Bocah-bocah bau kencur itu berlarian. Saling berpegang tangan. Melingkar.
Menyanyikan lagu sluku-sluku bathok dibawah tumpah ruahnya sinar
rembulan desa Gedangan. Bocah-bocah itu menyembulkan tawa sumringah di
wajahnya, mengabaikan tatapan nyi towok yang sendu ditengah benderangnya
wulan tanggal 15 Sapar.
Kata eyang, nyi towok akan selalu muncul pada saat purnama. Entah sekedar mengintip anak-anak yang bermain atau untuk menjatuhkan mangsa. Tapi nyi towok hanyalah cerita lama, bocah-bocah itu masih asyik bernyanyi riang. Berlarian. Menikmati padang bulan.
Kata eyang, nyi towok akan selalu muncul pada saat purnama. Entah sekedar mengintip anak-anak yang bermain atau untuk menjatuhkan mangsa. Tapi nyi towok hanyalah cerita lama, bocah-bocah itu masih asyik bernyanyi riang. Berlarian. Menikmati padang bulan.
Aku berjalan pelan. Meninggalkan bocah-bocah dengan tembang
dolanan. Sepatuku yang menginjak dedaunan kering menyusupkan suara gemerisik. Mengusung
hati untuk bernostalgia dengan bau khas kembang ijo di setiap halaman
rumah. Dengan cerita-cerita klasik masa silam.
Terhitung 10 tahun aku meninggalkan desa ini. Dan semuanya masih
tak berbeda. Persis sebagaimana dulu aku pergi. Damai dan menentramkan.
Si romo menyang solo..
lirik itu lamat-lamat masih terdengar dengan nada yang akrab di telinga.
Setelah itu aku tak mendengar apapun lagi kecuali bisikan lembut angin malam. Bisikan
angin itu mengantarkan bau wangi yang semerbak memenuhi rongga nasal.
Merangsang saraf untuk memerintah kepalaku tengok kanan kiri. Mencari tau darimana
gerangan bau itu berasal.
Kepalaku masih mendongak kesana kemari. Hingga mataku bertumbuk
pada satu cahaya indah yang terpendar dari kedua bola mata milik kembang desa.
Si pemilik mata menyungging senyum. Menggetarkan hati.
Kaukah itu, Sekar? Aku
mengenalinya. Rambut panjang hitam, alis nanggal sepisan, dan bibir nyigar
jambe. Aku masih sangat mengenalinya. Dan bagaimana pula aku lupa? Dia adalah
gadis idamanku ketika aku masih ingusan. Ketika aku bahkan tak tau bahwa rasa
yang acapkali membuatku gundah itu adalah cinta.
Sekar tersenyum tanpa mengucap apapun. Ia hanya memulai langkah.
Menuju tempat aku berdiri memandanginya dengan perasaan sumringah. Sesumringah
bocah-bocah tadi tatkala melantunkan lagu sluku-sluku bathok.
Kau pulang?
Sekar berujar lirih. Kami kini hanya berjarak 3 langkah. Dan semerbak wangi itu
membuat degup jantung kian rapat. Barangkali degup jantung ini pula yang
dimiliki Habibie ketika bertemu Ainun. Atau ketika Sulaiman melihat betis Bilqis.
Aku mengangguk. Mengiyakan pertanyaan Sekar. Lantas kami berdua duduk.
Meluapkan kerinduan dengan diam. Jika menuruti nafsu, tentu saja aku ingin
memeluk Sekar atau paling tidak sekedar memegang tangan. Tapi itu melanggar
syariat. Dan aku yakin aku masih orang baik-baik. Aku menghormati dan
menghargai wanita. Terlebih hak-haknya.
Wong mati ora obah, yen
obah medeni bocah.. Suara bocah-bocah itu terdengar kembali. Samar. Tapi
aku tau liriknya karena aku telah hafal benar tembang ini. Sekar menoleh
kearahku seolah berkata, ingat? Dulu kau senang sekali mendengarkanku menyanyikan
tembang ini.
Tatapan itu membuatku kembali pada suatu senja ketika lazuardi
bermandikan cahaya keemasan. Ketika burung-burung kuntul berhijrah ke
ufuk dimana matahari memasrahkan penatnya.
Kala itu, aku sedang duduk di sebuah bongkahan batu. Di tepian
sungai. Ketika tanpa sengaja aku mendengar suara merdu tengah mendendangkan tembang
sluku-sluku bathok. Suara itu bernyanyi dengan penuh penghayatan. Ketika aku
mencari, aku mendapati seorang gadis.
