SENJA PARAKAN




Aku termenung. Menyudutkan diri di pojok belakang bis Semarang. Tak ada yang jatuh dari manik mata, tapi hati lebam tak terkira. Aku gagal mengintisari ayat bisa jadi kau menyukai sesuatu tetapi ia buruk bagimu, dan bisa jadi kau membenci sesuatu padahal ia baik bagimu.
Kutarik nafas dalam. Menghembuskannya pelan. Sekali lagi meyakinkan diri bahwa pilihanku untuk pergi adalah tepat. Tak ada lagi yang harus diperjuangkan, tak ada juga yang harus dinanti.
...
”Fat, santri itu harus visioner.” Ali membereskan kertas bekas surat yang berserakan di meja, ”Terlebih di era global seperti sekarang.”
Aku tersenyum, ”kau selalu mengatakannya Al. ”
Ali menghentikan gerakan tangannya. Dialihkannya perhatian keluar ruangan. Ia menatap bangunan tinggi yang menjulang dari bingkai jendela, pada gedung perkuliahan FISIP. Mungkin juga pada pepohonan yang bersaing tinggi. Atau pada kendaraan yang lalu-lalang didepannya. Aku tak tahu.
”Kalau tidak ada Kiai dan pondok pesantren, maka patriotisme bangsa Indonesia sudah hancur berantakan Fat” intonasinya tegas, seolah hendak benar-benar menanamkan kata-kata itu di lubuk hatiku..
”Itu kalimat pinjaman dari Douwes Dekker kan? ”
Aku tertawa kecil, tapi Ali tidak. Dia serius dengan ucapannya. Dia tak bercanda seperti biasa. Raut mukanya tegas, seperti sedang berpikir.
”Kalau bukan santri, siapa lagi yang akan menerima estafet perjuangan negeri ini Fat. Secara fisik, memang tak ada lagi penjajahan. Karena ia telah berkamuflase menjadi bentuk lain. Penjajahan mental”. Ia terdiam,
”Santri memang manusia paling tawadhu` dan qonaah. Karena itu, santri seringnya neriman. Tapi neriman bukan berarti diam. Pasif. Do nothing.”
Kini aku yang terdiam. Lelaki di depanku, yang bukan siapa-siapa itu, selalu membuatku terdiam. Dia selalu memiliki pemikiran kritis. Tentang apapun. Dia bukan anak advokasi, tetapi pengetahuannya tentang negara tak diragukan lagi. Dia hanya murid Kiai, yang tengah berjuang menunjukkan eksistensi santri.
”Al” aku memutus keheningan, ”Orang sepertimu, aku yakin, kelak akan memiliki sepak terjang hebat di negeri ini” pandanganku nanar, menembus hujan, ”aku yakin” hatiku menjadi sangat gelisah.
Mengatakannya, seperti menegaskan lagi bahwa aku jelas tak sepadan berdiri disampingnya.  Pemikiranku tak sampai padanya. Juga perasaanku. Tidak ada yang sampai.
...
Tugu selamat datang terlihat di sisi kanan bis. Nampak gagah dibawah tampias hujan, memberi tahu bahwa aku telah sampai di perbatasan. Dan sebentar lagi aku akan bersua dengan tanah kelahiran. Pati.
Disanalah, pertama kali aku mengenal Ali. Ketika seragam sekolahku masih putih-abu-abu. Madrasah kami berada dibawah naungan pesantren, tak banyak interaksi antara siswa putra dan putri. Tetapi karena dia IPNU, aku IPPNU, maka bagi kami sebuah pengecualian. Selalu ada waktu untuk bertukar pikiran dan bekerja sama dalam sebuah kegiatan.
Aku tersenyum mengenang masa itu. Lalu kembali termenung.
...
Congratulation sayang. ” Vivi memelukku erat, ”keren bisa lulus 3,5 tahun”.
Aida, Nindhi, dan Rahma berlaku serupa. Mereka adalah sahabat seperjuanganku di bangku kuliah. Saudara cerita ngalor-ngidul kalau di kamar bambu. Saudara tak terikat darah. Yang sederhana dengan gelar santrinya. Dan anggun dengan perangai lembutnya.
