APA KABAR FAJAR?




Hari ini senin. Aku tengah menungu jam bioteknologi seraya menatap keluar jendela lantai 3 gedung GKB. Hanya parkiran dan graha cakrawala yang nampak di pelupuk mata. Juga gunung putri tidur yang samar-samar berwarna biru. Sepeda motor, kadang-kadang mobil, berlalu lalang melintasi jalan cakrawala. Sibuk dengan urusan masing-masing. Mengabaikanku yang takzim memandanginya dengan pandangan nanar.
Aku, entah mengapa suka sekali menatap keluar jendela. Meski yang nampak hanya pepohonan, motor bersliweran, atau bahkan hanya rintikan hujan; aku tetap suka menatap jauh keluar jendela. Seakan di luar sana terdapat banyak kisah untuk diceritakan, banyak kenangan-kenangan menggantung di langit untuk diputar kembali dalam ingatan, dan entah apa lagi yang tersimpan diluar jendela. Sehingga aku suka sekali berlama-berlama menyambanginya.
Aku terus memandang keluar jendela. Jauh mendikte awan-awan yang berarak melawan rotasi bumi. Lalu kenangan kecil itu menghampiriku. Menanyai kabarku dan sedikit memberi tahu tentang kabarnya. Dia yang jauh disana. Dia yang dulu pernah sedikit memberi warna dalam hidupku. semasa itu.
Aku tak berniat menyambut sapaan kenangan itu. tapi ia masuk begitu saja tanpa aku mempersilahkan. Dengan sedikit sentuhan lucu dan manisnya, ia mulai bercerita.
Bahwa dulu aku pernah menyukainya. Tak tahu suka itu diartikan cinta atau hanya sebatas suka yang tidak jelas. Aku hanya perlu menyebutnya suka. Karena meski waktu itu aku kelas 3 Aliyah, aku masih belum bisa bersikap dewasa tentang cinta. Dan sampai saat ini, akupun masih amatir dengan kata cinta. Tapi, aku ahli berpujangga dan ahli menulis kisah tentang cinta.
Kembali pada dia.
Dulu, entah sejak kapan perasaan aneh itu mulai tumbuh. Tak seorangpun tahu pasti. Bahkan aku sendiri. Karena setahuku, aku hanya mulai suka mengingatnya ketika aku kelas 2. Ketika kita sama-sama menjadi senior IPNU/IPPNU. Ketika aku ketua IPPNU dan dia bendahara IPNU.
Aku juga tak tahu, sejak kapan aku mulai suka menuliskan namanya di kitab-kitab diniah, di buku-buku tulis, dan di angan-anganku. Bagiku itu tak penting. Karena aku hanya ingat, kita menjadi lebih dekat karena kami pengurus inti di IPNU/IPPNU dan intensitas bicara kami menjadi lebih padat.
Sungguh aku tak mengerti.
Jika di ingat, tak banyak yang kita lakukan bersama. Tak banyak pula kenangan yang kami punya. Bahkan jika dihitung, jumlahnya mungkin hanya empat atau lima. Hanya sedikit, tapi entah kenapa aku menyukainya.
Aku hanya membungkus beberapa kisah tentangnya. Misalnya salah satu kisah di suatu senja. Ketika matahari hendak menyandarkan penat pada ufuknya, ketika angin bersemilir menghembuskan hawa syahdu pada batin. Senja itu adalah masa dimana kepengurusan kami selesai dan kami mendapat tugas untuk mendiklat pengurus periode berikutnya. Senja itu kami sedang berlelah-lelah, maklum hari terakhir diklat. Kami telah melewati masa-masa perjuangan yang cukup melelahkan tapi meyenangkan. Kami bergadang, berjalan jauh, menyusuri jalanan, persawahan, dan sungai. Membentak adik-adik (dengan dalih melatih mental), memakan makanan seadanya dan meluangkan waktu untuk hari yang bisa disebut tidak nyaman.
Sebelum kisah indah itu, ada kisah indah lain yang ingin kuceritakan.
Tentang kami semua yang mulai menyadari bahwa masa-masa itu adalah masa kritis bagi kami (pengurus IPNU/IPPNU periodeku), masa itu adalah mungkin terakhir kalinya kami dapat bekerja bersama menggarap proker, nyapu kandang, outbound ala kadar bersama, atau talaman bersama. Sungguh masa-masa itu adalah masa kritis bagi kami. maka kamipun mencoba mencari kesempatan terakhir untuk dikenang. Dan yang paling indah adalah ketika kami berada di sungai.
