Kenapa
justru namaku adalah nama dari seorang ibu yang melahirkan anak-anak pembawa
malapetaka bagi dunia? Apakah bapak ibuku memang bermaksud menjadikan aku
sebagai rahim bagi kekacauan di semesta? Atau justru mereka sengaja menjadikan
aku ibu dari nestapa, sebagaimana Gandhari adalah ibu yang dengan hati entah
bagaimana menguburkan keseratus anaknya. Ucap Gandhari pada suatu senja.
Sementara
langit semakin memerah, dan hujan rintik-rintik membasahi ruas jalan dan atap
setiap bulir padi yang mulai menuai, Usman, yang sedari tadi duduk di samping
Gandhari hanya dapat diam termangu. Ia memikirkan jawaban paling tepat,
Setiap
nama adalah doa Ndhar, bagaimana bisa kau berkata seperti itu? Bukankah pemilik
nama Gandhari sebelumnya adalah seorang permaisuri? Dia orang baik-baik,
Sengkuni saja yang mengotori jalan ceritanya, sehingga anak-anaknya menjadi
orang yang menyalakan bara api dalam sebuah pertempuran bersejarah di peradaban
usang, Usman akhirnya
berucap.
Tapi
tetap saja jalan hidunya kelam Man.
Hidup
itu pilihan Ndhar. Apa yang kau takutkan? Selama kau punya Tuhan, maka tak
apapun seharusnya mampu membuatmu takut.
Gandhari
terdiam. Matanya jauh menerawang pada apa yang tidak dapat dipandang. Ia masih
tidak enak hati dengan nama yang disandangnya sejak kecil.
Entahlah
Man. Kau tak tau rasanya menjadi aku. Namamu bagus. Usman Arrumy. nama seorang
pemimpin dan juga tokoh sufi dalam agamamu. Kau tak tau doa dibalik namaku,
mungkin sebuah kutukan atau harapan akan sebuah ketegaran.
Selebihnya,
yang tersisa hanyalah senyap. Tidak ada percakapan lagi antara Usman dan
Gandhari. Keduanya sibuk memikirkan argumentasi masing-masing. Gandhari sibuk
dengan kegelisahannya, Usman sibuk dengan hujjah-hujjah menenangkannya.
Jika
kau tau siapa aku yang sebenarnya, apa kau masih berniat menikahiku Man?Gandhari akhirnya angkat bicara. Wajahnya yang sudah sejak beberapa
hari lalu kuyu, ia tadangkan pada Usman.
Pemuda
yang ia panggil Usman itu mengangguk.
Sekalipun
orangtuamu menentang?
Usman
lagi-lagi mengangguk.
Sayangnya
kau tidak tahu siapa aku Man. Kau
tidak seharusnya menjual kepercayaanmu hanya karena seorang perempuan jalang seperti
aku, Gandhari menimpali.
...
Purnama Suro,
1925
Panggillah
ia Gandhari. Dan jika usianya telah cukup, ia dengan sendirinya akan mengerti,
arti nama itu bagi dirinya yang piatu sejak dilahirkan ke dunia yang fana ini.
Begitulah
tulisan yang tertuang dalam kertas lusuh di depan gubuk reot Nyai Kastup. Waktu
itu hujan turun cukup deras. Matahari yang sudah beberapa waktu lalu lenyap
dari petala langit tidak lagi memberi kehangatan di setiap sudut desa
Abir-Abir.
Di
tengah hujan yang baru saja turun, di samping kertas yang tulisannya
hampir-hampir pudar, seorang bayi perempuan dengan suara tangis yang kalah oleh
kerasnya suara petir tergeletak begitu saja.
Ia
menjerit-jerit, bergeliat di dalam gedongannya yang berwarna pink
bunga-bunga dan telah menjadi coklat karena terlumuri air berkalang tanah.
Tampias hujan membuat ia kuyup, menggigil kedinginan, mengharap iba dari
siapapun yang mungkin akan melihatnya dalam keadaan sebatang kara, tak berdaya.
Duh
Gusti Nduk cah ayu, siapa yang tega menelantarkan kamu di tengah hujan seperti
ini, Nyai Kastup
baru saja keluar, ia berniat mengambil jemuran karak[1]
yang diletakkanya di pelataran pagi tadi. Tetapi ia justru menjumpai bayi di
depan gubuknya. Perempuan paruh baya dengan rambut yang dikonde dan berbusana
kemben itupun segera memungut bayi yang seakan-akan memanggilnya itu.
Nyai
Kastup adalah janda dari seorang veteran jaman kolonial Jepang. Tetapi nama suaminya
tidak pernah tercatut sebagai pahlawan kemerdekaan, karena suaminya hanya
seorang bawahan, yang tidak begitu dianggap ada sebagai seorang pejuang.
Dengan
kain jarik yang ia miliki, Nyai Kastup mengganti pakaian bayi perempuan
itu dan menyuapinya dengan nasi yang sudah dihaluskan sedemikian rupa.
Kamu
bayi yang kuat Nduk, dan kelak akan tumbuh menjadi perempuan cantik. Nyai Kastup memandangi bayi dalam gendongannya itu dengan tatapan
penuh kasih. Ia ayun-ayunkan si bayi ke kanan dan ke kiri, berharap hal itu
akan membuat bayi perempuan itu lekas tertidur.
Lampu
di rumah Nyai Kastup tidak terlalu terang, untuk mengurangi biaya listrik yang
terus naik setiap tahun, ia hanya memasang satu lampu bercahaya orange di
rumahnya. Satu lampu tentunya cukup untuk rumahnya yang sempit. Kamar mandinya
di luar, jadi tidak perlu lampu berarus listrik, cukup cahaya rembulan ketika
malam dan sinar matahari ketika siang.
