berpikir mengenai hal ini. seringnya terlalu terpaku pada teori.
Pak, berhenti disana ya. Pak Idzar memberikan isyarat dengan jari. Menunjukkan suatu lahan kosong pada nahkoda.
Nah, lilhatlah lahan kosong ini. Pak Idzar melihat kami. Ini salah satu akibat dari tangan jahil itu. mereka tidak tahu kalau akar mangrove juga dapat menyerap toksin-toksin yang berada di air. Tidak hanya menyerap, tetapi juga menetralkan. Lanjut beliau.  Intonasinya tegas, seakan tak membiarkan kami untuk tak memperhatikan setiap kata yang beliau ucapkan.
Selain itu, akar mangrove jenis bakau merupakan tempat bagi ikan untuk melakukan pemijahan. Coba bayangkan kalau akar-akar itu tak ada, kemana ikan akan berlindung. Mereka pasti akan lebih mudah mati terseret arus. Beliau menambahkan
 Kami mengangguk. Turut prihatin karena tak semua orang paham lingkungan sebagaimana pak Idzar telah paham. Bahkan tidak juga kami sebelum hari ini.
Dengan semangat menggebu atas nama konservasi alam, masing-masing dari kami menanam 2 batang mangrove yang tadi telah dibawa.
Semoga ini menjadi investasi ~ bagi generasi setelah hari ini dan bagi kelestarian bumi. Aku membatin dengan bangga.
Usai menanam mangrove kami kembali ke tepi pantai. Melakukan beberapa outbound kecil. Bertukar tawa dan canda. Meramu kebahagiaan menjadi satu rasa. Serta mengabadikan kebersamaan dengan kamera DSLR melalui jepretan mas Ridho.
__
Setelah merasa cukup dengan pantai Ngantep, kami kembali ke Bajulmati. Berkemas dan kembali pulang ke kota Malang.
Selamat berjumpa kembali Bajulmati ~
Lelahku telah menjadi Lillah. Terimakasih telah menjadi sarana bagiku menemukan ruang baru untuk bersyukur dan teman baru untuk diajak akur. Dari yang sederhana ini aku belajar. Serta mengerti, bahwa bahagia adalah lahirnya dari hati. Bukan materi.



Hanya bila pohon terakhir telah tumbang ditebang
tetes air sungai terakhir telah tercemar
dan  ikan terakhir telah ditangkap
barulah kita sadar bahwa uang di tangan tidak dapat dimakan

(kata bijak suku Indian)


12 September 2016
From Bajulmati with Love.




[1] Q.S Al A`raf ayat 56

0 comments:

Post a Comment