Hari berikutnya aku sengaja datang ketempat yang sama. Berharap
menjumpai gadis itu lagi. Dan benar saja, ketika ia datang dan mulai
menyanyikan lagu sluku-sluku bathok, aku mengiringinya dengan alunan seruling. Sesuai
dengan apa yang telah aku rancang malam kemarin.
Gadis itu terdiam beberapa saat. Tengok kanan kiri. Melihat
kebelakang. Menerawang kedepan. Tapi ia tak mendapati apapun kecuali pepohonan
dan genangan air.
Kurasa ia ketakutan. Karena wajahnya mulai nampak berkerut. Tapi
kerutan itu segera hilang ketika aku menampakkan diri. Memegang seruling di
tangan kiri sembari mengulum senyum khas yang kesannya dipaksakan.
Kaukah itu, yang meniup seruling? Gadis itu bertutur lembut. Aku mengangguk. Ia menarik nafas lega, syukurlah
bukan nyi towok, lanjutnya.
Memang nyi towok bisa meniup seruling? Aku membatin.
Semenjak senja itu, kami sering bermain bersama. Dia bernyanyi, aku
berseruling. Atau ketika purnama tiba, kami akan bergabung dengan bocah lainnya
untuk menari dan bernyanyi dibawah putihnya pendaran rembulan. Kami memiliki
banyak kesamaan. Seperti nyanyi tembang jowo, memandang lepas ke alam bebas,
bercengkrama dengan alam, dan entah apalagi lainnya. Aku tak pernah menghitung.
Galih, maukah kau mendengar nyanyianku lagi? Sekar membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum, mengangguk.
Sluku-sluku
bathok,
Bathoke
ela-elo,
Si
romo menyang Solo
Oleh-olehe
payung motho
Mak
jenthit lolo lo bah,
Wong
mati ora obah
Yen
obah medeni bocah
Yen urip golek duwit
Sekar
mengakhiri lagunya dengan hembusan nafas panjang. Aku meliriknya sedikit. Baru
menyadari, bahwa wajahnya meski tak berkurang ayunya nampak begitu
pucat. Senyum yang tadi tersungging di wajahnya kini berubah menjadi rona
sendu.
Ada
yang salah? Aku
menatapnya, turut prihatin atas air mukanya yang mendadak lain.
Sekar
balik menatapku. Hening.
Mengapa
dulu kau pergi? Ujarnya
kemudian.
Mata
kami bertatapan sejenak, aku bergegas membuang pandangan pada beriak air yang tenang
mengalir di hulu sungai.
kenapa
aku pergi? Aku membatin.
Meneropong pada beberapa tahun silam. Waktu itu 5 hari pasca Bapak meninggal,
Emak mengajakku pindah rumah ke Blitar. Ke rumah orang tua emak. Kala itu aku
hanya bocah berumur 13. Diajak pergi ya aku pergi. Tanpa berpamitan kepada
Sekar. Karena kepergianku tak akan berarti apa-apa baginya. Setidaknya menurutku
begitu.
Panjang, aku berucap setelah sekian lama membisu.
....
Waktu
berbilang hari. Meramu minggu. Tapi tak jua kutemui Sekar semenjak dari senja
di padhang bulan. Ia seakan lenyap ditelan waktu. Tak nampak batang
hidungnya, apalagi nyanyian sluku-sluku bathoknya, sama sekali tak terdengar.
Aku
hanya akan menunggunya di bantaran sungai itu. Aku sudah lelah bertanya kepada
warga tentang Sekar. Tak seorangpun mengenalinya. Aku juga tak mengerti mengapa
demikian. Mungkin ketika aku boyongan dia turut serta pindah ke daerah
lain. Sehingga tak siapapun di desa ini mengenalnya. Lagipula, 10 tahun lalu
dia hanya bocah yang tak begitu terkenal. Sekar agaknya pendiam dan tak banyak
bicara.
Kendati
tak jelas rimbanya, aku masih menunggu Sekar. Aku yakin benang merahku dan dia
masih ada. Hingga entah bagaimana caranya kita pasti akan dipertemukan juga.
Sore
ini, sembari menunggu fajar menyingsing, aku duduk di sebongkah batu. Termenung
seorang diri. Hanya berkawan kabut yang berjelanak menggumuli pepohonan di
sekitar sungai. Dan rembulan yang sinarnya tak terang.