Di
bawah penerangan yang remang, ia terus mengayun bayi dalam gendongannya,
bibirnya lamat-lamat melantunkan syair Jawa yang begitu digandrungiya sejak
muda:
Lir
ilir lir ilir tandure wes sumilir
Tak
ijo royo royo tak senggo temanten anyar
Cah angon
cah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu
penekno kanggo mbasuh dodot iro
Dodot
iro dodot iro kumitir beda ing pinggir
Dondomono
jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung
padang rembulane
Mumpung
jembar kalangane
Yo
surak-o sorak iyo
Berulang
kali Nyai Kastup mengulang syair yang sama, hingga malam telah semakin larut. Kini tidak ada lagi
suara tangis Gandhari, bayi itu telah lelap dalam buaian pengasuhnya. Dan
hujan, yang sedari tadi mengiringi bak musik bagi lagu dolanan yang
ditembangkan Nyai Kastup, juga telah reda. Yang bersisa hanyalah tetesan air
berjatuhan dari ujung-ujung genteng rumah yang sepertinya mulai lapuk, dan bau
khas petrichor yang menyeruak masuk ke gubuk Nyai Kastup.
Begitulah,
sejak purnama yang tertutupi mendung pada pertengahan bulan Suro itu, Nyai
Kastup resmi bercucu seorang putri, tersebut Gandhari. Barangkali Gandhari
adalah jawaban dari pertapaan yang Nyai Kastup lakukan di tempat-tempat sepi.
Jawaban atas kesendirian yang ia ratapi berulang kali.
...
Pada
purnama-purnama berikutnya, pada suro-suro yang terus berkelindan pada sesuatu
yang disebut waktu, Gandhari terus tumbuh menjadi gadis yang aduhai paras
dhohirnya, lemah lembut perangainya, khas sekali sebagai gadis Jawa tulen yang
memang dinaaskan menjadi makhluk paling lemah lembut di muka bumi.
Gandhari-lah,
Ken Dedes yang hidup di jaman millenial. Ardhanareswari dari peradaban
yang lebih mutakhir, yang akan menuliskan sejarahnya sendiri dalam sebuah
cerita klasik kehidupan, yang bisa jadi tidak lebih dari sebuah
pengulangan-pengulangan dari kisah silam.
Purnama
kali ini, pada suro ke 1938, Gandhari genap berumur 13 tahun menurut hitungan
Nyai Kastup. Setelah mengenakan kebaya jahitan Nyainya, lengkap dengan sanggul
buatan, Gandhari bergegas keluar rumah, tidak sabar untuk segera melakukan
ritual yang selalu ia lakukan bersama dengan Nyai Kastup setiap padhang
bulan tiba.
Tumpengnya
sudah Gandhari bawa Mbok. Batunya
juga. Gandhari berseru dari luar gubuk, yang disebutnya rumah, memberi
isyarat kepada Nyai Kastup agar segera mengikutinya keluar.
Sebentar
Nduk. Sebentar. Sahut Nyai
Kastup lirih.
Mbok,
Tungku kecilnya juga sudah Gandhari bawa. Gadis kecil itu semakin tidak sabar menunggu Nyai Kastup yang
tidak juga keluar rumah.
Tidak
lama, Nyai Kastup dengan kebaya warna coklat dan rambut panjang putihnya yang
disanggul, muncul dibalik pintu gubuk. Sementara tangan kanannya memegang
tongkat untuk membantu berjalan, giginya sibuk mengunyah suruh, membuat
beberapa sudut bibir dan giginya berwarna merah pekat.
Sejurus
kemudian, Nyai dan anak itu berjalan beriringan menuju sebuah tebing tak jauh
dari rumah mereka. Mungkin hanya berjarak enam atau tujuh kilometer. Bagi Gandhari
dan Nyainya, selama jarak itu tidak melebihi 10 km, maka tidak terbilang
sebagai jauh, dan dapat ditempuh dengan perjalanan kaki.
Pola
demikian, tidak tahu apakah untuk mensyukuri nikmat Tuhan berupa kaki atau
lebih karena Nyai Kastup tidak mampu membeli sepeda pancal untuk mereka berdua
kendarai.
Mbok,
kenapa hanya kita berdua yang setiap tanggal 15 pergi menyembah ke tebing?
Nyai
Kastup berhenti sejenak, memandang cucunya seraya tersenyum, sambil melanjutkan
ayunan kaki ia lantas menjawab, Karena tidak semua orang mengerti apa yang
kita lakukan Nduk. Jaman sudah semakin berubah, banyak orang semakin maju,
bahkan manusia sekarang dapat mencipta manusia baru. Kalau dulu yang bisa
terbang cuma Gatotkaca, sekarang semuanya bisa karena sudah ada burung besi.
Nyai
Kastup mengambil nafas sejenak, tubuhnya yang tua sedikit lebih renta dan mudah
merasa lelah,
Tapi
sayang Nduk, orang pinter jaman ini banyak yang keblinger, sama halnya dengan
banyak orang pinter tapi lupa dengan budayanya sendiri, Nyai Kastup melanjutkan.
Gandhari
mengangguk-angguk. Ia tak sepenuhnya mengerti,
Kalau
begitu Gandhari akan menjadi orang pinter yang ga keblinger Mbok, ia menyahut dengan suaranya yang tak pernah reda dari serak.
Cobalah
Nduk, cobalah. Jadi manusia itu harus bisa Hamemayu Hayuning Buana, bisa menata
keindahan dunia. Jangan jadi manusia yang hanya mementingkan perut sendiri, Nyai Kastup
Inggih
Mbok, inggih.
Selebihnya,
sebagaimana biasa, Gandhari dan Nyai Kastup menyibaki hutan dalam sunyi. Nyai
Kastup sibuk menata langkahnya agar tidak jatuh karena tersandung ataupun
terjebak lubang, sementara Gandhari, jemarinya yang mucuk eri secara
berkala menggilir tumpeng ke tangan kanan lalu ke tangan kiri, mengurangi
lelah.
