PADA SUATU KETIKA




Tidak ada yang lebih aku sukai dibanding suasana syahdu sore hari di dekat masjid Jelag. Terlebih ketika Pak Kusnan – si takmir Masjid yang sudah setengah orang itu– memutarkan MP3 haji Mu’ammar. Rasa-rasanya aku ingin menghentikan waktu tepat di situ saja. Ada perasaan damai yang susah dijelaskan. Lantunan ayat suci, sapaan angin yang lembut menyentuh kulit, dan nuansa pergantian siang ke malam menciptakan suatu harmoni yang bagiku sempurna.
Demi menikmati harmoni itu, setiap pukul 16.00 aku tidak pernah alpa untuk berada di serambi masjid Jelag, bahkan jika harus sembunyi-sembunyi keluar pondok dengan meloncati pagar tembok yang tinggi dan mbolos Diniah.
“Ngaji bisa nanti-nanti, kalau sore hanya ada sekali sehari.“ batinku suatu ketika, dan aku kembali meloncati pagar yang tinggi, jalan berputar menghindari satpam untuk dapat sampai kepada pujaan hati.
Tetapi aku tidak setiap saat beruntung. Ketika nasibku kurang baik, satpam yang garang itu akan memergokiku dan membawaku ke kantor keamanan. Keesokan harinya, sudah dapat dipastikan rambutku yang indah itu lepas seluruhnya dari kepala. Para santriwati yang kebetulan berpapasan denganku akan berbisik-bisik,
“Lihat-lihat, Abdul digundul. Dia pasti habis mblancong lagi. Kok tidak ada kapok-kapoknya anak itu.“ lalu mereka akan berlalu sambil tertawa-tawa kecil.
“Rupa-rupanya aku sangat terkenal di kalangan wanita.“ ucapku berbangga diri, aku bergumam kepada diriku sendiri.
Terkadang juga aku sangat baik hati ingin berbagi kesyahduan harmoni yang sempurna itu dengan teman-temanku. Tetapi mereka tak terlalu berani mengambil resiko melawan peraturan. Mereka terlalu disibukkan dengan pertanyaan –bagaimana jika rambutku digundul? Ketampananku akan berkurang. Imejku di kalangan Hawa akan merosot–.
“Kalau ganteng ya tetap ganteng kuy“ aku tak lelah mengucapkan itu kepada mereka.
Pada suatu sore yang lain, di penghujung bulan Februari yang katanya penuh cinta, aku duduk manis di serambi kanan masjid Jelag. Seperti biasa aku menunggu pak Kusnan untuk datang. Ketika sosok yang rambutnya sudah sebagian beruban itu tiba, aku akan bergegas menyalaminya, mencium punggung tangannya dan berbasa-basi menawarkan bantuan, menyapu masjid misalnya, atau membersihkan mushaf-mushaf yang berdebu karena jarang disentuh manusia.
Dan selama aku melakukan rutinitas itu, pak Kusnan tidak pernah sungkan-sungkan untuk mengiyakan, padahal di dalam hati aku berharap Beliau akan menolak dengan halus.
Sampean istiqomah sekali berada di sini setiap sore, apa sampean tidak ada jadwal ngaji?“ Pak Kusnan bertanya padaku, suaranya serak dan berat, tidak seperti biasanya.
Aku hanya meringis, “Pak Kusnan pilek ya?“ timpalku sebagai jawabannya.
Biasanya aku akan tetap berada di masjid sampai selesai jamaah sholat maghrib. Setelahnya aku akan kembali ke pondok dan mengikuti kegiatan ngaji Quran. Dengan mengikuti kegiatan itu, aku jadi bisa meyakinkan diriku bahwa aku masih santri yang baik dengan hanya beberapa catatan takziran.
“Dul, tadi aku dapat amanat dari pengurus. Katanya kamu disuruh menghadap ke Abah setelah ngaji Quran.“ Muslimin berkata kepadaku. Dia adalah teman satu kamarku yang berasal dari Bojonegoro, santri yang patuh dan rajin, tidak pernah mendapatkan kartu merah. Kita berdua seperti butiran emas dan debu, dia butiran emasnya – yang berkilau dan dicari, sedangkan aku butiran debunya – yang sekedar remah-remah tak berarti.
