(1)
Aku masih ingat kau duduk di kursi goyang.
Menghabiskan cerutu sepanjang petang.
Membuat kamar sempit itu gamang
“Maling itu naik pangkat, hanya dengan menjaga anak sungai ia naik pangkat“
Bau cerutu terakhir yang kucium adalah cerutu yang kau hirup tujuh tahun lalu,
dan tak sedikitpun aku melupakan aroma khas dari racikan khas, yang kau sebut
itu resep pribadi dengan teknik menggelintir khusus. Satu-satunya dan paling
lezat di dunia. Hanya dimiliki oleh kakek tua sepertimu.
Sepasang seragam coklat susu, lengkap dengan kopyah coklat susu,
masih menempel di dinding ruang tengah. Tergantung di dua hanger yang
bersandingan. Kau yang memintaku memajangnya di sana suatu saat ketika kau
telah berpulang. Waktu itu, katamu kau sudah terlalu renta dan pesakitan. Sudah
bau tanah. Dan sekarang kau memang telah melebur bersama tanah.
Tetapi entah mengapa pagi ini aku melihatmu lagi. Kakek tua dengan
rambut putih yang ditutupi kopyah coklat susu. Duduk di kursi goyang. Menghisap
cerutu dengan ujung menyala seperti kibaran api yang membakar pendopo kota
beberapa waktu silam.
Dan lagi, untuk kesekian kali, kau mendongeng tentang seorang maling yang
baik nasibnya. Padahal tak seorangpun mendengarkanmu, kecuali angin dan
pepohonan yang berjajar tak rapi di samping rumah.
Aku tak mengerti mengapa kakek tua sepertimu gemar sekali duduk di depan
rumah setiap pagi dan sore, “menikmati hamparan alam yang masih tersisa di kota“, ujarmu.
“Apa kau hantu?“ tanyaku ketika kau tanpa sengaja menoleh ke arahku. Kau
lantas menggerakkan tanganmu yang seperti hanya tulang dengan balutan kulit
keriput beberapa senti tebalnya.Menyuruhku mendekat ke arahmu.
“Cucu kurang ajar!“ lelaki tua itu menjitak kepalaku. “Apa kau
pernah melihatku dikafani? Apa orang-orang pernah mengantarku ke kuburan?“ ia
balik bertanya dengan suara pelo. Giginya sudah lama raib, dimakan usia.
Aku melirik ke dinding tempat seragam coklat susu di gantung. Tetapi
seragam itu tidak ada di sana. Bahkan pakunya yang teyengan tempat
menggantung hanger pun tak ada. Bekas lubangnya juga tidak ada.
Aku lalu menggeleng. Seingatku memang tidak pernah ada tahlilan di rumah
untuk memperingati kematian kakek. Aku juga tidak pernah menangis untuk berduka
atas kepergiannya. Lalu kenapa aku mengingatnya sebagai orang yang telah
meninggal? Entahlah.
“Maafkan Adit Kek. Adit minta maaf.“ aku membungkuk-bungkuk, sebagai wujud
rasa hormat dan maafku kepada yang lebih tua.
“sudahlah! Minta ibumu untuk membuatkan secangkir kopi pahit“
Aku bergegas undur diri. Kepada ibu kukatakan kakek meminta kopi seperti
biasa. Ibu hanya menghela napas besar,
“Kakekmu sudah meminum kopi yang lebih enak Dit. Sudahlah. Pergilah main
dengan Arya. Dia pasti sudah menunggumu“ Itu yang selalu Ibu katakan ketika
Kakek memintanya membuat kopi. Aku menerka kakek mungkin sudah pikun sehingga
ia tak pernah ingat telah meminum kopi. Maklum saja penyakit orang tua.
Aku lantas bermain ke rumah Arya. Dia adalah anak Mak Lik. Tetangga
belakang rumah yang sering membuat dumbek untuk dijual. Pagi-pagi
sekali, jika kebetulan Mak Lik belum berangkat ke pasar dan aku sudah bermain
ke rumahnya, Mak Lik akan memberiku dua biji dumbek yang masih hangat
dan mengeluarkan aroma gula merah lumer yang lezat. Aku sangat menyukainya.
Di hari-hari lainnya, ketika kakek meminta ibu untuk membuatkan kopi lagi,
ibu mengatakan kepadaku bahwa kakek sudah meminum kopi di surga. Dan aku harus
mengabaikan kakek jika aku menemuinya lagi. Tapi bagaimana mungkin. Aku sungguh
tidak mengerti. Ibu mengajariku unggah-ungguh karena katanya orang Jawa
harus punya unggah-ungguh, tetapi Ibu memintaku untuk tidak menghargai
yang tua.
