Minggu.. 21
September 2013 12.31 WIB, dalam jeep biru tua
Lautan coklat membentang sepanjang
mata berakomodasi. Semak belukar sedikit ikut andil di padang sabana yang
rumputnya berupa bulir pasir coklat. Lemak-lemak dibawah lapisan kulit kusamku
mulai merembes keluar. Matahari mentereng di atas ubun-ubun. Membuat udara
begitu panas. Kutaksir suhunya mencapai 32° C. Look, how hot the weather is.
“Desa Temajuk masih jauh Pak?” aku
menyela bertanya ditengah kesibukanku mengagumi keindahan alam pulau tetangga
yang baru kusinggahi.
“sebentar lagi Mas, kurang lebih 20
KM-an.” Jawab seseorang didepanku yang baru-baru ini kuketahui namanya Pak
Sudir.
“Udara disini panas sekali ya Pak.”
aku mengibas-ngibaskan kertas lungset
innocent untuk memberikan angin segar pada tubuhku. Hawa kegerahan yang sedari tadi menyelimuti
sungguh membuatku tak nyaman.
“namanya juga daerah khatulistiwa
Mas. Apalagi sekarang masa-masa Ekuinoks. Suhu menjadi lebih tinggi dari
biasanya. Katanya sih, matahari sedang bergerak ke utara, ke jarak yang paling
dekat dengan bumi.” Tutur Pak Sudir yang masih serius dengan setir mobil
ditangannya tanpa menoleh kebelakang. (bagaimana
bisa menoleh dengan keadaan menyetir jika jalanannya saja terjal tak karuan.
Orang hamil lewat jalan ini pasti keguguran. Yakin!)
Aku tersenyum simpul lantas meng-owh-kan sembari jeprat-jepret sana-sini. Ga nyangka juga orang pedalaman seperti
Pak Sudir bisa tahu tentang pergerakan matahari dan istilah Ekuinoks.
Sejenak kemudian, fokus retinaku
memandang keluar kaca mobil. Menerawang, ngawang.
Canon EOS hitam yang tadi kugunakan take
pict kubiarkan menggantung begitu saja di leher. Percakapan singkat dengan
Dafis 2 minggu lalu mendadak mencuat, sepertinya photographic memoryku sedang bekerja.
...
“Hei Boss! Jangan bengong di depan
monitor.” Dafis yang baru memasuki sekretariat BEM menepuk bahuku. Tawa sumringahnya pecah di petak kecil ukuran
3x4 yang setahun terakhir ini menjadi rumah keduaku. Biar kuperkenalkan, namaku
Ilham Amidjaya. Presiden Bemfa FMIPA UM (tapi
bentar lagi udah jadi mantan). Dan Dafis? Dia vice-president yang rasa-rasanya
sudah seperti saudara sendiri. Kami bagai pinang dibelah dua. Bukan dari segi appearance. Tapi lebih pada kami
sama-sama semester tua (sama-sama umek
mikir skripsi), sama-sama anggota Jonggring
Salaka (UKM Pecinta Alam di kampus), sama-sama deadly love Bruno Mars dan Dahlan Iskan (tentunya diluar hitungan nabi Muhammad) serta kesamaan lainnya yang
tak mungkin kusebut satu-persatu.
“lak
mistake Dafis iki. Agenda Semnas
gimana? Udah dapat confirm dari
narasumber?” aku mengsleep Acer silverku. Lalu Meregangkan punggung
dengan bersandar di dinding.
Dafis mengangkat bahu, “Nanti tanya
Pramisya saja Boss, dia kan ketupelnya. Tadi si Pram udah ngontact pak Narasumber kok. Tapi belum tau hasilnya” partner slenge’anku ini menyeringai. Dari situ
pembicaraan merembet kemana-mana. Tentang penyadapan Australia terhadap
petinggi tanah air lah. politik Indonesia yang ngalah-ngalahi benang kusutlah. Sistem ketahanan Nasional-lah.