“Habis ngaji? Sekarang dong Mus!“ aku bergegas meletakkan Mushafku di loker, lalu berlari menuju Ndalem, bagiku panggilan Abah Yai itu seperti panggilan presiden, yang darurat dan harus segera dipenuhi, “Eh Mus, kan Abah kalau jam segini biasanya ada jadwal pengajian di luar.“ aku berlari kembali ke kamar dengan nafas tersengal-sengal.
“Ndak tau Dul, tadi pengurus pesennya gitu. Coba saja ke Ndalem dulu.“
Mendengar jawaban Muslimin aku bergegas lari menuju Ndalem lagi, yang jaraknya hampir 1 km dari asramaku dan terletak di pondok putri. Dalam hati aku berpikir, apa pelanggaranku sudah terlalu berat sehingga Abah yang bahkan tidak tahu namaku sampai memanggilku.
Tak butuh waktu lama untuk bisa sampai ke Ndalem, dengan alasan yang aku berikan, keamanan juga tidak menghalangiku untuk keluar gerbang pondok putra.
Aku mulai merunduk-runduk, menunjukkan rasa ta’dhimku sekaligus mempraktikkan isi kitab Adabul ’alim wal muta’allim yang baru saja aku baca malam kemarin, ketika para santri lainnya tengah tertidur dengan pulas karena lelah mengaji dan sekolah seharian.
Belum sempat mengucapkan salam, suara Abah yang serak dan berwibawa sudah memanggilku terlebih dulu, irama jantungku menjadi semakin cepat,
Sampean Abdul? Ayo sini masuk.“
Nggih Bah.“ aku menganggukkan kepala satu kali. Lalu mendekat ke tempat Beliau duduk. Dengan posisi duduk tasyahud akhir, aku sekarang telah berada tepat di depan Abah, hanya di sela oleh toples-toples kaca berisi jajan yang sengaja disuguhkan untuk tamu-tamunya Abah.
Aku melirik sebentar ke arah lelaki yang sangat aku hormati itu. Wajahnya tenang dan sudah berkeriput di beberapa bagian. Dan entah mengapa, Abah seperti selalu memancarkan aura-aura syahdu seperti yang aku rasakan ketika berada di masjid Jelag waktu sore. Barangkali itu yang dinamakan kharisma.
Dalam kesibukanku termenung, Abah menyebut namaku lagi. Aku masih merunduk dan menyahut dengan redaksi kata yang tidak berubah. Aku sudah bersiap dengan segala kemungkinan buruk, bahkan jika tiba-tiba Abah mengeluarkanku dari Pesantren Darul Hikmah ini.
Sampean tahu kenapa dipanggil ke sini?“ tanya Abah.
Aku menggeleng, “Mboten Bah.“ jawabku sambil tetap merunduk, itu adalah jawaban paling aman menurutku.
“Pengurus mengeluhkan sikap sampean yang tidak pernah ngaji sore. Saya pikir, daripada memberitahu orangtua sampean dan membuat mereka resah, akan lebih baik jika Abah memberi hukuman lain.“ Abah bertutur pelan.
Jantungku sudah berdebar semakin kencang, rasa-rasanya mau copot, aku mendadak tidak siap jika harus tidak diakui santri lagi.
Nggih Bah.“ terus itu saja yang aku ucapkan, aku sudah pasrah.
“Abah sudah memutuskan untuk menghukum sampean dengan cara lain.“ Abah menatapku lekat-lekat, rasanya aku semakin kecil, tak sepatah katapun aku ucapkan, hanya tetap merunduk.
“Hukumanmu adalah ziyaroh wali songo.“ Abah melanjutkan dengan intonasi yang tegas tapi tak terkesan seperti marah, iya! Abah memang selalu ramah.
Aku bernafas lega. Ziyaroh wali songo bukan hal berat, batinku. Lagipula aku memang sangat suka mengunjungi makam para auliya’ dan melakoni apa yang para auliya’ itu senangi.
Nggih Bah“ aku mengiyakan dengan perasaan yang bungah.
“Tetapi sampean tidak boleh naik kendaraan apapun dalam perjalanan. Sampean hanya diperbolehkan jalan kaki. Mulai dari berangkat sampai kembali ke pondok ini.“ Abah menegaskan lagi, terlihat sesungging senyuman di wajah Beliau yang damai.
Aku terhentak mendengar penuturan Abah. Bagaimana bisa aku ziyaroh wali songo hanya dengan berjalan kaki. Aku harus berjalan ke timur untuk tiba di Sunan Ampel, lalu kembali lagi ke barat untuk sampai pada sunan gunung jati. Terlebih, mana mungkin aku meninggalkan Mbah Kholil Bangkalan. Aku juga harus menyambangi Beliau.