Aku kemudian berpikir, sepertinya Ibu tak menganggap kakek masih ada. Ibu selalu
terlihat tak percaya ketika aku mengatakan bahwa kakek sering bercerita
kepadaku tentang seorang pencuri yang mendapat rahmat.Dan kakek beberapa kali menyanyikan
lagu gundul-gundul pacul untukku.
Ibu selalu mengatakan “sudahlah, pergilah main dengan Arya. Biar Ibu yang
mengurus kakekmu“. Dan setelah itu kakek pasti terlantar. Sepulang aku bermain,
kakek akan menggerutu kesal kepadaku. Mengadukan Ibu yang tidak pernah peduli
kepadanya. Kakek bilang hanya cerutu yang setia kepadanya dan menjadi teman
yang tak pernah jenuh mendengar ia bercerita.
(2)
Aku masih ingat kau duduk di kursi goyang
Cerutumu tinggal separuh jalan
Lidahmu yang senja mengeja pelan
Putra Adipati mencuri baki
Di rumah sendiri, milik ayahanda sendiri --
Kakek pernah mengawali cerita dengan syair itu. Cerita kakek adalah cerita
terindah yang pernah aku dengar. Bukan apa-apa. Karena cerita itu terjadi di
kota kecilku, meski telah berabad-abad silam, ceritanya terasa sangat nyata.
Aku seperti bisa membayangkan kejadiannya karena ia terjadi di daerahku
sendiri.
Tokoh dalam cerita itu begitu membuatku
terpesona. Seorang anak Adipati yang berkecukupan harta benda, kehormatan, dan
kasih sayang, memilih untuk merampok dan mencuri harta ayahnya sendiri.
Padahal menurutku, jika dia meminta ayahnya, dia pasti akan mendapatkan
harta itu juga. Seperti jika aku meminta mobil tamiya kepada ibu, dengan
sedikit menangis dan merengek, ibu akan membelikanku esok harinya.
“Cucuku, Brandal Lokajaya tidak mencuri dan merampok untuk sekedar membeli
mainan. Hasil curian ia berikan kepada rakyat miskin yang membutuhkan. Ia
manusia dengan budi pekerti luhur dan hati yang lembut.“ begitu tutur Kakek
ketika aku mengutarakan isi hatiku.
“Berarti mencuri itu dibenarkan jika kita memberikannya kepada orang lain
yang membutuhkan? Seperti jika aku mencuri uang Ibu lalu memberikannya kepada
nenek tua yang menjual kecambah dan kacang di pasar? Aku melihat nenek itu
sangat renta, bajunya lusuh, dan terlihat sangat membutuhkan uang.“
Kakek menggeleng. Panjang lebar ia menjelaskan –
“Kakek ini bagaimana. Tadi mengatakan boleh, sekarang tidak.“ aku bersungut
kesal.
Kakek menjitak kepalaku, “ceritanya belum selesai. Kau ini tidak sabaran.“
Aku hanya meringis, “Kakek sih, ceritanya kepotong-potong.“ sergahku tidak
mau kalah.
Kakek tidak pernah menyelesaikan cerita dalam satu waktu. Ia selalu
berhenti bercerita ketika puntung cerutu yang ia pegang sudah tersisa sedikit.
Ceritanya selalu terhenti ketika api di ujung cerutunya dipadamkan. Ia lantas
akan meminta kopi - dan begitu seterusnya, sampai cerita tentang Brandal
Lokajaya terselesaikan.
...
(3)
Aku sungguh masih ingat kau duduk di kursi goyang
Memandangi cerutu yang sudah tak terpegang
Bersamanya tersisa lengang --
Tidak seperti biasa, pagi ini Kakek tidak memakai seragam coklat susu. Ia
hanya mengenakan sarung hijau bermotif kotak-kotak dengan label gadjah di salah
satu sisinya. Untuk atasan, kakek hanya memakai kaos oblong putih dan rambutnya
yang penuh uban dibiarkan terkena angin.
Kakek juga tidak duduk di kursi goyang. Berbekal tongkat kayu yang sekarang
sudah tidak dijual di pasaran, kakek berdiri di dekat sungai. Tangannya yang
lain, yang tidak memegang tongkat menaburkan beberapa kembang ijo di
sungai dekat rumah.
“Aku memunguti kembang ijo ini pagi tadi. Dulu aku yang menanamnya.
Waktu masih seusiamu Dit. Sekarang ia sudah tinggi begini. Cepat sekali.“ ucap
kakek sambil tak lepas mengikuti kembang ijo yang pelan-pelan terbawa
arus tak seberapa itu.
Aku hanya mengangguk,
“Iya Kek.“ aku menimpali. Tidak sopan jika orang tua berbicara dan aku
hanya diam. Paling tidak Kakek akan lega dengan iya-ku. Ia akan merasa
didengar dan dihargai.