Korupsi yang tumbuh subur seperti jamur di musim hujanlah sampai ke masalah
kewarganegaraan. (biasa.. dua makhluk
idealis kalau lagi bareng ya kayak gitu. Mbahas apapun yang ‘katanya urusan
mereka’ padahal sama sekali bukan).
”Bukan salah mereka juga Boss kalau
lebih banyak tau tentang negeri Jiran dibanding tentang Indonesia. Soalnya
akses ke negara tetangga easier than akses kenegara sendiri. Tapi,
kewarganegaraan mereka toh masih resmi WNI. Yah.. Meskipun mereka jarang dapat
perhatian dari government kita. Coba
bayangin kita diposisi mereka. Bisa jadi kita melakukan hal yang sama. Iya
nggak?” Dafis menjinjit-jinjitkan kedua alisnya.
Aku senyap sejenak. Iya juga, ga kebayang kalau mesti jadi
mereka yang hidup dengan segala keterbatasan. Selama ini aku hanya memandang
mereka dari kacamata kuda. Memandang lurus sebelah mata. Menyalahkan dengan
membabi buta mereka yang WNI tapi sedikit sekali pengetahuan tentang Indonesia.
Tapi BTW, kenapa analisa si Dafis lebih jauh ketimbang analisaku? Aku
menatap Dafis dengan tatapan –Dungaren???-
“lebih jelasnya, kalau pak BEM mau..
minggu depan, depannya lagi kan libur semester tuh. Vacation aja ke desa Temajuk, Kalbar. Nanti usai kesana, detail
ceritanya kasih tau ke aku. Ok? sekarang Aku cabut dulu, ada kelas genetika”
Dafis menenteng tas ranselnya hendak
beranjak.
“bahasamu rempong. –minggu depan, depannya lagi-? bilang 2 minggu lagi aja
kenapa!” aku juga mengemasi berkas-berkasku. bersiap memasuki kelas Anfisman.
...
“Mas.. sudah
sampai.” Pak Sudir membuatku terlempar dari lamunan singkat. “Mas turun saja,
kopernya biar Bapak yang ngangkat.”
Aku menolak
niat baik laki-laki setengah baya itu. Ga enak kalau mesti menyusahkan jika aku
sendiri mampu melakukannya. Setelah mengucapkan terimakasih telah mengantar dan
basa-basi sebentar, aku pamit undur
diri untuk naik Getek.
Aku dan dua
orang lainnya segera meluncur mengarungi anak kapuas yang luas berkelok. Disisi
kanan-kiri, pepohonan rindang dengan daunnya yang menjuntai menyentuh permukaan
air tampak meneduhkan. hutan rimba yang sudah jarang kujumpai di Jawa. Tampak
pula beberapa ibu-ibu tengah mencuci dengan air kapuas yang keruh bak susu Dancow coklat. Lebih jauh lagi, ada
anak-anak usia 11-12 tahunan sedang asyik mandi di sungai terpanjang pulau D itu, sambil sesekali anjlok dari bebatuan sehingga
menimbulkan percikan air yang membasahi kaos biru oblongku.
Aku mengulum
senyum hangat kepada mereka. Menyapa melalui gesture anggukan kepala. Getek
melaju lamban. Iseng-iseng kucelupkan tanganku di air. Menikmati suasana
baru. Meresapi. Merasakan keterbatasan pada kekayaan yang sesungguhnya.
...
10 menit
berlalu, Getek merapat di pinggiran
Kapuas. Orang-orang bersliweran
kesana-kemari dengan kesibukan masing-masing. Seorang dari mereka mendekat
kepadaku. Membantu mengangkat bargain dari
Getek dan menyambutku ramah.
Senyumnya merekah. Penuh ketulusan!
“Nama Saya
Madana. Panggil saja Dana...” ia memperkenalkan diri. Air mukanya begitu akrab
meski baru pertama kali ini bertemu. Perawakan Kawula muda Kalimantan itu
tinggi ceking. Kulit hitam legam dan
rambutnya ikal. Tapi, sorot matanya sungguh menentramkan.