”Terimakasih banyak” aku mengulum senyum. Seikhlas-ikhlasnya. ”kalian memang sahabat terbaikku” kupeluk mereka bersamaan.
Tak lama kemudian terdengar seseorang menyeru namaku. Aku tahu aku berharap. Tapi harapanku pupus. Ternyata itu adik-adik Seruni. Yang datang dengan senyum merekah dan ucapan selamat wisuda.
Begitulah, hari itu adalah hari penting. Aku resmi menjadi sarjana. Siap menghadapi dunia baru dan berjuang meraih visi-visi yang telah ditanamkan Ali di setiap percakapan-percakapan kami. Visi tentang eksistensi santri di era global.
Tetapi hari ini, dia tak disini. Tak turut serta merayakan metamorfosaku dari seorang mahasiswa ingusan menjadi sarjana berpendidikan. Untuknya, tak dapat ku kembang senyum paling tulus. Karena aku selalu menantikannya. Maka ketidakhadirannya dapat menjelmakan hampa. Kenapa dia begitu tega. Kalau tak berarti lebih, setidaknya dia harus datang sebagai sahabat, sesama santri.
”Apakah kau sangat mengharapkannya Fat?” Aida bertanya kepadaku setelah kami berlima duduk menepi di suatu tempat makan.
Aku tersenyum. Mengangguk. Mereka adalah sahabatku. Tak ada yang kurahasiakan lagi, tidak juga tentang Ali. Mereka tahu seutuhnya.
”Dia tidak akan hadir kan?” aku tersenyum. Hambar ”Aku tahu dia tidak akan hadir” mataku mulai berlinang.
”Mungkin Ali sedang sibuk dengan kegiatannya Fat. Kau tau sendiri kan, dia aktivis. Banyak kegiatan dimana-dimana. Sering ikut seminar kemana-mana” Nindhi mencoba memberi pengertian.
Aku lagi-lagi tersenyum. Masih senyum yang hambar.
...
Langit masih temaram. Sendu. Rinai hujannya membasahi atap-atap setiap rumah yang nampak di seberang jalan. Juga pohon-pohon yang berjajar di sisi aspal, semua basah kuyup oleh hujan.
Aku telah sampai di kota Pati. Kota tempat aku menyulam setiap bagian puzzle menjadi satu rangkaian kisah indah. Banyak kenangan berhamburan disini. Di setiap sudut rumahnya, di langit-langit senjanya, atau di hiruk-pikuk warganya. Tak ada yang mudah dilupakan tentang Pati.
Bis terus melaju. Membawa ragaku meninggalkan kota penuh kenangan ini. Dan untuk 3,5 jam kedepan, aku akan terus melaju. Semakin jauh dari tanah kelahiranku.
...
”Bambu runcing? ” aku balik bertanya, ”senjata andalan bangsa Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan, bagaimana mungkin aku tak tahu” timpalku ketika Ali bertanya mengenai bambu runcing.
”tepat sekali” Ali berucap. Ia bersemangat seperti biasa. Selalu penuh inspirasi.
  Waktu itu kami dan beberapa teman-teman Seruni tengah mendiskusikan hal yang sama, eksistensi santri. Ranahnya perjuangan kemerdekaaan RI.
Aku suka melihatnya bicara dengan antusias. Menggebu-gebu. Tanpa meninggalkan kesan wibawa. Ia menyesalkan beberapa hal, salah satunya adalah sedikitnya orang yang tahu bahwa santri turut serta berjuang sampai titik darah penghabisan untuk memperjuangkan NKRI.
”Ada yang tahu Kiai Subkhi? ” tuturnya.
Dan hasilnya, tak banyak yang tahu. Bahkan tidak juga aku. Dan dia menyayangkan ketidaktahuan kami.
Kemudian ia lanjut bercerita, mengatakan bahwa nama Kiai Subkhi memang tak begitu dikenal. Padahal beliau adalah pelopor digunakannya bambu runcing dalam perang. Kiai sederhana yang berasal dari Parakan, Jawa Tengah.