Bathok`e
ela elo, si romo menyang solo
Syair
itu lamat-lamat terdengar. Menggelitik sendiku untuk menggerakkan kepala. Tengok
kanan kiri, depan belakang.
Suara
itu masih menggema, memenuhi selasar malam tapi tak juga kudapati perawakan.
Kudengar
selama tak disini kau menimba ilmu di tanah orang.
Suara
itu kukenali. Aku menoleh ke belakang, mengangguk.
Aku
telah belajar banyak aku
tersenyum.
Berarti
kau juga telah mengerti makna sluku-sluku bathok. Sekar memandangku. Wajahnya sayu. Masih pucat, sedikit redup
karena tampias rembulan tak mengenainya.
Aku
menggeleng, tak ada yang mengajariku tentang sluku-sluku bathok. Lagipula
itu hanya tembang dolanan kan.
Kulihat
bibir sekar menungging senyum. Gigi mentimunnya berderet rapi di beriak air
sungai. Mata sendunya menyipit, membentuk dua garis lengkung.
Kau
payah sekali. Kau bahkan tak tahu makna lagu yang sering kau nyanyikan.
Kata-kata
itu menyisakan hening. Hanya suara jangkrik yang ramai bersenandung.
....
Mataku
tak juga terpejam. Kulirik jam di dinding. Jarum kecilnya menunjuk angka 2.
Hembusan angin semakin giat menggigilkan tulang. Dingin. Sedingin tutur kata
Sekar malam tadi.
Dengan
ronanya yang sendu, sedikit terkesan datar, ia bernyanyi sluku-sluku bathok.
Dan berhenti pada larik bathok`e ela elo.
Larik
ini mengajari kita untuk selalu bersyukur Galih. Sekar hening sejenak. Tersenyum.
Bathok`e
ela elo digubah dari kalimat batnaka La Ilaha Illallah, maksudnya kita harus memenuhi hati kita dengan Allah, di
setiap langkah, di setiap hembusan nafas, di setiap detik yang berselang, kita
harus mencukupkan hati dengan Allah. Lanjutnya.
Setelah
itu Sekar lama terdiam. Seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Ah tidak, dia
seperti sedang melamun. Dalam sekali.
Musibah
ataupun nikmat semua pasti berhikmah Galih. Pasti. Asal kita benar-benar
percaya pada Allah.
Aku
mengangguk-anggukkan kepala.
...
Semburat merah menyembul di peraduan. Menyisakan embun-embun yang
berebut jatuh di efoli daun. Suara kokokan ayam nyaring bersahutan. Aku segera
terbangun. Geragapan. Tak biasa bangun kesiangan.
Tak lama berselang aku sudah siap meninggalkan desa Gedangan. Tas
consina terpasang rapi di punggung. Topi coklat mager di kepala. Canon EOS
menggantung anggun di leher. Setelah berpamitan dengan pak Sukir, aku bergegas
menuju sungai.
Berdiri di hilir. Menunggu Sekar. Dia sudah berjanji akan datang untuk
memberiku salam perpisahan. Dan aku akan berjanji untuk menjemputnya ditempat
ini lagi ketika waktu telah tepat.
Ayo mengabadikan waktu.
Aku dan Sekar mengambil foto bersama. Tak banyak. Hanya 3 gambar,
karena Sekar tampaknya enggan dengan kamera.
Kami mencukupkan perpisahan dengan salam. Aku melempar senyum dan
berlalu meninggalkannya di tepian sungai.
...
Aku duduk
di deret kanan bis. Melaju ke kota asal. Kepada orang disebelahku, aku
menunjukkkan hasil fotoku dengan Sekar.
Cantik
bukan? Aku akan segera melamarnya. Tuturku
Orang
disebelahku mengernyitkan dahi. Memandangiku dengan heran
Siapa
yang cantik? Siapa yang akan kau lamar? Tak ada perempuan di foto itu.
*telah diterbitkan di Majalah Komunikasi Universitas Negeri Malang (2017)
JADIKAN AGEN KAMI MENJADI FAVORIT ANDA ,
ReplyDeleteAYOO BERGABUNG BERSAMA RIBUAN MEMBER KAMI YANG LAINNYA
HANYA DI HTTP :// WWW.ARENA-DOMINO.COM
BONUS ROLLINGAN TERBESAR 0,3 % SETIAP MINGGUNY