Untuk beberapa waktu, aku menjadi penuh pertimbangan dan tenggelam dengan pikiranku sendiri. Akan butuh berapa lama, dan yang paling penting akan seberapa lelahnya kakiku ini nanti. Namun dhawuh tetap dhawuh, aku tidak mungkin mengatakan tidak pada apa yang Abah katakan padaku. Dengan berat hati akhirnya aku mengiyakan.
Abah lantas tersenyum, Beliau menyuruhku meminum segelas air mineral yang disuguhkan di depanku.
“Baca Al Ikhlas dulu setelah bismillah.“ perintah Beliau.
Nggih Bah.“
***
Aku memulai perjalananku dengan mengunjungi Sunan Drajat yang tak jauh dari pondok. Untuk beberapa saat lamanya aku duduk di sekitar pesarean Beliau, membaca apa yang perlu aku baca. Karena Sunan Drajat selalu berwasiat wenehono, maka aku memasukkan beberapa uang koin ke dalam kotak infaq dan memberi pengemis-pengemis di sepanjang jalan pesarean koin sisanya.
Aku melanjutkan perjalanan menuju Gresik dengan berjalan kaki. Butuh beberapa hari untuk sampai ke pesarean Maulana Malik Ibrohim. Baru dua wali, tetapi aku sudah sangat lelah dan perbekalanku juga semakin menipis.
Setelah selesai dengan ritual berdoa di Sunan Gresik, aku melanjutkan perjalanan ke Sunan Ampel, ke Mbah Kholil, lalu ke Sunan Bonang. Di tengah jalan menuju Tuban, rasanya kakiku sudah mau patah saja. Aku hampir-hampir putus asa mengingat perjalananku masih sangat panjang. Di tengah keletihan yang mendera, aku duduk sebentar di pinggiran jalan Duduk Sampean. Orang-orang melihatku seperti gelandangan, yang tidur di emperan-emperan dan berjalan dengan menjinjing tas ransel hitam lusuh.
Karena sudah sangat lelah, aku membulatkan niat untuk menumpang truk yang akan lewat. Anak-anak punk biasa melakukan itu, jadi supir truk dan kernetnya pasti tak keberatan jika aku menumpang juga. Lagipula Abah tidak melihatku. Beliau tidak akan tahu jika ternyata aku naik truk, aku senyum-senyum sendiri. Puas dengan keputusanku.
Tak berapa lama, sebuah truk pengangkut mobil lewat. Aku menghadangnya agar si supir truk menghentikan lajunya,
“Mohon maaf Pak, boleh saya menumpang ke Tuban? Perbekalan saya habis dan saya tidak tahu harus melanjutkan perjalanan dengan cara apa.“ aku berkata sesopan mungkin kepada kondektur truk. Tanpa berbicara apapun, kondektur truk itu tiba-tiba memukuliku dengan membabi buta. Aku hanya diam tak berkutik. Tidak berani membalas.
Setelah cukup dengan pukulannya, kondektur truk itu naik kembali dan melanjutkan perjalanannya. Sementara aku masih berada di pinggiran jalan, dengan beberapa luka lebam di wajah dan tangan. Pipi kananku terasa ngilu dan sepertinya kelopak mata sebelah kiriku membiru.
“Ah sial sekali.“ aku menggerutu. Dalam kepayahan yang aku alami, aku mendadak teringat pesan Abah,
Sampean tidak boleh naik kendaraan apapun. sampean hanya diperbolehkan jalan kaki.“ suara serak Beliau terngiang-ngiang di telingaku.
Sadar akan kesalahanku, aku segera melanjutkan perjalanan dengan luka-luka yang ada. Aku insyaf dan menyesali kelalailanku.
“Bismillah.“ aku menguatkan tekad.
Satu minggu berikutnya aku sudah sampai di Tuban. Setelah mengunjungi Sunan Asmoroqondi, aku bergegas menuju Sunan Bonang. Di pesarean yang terletak di belakang masjid Agung pas itu, aku menyempatkan diri untuk mandi di toilet umum, minum air dari genuk sambil ngalap barokah, dan duduk-duduk sebentar di alun-alun kota yang ramai pengunjung.