Pikirannya
sibuk menjelajah dunia kecilnya, yang tidak pernah berkenalan dengan kemajuan
jaman. Paling-paling ia hanya melihat temannya memakai sepeda atau bermain
benda kotak yang dapat digunakan memutar lagu, mengambil gambar, ataupun
berbicara dengan orang yang keberadaannya cukup jauh.
Ia
tidak pernah memiliki kesempatan memegang, apalagi menggunakan. Dan ia merasa
cukup dengan itu, karena ia memiliki dunia yang juga tak terpegang oleh
teman-temannya, atau lebih tepatnya, dunia yang tak cukup menarik sehingga tak
ada satupun temannya berniat mengikuti dunianya.
Setelah
cukup lama berjalan, Gandhari dan Nyai Kastup tiba di dekat tebing. Mereka
berjalan sedikit lagi, mendekati bagian tebing yang di dalamnya terdapat sebuah
lubang kecil, dan di sampingnya terdapat sebuah tugu yang usianya mungkin lebih
dari sekedar satu abad.
Gandhari
dengan cekatan meletakkan tumpeng yang dibawanya di samping tugu, sedangkan
Nyai Kastup, ia menyalakan sumbu dari tulang daun lontar yang telah mengering,
lalu meletakkan di tengah tumpeng berisi bunga-bungaan dan beberapa makanan
khas Jawa.
Kemarilah
Nduk. Sini mendekat ke Mbok, kita akan segera memulai ritual. Nyai Kastup berdiri tegak tak jauh dari tugu dan lubang.
Tongkatnya diletakkan di sampingnya.
Gandhari
menuruti perintah Nyainya. Kini ia berdiri tepat di sebelah perempuan tua itu.
ia telah cukup besar untuk menghafal gerakan-gerakan yang sebulan sekali ia
lakukan bersama-sama Nyai Kastup.
Meski
ia tak tahu benar apa arti semua gerakan itu, ia masih melakukannya dengan
khususk. Pertama-tama, ia akan mengangkat tangannya ke atas, ketika ia
bercerita kepada teman-teman sepermainannya di kampung, mereka mengatakan itu
sebagai takbir. Tapi Nyai Kastup tidak pernah menyebutnya takbir.
Setelah
itu ia akan berdiri tegak untuk beberapa saat, dengan kedua tangan didekapkan
di dada. Pernah suatu kali ia bertanya kepada Nyai Kastup,
Untuk
apa kita melakukan itu Mbok? Berdiri berlama-lama kan melelahkan
Ketika
itu, Nyai Kastup menjawab dengan tanpa lupa tersenyum, sembari mengusap-usap
rambut Gandhari yang bergelombang, ia menuturkan bahwasannya berdiri lama dalam
ritual yang sering dilakukan adalah usaha menghadirkan Tuhan ke dalam hati.
Tangan
yang kita dekapkan di dada sejatinya adalah upaya kita mendekap keakuan, agar
sisi kemanusiaan yang terkadang liar melebihi binatang dapat ditekan. Dan lama
atau tidaknya kita berdiri, ditentukan lama atau tidaknya kita menghadirkan
Tutuk, Tuhan, dalam tutud, atau hati kita. Nah itulah yang disebut Tulajeg
sembari swadingkep. Jelas
Nyai Kastup.
Dan
malam ini, dalam ritual yang dilakukan, dalam keadaan Tulajeg, Gandhari mencoba
secepat mungkin menghadirkan Tuhan di dalam hatinya, agar ia tak berdiri terlalu
lama. Tentu saja wajar jika anak kecil sebenarnya lebih ingin bermain dibanding
berlama-lama menghadap batu, terlebih di pekat malam. Mungkin ia akan lebih
memilih tidur. Tetapi rasa hormat dan cintanya kepada Nyai Kastup, dapat
melupakan semua keinginan anak-anaknya itu.
Cukup
lama Nyai Kastup dan Gandhari berdiri sambil mendekapkan tangan di dada,
nyatanya menghadirkan Tuhan di dalam jiwa bukan perkara mudah yang dapat
dilakukan dalam satu kejapan mata. Butuh usaha lebih dalam mencapainya, melalui
hati yang benar-benar kosong dan dalam kepasrahan yang benar-benar penuh.
Ketika
Nyai Kastup membungkuk, dengan kedua tangan memegang lutut, Gandhari bergegas
mengikutinya. Sampai detik itu, ia sebenarnya belumlah mampu menghadirkan
Tuhan, karena ia aslinya belum mengenal Tuhan. Sampai detik itu ia masih
ikut-ikutan.
Ini
namanya Tungkul Nduk, orang-orang
Islam menyebutnya rukuk. Bayangan Nyai Kastup yang mempraktikan posisi yang
sekarang sedang dijalaninya berkelebat di pikiran Gandhari.
Setelah
itu apa Mbok? Tanyanya waktu
itu.
Setelah
itu Tulumpak, tidak jauh berbeda dengan duduk diantara dua sujudnya orang-orang
Islam, lalu Tondhem, yakni sujud, mencium tanah, ngashor kepada yang Maha
Tinggi. Jelas Nyai
Kastup.
Purnama
kali ini, ketika Gandhari tuntas sekedar menirukan setiap gerakan Nyai Kastup,
dengan penuh angan-angan percakapan di pikiran, kedua manusia itupun segera
berjalan pulang, kembali menuju gubuk.
Di
tengah jalan, Gandhari beberapa kali menguap. Wajar saja, hari memang telah
lewat tengah malam. Matanya yang ndamar kanginan, seperti tak pernah
terbebas dari kantuk telah benar-benar mengantuk.
Sabarlah.
Sebentar lagi kita sampai Nduk.
Berulang kali Nyai Kastup mengulang kata itu hingga mereka telah sampai di
depan pintu rumah.
...