“Ilham
Amidjaja. Panggil saja Ilham.” Aku balik menjabat tangannya.
“Mari ikut ulun Mas. Sebelum ke penginapan kita
harus mengunjungi kepala suku dulu.” Dana mengangkat bargain dan aku menenteng ransel Alto biru donker.
Aku
‘mengekor’ dibelakang Dana. Tengok kanan-kiri. Melanjutkan aktivitas jeprat-jepret. Tak lama berselang,
barisan rumah panggung nampak berdiri kokoh ditempa biasan sinar mentari yang
mulai kalah dengan bayang-bayang senja.
Langkah kami
terhenti didepan sebuah rumah panggung yang letaknya agak jauh dari pemukiman.
Dua orang lelaki bertelanjang dada (menurutku
usianya 56 tahunan dan seorang lagi 34an) tengah duduk menikmati siluet
senja di teras.
“Dana? Angin
apa yang membawa ikam kemari
sore-sore begini. Silahkan duduk.” seseorang yang kuperkirakan usianya 56an
berkata ramah. Sesungging senyum terpasang di wajahnya. Menimbulkan kesan bijak
dan menyiratkan sebuah kewibawaan. Aku
yang baru menjumpainya pun dapat mengerti itu! Dan kesimpulanku, itu pasti
kepala suku.
Dana duduk
bersila, aku melakukan hal serupa. “ini teman dari teman ulun, namanya Ilham dari Malang. Selama satu minggu kedepan akan
menginap di desa kita eyang.” Ujarnya.
Eyang?
“Kalau
begitu izinkan ulun mengucapkan
selamat datang di desa Temaju.” Kepala
suku sekali lagi tersenyum dengan aura wibawanya. “silahkan” imbuhnya
menyuruhku mencicipi daging rusa hasil buruan yang disajikan diatas piring.
aku mencoba menolak dengan sesopan
mungkin. Sehalus mungkin. Tapi, tetap saja harus mencicipi. Katanya melecehkan jika disuguhi makanan dan
tak dimakan. Biarpun itu sekedar mencicipi. Padahal aku agak enek makan daging rusa. Apalagi masaknya
setengah matang. Weuuh.
...
Selasa,
tengah malam purnama
Atas rekomendasi Dafis sekarang aku
terdampar di tempat ini. Mataku entah mengapa tak bisa dipejamkan lagi setelah
terbangun ‘secara tak sengaja’ barusan. Pujangga malam mulai merangkak dini
hari. sunyi senyap. Hanya suara jangkrik yang berkriik kriik dengan kalemnya.
Lampu ublik dengan cahaya merah keorangenan masih setia menemaniku menghabiskan
sisa malam. Sekaligus ublik itu
menjadi satu-satunya sumber penerangan selain sang bulan.
Aku gusar. Jujur! Sedikit merasa tak nyaman sebenarnya. tak terbiasa hidup
tanpa listrik. Sinyal pun MasyaAllah
susahnya. Mau mandi? Mandinya di anak sungai kapuas. Ga peduli wes, mau steril atau tidak. Yang penting
mandi kan! Ngilangin keringat sama bau badan. kalaupun ada bakteri E. coli, S. Aureus, Lactobacillus bulgaricus (eits.. yang ketiga ini kan
menguntungkan), cacing pita, cacing kremi atau mau cacing tanah sekalipun kelihatannya dilawan dengan doa saja
cukup. Tinggal ‘Allahumma inni a’udzubika
minal khubutsi wal khobaits.” Beres.
Jam tanganku ber tik tak tik tok ria. Kulirik sekilas.
Pukul 2.43 pagi. Mataku masih enggan menutup. Kupijakkan kaki di ubin kayu.
Membenahi baju sekenanya dan menengok sinar rembulan yang tumpah ruah di tanah
Temaju. Aku sedikit menyesal, kenapa angin tetap enggan mampir biarpun matahari
sudah tak bertahta. Sehingga aku harus bersusah-payah kipasan untuk menghilangkan gerah.
...