”Dulu, ketika masa perang, sebelum berangkat berjuang dengan bekal bambu runcing, para santri selalu meminta doa terlebih dahulu kepada kiai-kiai di Parakan. Terutama pada Kiai Subkhi” gayanya bercerita sangat kukenali. Halus, tapi tegas.
...
Matahari tengah bersiap kembali ke peraduan, seiring dengan semerbak bau ampo yang memenuhi rongga nasal. Di atap tanah liat merah, sudah tidak ada lagi rinai. Aku berhenti tepat di halaman sebuah pesantren. Kudapati santri lalu-lalang. Sibuk dengan hajat masing-masing. Aku mendongak sedikit. Sebuah papan nama berwarna hijau, bertuliskan Pondok Pesantren Kiai Parak Bambu Runcing, mengucapkan marhaban kepadaku.
Disini Kiai Subkhi pernah berjuang batinku.
Mungkin disini juga Ali pernah belajar aku masih membatin.
Sejenak kuhirup bau ampo lebih dalam. Ada ketenangan yang merasuk kalbu. Suasana pesantren, samar-samar lantunan Quran membuat gelisahku sirna untuk sementara waktu.
Aku melangkah. Memasuki halaman pesantren. Lalu duduk di kantor administrasi setelah seorang santriwati mempersilahkan.
”Tunggu sebentar ya Mbak”
Aku mengangguk. Mengiyakan. Aku berniat menuliskan sesuatu di buku perjalanan. Kurogoh tas dan meraih buku kecil berwarna hijau tua.
Aku membuka lembar pertama, dan mendapat kertas putih kecil bertuliskan,
Fatimah, kau tidak tahu kan? Kau tidak akan pernah tahu. Dalam kerumunan, mataku selalu mencarimu. Aku berjinjit, mengintip dari sela-sela bahu orang lain, berharap akan menemukanmu. Yang semoga saja sedang berusaha menemukanku.
Ali Nahawan.


* telah dimuat di Tabloid Media Santri NU edisi ke 5 (2017)



Aku termenung. Menyudutkan diri di pojok belakang bis Semarang. Tak ada yang jatuh dari manik mata, tapi hati lebam tak terkira. Aku gagal mengintisari ayat bisa jadi kau menyukai sesuatu tetapi ia buruk bagimu, dan bisa jadi kau membenci sesuatu padahal ia baik bagimu.
Kutarik nafas dalam. Menghembuskannya pelan. Sekali lagi meyakinkan diri bahwa pilihanku untuk pergi adalah tepat. Tak ada lagi yang harus diperjuangkan, tak ada juga yang harus dinanti.
...
”Fat, santri itu harus visioner.” Ali membereskan kertas bekas surat yang berserakan di meja, ”Terlebih di era global seperti sekarang.”
Aku tersenyum, ”kau selalu mengatakannya Al. ”
Ali menghentikan gerakan tangannya. Dialihkannya perhatian keluar ruangan. Ia menatap bangunan tinggi yang menjulang dari bingkai jendela, pada gedung perkuliahan FISIP. Mungkin juga pada pepohonan yang bersaing tinggi. Atau pada kendaraan yang lalu-lalang didepannya. Aku tak tahu.
”Kalau tidak ada Kiai dan pondok pesantren, maka patriotisme bangsa Indonesia sudah hancur berantakan Fat” intonasinya tegas, seolah hendak benar-benar menanamkan kata-kata itu di lubuk hatiku..
”Itu kalimat pinjaman dari Douwes Dekker kan? ”
Aku tertawa kecil, tapi Ali tidak. Dia serius dengan ucapannya. Dia tak bercanda seperti biasa. Raut mukanya tegas, seperti sedang berpikir.
”Kalau bukan santri, siapa lagi yang akan menerima estafet perjuangan negeri ini Fat. Secara fisik, memang tak ada lagi penjajahan. Karena ia telah berkamuflase menjadi bentuk lain. Penjajahan mental”. Ia terdiam,
”Santri memang manusia paling tawadhu` dan qonaah. Karena itu, santri seringnya neriman. Tapi neriman bukan berarti diam. Pasif. Do nothing.”