Tahun
demi tahun telah terlewati. Manusia semakin hari semakin canggih dengan
berbagai penemuan baru, yang pada gilirannya membuat si miskin kian miskin dan
si kaya semakin kaya. Tentu saja tidak salah, si miskin semakin merana karena
kesalahannya sendiri: tidak mampu mengikuti perkembangan jaman, katanya. Atau
karena justru karena kepentingan beberapa orang yang kemudian mencekik mereka,
sehingga jadilah mereka semakin tersengal-sengal di tengah kemiskinan dan tak
memiliki ruang untuk bergerak satu tingkat menuju kemapanan.
Dalam
beberapa bulan, usia Gandhari akan genap 20 tahun. Ia sudah cukup dewasa untuk
menjalin asmara dengan seorang pria, dan menemukan kehidupannya di luar Kampung
Abir-Abir yang hanya sekelumit itu.
Tetapi
ia tidak pernah kemana-mana. Sejauh ini kehidupannya hanya berada dalam ruang
lingkup yang sempit, paling jauh, ia hanya bermain ke tetangga desa, dengan
frekuensi yang sangat langka.
Gandhari
lebih suka menyendiri di belakang gubuknya, sembari melihat pematang sawah yang
terkadang dipaneni jagung, terkadang padi, dan terkadang kacang. Ia sangat
mengagumi tatanan padi yang sedemikian rapi.
Terlebih
ketika padi-padi itu sudah menghampar hijau, ia senang bukan kepalang. Di
benaknya, padi itu seperti kasur empuk yang menggoda sekali untuk ditiduri.
Andai saja ia punya sesuatu seperti itu di dalam gubuk.
Sembari
memandang hamparan sawah, Gandhari biasanya juga menyibak aliran sungai kecil
yang mengaliri sawah-sawah itu, atau sekedar bercermin di jernihnya air. Selain
itu, ia juga doyan sekali menggoda ikan wader yang berenang bebas dengan
melempar kerikil kecil ke arah mereka.
Satu
lagi yang membuat Gandhari betah berdiam diri berjam-jam menghadap sawah, yakni
ketika musim tandur atau panen tiba, para petani yang bekerja sedemikian
rupa, bergerombol, maju mundur, dan bercengkrama dalam kesederhanaan dan
keakraban yang seakan tanpa tedeng aling-aling dan tendensi apa-apa,
membuat Gandhari begitu merasa tentram. Dan terkadang Nyai Kastup juga menjadi
bagian dari petani-petani itu.
Sesekali,
tatkala Gandhari mulai jengah, ia akan dengan iseng berteriak keras-keras untuk
sekedar mengusir burung-burung yang memakan padi dari tangkainya. Bagi Gandhari,
meskipun telah begitu nakal mencuri bulir yang belum juga lepas dari kantungnya,
burung-burung itu tetaplah tidak berdosa, dan suaranya indah. Ketika mereka
terbang di langit-langit, kepakan sayapnya seperti sebuah gerakan tarian yang
gemulai dan memiliki selera rasa seni yang tinggi. Tentu saja burung tidak
salah, bagaimana bisa salah, toh burung itu juga mencari makan. Dan yang bisa
mereka lakukan memang hanya mencuri.
Lagipula
makannya tidak banyak,
begitu batin Gandhari suatu ketika.
Apabila
burung-burung itu tiada, maka keindahan sawah akan berkurang, atau akan ada
sesuatu yang hilang dari mata rantai kehidupan, gumamnya pada hari yang lainnya.
Itulah
kegiatan Gandhari di luar rutinitasnya belajar tari Jaipong pada Nyainya. Atau
pada hari-hari tertentu, ia akan mengunjungi sebuah rumah pengasuhan, tempat
anak-anak yang terlahir dengan otak yang tidak sempurna ketika lahir dititipkan,
untuk sekedar membantu bersih-bersih, atau mengerjakan tugas apapun yang
dibebankan kepadanya.
Rumah
pengasuhan itu berplang –Griya Betha-, diasuh oleh seorang perempuan
yang hampir sama rentanya dengan Nyai Kastup. Usianya berkisar 50 atau 55
tahun. Ketika ditanya umur, begitu juga ia menjawab.
Biasalah.
Orang tua jaman dahulu memang tidak semuanya dapat mengingat tanggal dan tahun
anaknya dilahirkan. Terlalu banyak anak. Mbah Poh, pemilik rumah pengasuhan itu biasa dipanggil, menjelaskan
suatu hari.
Aku
itu saudara tertua dari 11 bersaudara. Kalau sekarang tinggal 3. Yang lainnya
sudah pada kembali kepada yang membuat hidup. Sudah menemui kekasihnya lagi. Mbah Poh terkekeh. Waktu itu, ketika Gandhari melihat Mbah Poh
terkekeh menyoal kematian, ia merasa terheran-heran. Baginya, kematian adalah
hal yang sangat menakutkan.
Bagaimana
bisa manusia terputus dari segalanya yang telah ia usahakan dengan keras dan terlepas
dari orang-orang yang ia cintai. Bahkan sekali waktu, ia menyesali kenapa
manusia harus hidup untuk mengecap sebuah kematian yang katanya sakit rasanya.
Kenapa
Mbah Poh tertawa? Bukankah
seharusnya sedih ditinggal oleh orang-orang yang kita kasihi?, ucapnya
waktu itu.
Mbah
Poh hanya tersenyum. Ia mengusap-usap rambut Gandhari dengan penuh rasa.
Memang
kematian itu luka Nduk. Tetapi tidak semuanya luka. Suatu saat, ketika kamu
telah cukup dewasa, kau akan mengerti. Jawab Mbah Poh.
Benarkah
Mbah?
Tentu, Mbah Poh mengangguk.
Kediaman
Mbah Poh hanya jeda beberapa rumah dari gubuk tempat Gandhari tinggal. Cukup
dekat. Mbah Poh dan Nyai Kastup-pun bersahabat cukup erat. Sudah sejak kecil
mereka hidup bersama-sama.