Keheningan pagi merambat lamat-lamat
menuju senja, pagi lagi dan senja lagi hingga tanpa terasa 5 hari telah
berlalu. Bulatan besar nampak agung di ufuk barat. Radiasinya terpantul di riak
kapuas yang gaduh oleh bocah-bocah
yang sedang bluron.
Senja itu,
aku tak sendiri disana. Sendiri dalam
artian berbeda. Diatas bongkahan batu besar, ditemani seorang anak manusia
berjilbab ungu muda aku duduk. Menertawai bocah-bocah
kecil di hulu kapuas, berkenalan, berbagi pengalaman dan tersipu saat tanpa
sengaja bertatapan.
“Baiq Kudungga.” Itu jawabannya
ketika aku bertanya nama. Dan diapun bertanya balik namaku. Sesungging senyum
selalu merekah indah diwajahnya ketika ia berbicara. Kulitnya putih bersepuh
cahaya. Perangainya lembut (tau putri
solo? Barangkali bisa dianalogikan dengan itu). Tapi ada keganjiilan
dihatiku, bukankah seharusnya orang kalimantan berkulit hitam? Atau minimal
sawo matang. Lah ini?
Dia tertawa kecil ketika aku
mengutarakan keganjilanku itu,
“aku bukan penduduk sini Mas Ilham.”
Dia hening sejenak, lalu menoleh ke arahku. Aku salah tingkah; “Mas lihat
mereka kan? Anak-anak kecil dengan berbagai impian dan masa depan yang masih
absurd...”
Dia menarik nafas dalam. Memandang bocah-bocah di aliran sungai dengan mimik prihatin,
“karena merekalah sekarang aku ada
disini. Kau tahu sendiri, di daerah perbatasan Malai-Indo ini segalanya serba
terbatas. Kesehatan, pendidikan, layanan sosial. Semuanya terbatas. Untuk itu
aku ingin menjadi malaikat tanpa sayap bagi mereka. Meski tak banyak yang bisa
kulakukan, setidaknya aku bisa mengajarkan ilmu yang kupunya, satu ayat dua
ayat untuk menjadi bekal mereka kelak. Untuk urusan memajukaan desa ini, nanti
biar mereka yang melakukannya dengan ilmu dan ketrampilan yang dimiliki” Dia,
-sekali lagi- memandang ke arahku.
“Bukankah syubbanul yaum rijalun ghodan. Jadi rasanya sungguh tak adil
jikalau mereka tidak termasuk hitungan rijalun
ghodan hanya karena tak punya bekal. ” tutur Baiq dengan aksen Lombok yang
kental. Penuh keikhlasan dengan pengharapan yang melangit.
Aku tersenyum getir, jiwa aktivisku
tersentuh.
“great”
aku sudah tidak tahu harus berkata apa. Mati
kutu. “ngomong-ngomong, Baiq masih kuliah atau....” kalimatku menggantung
tak jelas.
Entah untuk keberapa kalinya, senyum
itu mengembang lagi. indah sekali. Siluet baru yang sepertinya harus masuk
salah satu keajaiban dunia, jika dan
hanya jika aku menanggapinya dengan hiperbolis
“memangnya wajahku nampak seperti seorang
wanita dewasa atau anak kuliahan?” Baiq balik bertanya sembari mengayun-ayunkan
kakinya di bibir sungai.
Wanita
dewasa? Bisa jadi. Setidaknya sikap dan pemikiran mencerminkan itu. Tapi lebih
kentara baby facenya sih. Aku senyap. Hanya memampang senyum.
Dia ‘lagi-lagi’ tersenyum.
Menjelaskan secara ringkas kampusnya di Depok –UI-, memaparkan sedikit tentang
bagaimana kuliahnya di Jurusan Ilmu Gizi sampai semester 5 sekarang ini, dan,
“aku kesini bukan fee pribadi.” jawabnya ketika aku
menanyakan tentang itu. “Mas Ilham tau progam Indonesia mengajar kan?” dia melirikkku, meminta kepastian. Aku
mengangguk. Dia lantas mengatakan ikut program tersebut. September ini
merupakan bulan ke-6 baginya. (6 bulan?