Ketika adik-adik telah berjalan duluan, menyisakan pengurus lama, ketua putra menyuruh kami untuk berbaris di sungai yang airnya coklat susu. Berbaris rapi. Putra berjajar dengan putra. Dan putri berjajar dengan putri. Aku tak mengerti apa maksudnya tapi kemudian dia memberi aba-aba kami untuk –sirat-siratan- air sungai.
Sederhana memang. Kami hanya saling menciprati air. Tertawa-tawa. Basah dan kotor. Tapi itu menyenangkan. Bahkan aku masih sering tersenyum ketika mengingatnya. Dasar anak-anak kampung. Aku rindu kalian. Sungguh. Sangat rindu
Selepas itu kami hanya berjalan menuju Ma Maarif. Di sepanjang jalan, kami hanya bercerita. Aku tak ingat benar apa yang kami ceritakan. Tapi aku ingat, ketika kami hendak mencapai gerbang pondok bagian selatan. Aku berjalan berdampingan dengan Fajar. Berdua. Karena teman-teman lainnya ada di depan dan dibelakang. Kami, aku dan Fajar berada pada posisi yang ehem bisa menimbulkan kesalahpahaman. Sebenarnya tidak terlalu mencolok, atau romantis atau terlihat modus. Tapi karena itu aku dan dia maka persepsinya bisa lain.
Eits.. tapi Jangan salah sangka, kami tak pernah bermaksud demikian. Kami tak berencana untuk berjalan beriringan atau mencuri waktu untuk berdua. Senja itu, sungguh semua hanya kebetulan. Believe me.
Dan senja itu juga, aku tahu aku menyukainya. Suka lebih dari teman. Aku tahu aku memimpikannya. Entah untuk jadi apa. Yang jelas, aku merasa ada sesuatu yang ganjil ketika itu adalah tentang dia.
Karena itulah, karena rasa yang seperti itu akhirnya aku memilih topik pembicaraan dengan istilah jawanya –ngadani- (ngelokno) dia dengan Sekar. Teman Aliyah juga. Anak sastra yang kabar-kabarnya suka dengannya.
Sebenarnya itu hanya modusku. Modus untuk berbicara dengannya diluar topik organisasi. Modus untuk menyembunyikan perasaanku yang tengah meluap-luap kepadanya.
Dengan topik pembicaraan yang seperti itu, Dia hanya senyum-senyum saja. Menyauti dengan kata-kata yang aku tak ingat apa. Aku hanya ingat bahwa aku mengikutinya tersenyum, tertawa meledek, dan entah hanya prasangkaku atau memang demikian faktanya kami sangat menikmati pembicaraan singkat itu. pembicaraan yang seakan hanya milik kami berdua. Pembicaraan yang seakan-akan mengalihkan dunia kami berdua, seakan akan disana tak ada siapapun kecuali kami.
Namun, semua yang hanya milik berdua itu tiba-tiba lenyap begitu saja ketika Hildan dan Hilman nimbrung. Ciaa ciee. Meledek aku dan fajar yang seakan sedang saling kasmaran. 
Pembicaraan itu akhirnya harus berkenan diakhiri dengan rasa malu-malu diantara kami dan tak menyisakan apapun kecuali kenangan untuk dikenang. Dan kisah untuk ditulis dalam lembaran. Hilang begitu saja. Seperti saat ini ketika aku menuliskannya dengan runtutan cerita yang mungkin terpotong ditengah-tengah ataupun ingatan yang salah.
Ya, kisah di senja itu berakhir begitu saja tanpa meninggalkan kisah yang harus dijalani lebih lanjut atau cerita yang bisa diceritakan lebih panjang. Semua berhenti dengan satu titik.
...
Satu titik aku berbisik pada jendela yang kini mulai lengang dari manusia. Di luar sana hanya tersisa warna keemasan dari matahari yang sebentar lagi akan mengucapkan selamat tinggal. Juga bau ampo yang perlahan-lahan pudar.
Nay, kau meninggalkan kelas hanya untuk melihat jendela? Rahman, teman sekelasku menghampiri. Dia ketua kelas yang perhatian kepada semua anggota kelas.
Menurutmu? Aku ganti bertanya. Belajar tidak harus berada di kelas dan mendengar penjelasan guru kan? Aku meninggalkan jendelaku. Beralih pada Rahman.
Tak salah Rahman menyahut singkat. Air mukanya tak jujur mengatakan itu.
Kami berdua tertawa lantas beranjak di GKB karena matahari sudah sepenuhnya lenyap dan gedung telah menjelma lengang.





1 comment:

  1. JADIKAN AGEN KAMI MENJADI FAVORIT ANDA ,
    AYOO BERGABUNG BERSAMA RIBUAN MEMBER KAMI YANG LAINNYA
    HANYA DI HTTP :// WWW.ARENA-DOMINO.COM
    BONUS ROLLINGAN TERBESAR 0,3 % SETIAP MINGGUNY

    ReplyDelete