Sementara
Nyai Kastup adalah orang Jawa tulen, Mbah Poh tidak demikian adanya. Mbah Poh
masih memiliki darah Persia di dalam tubuhnya. Dan ia adalah seorang muslim
yang taat, yang membaktikan hidupnya untuk kepentingan anak-anak terlantar,
baik yang sempurna ataupun tidak.
Nyai
Kastup lain lagi, ia memilih menjadi perempuan yang bermanfaat bagi lingkungan
sekitarnya dengan cara yang tidak sejalan dengan Mbah Top. Nyai Kastup tidak
memiliki cukup uang untuk membangun sebuah rumah pengasuhan, jangankan rumah
pengasuhan, membangun rumah sendiripun ia tak punya.
Untuk
itu, dia memilih mengabdikan dirinya sebagai orang yang mengurus setiap
kematian di kampung Abir-Abir. Ia adalah orang pertama yang akan dipanggil
ketika ruh telah lepas dari nyawa seseorang, untuk memandikan, untuk
mengkafani, dan mengurus tetek bengeknya, dengan tata cara agama yang dianut
oleh orang yang meninggal itu.
Nyai
Kastup juga tidak pernah sekalipun menolak permintaan tolong dari siapa saja
yang datang kepadanya, tentu saja selama itu adalah hal yang mampu dan sanggup
ia lakukan. Ia tidak pernah merasa keberatan atas apapun. Untuk itulah, kendati
berbeda, ia diterima dengan baik.
Ia
tak pernah memiliki masalah dengan siapapun, tetapi ia tak cukup diakui sebagai
orang yang berkeTuhanan oleh mereka yang beberapa tingkat jauh lebih tinggi
dari orang yang mengakuinya atas nama manusia di Kampung Abir-Abir dan
sekitarnya.
Begitulah,
manusia seharusnya dapat hidup rukun, berdampingan, tanpa harus memandang
sesiapa, dan merasa benar dengan asas keakuannya yang terkadang hanya
mengandung kebenaran sepihak.
...
Lir
ilir lir ilir tandure wes sumilir
Tak
ijo royo royo tak senggo temanten anyar
Cah
angon cah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu
penekno kanggo mbasuh dodot iro
Dodot
iro dodot iro kumitir beda ing pinggir
Dondomono
jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung
padang rembulane
Mumpung
jembar kalangane
Yo
surak-o sorak iyo
Bocah-bocah
Kampung Abir-Abir menyanyikan lagu gubahan Sunan Kalijogo itu diiringi dengan
gamelan musik. Gandhari turut menirukannya dari bangku penonton. Nyai Kastup
apalagi, bahkan ketika lagu telah usaipun ia masih dengan setia, lirih-lirik
menembangkan lagu lir-ilir.
Malam
itu, penduduk Kampung Abir-Abir kedatangan tamu agung dari kasepuhan Cirebon,
seorang Kiai dan putra sulungnya yang mulai beranjak dewasa. Sebagaimana adat
kampung Abir-Abir, setiap tamu harus disambut dengan pertunjukan gamelan yang
diiringi dengan lagu-lagu Jawa kuno.
Setelah
pertunjukan gamelan selesai, maka giliran Gandhari dan rekan-rekannya
membawakan tari Jaipong. Sedikit tidak etis memang, Kiai disuguhi tarian Jawa,
dengan penari yang berlenggak-lenggok dengan pakaian yang tidak metutup tubuh
seluruhnya.
Tetapi
memang itulah budaya rakyat Abir-Abir, yang begitu kental dengan nuansa
tradisional dan desanya. Orang Abir-Abir adalah sebagian makhluk-makhluk adat
yang sangat kental dan kolot terhadap perubahaan, yang sebagian lagi, barulah
orang-orang yang telah larut dalam arus dunia global.
Malam
itu Gandhari menari dengan begitu lincah. Hatinya membuncah, bahagia bukan
kepalang. Maklum saja, ia tidak pernah memiliki panggung, maka begitu ia
memiliki kesempatan untuk menunjukkan kebolehannya di depan banyak orang, ia
bertekad untuk tampil sebaik-baiknya.
Sebenarnya
ia merasa sedikit gugup sampai-sampai kaki tanganya gemetar, tetapi itu bukan
masalah. Banyak mata tertuju kepadanya dengan decak kagum. Ia adalah bunga yang
paling menonjol diantara rekan sejawatnya.
Bagaimanapun,
kecantikan khas Jawa, yang tidak tersentuh sulam alis, gincu warna-warni dan
bedak bermerkuri, adalah kecantikan yang paling eksotis. Kecantikan alami yang
selalu sedap dipandang dan tidak perlu menghabiskan banyak polesan.
Alis
nanggal sepisannya berkolaborasi indah dengan bentuk kedua bola matanya,
bibirnya yang nyigar jambe dan kemerah-merahan, serta hidung mancung pas dengan
postur mukanya yang oval dengan dagu agak lancip.
Soal
kulit, sebenarnya Gandhari tidak terlalu putih. Tidak juga kuning. Ia
benar-benar khas Jawa dengan kulit sawo matang dan tinggi badan semampai.
Dan
sudah umum di kampung Abir-Abir, bahwa Gandhari adalah bunga desa yang harus
dijaga dari jamahan manusia. Karena cantiknya tidak hanya sekedar dari
penampilan fisik saja, tetapi juga hati yang terjaga murni dengan kebaikan yang
tak pernah ternodai satu noktah kotoranpun.
Lihatlah,
anak Pak Kiai itu tak hentinya memandang Gandhari, bisik Ragil, salah seorang pemuda Kampung Abir-Abir kepada Sholeh,
temannya.
Bukankah
kau juga tak henti-hentinya memandangi Gandhari menari? Jawab si teman enteng.