Aku benar-benar tergiur untuk membeli siwalan yang dijual oleh pedagang-pedagang di sekitar makam, tetapi jika aku membeli itu, uangku akan cepat habis. Jadi aku hanya menelan ludah. Bersabar dulu.
Setelah cukup beristirahat, aku melanjutkan perjalanan ke Jawa Tengah. Mengunjungi beberapa makam auliya’ yang dulunya dikenal sebagai bumi mataram itu.
***
Sudah lebih dari satu setengah bulan aku berjalan kaki. Jangan tanyakan betapa lelahnya. Karena uangku yang benar-benar sudah nol rupiah, aku bahkan hanya minum air untuk beberapa hari dan makan makanan berkat di masjid-masjid ketika kebetulan ada hajatan.
Sebagai penutup ziyaroh, aku mengunjungi Sunan Gunung Jati di Cirebon. Seperti biasa aku membacakan doa-doa yang terkumpul dalam tahlilan, berwasilah kepada rasul dan sahabat-sahabatnya, serta berkirim fatihah kepada keluargaku yang sudah beberapa meninggal dunia.
Aku tidak lupa untuk meminum air di genuk yang disediakan dan mengemasnya sebagian di botol air mineral untuk bekal. Abah pernah bilang, kalau molekul air itu adalah zat pengikat yang kuat. Nah kalau banyak orang berdoa di sekitar tempat air itu, pastilah air yang sekarang aku minum akan mengandung banyak energi positif yang telah diserap dari doa orang-orang.
Merasa selesai dengan ritualku, aku kembali berjalan kaki menuju Lamongan. Sebelum berjalan cukup jauh, sudah terbayang olehku betapa lelahnya perjalanan yang akan aku lakukan nanti. Pada tahapan ini, aku sudah bosan dengan suara kendaraan yang berlalu lalang dan udara kotor di tepian jalan. Aku juga sudah lelah tidur di emperan toko dan kelaparan dengan hanya meminum air saja. Tetapi tak mengapa. Demi menuntaskan amanah Abah. Begitu tekadku dalam hati.
Aku terus berjalan dan berjalan. Melewati kota-kota yang saat ini terasa lebih akrab bagiku. Mengabaikan pandangan orang-orang yang melihatku dengan tatapan aneh. Tetapi seberapapun tangguhnya aku, kakiku kali ini benar-benar terasa mau patah dan tenagaku sudah semakin mendekati titik nol.
Sesampainya di Rembang, kelelahanku sudah semakin memuncak. Aku tidak kuat berjalan lagi. Akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat lebih lama. Aku duduk-duduk, tiduran di ruang hijau terbuka yang diperuntukkan bagi pengunjung, dan melihat-lihat langit yang tetap saja berwarna abu-abu dari aku kecil sampai umurku 18 tahun sekarang ini.
Karena tenagaku benar-benar telah terkuras habis, aku memutuskan untuk naik bis menuju Lamongan. Kali ini aku tidak berniat untuk membohongi Abah lagi, aku hanya berpikir bahwa tugasku untuk ziyaroh sudah selesai jadi tidak akan masalah jika sekarang aku naik bis.
Setelah niatku benar-benar bulat, aku kemudian berjalan ke arah halte bis. Aku menunggu bis jurusan Bungurasih lewat. Tak berapa lama yang kutunggu-tunggu datang juga.
Sebelum naik, aku mengatakan kepada kondektur,
“Mohon maaf sebelumnya Pak, saya benar-benar tidak punya uang. Tetapi saya sangat berharap Bapak akan memberi saya tumpangan sampai ke Lamongan.“ aku berbicara dengan lebih halus dan hati-hati mengingat pengalaman pahitku berminggu-minggu sebelumnya..
Kondektur itu tersenyum, tanpa mengatakan apapun beliau meraih tangan kananku, seperti mau dituntun untuk naik. Tetapi prediksiku ternyata salah. Beliau langsung menarikku dan memukuliku tanpa ampun. Aku benar-benar merasa kesakitan tetapi tak memiliki daya apapun. Aku mengutuk kesal para penumpang yang tidak turun untuk menolongku, tetapi apalah daya, kutukanku tak bermakna.