Kini aku yang terdiam. Lelaki di depanku, yang bukan siapa-siapa itu, selalu membuatku terdiam. Dia selalu memiliki pemikiran kritis. Tentang apapun. Dia bukan anak advokasi, tetapi pengetahuannya tentang negara tak diragukan lagi. Dia hanya murid Kiai, yang tengah berjuang menunjukkan eksistensi santri.
”Al” aku memutus keheningan, ”Orang sepertimu, aku yakin, kelak akan memiliki sepak terjang hebat di negeri ini” pandanganku nanar, menembus hujan, ”aku yakin” hatiku menjadi sangat gelisah.
Mengatakannya, seperti menegaskan lagi bahwa aku jelas tak sepadan berdiri disampingnya.  Pemikiranku tak sampai padanya. Juga perasaanku. Tidak ada yang sampai.
...
Tugu selamat datang terlihat di sisi kanan bis. Nampak gagah dibawah tampias hujan, memberi tahu bahwa aku telah sampai di perbatasan. Dan sebentar lagi aku akan bersua dengan tanah kelahiran. Pati.
Disanalah, pertama kali aku mengenal Ali. Ketika seragam sekolahku masih putih-abu-abu. Madrasah kami berada dibawah naungan pesantren, tak banyak interaksi antara siswa putra dan putri. Tetapi karena dia IPNU, aku IPPNU, maka bagi kami sebuah pengecualian. Selalu ada waktu untuk bertukar pikiran dan bekerja sama dalam sebuah kegiatan.
Aku tersenyum mengenang masa itu. Lalu kembali termenung.
...
Congratulation sayang. ” Vivi memelukku erat, ”keren bisa lulus 3,5 tahun”.
Aida, Nindhi, dan Rahma berlaku serupa. Mereka adalah sahabat seperjuanganku di bangku kuliah. Saudara cerita ngalor-ngidul kalau di kamar bambu. Saudara tak terikat darah. Yang sederhana dengan gelar santrinya. Dan anggun dengan perangai lembutnya.
”Terimakasih banyak” aku mengulum senyum. Seikhlas-ikhlasnya. ”kalian memang sahabat terbaikku” kupeluk mereka bersamaan.
Tak lama kemudian terdengar seseorang menyeru namaku. Aku tahu aku berharap. Tapi harapanku pupus. Ternyata itu adik-adik Seruni. Yang datang dengan senyum merekah dan ucapan selamat wisuda.
Begitulah, hari itu adalah hari penting. Aku resmi menjadi sarjana. Siap menghadapi dunia baru dan berjuang meraih visi-visi yang telah ditanamkan Ali di setiap percakapan-percakapan kami. Visi tentang eksistensi santri di era global.
Tetapi hari ini, dia tak disini. Tak turut serta merayakan metamorfosaku dari seorang mahasiswa ingusan menjadi sarjana berpendidikan. Untuknya, tak dapat ku kembang senyum paling tulus. Karena aku selalu menantikannya. Maka ketidakhadirannya dapat menjelmakan hampa. Kenapa dia begitu tega. Kalau tak berarti lebih, setidaknya dia harus datang sebagai sahabat, sesama santri.
”Apakah kau sangat mengharapkannya Fat?” Aida bertanya kepadaku setelah kami berlima duduk menepi di suatu tempat makan.
Aku tersenyum. Mengangguk. Mereka adalah sahabatku. Tak ada yang kurahasiakan lagi, tidak juga tentang Ali. Mereka tahu seutuhnya.
”Dia tidak akan hadir kan?” aku tersenyum. Hambar ”Aku tahu dia tidak akan hadir” mataku mulai berlinang.
”Mungkin Ali sedang sibuk dengan kegiatannya Fat. Kau tau sendiri kan, dia aktivis. Banyak kegiatan dimana-dimana. Sering ikut seminar kemana-mana” Nindhi mencoba memberi pengertian.
Aku lagi-lagi tersenyum. Masih senyum yang hambar.
...
Langit masih temaram. Sendu. Rinai hujannya membasahi atap-atap setiap rumah yang nampak di seberang jalan. Juga pohon-pohon yang berjajar di sisi aspal, semua basah kuyup oleh hujan.