Tapi
lihatlah, ini tidak bisa dibiarkan,
pemuda itu sepertinya jatuh cinta kepada Gandhari, protes pemuda itu lagi kepada temannya.
Ya
biarkan toh Gil. Orang hati itu tidak bisa dipegang kendalinya kok. Mau jatuh
cinta, mau benci, mau meketek, atau mau apapun ya biarkan, mana bisa hati
disetir-setir¸ lagi-lagi
Sholeh menjawab enteng.
Ragil
tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia merengut saja. Kemudian kembali menikmati
tarian Jaipong.
...
Acara
penyambutan telah selesai dilakukan. Kegiatan ramah-tamah berupa makan-makan
dan sambutan juga telah semuanya dikerjakan. Malam itu juga Kiai Dul akan
bertandang ke Cirebon, menunaikan kewajibannya di sana.
Adapun
Usman, putra Kia Dul, akan tinggal di Kampung Abir-Abir untuk beberapa waktu.
Selama berada di Kampung Abir-Abir, Usman akan bermalam di rumah Mbah Poh, yang
sebenarnya masih kerabat jauh dari keluarga Usman.
Abah
pulang dulu Nak. Jaga diri baik-baik, Kiai Dul menepuk pundak anaknya.
Saya
nitip Usman nggih Mbah Poh. Kiai
Dul berganti menyalami Mbah Poh.
Bersama
sopir dan mobilnya, Kiai Dul segera alpa dari hadapan Mbah Poh dan Usman.
Betah-betahlah
di sini Man. Mungkin akan sedikit berbeda dengan tempatmu tinggal. Tapi cobalah
belajar pada apapun yang ada di hadapanmu. Entah bagaimanapun itu, tutur mbah Poh kepada Usman.
Usman
hanya mengangguk dan bernggih-nggih
Sudah,
situ tata barangmu di kamar pojok. Bapakmu
dulu kalau ke sini, juga sering tidur di kamar itu. Mbah Poh diam sejenak, anggap
rumah sendiri. Mbah mau menengok anak-anak dulu, lanjutnya lantas berlalu.
Sekali
lagi Usman mengatakan Nggih, beberapa jurus kemudian ia telah selesai menata
barang bawaannya yang memang tidak banyak dan berbaring di atas dipan.
...
Telah
beberapa hari Usman tinggal di Abir-Abir. Pada hari-hari tertentu, ia
berserawungan dengan orang-orang yang tengah menggarap sawah, melihat latihan
di sanggar, dan bertemu Gandhari di rumah pengasuhan milik Mbah Poh.
Gandhari
adalah orang yang tidak banyak bicara, jadi sekalipun berjumpa, mereka berdua
tak pernah berbicara lama. Gandhari selalu menghindar, ia sedikit tidak ramah
pada lelaki sebayanya.
Sedangkan
Usman, ia terlanjur jatuh hati pada jelmaan Ken Dedes yang baru dijumpainya
itu. Pernah suatu ketika, pada suatu purnama, tak sengaja ia menjumpai Gandhari
dan Nyai Kastup berjalan keluar rumah untuk melakukan ritualnya.
Usman
mengendap-endap di belakang mereka, dan menyimpannya hingga hari dimana
Gandhari datang menjenguk anak-anak di Griya Betha.
Kau
menyembah batu?, Usman mendekati
Gandhari yang tengah menyuapi Abel, salah satu anak asuh Griya Betha yang
menyandang keterbelakangan mental.
Gandhari
memandang Usman, sembari melanjutkan suapan, ia berucap, kalian sudah
berkenalan? adik kita ini namanya Abel.
Apa
setiap purnama kau melakukan ritual itu? apa aura cantikmu berasal dari kau
menyembah batu? Ujar Usman.
Apa
aku cantik? Ucapanmu barusan berarti mengakui kecantikanku. Gandhari merasa pongah.
Tentu
kau lebih tahu jawabannya daripada aku. Usman tersenyum.
Gandhari
menyelesaikan suapan terakhirnya lantas segera mengantar Abel ke
teman-temannya.
Jangan
membuntutiku. Pekik
Gandhari
Kau
bahkan tidak tahu namaku bukan? Padahal kita telah beberapa kali berjumpa di
rumah ini. Usman tak
bergeming
Usman!
Sudahi atau aku akan melapor ke Mbah Poh, Gandhari merasa terancam. Ia tidak pernah merasa nyaman berada
terlalu dekat dengan seorang pria.
Lakukan
saja
Gandhari
hanya memilih diam. Ia terus berjalan, bergegas pulang.
Sedangkan
Usman, seperti tak punya sungkan, tetap membuntuti Gandhari sampai depan gubuk.
Ketika ia berjumpa dengan Nyai Kastup, ia segera menyalami perempuan sepuh itu.
Saya
hendak bertamu Mbah ujarnya.
Nyai
Kastup pun mempersilahkan, maafkan jika Gandhari tak ramah, imbuhnya. Temanilah
tamu kita ini Nduk, Nyai Kastup memandang ke arah Gandhari.
Dengan
sedikit terpaksa Gandhari meng-iyakan. Ia mengajak Usman ke belakang rumah,
menurutnya lebih menyenangkan berbicara sambil menghadap sawah daripada harus
berdua di dalam rumah menghadap Usman.
Aku
dan Mbah bukan penyembah batu
Gandhari membuka pembicaraan. Yang kami sembah adalah Sahyang Taya, Tuhan
dalam kepercayaan kami, Kapitayan. Batu yang kau lihat itu, jika kau
benar-benar telah dengan tidak sopan membuntutiku, adalah media kami menuju
Taya. Sebagaimana kau butuh sholat untuk menghadap Tuhanmu, maka kami butuh
sembahyang dengan tata cara yang juga khusus untuk menghadap Tuhan kami ia
melanjutkan
Usman
mengangguk-angguk. Dalam hati ia membatin, jika Gandhari bukan seorang muslim,
aku tidak akan bisa menikahinya.
