Kebenaran di
dunia ini – semuanya bersifat relatif. Apa yang kita anggap benar, belum tentu
benar dalam pandangan orang lain. Apa yang orang lain angap benar, bisa saja
kita persalahkan. Tetapi bukan itu duduk perkaranya, perkaranya adalah, apakah
kita termasuk orang yang bersikeras memaksakan kebenaran relatif itu – ataukah
kita orang yang mau bersikap toleran dan berjalan bersama.
Saya seorang
Gusdurian, lebih spesifiknya Gusdurian Malang. Saya juga seorang anak pesantren. Saya pernah
mengalami pergulatan batin yang begitu hebat ketika salah seorang kawan di
Gusdurian mengatakan bahwa semua makhluk sama dan semua agama benar. Sedang
dalam doktrin yang telah saya peroleh: inna ad diina ‘indallahi al islam, yakni
agama yang paling haq adalah Islam – yang dibawa oleh Rasulullah saw.
Ketika pertama
kali saya tidur di gereja, saya bertanya-tanya apakah yang saya lakukan ini
benar? Ketika saya dan teman-teman diundang untuk mengisi pra-acara ASEAN
Youth Catholic Day di Gereja Katedral, saya juga bertanya-tanya – apakah tindakan
saya dan teman-teman itu dapat dibenarkan?
Tentu saja bagi
sebagian orang, hal-hal demikian menabrak garis. Maksud saya, garis ketentuan
dalam beragama islam yang baik dan benar bagi orang-orang tertentu. Dan saya
sudah siap menerima segala konsekuensi jika seseorang ingin menyebut saya
dangkal iman atau bahkan kafir sekalipun.
Tetapi
nyatanya, bergumul dengan orang-orang dari lintas iman – bahkan juga dengan
mereka yang mengikuti aliran Kejawen, sebenarnya bukan masalah besar. Yang
menjadi masalah adalah jika kita tidak mau menerima perbedaan dan bersikap
intoleran, padahal jelas-jelas dasar negara kita adalah Pancasila dan semboyan
kita Bhinneka Tunggal Ika.
Setiap
pergulatan batin yang saya alami alhamdulillah selalu dapat selesai
dengan perasaan damai. Damai karena dapat merasakan perbedaan yang dikemas
indah dalam sebuah kebersamaan. Damai karena masing-masing dari kita tidak
mencoba untuk saling menyalahkan, melainkan mencoba untuk saling memahami dan
menghargai. Memang, banyak dari kami berbeda dalam iman tetapi kami saudara
dalam kemanusiaan. Dan mengetahui itu, rasanya menenangkan. Dan karena
perbedaan adalah fitrah, maka saya mencoba tidak mempersempit pandangan dengan
menolak perbedaan sesama.
Satu yang saya
pegang erat-erat: saya tidak membatasi pergaulan saya dengan siapa saja, mau
itu dengan pendeta, suster, santri, orang berjilbab besar, anak punk,
ataupun kalangan lainnya, saya membuka pergaulan dengan mereka, tetapi saya
harus tetap menjadi diri saya sendiri dan tetap menjalankan apa yang telah saya
percaya dan yakini benar. Sholat, birrul walidain, zakat, dan puasa
misalnya – semua itu harus tetap jalan di luar kegiatan saya berinteraksi
dengan orang-orang. Saya sebisa mungkin mencoba untuk tidak menyalahkan apa
yang dilakukan orang lain karena mereka tentu punya dasar dalam melakukan sesuatu itu.
Hanya saja,
sebagai seorang muslim, ada hal-hal yang membuat saya menjadi begitu resah.
Saya melihat semangat orang-orang – yang baru mencoba mengenal Islam lebih
dalam – begitu tinggi dan menggebu-gebu. Terutama di lingkungan kampus negeri
dan perkotaan-perkotaan.
Mereka seperti
orang yang baru saja belajar sepeda dan sedang semangat-semangatnya menaiki
sepeda ke mana-mana. Mereka rela mencurahkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
melakukan hal-hal yang bisa mendekatkan diri mereka kepada sang Pencipta.
Karena bagaimanapun – di dunia ini – tujuan kita memang kembali dengan selamat
kepada Allah. Lain-lainnya hanya imbuhan cerita, lain-lainnya hanya ujian-ujian
dan cara-cara mencari bekal kembali.