Setelah itu, mumpung matahari pagi masih bersahabat, kakek mengajakku
bernyanyi gundul-gundul pacul. Kurasa suara kakek yang sudah tidak jelas sangat
pas dipadukan dengan suaraku yang serak-serak basah. Aku lantas memeluk kakekku
satu-satunya itu.
“Kek, di masa depan, ketika aku sudah tinggi seperti kakek, dan orang-orang
tidak memanggilku Le lagi, aku ingin menjadi pencerita yang hebat
seperti Kakek. Aku ingin bercerita tentang Brandal Lokajaya kepada anak-anak
kecil di desa ini dan membuat mereka terpukau.“ ucapku tanpa melepaskan
lingkaran tangan di perut kakek.
Kakek hanya tersenyum, senyum yang selalu terlihat kaku. Kakek mengatakan
bahwa masa depan itu tidak perlu menunggu nanti. Besok, minggu depan, atau
bahkan satu detik setelah saat inipun sudah masa depan dari waktu yang lalu;
lalu Kakek menyuruhku memulai bercerita kapanpun aku mau, tanpa perlu menunggu
aku menjadi tinggi atau orang-orang sudah tak memanggilku Le lagi.
Aku hanya mengangguk. Tak lama kemudian suara Ibu memanggilku.
“Jangan main sendirian Adit. Sementara Ibu dan para tetangga menyiapkan
acara sunatanmu besok, kamu bermainlah dengan Arya. Setelah disunat kamu kan
tidak bisa kemana-mana lagi selama beberapa hari. Jadi bermainlah sekarang“
ucap Ibu setelah aku mendekat.
“Aku tidak sendirian Bu. Aku bersama kakek.“ sanggahku.
Ibu melirik sebentar ke tempat aku berdiri bersama kakek tadi. Ia lalu
bernafas besar dan menyuruhku segera bermain. Sepertinya Ibu tidak melihat
siapapun di sana.
Pagi harinya, di tengah bulan April yang panas dan tanaman jagung yang sudah
mulai tinggi di sawah, orang-orang berkumpul di rumahku. Hari ini aku akan
disunat. Tetapi sebelumnya, sebagaimana permintaanku dan atas usulan kakek, aku
akan diarak keliling desa dengan iringan tanjidor.
Selagi iring-iringan berkeliling pelan, suara terbangan ditabuh dan bunyi door
door dari bedug akan terus terdengar. Tanda bahwa hari ini sedang
ada perayaan Jidur dan seorang anak akan segera disunat.
Aku senang bukan main, karena suara-suara keras itu mengundang anak kecil dan
bahkan juga orang dewasa untuk berduyun-duyun datang ke tepian jalan. Mereka
menanti jidur dan tidak sabar meminta bunga kertas dengan tangkai satu helai
lidi.
Aku hanya tahu, aku bahagia karena hari ini orang-orang memperlakukanku
seperti raja. Ibu membelikan semua yang aku mau dan orang-orang tidak ada yang memarahiku
meski sesekali aku berbuat usil. Dan aku tahu, orang-orang juga bahagia melihat
arakan jidur yang sudah lama sekali tidak terlihat di desa kecil kami yang
terlalu dekat dengan kota.
Hari sudah semakin siang ketika aku dan rombongan jidur hampir sampai
di rumah. Aku tiba-tiba menjadi sedikit takut, mengingat Ibu dan Bapak setelah
ini akan mengantarkanku ke rumah mantri untuk disunat. Rasanya pasti sakit. Kenapa di saat-saat
genting seperti ini Kakek tidak menemuiku, aku membatin. Kakek mungkin bisa
bercerita banyak hal untuk dapat membuatku lupa bahwa aku akan disunat.
Sedikit cerita tentang Gundul-Gundul Pacul pun tak apa. Toh aku hanya butuh
mengalihkan perhatian. Dan kakek adalah pencerita terulung yang pernah aku
kenal. Pencerita yang bisa menarik siapapaun masuk ke dalam cerita yang ia
sampaikan.
Ah aku baru ingat, kakek tidak pernah ada di setiap foto keluarga yang kami
ambil. Kakek juga tidak pernah berbicara kepada siapapun kecuali aku, dan
sekarang ketika kakek tidak kelihatan, tidak seorangpun tau keberadaannya. Kasihan sekali, si
lelaki tua sebatang kara itu. Ia memang
benar hanya cerutu sahabatnya. Dan sekarang, saat cerutu gelintirannya
sudah tak terpegang, maka iapun turut alpa dari tengah-tengah kerumunan manusia
yang mengabaikannya.
Tuban, 13 Februari 2018
JADIKAN AGEN KAMI MENJADI FAVORIT ANDA ,
ReplyDeleteAYOO BERGABUNG BERSAMA RIBUAN MEMBER KAMI YANG LAINNYA
HANYA DI HTTP :// WWW.ARENA-DOMINO.COM
BONUS ROLLINGAN TERBESAR 0,3 % SETIAP MINGGUNY