Lantas? Usman bertutur singkat
Taya,
kata Mbah, itu tan keno kinoyo ngopo. Tidak bisa diapa-apakan. Taya itu suwung.
Ada tapi tidak kelihatan. Seperti halnya Tuhanmu, ada tapi tidak nampak. Dzat
yang tidak bisa disamakan dengan apa-apa. Gandhari melanjutkan.
Kalau
begitu mungkin Tuhan kita sama, Cuma penyebutannya saja yang beda, Usman asal nyeletuk.
Aku
tidak tahu. Tetapi Kapitayan ada sudah sejak zaman nenek moyang tertua di Jawa,
kalau tidak salah Megantropus javanicus. Lanjut Gandhari
Dan
Islam ada sejak nabi Muhammad mendapat utusan. Lalu siapa yang lebih tua,
Megantropus itu atau Bapak kita Adam? Sahut Usman.
Aku
tidak tahu. Kata Mbah, itu tidak penting, yang penting adalah bagaimana
bersama-sama menata keindahan dunia dengan mengesampingkan ego kita sebagai
manusia. Gandhari
menimpali.
Bergerak
atas nama kemanusiaan. Aku sering mendengar itu. sahut Usman
Gandhari
hanya diam, ia melihat Usman sejenak, selama ini tidak pernah ada
menyinggung perbedaan kepercaan bersamaku, tuturnya.
Aku
juga tidak sedang mempermasalahkan itu, balas Usman.
Percakapan
mereka segera berakhir ketika hujan tiba-tiba turun. Gandhari tidak
memperbolehkan Usman berteduh di gubuknya, maka mau tidak mau Usmanpun pulang
ke rumahnya yang hanya berjarak beberapa rumah jauhnya itu.
Hati
Usman bungah tapi juga gelisah.
Ia
tak mungkin menikahi Gandhari selagi Gandhari tak seiman dengannya. Abah Uminya
pasti akan menentang, dan itu menyalahi keyakinannya. Ia sempit berpikir kenapa
sesuatu bernama agama begitu mengungkungnya, tetapi kemudian ia berpikir lagi,
Ada
benarnya. Seseorang dengan kebiasaan yang jauh berbeda, terlebih terkait
kepercayaan, maka akan sulit duduk bersama mencapai sebuah mufakat. Apalagi itu
dalam ikatan suami-istri yang seharusnya satu haluan.
Tetapi
bagaimana dengan cinta?
Usman
berada dalam dilemanya, hingga kemudian ia memutuskan untuk meminang Gandhari
meski mendapat banyak pertidaksetujuan dari keluarga-keluarganya.
...
Maka
dengan persiapan seadanya, kedua insan itupun menikah, yang kemudian membuat
geger pemuda-pemuda kampung Abir-Abir.
Bagaimana
pendatang baru seperti itu menikahi bunga desa kita? Ragil bergumam.
Bilang
saja kau kalah saing Gil, Sholeh
menimpali, Mbok ya nerima takdir, kamu gak gerak cepet sih. Ya jangan
salahkan, imbuhnya.
Ah
mana bisa seperti itu Leh. Ragil
menyudahi.
Kini
hidup Gandhari sedikit lebih memiliki warna. Tapi tak lama berselang, Nyai
Kastup meninggal dunia. Membuat kebahagiaan yang dialami Gandhari menjadi
sedikit bercela. Setelah menguburkan Nyai Kastup dengan adat yang ada, Gandhari
yang masih berlinang air mata pulang didampingi Usman menuju gubuknya yang
sudah lebih layak huni.
Mbah
Poh suatu ketika pernah mengatakan, ketika aku telah cukup dewasa, maka aku
akan memaknai kematian dengan cara yang lebih baik. Tetapi kini tatkala aku
telah dewasa, aku masih memaknai kematian dengan cara yang sama. Penuh luka. Ungkap Gandhari kepada Usman.
Sttt
Usman memeluk Gandhari.
Setiap
yang bernyawa pasti akan tiada. Apa daya kita manusia. Hanya bisa mengusahakan
sabar dan pasrah. lanjutnya
Gandhari
tak berhenti sesenggukan.
...
Beberapa bulan
berikutnya, ketika kesedihan pasca ditinggal Nyai Kastup mulai mereda, Gandhari
dan Usman mendapat kabar bahagia bahwa seorang putra akan hadir di tengah
keluarga mereka.
Persiapan-persiapanpun
dilakukan. Sebagaimana keluarga lain dalam menyambut anak pertama mereka,
Gandhari dan Usmanpun mempersiapkannya dengan serapi mungkin. Membeli
barang-barang perlengkapan calon bayi jauh-jauhari.
Tetapi
menginjak bulan ke 4, ternyata bayi dalam rahim Gandhari tidak dapat bertahan.
Gandhari keguguran, dan kesedihan kembali merenggut raut sumringah dari
wajahnya. Ia kembali berduka menghadapi sebuah kematian, yang kali ini dari
seseorang yang belum pernah lahir.
Itu gegara kamu
membeli perabot bayi sebelum lahiran. Pamali. Tanggapan salah satu tetangga.
Pada purnama 3
bulan berikutnya, Gandhari kembali mengandung. Kali ini ia menjaga kehamilannya
dengan sangat hati-hati. Tetapi kemudian sesuatu yang tidak mengenakkan datang,
Usman, sepulang dari kegiatan desa, datang dengan wajah agak masam.
Apakah bayi
yang ada dalam rahimmu itu juga bayiku? Tanyanya
Apa maksudmu
Usman? Gandhari tidak
mengerti dengan pertanyaan yang mengagetkan itu.
Apa ketika aku
tak di Abir-Abir dalam beberapa purnama kau benar-benar di rumah seorang diri? Usman bertanya lagi.