Saya memang
bukan orang yang melulu taat dan rajin beribadah. Saya bukan orang yang wira’i
atau orang yang zuhud terhadap dunia. Tetapi rasanya sangat disayangkan,
bahwa tujuan dan semangat orang-orang baik yang ingin belajar agama dengan
benar akhir-akhir ini banyak diselewengkan.
Tentu kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi adalah hal yang luar biasa membanggakan.
Kemudahan dalam akses informasi dan juga berbagai kemudahan lainnya sangat
mempermudah hidup manusia milenial. Tetapi kemudahan itu juga ternyata membawa
dampak negatif. Banyak orang yang kemudian cukup belajar agama dan membaca
informasi dari internet – tanpa mencari
tahu lebih lanjut sanad keilmuan atau melakukan verifikasi terhadap informasi
yang diperoleh.
Rasanya tidak
enak sekali melihat orang-orang dengan mudah mengafir-kafirkan, bahkan ulama
sepuh yang ilmunya sudah menyamuderapun ikut dikafir-kafirkan, oleh mereka yang
baru belajar agama dari Kiai google.
Sebenarnya sah
saja belajar dari internet, asal kita bisa menjamin kevalidan sumber dan
keabsahan isi kajian. Asal kita tidak dengan serta merta menerima doktrin tanpa
tahu siapa yang mendoktrin dan apa kepentingan si pendoktrin.
Yang lebih
menyedihkan lagi, orang-orang yang baru belajar agama itu seringkali
di-iming-imingi pahala asal mau berjihad, diberi doktrin perang dan perang
dengan menyebut pemerintahan yang ada thoghut – dan sesama muslim yang
tidak segolongan dipanggil kafir, lalu dijanjikan surga asal mau
melakukan jihad dengan melakukan teror-teror tidak manusiawi, atau bahkan
sampai melakukan bom bunuh diri.
Melihat dan
menjadi saksi yang demikian itu rasanya tak karuan. Wajah Islam dicoreng
sendiri oleh orang Islam yang pemahamannya dangkal, yang memahami Islam hanya
dari kulit luar tanpa memahami esensinya – yakni Islam sebagai agama yang Rohmatan
lil ‘alamin.
Terlebih lagi
melihat orang-orang yang gemar mengatasnamakan Islam untuk memberi legalitas
terhadap tindakan-tindakan kurang benar yang aslinya didasari oleh kepentingan segelintir
orang – rasanya sangat menggemaskan. Secara kasar, mohon maaf saya menyebutnya
Politisasi agama. Agama digunakan sebagai topeng dan sebagai umpan untuk
menggiring orang agar masuk dalam opini berjihad dan membela kebenaran, padahal
aslinya yang dibela adalah kepentingan kelompok tertentu. Agama digunakan untuk
mendiskreditkan beberapa orang yang menjadi saingan dalam ranah politik,
sehingga saingan itu bisa habis sehabis-habisnya dan disebut kafir dan patut
diperangi pula.
Terlepas dari
semua itu, yang terpenting adalah bagaimana kita berusaha terus belajar dan
memahami sesuatu sebelum akhirnya kita melakukan suatu informasi yang kita
peroleh. Di jaman yang serba instan ini, kiranya baik untuk menyaring segala
hal yang masuk ke dalam otak kita sebelum akhirnya kita memberi penilaian dan
komentar-komentar. Dan karena Nabi Muhammad diturunkan ke muka bumi salah
satunya untuk MENYEMPURNAKAN AKHLAQ –
maka alangkah baiknya sebelum kita
gemar mengafirkan dan menyalahkan orang, kita gemar memperbaiki akhlaq terlebih
dahulu. Karena sholat dilakukan salah satunya untuk mencegah fahsya’ dan
munkar. Puasa dilakukan untuk menahan hawa nafsu. Dan bersedekah dilakukan
untuk menjaga hablu minannas. Maka sebenarnya yang utama adalah akhlaqul
karimah. Akhlaq yang mulia akan menjadi pondasi kebaikan dalam banyak hal:
kehidupan rumah tangga, politik, ekonomi, dan lainnya.
Semoga kita
menjadi hamba yang senantiasa mau dan mampu bermuhasabah diri serta dapat
melihat banyak hal melalui kacamata kebaikan. Semoga kita menjadi hamba yang
selalu diberi anugerah untuk dapat menebar kebaikan bagi sesama. Tiada daya dan
upaya kecuali milik Allah swt.
0 comments:
Post a Comment