Terkadang kita memang perlu berkepompong.
Bersembunyi sementara waktu untuk menjelma menjadi putri yang jelita parasnya.
Atau sekedar memikirkan kembali sesuatu yang bisa jadi kita telah buta karena
sepihaknya asas kebenaran.
…
Pertengahan September yang basah. Hujan setiap saat mencumbu bumi. Hanya
sekali waktu ia sirna. Pada petang menjelang maghrib misalnya, atau pada petang
menjelang pagi.
Begitupun saat ini, ia datang seperti tanpa ada niatan untuk pergi.
Ia menyeruakkan bau ampo masuk ke rongga nasal gadis berjilbab biru muda,
yang tengah berbaring di ranjang sebuah kamar rumah sakit. Selang infus dan oksigen
menjulur di sekitar tubuhnya. Seorang perempuan paruh baya duduk disebelahnya.
Membacakan surat Yaasiin yang katanya bisa menjadi wasilah untuk menyembuhkan
atau justru mempercepat kematian. Bergantung pada takdir.
“Nduk, Umi ikhlas. Umi ikhlas. Sungguh“ ia menitikkan air mata.
…
Agustus 2102
Kantor sepetak itu riuh oleh muda-mudi yang tengah mempersiapkan acara
tahlilan rutinan. Mereka menyebut dirinya aktivis Bintara. Terinspirasi dari sejarah
Walisongo yang dulu sering berkumpul di Demak Bintoro. Kegiatan rutin mereka
adalah menggelar rumah baca, menyuarakan (kembali) perdamaian, dan Bhakti Sosial
di kampung-kampung miskin yang keadaannya lebih memprihatinkan dibanding
kampung miskin abad 21.
Abad 22 seharusnya merupakan abad kejayaan dimana teknologi berkembang
semakin pesat. Kendaraan jalur udara, -bukan pesawat-, sudah umum dipakai.
Telepon genggam bermetamorfosa menjadi tombol kecil di tangan yang ketika
dipencet akan mengeluarkan semacam layar transparan non-permanen. Makanan juga
sudah beralih fungsi sebagai sumber energi saja, berbentuk pil kecil yang cukup
dikonsumsi sekali sehari, sebagai solusi semakin sempitnya lahan pertanian
dikarenakan membludaknya populasi manusia.
Tetapi itu diluar negeri. Berbeda lagi dengan tempat tinggal para aktivis
Bintara. Mereka hidup di negara yang sejak 50 tahun lalu telah berubah menjadi
daerah mencekam. Sewaktu-waktu bom dapat mendarat di depan rumah, di pasar,
atau bahkan di tempat para anak-anak belajar. Itu sudah rahasia publik.
PBB sudah lepas tangan dari negara para aktivis itu. Tersebab telah berbagai
cara dilakukan tetapi tak juga membuahkan hasil. Sebelumnya, negara mereka adalah
negara yang penuh cinta. Dimana perbedaan suku, budaya, dan agama disatukan oleh
toleransi menjadi sebuah harmoni yang indah. Masyarakatnya dapat dengan tenang
beribadah dan bertetangga baik meski memiliki banyak perbedaan.
Begitulah, mereka adalah leluhur yang santun perangainya dan besar toleransi serta pengetahuannya.
Hingga entah sejak kapan, sekelompok orang puritan muncul untuk menghilangkan
kemajemukan itu dengan dalih jihad.
Bagi mereka, halal saja mengafirkan saudara seiman yang tidak sepemikiran.
Terlebih saudara yang tak seiman, akan dikunyah hingga lumat. Jika yang tak sejalan
berbuat salah, maka ia akan dihina karena kesalahannya itu. Jika yang tak sejalan
berbuat benar, maka akan dipelintir sedemikian rupa untuk menimbulkan kesan
bahwa yang tak sejalan tetaplah salah.
Karena mereka begitu anti-mainstream dan mempromosikan diri besar-besaran
sebagai kelompok paling benar, maka banyak orang mengikuti. Ternyata masyarakat
setengah abad lalu begitu butuh sesuatu yang berbeda dan mudah manut tanpa
berpikir panjang. Mereka sangat terpesona dengan surga yang ditawarkan oleh kaum
puritan tanpa tahu arti surga itu sendiri. Mereka merasa seakan-akan sangat mengenal
Tuhan tanpa mengenal sifat-sifat Tuhan itu sendiri.