Kenapa aku baru bertemu dengannya hari ini setelah 5 hari keberadaanku di
Temaju?). Itu berarti tinggal 6 bulan lagi dia akan hengkang dari desa Temaju. Meneruskan rutinitasnya di Depok.
Mengejar deadline gelar S1 semester
depan.
Selanjutnya, giliranku yang bercerita tentang UM, suasana kota
Malang, dan kuliahku di jurusan Biologi, tak ketinggalan juga kuceritakan
sekilas tentang kota kecilku nan asri, Tuban.
‘khusus’ hari ini, malam datang
terlalu awal. Blep.. dalam sekejap
suasana menjadi gelap. Petang. Tapi setidaknya dengan minimalisasi cahaya
lampu, bintang-gemintang jadi nampak jelas terlihat di petala langit. Suara
adzan menggema sekali, dari musholla
yang memang ‘hanya ada satu’ di desa ini. Ohya,
aku belum bercerita. Islam di Temaju masuk minoritas. Tak seperti di Jawa yang
hampir setengah lebih penduduknya merupakan muslim.
Kami, -aku dan Baiq ditambah segelintir bocah muslim lainnya- memutuskan
untuk segera pergi ke musholla. Memenuhi panggilanNya. Hingga malam benar-benar telah menciptakan kesunyian.
Memberikan jarak ruang dan waktu. Aku terbaring lagi di bilik kecil pengap
dengan ublik kecil tertempel di
dinding kayu. Dengan gadis berhijab ungu dan segala tingkah serta perkataannya
yang masih menghantuiku.
Malam itu aku enggan memejamkan
mata. Aku lebih berminat menjahit baju masa depan dalam angan-angan.
Berandai-andai.. menyusun bata-bata rencana untuk kehidupan mendatang.
Kali ini, aku memasukkan Baiq dan
anak-anak Temaju dalam jahitan itu.. dalam bata-bataku.
...
Mentari timur memuntahkan cahaya
emas. Menelusup diantara dedaunan yang masih basah oleh embun. Aku sudah
berdiri tegap dengan bawaan dan ransel altoku di bibir sungai kapuas. Bersiap
naik getek.
“terimakasih untuk semuanya Dana.
Lain waktu, kalau ada kesempatan bertandanglah ke Jawa. ulun akan membuka pintu rumah lebar-lebar untuk ikam.” Aku merangkul Dana. Menepuk-nepuk
bahunya. Mencoba berbicara dengan bahasa Banjar. Ulin. Ikam. Melepas rangkulan. Ganti menyalami bocah-bocah Temaju yang telah menjadi bagian hidupku seminggu ini.
“Jangan lupakan kakak.” aku toss dengan mereka satu persatu “Ingat..
pemuda hari ini adalah pemimpin esok! Dan pemuda itu kalian, adik-adikku” Ku
lirik Baiq yang berdiri diujung dengan sorot –gapapa kan Minjem kata-kata-
Baiq tersenyum. Bersahabat sekali.
Aku mendekat kepadanya. Tak mengucapkan apa-apa, hanya sebait salam dan
terimakasih. Ia membalasnya dengan salam dan sunggingan senyum yang tak lepas
sampai getekku berlalu menjauh.
May Allah
gives me another time to meet you and them. May He blesses me to build the
future with you. Here, in Temaju. May He lets me to be the part of this island,
this simple life with you. With them.
Aku tersenyum kecut. Dafis, aku menyumpah serapahimu beberapa
hari lalu karena telah mengirimku pada tempat tak menyenangkan ini. Tapi
sekarang rasanya aku harus berterimakasih banyak dan menuruti satu keinginanmu
karena telah menjadi jalan untuk secuil kisah hidup yang baru. Argh.. vice-presidentku. Terimakasih
*telah diterbitkan di Majalah AKSI INSUD tahun 2014
0 comments:
Post a Comment