Apa yang kau
dengar Usman? Tega kau bertanya demikian kepadaku? Gandhari mulai mengerti arah pembicaraannya.
Jangan
berbicara tentang tega, terkadang kecantikan dhohir memang tak sampai kepada
batin, Usman
bergegas masuk ke kamarnya.
Pagi harinya
ada talak yang jatuh. Usman memilih kembali ke Cirebon, dan Gandhari hidup
seorang diri di gubuknya. Ia masih belum mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi. Ia hanya sekali lagi meratapi namanya, yang mungkin adalah sebuah
kutukan sehingga kesedihan datang kepadanya bertubi-tubi.
....
Purnama demi
purnama telah terlewati. Bayi dalam kandungan telah dilahirkan. Lahir sebagai
lelaki putih bersih yang memberikan tangisan pertamanya dengan penuh ketulusan.
Tetapi Gandhari
bilang ia letih, setelah mengutarakan Hamdan sebagai nama bayi yang baru
dilahirkannya itu, ia segera beristirahat. Ia memang sudah lama ingin istirahat
dari rumitnya hidup.
....
Pada purnama
bulan Suro yang kesekian, Usman kembali mendatangi Abir-Abir, sedikit di dalam
hatinya terdapat rindu kepada sosok yang lemah lembut perangai serta
dicintainya, Gandhari.
Sedikit di
hatinya terbesit rasa bersalah yang begitu agung, ketika pagi tadi, Ragil, yang
kala itu mengatakan kepadanya telah tidur dengan Gandhari beberapa kali,
mendatanginya. Berlutut dengan berpuluh-puluh ucapan maaf.
Maka seketika
itu pula, tidak ada lagi yang terpikir di benak Usman, kecuali Gandhari.
...
Sesampainya di
Abir-Abir, Usman hanya menjumpai Mbah Poh, yang menyambutnya dengan senyum
seperti biasa, lalu berkata
Kemarilah Nak,
Usman. Anakmu di dalam. Kau boleh membawanya jika kau ingin. Jika kau kemari
untuk mencari Gandhari, maka temui ia di bawah lemari kamar kalian. Tidak ada
yang berubah di sana.
Ujar Mbah Poh.
Usmanpun
bergegas pergi ke gubuknya dan Gandhari, dan ia menemukan sebuah tulisan,
Pada akhirnya
kau memilih untuk pergi Usman.
Dan aku tak
menyalahkan.
Aku tahu kau
pasti akan kembali.
Menjenguk
orang-orang terkasihmu lagi di desa sempit ini.
Usman,
Akupun akan
segera pergi.
Bukan
meninggalkanmu.
Tetapi
meninggalkan namaku yang terlanjur menyimpan banyak luka.
Terimakasih
sudah pernah menerimaku kendati kita sedikit berbeda.
Terimakasih.
Bayi yang waktu
itu kita perdebatkan itu kini telah sedikit lebih besar.
Kupanggil ia Hamdan,
Sengaja kunamai bayi laki-laki itu dengan nama yang erat kaitannya
dengan kepercayaanmu.
Aagar ia tumbuh
menjadi seseorang yang baik sepertimu,
yang tidak akan terlalu banyak menyimpan duka.
Semoga saja demikian.
Dan semoga, meskipun lahir dari seseorang bernama Gandhari, ia
tidak akan besar menjadi Kurawa yang hidup dalam hasutan sengkuni-sengkuni
jaman mutakhir.
Usman
Tetaplah mencoba
hamemayu hayuning buana,
melalui
kebenaran yang telah kau yakini benar,
melalui usaha
kerasmu menaklukkan hewan buas bernama nafsu,
yang telah sejak dulu tertanam dalam dirimu,
sebagai manusia.
Pada setiap
purnama, teruslah lantunkan ayat sucimu untukku,
siapa tahu,
walaupun berbeda ia tetap dapat sampai kepadaku,
karena
sejatinya Tuhan yang kita sembah berada dalam haluan yang sama.
Usman,
aku harus mencukupkan kata-kataku.
Tetapi sebelum
itu,
Ketahuilah
Bahwa purnama
adalah malam di mana aku dilahirkan
Purnama juga
yang akan menjadi malam aku di pulangkan
Aku besar atas
purnama-purnama yang terus berkelebat Usman.
Maka setiap
purnama tiba,
Bantulah Hamdan
mengenangku sebagai seseorang yang baik.
Satu hal lagi,
Darah yang
mengalir di tubuhku adalah darah wanita lacur,
yang kalah
perang melawan kehidupan.
Wanita itu membuatku
lahir karena rasa iba,
tapi tak mampu membesarkanku karena tak sanggup melihat
dosa-dosanya dalam wajahku.
Akau selalu
menyembunyikan kenyataan itu darimu Usman.
Aku tak pernah
bermaksud mengelabui.
Aku hanya tak
ingin cintamu kepadaku hilang hanya karena nasab kurang baik,
yang kebetulan
ada pada diriku.
Sekarang,
kuserahkan secara penuh rasamu kepadaku,
aku tak
keberatan jika kau berkehendak membenciku.
Aku hanya
berpesan sastu hal lagi,
jaga Hamdan kita dari sengkuni-sengkuni mutakhir yang menjelma
berbagai bentuk rupa manusia.
Aku senantiasa
mencintaimu, dan putraku.
Gandhari --
[1] Sisa nasi yang dkeringkan, biasanya dengan dijemur dibawah terik
matahari, untuk dimasak kembali dan dimakan atau sekedar digunakan untuk pakan
ayam.
JADIKAN AGEN KAMI MENJADI FAVORIT ANDA ,
ReplyDeleteAYOO BERGABUNG BERSAMA RIBUAN MEMBER KAMI YANG LAINNYA
HANYA DI HTTP :// WWW.ARENA-DOMINO.COM
BONUS ROLLINGAN TERBESAR 0,3 % SETIAP MINGGUNY