Kondisi masa itu begitu tidak stabil hingga pada gilirannya kelompok puritan
berhasil merebut sebagian besar hati masyarakat negara para aktivis Bintara. Mereka
selanjutnya bermakar dan berhasil merobohkan pemerintahan lama dan mendirikan
pemerintahan baru yang di idam-idamkan. Jadilah mereka berkuasa. Walhasil, yang
tak sejalan itu kemudian dimarginalkan habis-habisan. Menjadi buronan di negara
sendiri. Kericuhan dan pemberontakan terjadi dimana-mana. Itulah mengapa mereka
yang tak sejalan itu dapat kapan saja menjumpai bom dan meregang nyawa. Kondisi
demikian yang kemudian melahirkan para aktivis Bintara.
…
“Mereka hanya tidak siap berbeda“ Nala mengencangkan tali sepatunya.
Bergegas pergi meninggalkan kantor sepetak.
Zahid yang duduk di depan ruangan menimpali “ketidaksiapan mereka
sangatlah fatal Nal. Merebut hak asasi orang“
“Hak asasi?“ Nala tertawa, nyinyir. Ia kemudian memejamkan mata. Membatin.
Seandainya rumus hak asasi benar-benar efektif, maka Zahid tidak perlu menderita
karena bom yang ngawur jatuhnya itu. Pemuda yang katinya kafir itu kehilangan
salah satu kakinya beberapa tahun silam. Kau taulah kenapa. Masih untung yang
hilang hanya kaki, bukan nyawa.
“Negeri ini terlalu sibuk berdrama Hid. Kau tenang saja, para aktivis Bintara
akan terus berjuang menyuarakan perdamaian yang telah lama hilang. Tak lama lagi
Hid, hak yang telah dirampas akan dikembalikan. Politik kekuasaan atas nama agama
pasti akan dapat ditumbangkan“ Nala tersenyum, meyakinkan hatinya yang
sebenarnya meragu.
“Yang penting sekarang izin kegiatannya diurus dulu. Mainkan ilmu mantiqmu
biar mereka tidak menganggap Tahlilan sebagai perbuatan tahayyul, syirik, dan
khurafat. Kalau kau keplintir, bisa-bisa kita dianggap musyrik lalu
dibumihanguskan.“
Nala mengacungkan jempol lantas pergi. Meski sudah rutin, setiap kali
pengadaan tahlilan, aktivis Bintara haruslah mendapatkan izin tertulis. Pokoknya
setiap kegiatan sekecil apapun harus ada izin.
…
Pada hari yang telah direncanakan, para aktivis Bintara berkumpul di kantor
sepetak. Membaca tahlil, tahmid, dan bacaan-bacaan khas Arab lainnya. Mereka
khusu`. Sedang di luar kantor, beberapa orang yang tidak seiman bergerombol, bukan untuk menyerang, tetapi untuk jaga-jaga jika mendadak ada kondisi yang tidak
diharapkan.
Bagi aktivis Bintara dan orang-orang tidak seiman yang sekarang menjadi
minoritas itu, saling menjaga dan bertoleransi merupakan hal lumrah. Mereka tengah
sama-sama dimarginalkan dari kekuasaan dan ketenangan. Sama-sama hidup sebagai
orang kiri. Juga sama-sama melihat wajah Tuhan dari kesengsaraan, penindasan, dan
ketidakadilan. Merekalah yang justru menerapkan prinsip kasih sayang Tuhan, entah
Tuhan Allah, Alah, Yahweh, atau siapapun itu. Prinsip kasih sayang yang kemudian
menjelma ke berbagai aspek, termasuk perdamaian dan lembutnya perangai.
Aktivis Bintara masih khusu` melafalkan kata-kata suci ketika tiba-tiba
segerombolan keamanan datang dengan mengumandangkan takbir,
“Kemusyrikan harus disingkirkan. Orang musyrik sama saja artinya dengan
orang kafir. Tidak berhak berada di negara suci ini. Tanah kita bukan untuk dihuni
oleh orang kafir. Budaya-budaya khurafat harus dihentikan.“ nada-nada serupa
terdengar semakin mendekat.
Orang tak seiman segera masuk kedalam dan memberi kabar. Aktivis-aktivis itu
hanya bisa pasrah. Mereka tahu pasti apa yang akan terjadi.
