AGOMO IKU NOTO APIKE KOYO OPO


Hasil gambar untuk mosque
Berbicara mengenai Islam akan selalu melahirkan berbagai perspektif tentang Islam itu sendiri. Pemahaman seseorang tentang agama Islam dan praktik beragama Islam akan berbeda dari satu individu dengan individu lainnya. Bergantung pada pengalaman dan pengetahuan masing-masing. Bergantung pada lingkungan dimana ia berada dan siapa panutannya.

Ada yang begitu mendambakan Islam, katanya sih Islam kaffah, sampai-sampai negara yang sudah ada harus dibubarkan dan diganti dengan sistem khilafah. Mereka gigih sekali dalam memperjuangkan khilafah yang diagung-agungkan. Mereka juga gencar sekali menjalankan proses arabisasi di nusantara. Mengganti saya dengan Ana, kamu dengan antum, membid`ah-bid`ahkan, dan mengkafir-kafirkan. Perjuangan mereka adalah tentang bagaimana menjadikan Indonesia menjadi negara neo-Arab, dengan cara apapun. Mereka keras sekali dalam menyikapi perbedaan dan terkesan menangan. Sak karepe dewe.

Ada yang saking cintanya dengan Islam, tetapi kurang mendalami hakikat Islam itu sendiri. Rata-rata mereka adalah orang-orang yang baru mengenal Islam, sehingga dengan sekuat tenaga mereka mencoba menegakkan Islam di nusantara, bahkan jika harus melalui jalan kekerasan tetap akan mereka lakukan. Mohon maaf, mereka sebenarnya hanya ikut-ikutan.

Sebaliknya, ada juga orang yang ingin sekali mengabdi pada Islam, dengan dalih jihad fi sabilillah kemudian melakukan aksi bom bunuh diri, dengan ganjaran surga katanya. Padahal yang demikian, adalah bentuk pendangkalan Islam, akibat pemahaman akan Islam yang kurang mendalam. Mereka tidak tahu, mungkin saja yang menjadi korban bom itu bisa jadi adalah saudara sendiri. Mereka tidak tahu bahwa orang kafir itu tidak semena-mena dapat diperangi. Mereka tidak tahu mana kafir harbi dan mana kafir dzimmi.

Di sisi lain, ada juga sekelompok orang yang berusaha tawassuth tetapi kemudian dituding tidak konsisten. Bahkan dituding kafir. Kelompok tawassuth ini menjadi sasaran empuk bagi mereka yang menganut madzhab takfiri, yang mengafirkan siapa saja yang tidak sehaluan. Namun pada kesempatan tertentu, jika minhum merasa diuntungkan dan perlu memihak, maka mereka akan berpura-pura mengikuti golongan ini.

Lalu, bagaimana seharusnya menyikapi perbedaan yang begitu beragam itu? Ketika setiap kelompok mengaku paling benar, subjektivitas begitu diunggulkan, dan demam virus tarbiyah gencar menyebar, kepada siapa muslim awam seperti saya harus meletakkan kepercayaan?

Dilematis dan tidak mudah untuk menentukan. Pada saat seperti ini, kembali lagi, kita harus berkiblat kepada para ulama`. Bukankah ulama` adalah pewaris para nabi? Maka jika tidak pada mereka, kepada siapa lagi kita harus menyandarkan agama kita. Sebab kita juga tidak bisa memutusi sendiri dan menafsiri sendiri.

Pada masa tabi`ut tabi`in kita mengenal ada 4 Imam Madzhab, diantaranya: Imam Maliki, Imam Syafi`I, Imam Hanbali, dan Imam Hanafi. Lalu pada masa ini kita mengenal para kiai. Kiai yang belajar dari kiai-kiai sebelumnya, yang `alim dan memahami Islam secara menyeluruh, bukan hanya kulit luar Islam saja. Kiai-kiai itu seperti tonggak untuk kita pegang dengan teguh. Kiai, yang dari mereka kita bisa mengerti ilmu agama dengan baik dan benar serta bisa meluruskan jika kita keliru. Kiai yang memberi petuah menyejukkan, yang membuat kita mengerti bagaimana seharusnya menjadi seorang muslim toleran dan tidak kaku.

KH. Abdul Ghofur, pengasuh Ponpes. Sunan Drajat seringkali dhawuh, “Agomo iku noto apike koyok opo“. Yang itu berarti fleksibilitas dalam Islam sangatlah diperlukan. Istilah lainnya bijak dalam bertindak, memilih mana yang memiliki maslahat paling banyak dan mudhorot paling sedikit.

Islam sebagai agama Rahmatan lil-alamiin sudah sepatutnya tidak dihiasi dengan wajah garang, dengan wajah kaku yang menyebalkan, yang dengan dalih amar ma`ruf nahi munkar berbuat kekerasan semau-maunya. Mengafirkan sesuka hatinya. Melaknat sekehendaknya, seakan ia adalah makhluk paling suci di dunia. Lupa bahwa kepada Fir`aunpun, seburuk-buruk manusia, Allah masih memerintahkan nabi Musa untuk berdakwah kepadanya dengan cara yang lemah lembut. Lalu kepada saudara sendiri, sesama muslim, kenapa harus menghardik dan mencaci maki hanya karena sedikit perbedaan?

Apabila dalih berbuat kekerasan atas nama Islam adalah untuk melawan kaum kafir, maka tidak ingatkah bahwa Rasulullah saw. tidak pernah mengusik ketenangan kafir dzimmi. Apalagi di negara dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ini, kita tidak perlu mempermasalahkan soal agama untuk diperdebatkan. Karena Indonesia, adalah negara majemuk yang terlahir dengan keberagaman agama, suku, dan budaya. Maka biarkan kemajemukan itu tetap ada. Biarkan Indonesia tetap kaya dengan hasanahnya. Mencoba menjadikan Indonesia satu warna adalah sama saja dengan mematikan karakter Indonesia dan melenyapkan keberagaman yang kaya itu.

Toleransi antar umat beragama maupun antar golongan dalam satu agama harus tetap dijaga dengan baik. Sebagaimana Guru Bangsa -Gus Dur-, pernah berkata, “Indonesia bukan negara agama, melainkan negara yang beragama. Ada enam agama yang diakui di Indonesia, jadi akui agama yang lain. Dan ingatlah, semakin tinggi ilmu seseorang maka akan semakin besar rasa toleransinya.




0 comments:

Post a Comment