Dewasa ini,
semangat memperdalam agama sangat gencar melanda penduduk Indonesia, utamanya
para generasi muda. Hal demikian tentunya bernada positif, mengingat ajaran
agama adalah ajaran kebaikan dan perdamaian. Mendalami agama sama artinya
dengan usaha memperbaiki akhlak dan moral.
Sebagaimana
Bung Hatta dalam otobiografinya menyebutkan bahwa, -ruh dalam ajaran agama
Islam adalah damai-. Begitu pula Gus Dur dengan konsep memanusiakan manusianya.
Kemanusiaan dan perdamaian menjadi titik utama dalam memandang segala hal.
Dalam Islam kita mengenalnya sebagai Hablum minan naas, tentu saja tanpa
mengesampingkan hablum minallah.
Hanya saja,
tidak semua orang dapat mengartikan Islam dengan cara demikian. Ayat al Quran
yang berbunyi,
--ياايهاالذين امنوا ادخلوافى السلم كافة—Al Baqarah 208.
Wahai
orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah,
dianggap
sebagai legalitas bagi mereka untuk menjadikan Islam Indonesia sebagai Islam
arab. Merubah saya menjadi ana, kamu menjadi anta, dan
menghilangkan kultur yang telah lama membudidaya di Indonesia dengan dalil kullu
bid`atin dholalatin.
Sayangnya,
mereka yang mudah sekali membid`ahkan dan mengafirkan orang lain adalah mereka
yang baru saja belajar mengenal Islam, antara lain dari buku bacaan, youtube,
artikel di Internet, dan halaqoh-halaqoh kecil ala kampus.
Dangkalnya
pemahaman dan pengetahuan terkait Islam itu sendiri akhirnya menuntun pada
persepsi yang salah dalam pemaknaan Islam sebagai sebuah agama yang rahmatan
lil `alamiin. Islam diartikan terlalu tekstual dan juga formal. Islam tidak
dikaji secara konteksnya tetapi hanya teksnya saja sehingga kandungan dari
Islam itu menjadi terlupakan.
Gus Dur
seringkali menegaskan konsep kulturalisasi Islam di Indonesia dan bukan
formalisasi Islam dengan nama khilafah, NKRI bersyari`at atau apalah itu.
A.M. Safwan
dari Yayasan Rausyan Fikr juga pernah menuturkan, bahwa agama Islam (Islam) dan
orang beragama Islam (Muslim) adalah dua hal yang berbeda. Islam sebagai agama tentu saja akan
selalu baik dan benar. Tetapi seorang muslim, tidak sepatutnya menilai segala
hal dari segi ketuhanan, sehingga dia akan menilai segala hal yang berbeda
dengan pandangannya sebagai sesuatu yang salah dan harus disingkirkan.
Lebih buruknya,
pendangkalan pemahaman terhadap Islam terkadang dapat membimbing seseorang pada
alur berpikir yang keliru dengan sesuatu yang dianggap memiliki kebenaran
mutlak. Salah satunya adalah gerakan terorisme.
Para teroris
tentu saja tidak ingin membuat kerusakan di muka bumi mengingat ada ayat
Alquran yang menyatakan –Dan janganlah engkau membuat kerusakan di muka bumi
setelah Kami memperbaikinya-, akan tetapi akibat dari pendangkalan agama,
dengan anggapan bahwa mereka tengah melakukan jihad fi sabilillah dan
iming-iming mati syahid dengan jaminan surga, mereka justru merelakan diri
untuk melakukan aksi seperti bom bunuh diri.
Hal tersebut
sangatlah disayangkan. Selain dapat merusak citra Islam, juga kasihan bagi
mereka yang menjadi korban pendangkalan pemahaman agama (para teroris) dan juga
korban bom bunuh dirinya, yang sebenarnya tidak berpotensi membahayakan Islam
maupun keutuhan NKRI.
Tidak
dipungkiri, salah satu alasan teroris melakukan aksinya adalah sebagai bentuk
solidaritas mereka terhadap saudara sesama muslim di Palestina dan Suriah.
Sangat dimaklumi, jika perasaan seiman kemudian menjadi penggerak seseorang
melakukan aksi solidaritas kepada saudaranya.
Akan tetapi,
yang seperti itu tentunya tidak dibenarkan. Apalagi dengan semangat mengimport
konflik asing masuk ke Nusantara, yang pada akhirnya hanya akan menumbuhkan
semangat perlawanan dan rasa dendam. Lalu jika dibiarkan berkelanjutan, tidak
menutup kemungkinan konflik asing berupa perang itu justru akan terjadi di
tanah air sendiri.
Kalaupun ingin
menunjukkan rasa prihatin dan peduli kepada saudara di Palestina dan Suriah,
cara yang dipilih tidak perlu dengan melakukan gertakan-gertakan kepada
pemerintah maupun melalui aksi terorisme.
Indonesia yang
damai tidak seharusnya dirusuhi dengan hal-hal demikian. Sejak dulu, Islam
masuk ke Indonesia dengan jalan damai dan tidak menggunakan perang. Walisongo
memasukkan nilai-nilai keIslaman di Nusantara melalui akulturasi budaya dan
juga penyesuaian terhadap masyarakat sekitar.
Itulah mengapa,
dewasa ini, kita mengenal adanya beberapa ritual keislaman yang mengadopsi
budaya Kapitayan, seperti bentuk bangunan langgar, acara tumpengan, bancaan,
penggunan nama puasa, dan banyak lagi lainnya. Tidak ada ceritanya
jalan kekerasan digunakan sebagai media dakwah di Nusantara.
Adalah
pesantren sangat tepat menjadi solusi bagi mereka yang hendak memperdalam ilmu
agama. Karena pendidikan pesantren yang diasuh oleh Kiai tidak akan mengajarkan
seseorang untuk menjadi teroris dan merasa paling benar sendiri.
Selain itu,
beberapa dari mereka yang memiliki laqob santri saat ini juga tengah
gencar melawan gerakan radikalis dengan menyebarkan konten positif melalui
media sosial. Salah
satunya adalah mereka yang terkumpul dalam Arus Informasi Santri (AIS)
Nusantara.
-Penyebaran konten positif dan dakwah
melalui media sosial diharapkan akan efektif untuk melakukan counter narasi
dan juga penyeimbang bagi konten-konten radikal dari minhum. Terlebih sekarang
ini banyak pemuda yang gemar sekali berselancar di dunia maya- tutur Romzi
Ahmad, penasihat AIS Nusantara.
Lebih dari
itu, pemerintah nampaknya juga telah melakukan antisipasi terhadap
gerakan-gerakan radikal yang berpotensi membahayakan NKRI. Lebih jauh, adanya
perhatian lebih terhadap gerakan terorisme dan Islam radikalis dari berbagai
pihak diharapkan dapat membuahkan hasil yang manis, yakni: Indonesia yang damai
dan kuat dengan persatuan antarseluruh elemen bangsanya.
0 comments:
Post a Comment