Setelahnya, kondektur itu naik kembali ke bis dan berlalu bersama bis dan seluruh penumpangnya. Meninggalkan aku seorang diri di pinggir jalan. Lagi-lagi tubuhku dipenuhi lebam. Aku duduk termenung di pinggir jalan. Sepintas kemudian, dhawuh Abah 3 bulan yang lalu terngiang kembali di telingaku,
Sampean tidak boleh naik kendaraan apapun. sampean hanya diperbolehkan jalan kaki. Mulai dari berangkat sampai kembali ke pondok ini.“ suara serak Beliau terdengar samar-samar meneduhkan.
Aku menangis tersedu-sedu mengingat itu. Mungkin ini memang balasan yang tepat karena aku tidak melakukan dhawuh Abah dengan benar.
Setelah cukup menyesal dan merasa lebih baik, aku kembali berjalan sampai akhirnya tiba di pondok kembali. Ada rasa bahagia yang tidak bisa kujelaskan. Ada rasa puas yang tidak bisa kau bayangkan, dan yang terpenting aku sudah menjalani hukumanku dengan baik tanpa kurang suatu apapun kecuali tubuh yang masih terasa ngilu di beberapa bagian.
***
Tanpa  berpikir untuk istitrahat terlebih dahulu, aku langsung bergegas menuju ndalem. Aku lihat beberapa santri putri sedang ro`an membersihkan halaman ndalem dan satpam-satpam yang berpakaian hitam sedang menjaga pos pintu gerbang. Aku juga bisa mendengar suara santri-santri yang sedang lalaran alfiyah di gedung lantai 2 depan ndalem.
“Ah syahdunya. Biasanya di jam-jam ini aku selalu berada di Masjid Jelag“ aku bergumam pelan. Entah kenapa aku begitu rindu pondok ini, suara gaduh santri-santrinya, dan juga wajah galak keamanannya.
Aku berjalan merunduk-runduk masuk ke ndalem.
“Tunggu sebentar, saya panggilkan Abah.“ ucap Mbak Fathonah, si mbak –Abdi Ndalem–.
Ku mengangguk, mengiyakan. Jeda beberapa menit, Abah keluar dari ruang tengah menuju ruang tamu, mengenakan sarung putih kotak-kotak dan baju koko hijau, setelan yang sering Beliau gunakan ketika ngaji Ihya` Jumat pagi.
Aku bergegas mendekat ke arah Abah, menyalami Beliau dengan sepenuh hati, mencium punggung tangan kanannya berlama-lama, dan meneteskan air mata yang sudah tidak dapat kubendung.
Abah diam saja untuk beberapa saat,
“Bagaimana perjalananmu?“ Abah bertutur pelan. Aku mengusaikan salamanku dan duduk dengan posisi tasyahud akhir tak jauh dari Abah.
“Saya belajar banyak hal Bah. Dan saya sangat rindu pondok ini karena sudah 3 bulan tidak berada di sini.“ jawabku santun, aku ingin menceritakan detail cerita perjalananku tetapi rasanya tidak sopan, jadi aku menahannya.
“Tiga bulan?“ Abah menatap ke arahku, sambil tersenyum teduh.
Nggih Bah“ aku mengangguk satu kali.
Abah mendadak tertawa pelan, “Tiga bulan bagaimana toh Dul Dul. Sampean itu berangkat kemarin malam, dan sekarang sudah di sini. Itu artinya Cuma sehari, bahkan tidak sampai 24 jam“ Abah menepuk bahuku.
Aku menjadi bingung sendiri. Aku yakin sudah 3 bulan aku melalang-buana mengelilingi pulau Jawa, tetapi kenapa Abah berkata demikian. Apa Beliau sudah pikun? Ah tidak mungkin. Aku segera menepis anggapan itu.
Dalam kebingungan yang menyelimuti, aku berpamitan kepada Abah untuk kembali ke asrama. Sesampainya di kamar, aku melihat Muslimin sedang muroja’ah hafalannya. Aku segera memeluk bujang Bojonegoro itu, ku katakan aku rindu karena sudah 3 bulan tidak bertemu.
“Kamu ini apa-apaan sih Dul. Rindu. Rindu. Baru juga sehari ga ketemu, kok sudah bilang rindu. Kamu sehat kan? Ga kena dari mana mana?“ Muslimin menempelkan punggung tangan kanannya ke dahiku.
“Tidak panas.“ sambungnya lagi.
Aku hanya meringis dan menjadi semakin bingung. Akhirnya aku memutuskan untuk melihat kalender dan bertanya ke beberapa kawan lainnya, dan ternyata ini memang masih tanggal 1 Maret 2017. Entahlah.

0 comments:

Post a Comment