Aku telah sampai di kota Pati. Kota tempat aku menyulam setiap bagian puzzle menjadi satu rangkaian kisah indah. Banyak kenangan berhamburan disini. Di setiap sudut rumahnya, di langit-langit senjanya, atau di hiruk-pikuk warganya. Tak ada yang mudah dilupakan tentang Pati.
Bis terus melaju. Membawa ragaku meninggalkan kota penuh kenangan ini. Dan untuk 3,5 jam kedepan, aku akan terus melaju. Semakin jauh dari tanah kelahiranku.
...
”Bambu runcing? ” aku balik bertanya, ”senjata andalan bangsa Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan, bagaimana mungkin aku tak tahu” timpalku ketika Ali bertanya mengenai bambu runcing.
”tepat sekali” Ali berucap. Ia bersemangat seperti biasa. Selalu penuh inspirasi.
  Waktu itu kami dan beberapa teman-teman Seruni tengah mendiskusikan hal yang sama, eksistensi santri. Ranahnya perjuangan kemerdekaaan RI.
Aku suka melihatnya bicara dengan antusias. Menggebu-gebu. Tanpa meninggalkan kesan wibawa. Ia menyesalkan beberapa hal, salah satunya adalah sedikitnya orang yang tahu bahwa santri turut serta berjuang sampai titik darah penghabisan untuk memperjuangkan NKRI.
”Ada yang tahu Kiai Subkhi? ” tuturnya.
Dan hasilnya, tak banyak yang tahu. Bahkan tidak juga aku. Dan dia menyayangkan ketidaktahuan kami.
Kemudian ia lanjut bercerita, mengatakan bahwa nama Kiai Subkhi memang tak begitu dikenal. Padahal beliau adalah pelopor digunakannya bambu runcing dalam perang. Kiai sederhana yang berasal dari Parakan, Jawa Tengah.
”Dulu, ketika masa perang, sebelum berangkat berjuang dengan bekal bambu runcing, para santri selalu meminta doa terlebih dahulu kepada kiai-kiai di Parakan. Terutama pada Kiai Subkhi” gayanya bercerita sangat kukenali. Halus, tapi tegas.
...
Matahari tengah bersiap kembali ke peraduan, seiring dengan semerbak bau ampo yang memenuhi rongga nasal. Di atap tanah liat merah, sudah tidak ada lagi rinai. Aku berhenti tepat di halaman sebuah pesantren. Kudapati santri lalu-lalang. Sibuk dengan hajat masing-masing. Aku mendongak sedikit. Sebuah papan nama berwarna hijau, bertuliskan Pondok Pesantren Kiai Parak Bambu Runcing, mengucapkan marhaban kepadaku.
Disini Kiai Subkhi pernah berjuang batinku.
Mungkin disini juga Ali pernah belajar aku masih membatin.
Sejenak kuhirup bau ampo lebih dalam. Ada ketenangan yang merasuk kalbu. Suasana pesantren, samar-samar lantunan Quran membuat gelisahku sirna untuk sementara waktu.
Aku melangkah. Memasuki halaman pesantren. Lalu duduk di kantor administrasi setelah seorang santriwati mempersilahkan.
”Tunggu sebentar ya Mbak”
Aku mengangguk. Mengiyakan. Aku berniat menuliskan sesuatu di buku perjalanan. Kurogoh tas dan meraih buku kecil berwarna hijau tua.
Aku membuka lembar pertama, dan mendapat kertas putih kecil bertuliskan,
Fatimah, kau tidak tahu kan? Kau tidak akan pernah tahu. Dalam kerumunan, mataku selalu mencarimu. Aku berjinjit, mengintip dari sela-sela bahu orang lain, berharap akan menemukanmu. Yang semoga saja sedang berusaha menemukanku.
Ali Nahawan.


* telah dimuat di Tabloid Media Santri NU edisi ke 5 (2017)

Related Posts:

1 comment:

  1. JADIKAN AGEN KAMI MENJADI FAVORIT ANDA ,
    AYOO BERGABUNG BERSAMA RIBUAN MEMBER KAMI YANG LAINNYA
    HANYA DI HTTP :// WWW.ARENA-DOMINO.COM
    BONUS ROLLINGAN TERBESAR 0,3 % SETIAP MINGGUNY

    ReplyDelete