“Kita orang kafir. Kita kafir. Kata mereka kita telah menyekutukan Tuhan dan
berbuat dholim. Surga hanya milik mereka“ Nala berucap lirih, matanya berkaca-
kaca, kentara sekali menahan tangis. Sedang aktivis lainnya memilih untuk tetap
khusu` dan orang tak seiman sudah siap dengan segala resiko.
Tak lama berselang, yang dikhawatirkan dan sudah diketahui akan terjadi,
terjadi juga. Itu pulalah yang membuat Nala, si gadis berkerudung biru muda itu
sekarang terbaring cantik di rumah sakit. Tak sadarkan diri.
…
“Nduk, Umi ikhlas. Umi ikhlas.“ peremuan paruh baya itu berucap lagi.
Dikecupnya kening sang putri dengan segenap cinta, yang mungkin atas cintanya itu
sang putri perlahan-lahan membuka matanya, tersenyum dan bergumam, “Umi“.
Melihatnya, sang Umi bahagia bukan main, “Alhamdulillah. Nduk, Nala, kamu
sudah bangun“ ucapnya.
“Umi, tuntun aku“ Nala terbata-bata berucap dengan suara yang tetap lirih.
Perempuan paruh baya itu berubah seketika wajahnya, ia teringat bahwa sesaat lalu ia
bilang telah ikhlas. Maka dengan hati yang entah bagaimana, ia pelan-pelan
membacakan kalimat syahadat dan tahlil di telinga putrinya.
Putri itu, Nala, meski dengan amat pelan dapat mengikutinya hingga kalimat
terakhir. Ia tersenyum melepas ruhnya. Ia yang dituduh kafir dan ahli khurofat telah
khusnul khotimah di akhir hayatnya. Menyusul sahabat-sahabat aktivis Bintaranya
yang telah lebih dulu meninggalkannya.
..
Langit masih sendu.
Di samping tanah kuburan yang belum kering sepenuhnya itu, seorang pemuda
dengan tongkat di salah satu tangannya tengah berdiri tertunduk. Seperti mengucap
sebuah doa. Atau mungkin menangis tanpa berair mata. Seorang perempuan paruh
baya mendekatinya dan berkata,
“Nak, bacalah ini setelah kau sampai di kantor Bintara. Itu catatan Nala“ Umi
menyerahkan selembar kertas lipatan kepada Zahid.
Pemuda itu mengangguk dan bergegas pamit undur diri. Sesampainya di
markas, ia segera membuka kertas itu, tulisan tangan Nala,
Zahid yang aku kasihi.
Betapa bersanding denganmu dalam sebuah pelaminan adalah salah satu
impianku. Aku bermimpi kita akan memiliki putra-putri yang cantik dan tampan,
riang dan pintar, dan untuk mereka sekarang kuperjuangkan sebuah kebebasan.
Zahid.
Dulu waktu aku masih 7 tahunan, Umi selalu bercerita kepadaku tentang negeri
kita pada zaman Umi kecil dulu. Katanya negeri kita adalah negeri yang damai dan
menerima perbedaan dengan sangat baik. Kurasa memang sudah seharusnya seperti
itu Hid, karena perbedaan adalah keniscayaan yang tidak seharunya dihilangkan.
Kau sepakat kan Hid? Seperti halnya ayam tidak perlu berusaha menjadi
burung hanya untuk bisa terbang tinggi, dan macan tidak perlu memaksa hewan
apapun untuk bisa berkulit bloreng seperti yang ia miliki?
Hid, Aku selalu merasa perbedaan itu indah.
Dan aku enggan memandang salah kepada sesuatu hal. Entah mengapa aku selalu percaya, selama kita adalah manusia, maka tidak satupun dari kita menjadi paling benar. Demikian sebaliknya, tidak
satupun menjadi selalu salah. Terlepas dari semua itu Hid. Aku sungguh berharap, cerita Umi yang bagiku hanya seperti dongeng itu bisa benar-benar terwujud.. Agar kau dan aku bisa
menjadi layaknya Bapak kita Adam dan Ibu kita Hawa. Agar anak-anak kita tak lahir
dalam kekalutan percobaan penyeragaman dan ketegangan sepanjang hari karena
ketidaksamaan.
Aku benar-benar harap usia kita cukup panjang untuk bisa sampai ke sana Hid.
Semoga.
0 comments:
Post a Comment