Berbicara
mengenai Islam akan selalu melahirkan berbagai perspektif tentang Islam itu
sendiri. Pemahaman seseorang tentang agama Islam dan praktik beragama Islam
akan berbeda dari satu individu dengan individu lainnya. Bergantung pada
pengalaman dan pengetahuan masing-masing. Bergantung pada lingkungan dimana ia
berada dan siapa panutannya.
Ada yang begitu
mendambakan Islam, katanya sih Islam kaffah, sampai-sampai negara yang
sudah ada harus dibubarkan dan diganti dengan sistem khilafah. Mereka gigih
sekali dalam memperjuangkan khilafah yang diagung-agungkan. Mereka juga
gencar sekali menjalankan proses arabisasi di nusantara. Mengganti saya dengan Ana,
kamu dengan antum, membid`ah-bid`ahkan, dan mengkafir-kafirkan. Perjuangan mereka adalah tentang
bagaimana menjadikan Indonesia menjadi negara neo-Arab, dengan cara apapun. Mereka keras sekali dalam menyikapi
perbedaan dan terkesan menangan. Sak karepe dewe.
Ada yang saking
cintanya dengan Islam, tetapi kurang mendalami hakikat Islam itu sendiri.
Rata-rata mereka adalah orang-orang yang baru mengenal Islam, sehingga dengan
sekuat tenaga mereka mencoba menegakkan Islam di nusantara, bahkan jika harus
melalui jalan kekerasan tetap akan mereka lakukan. Mohon maaf, mereka
sebenarnya hanya ikut-ikutan.
Sebaliknya,
ada juga orang yang ingin sekali mengabdi pada Islam, dengan dalih jihad fi
sabilillah kemudian melakukan aksi bom bunuh diri, dengan ganjaran surga
katanya. Padahal yang demikian, adalah bentuk pendangkalan Islam, akibat
pemahaman akan Islam yang kurang mendalam. Mereka tidak tahu, mungkin saja yang
menjadi korban bom itu bisa jadi adalah saudara sendiri. Mereka tidak tahu
bahwa orang kafir itu tidak semena-mena dapat diperangi. Mereka tidak tahu mana kafir harbi
dan mana kafir dzimmi.
Di sisi lain,
ada juga sekelompok orang yang berusaha tawassuth tetapi kemudian
dituding tidak konsisten. Bahkan dituding kafir. Kelompok tawassuth ini
menjadi sasaran empuk bagi mereka yang menganut madzhab takfiri,
yang mengafirkan siapa saja yang tidak sehaluan. Namun pada kesempatan
tertentu, jika minhum merasa diuntungkan dan perlu memihak, maka mereka
akan berpura-pura mengikuti golongan ini.
Lalu, bagaimana
seharusnya menyikapi perbedaan yang begitu beragam itu? Ketika setiap kelompok
mengaku paling benar, subjektivitas begitu diunggulkan, dan demam virus tarbiyah
gencar menyebar, kepada siapa muslim awam seperti saya harus meletakkan
kepercayaan?
Dilematis dan
tidak mudah untuk menentukan. Pada saat seperti ini, kembali lagi, kita harus
berkiblat kepada para ulama`. Bukankah ulama` adalah pewaris para nabi? Maka
jika tidak pada mereka, kepada siapa lagi kita harus menyandarkan agama kita.
Sebab kita juga tidak bisa memutusi sendiri dan menafsiri sendiri.
Pada masa
tabi`ut tabi`in kita mengenal ada 4 Imam Madzhab, diantaranya: Imam Maliki,
Imam Syafi`I, Imam Hanbali, dan Imam Hanafi. Lalu pada masa ini kita mengenal
para kiai. Kiai yang belajar dari kiai-kiai sebelumnya, yang `alim dan memahami
Islam secara menyeluruh, bukan hanya kulit luar Islam saja. Kiai-kiai itu
seperti tonggak untuk kita pegang dengan teguh. Kiai, yang dari mereka kita
bisa mengerti ilmu agama dengan baik dan benar serta bisa meluruskan jika kita
keliru. Kiai yang memberi petuah menyejukkan, yang membuat kita mengerti
bagaimana seharusnya menjadi seorang muslim toleran dan tidak kaku.
KH. Abdul
Ghofur, pengasuh Ponpes. Sunan Drajat seringkali dhawuh, “Agomo iku
noto apike koyok opo“. Yang itu berarti fleksibilitas dalam Islam sangatlah
diperlukan. Istilah lainnya bijak dalam bertindak, memilih mana yang memiliki maslahat
paling banyak dan mudhorot paling sedikit.
Islam
sebagai agama Rahmatan lil-alamiin sudah sepatutnya tidak dihiasi dengan
wajah garang, dengan wajah kaku yang menyebalkan, yang dengan dalih amar
ma`ruf nahi munkar berbuat kekerasan semau-maunya. Mengafirkan sesuka
hatinya. Melaknat sekehendaknya, seakan ia adalah makhluk paling suci di dunia.
Lupa bahwa kepada Fir`aunpun, seburuk-buruk manusia, Allah masih memerintahkan
nabi Musa untuk berdakwah kepadanya dengan cara yang lemah lembut. Lalu kepada
saudara sendiri, sesama muslim, kenapa harus menghardik dan mencaci maki hanya
karena sedikit perbedaan?
Apabila
dalih berbuat kekerasan atas nama Islam adalah untuk melawan kaum kafir, maka
tidak ingatkah bahwa Rasulullah saw. tidak pernah mengusik ketenangan kafir dzimmi.
Apalagi di negara dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ini, kita tidak perlu
mempermasalahkan soal agama untuk diperdebatkan. Karena Indonesia, adalah
negara majemuk yang terlahir dengan keberagaman agama, suku, dan budaya. Maka
biarkan kemajemukan itu tetap ada. Biarkan Indonesia tetap kaya dengan
hasanahnya. Mencoba menjadikan Indonesia satu warna adalah sama saja dengan
mematikan karakter Indonesia dan melenyapkan keberagaman yang kaya itu.
Toleransi
antar umat beragama maupun antar golongan dalam satu agama harus tetap dijaga
dengan baik. Sebagaimana Guru Bangsa -Gus Dur-, pernah berkata, “Indonesia
bukan negara agama, melainkan negara yang beragama. Ada enam agama yang diakui
di Indonesia, jadi akui agama yang lain. Dan ingatlah, semakin tinggi ilmu
seseorang maka akan semakin besar rasa toleransinya.
0 comments:
Post a Comment