SAUDARA ADALAH MENYATUKAN YANG BERBEDA

SAUDARA ADALAH MENYATUKAN YANG BERBEDA
Nabi Muhammad saw. pernah bersabda, “Perbedaan dalam umatku adalah rahmat“, itu artinya perbedaan memang sesuatu yang sudah pasti ada dan tak akan bisa dihindari. Oleh karena itu kita tidak bisa mengambil dalil...Nabi Muhammad saw. pernah bersabda, “Perbedaan dalam umatku adalah rahmat“, itu artinya perbedaan memang sesuatu yang sudah pasti ada dan tak akan bisa dihindari. Oleh karena itu kita tidak bisa mengambil dalil berbeda untuk berpecahbelah satu dengan lainnya. Karena bukankah saudara hakikatnya adalah menyatukan berbagai perbedaan menjadi satu rasa? Kalaupun tidak rasa, paling tidak perbedaan itu adalah jalan bagi kita untuk dapat saling menghargai dan mengerti.
Ibaratnya seperti menyeduh kopi, andai saja kopi sama rasa manisnya dengan gula, mana mungkin kita akan merasakan wedhang kopi yang nikmat dengan perpaduan rasa antara manis pahit yang pas. Jika kopi sama rasa manisnya dengan gula, tentu saja kita hanya akan merasakan wedhang gulo bukan wedhang kopi. Atau andai saja gula sama rasa pahitnya dengan kopi, tentu saja ketika menyeduh kopi kita hanya akan merasakan getir yang tidak enak di lidah. Seperti itu jugalah perbedaan, akan membuat suatu kebersamaan menjadi lebih berwarna dan seimbang.
Mengapa kita harus berbeda dan bersaudara dalam perbedaan? Bukankah menjadi sama dan satu warna lebih menyenangkan?
Pada dasarnya, Allah swt. telah menciptakan segala sesuatu dengan berbeda; dan perbedaan itulah  yang kemudian membuat kehidupan menjadi lebih sarat makna. Perbedaan juga akan memperkaya khasanah suatu peradaban. Karena berbeda itu sendiri adalah fitrah, maka musykil kita akan melawan perbedaan yang ada. Musykil juga jika kita ingin menyeragamkan yang berbeda itu menjadi satu warna. Walhasil, menerima perbedaan dan menyikapi perbedaan itu dengan bijak adalah solusi yang tepat.
Dengan demikian, kita tidak perlu berusaha menyalahkan siapapun yang pemikirannya tak sejalan dengan kita, tidak perlu juga mengklaim diri paling benar dan orang lain salah. Yang seperti itu terlalu kaku dan monoton. Sudah tidak zaman lagi. Sebab tidak menutup kemungkinan, kita, manusia yang notabene adalah mahal al khoto` wa an nisyan, sekali dua kali atau bahkan bisa lebih dari berkali-kali bisa saja sewaktu-waktu berbuat salah. Berhubungan dengan ini, Gus Dur pernah berkata, “Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berati merendahkan dan menistakan penciptanya“. Jadi, hanya manusia yang benar-benar manusia yang dapat memanusiakan manusia dengan menghargai keberadaan dan pilihan mereka.
Demikian pula dalam berislam. Jauh sebelum abad 21, Nabi telah menyebutkan bahwa umat islam akan terpecah menjadi 73 golongan; yang terkait ini masih diperebutkan tentang siapa 1 golongan yang masuk surga. Kita mengenal satu golongan itu sebagai Ahlussunnah waljama`ah. Sehingga sekarang kita memaklumi banyaknya firqoh yang dewasa ini mengaku sebagai Ahlussunnah waljama`ah. Tentang siapa yang paling benar. Wallahu a`lam. Tidak perlu diperdebatkan panjang lebar.
Yang terpenting sebagai umat Islam, kita sudah berusaha sebaik mungkin untuk mengikuti jejak dan aturan Rasulullah saw dalam menjalankan syariat Islam serta menerapkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari. Mengikuti berarti mengikuti dengan mengerti apa yang di ikuti. Tidak sembrono mengikuti sesuatu yang berasaskan katanya. Tidak manut grubyuk hanya karena sesuatu itu diikuti oleh banyak orang. Akhirnya hanya jadi ikut-ikutan.
Namun, kalau kita belum bisa menafsiri Al Quran atau mencerna hadist sendiri, kita harus berguru kepada Ustadz atau Kiai. Ustadz yang benar-benar Ustadz, bukan Ustadz yang baru kemarin belajar tentang Islam dari buku bacaan, Youtube, maupun artikel di InternetUntuk hal ini, KH. Marzuki Mustamar (Pengasuh Ponpes. Sabilurrosyad Malang) pernah mengatakan bahwa tidak semua orang paham akan makna Alquran yang sesungguhnya. Jadi memang harus meguru pada orang yang tepat dan sudah menyamudra ilmunya.
Dari sini, maka belajar kepada ulama` dan mengikuti ulama sangatlah dianjurkan. Karena mempelajari ilmu agama itu bagaikan menaiki anak tangga; anak tangga pertama adalah ulama`, selanjutnya tabi`ut tabi`in, berikutnya lagi tabi`in, berlanjut pada sahabat, dan barulah kita akan sampai kepada Nabi Muhammad saw, dan pada akhirnya kita akan sampai kepada Allah swt.
Dengan demikian, apakah mungkin kita akan sampai pada tangga teratas jika tidak menaiki tangga yang paling bawah terlebih dahulu? Bisa-bisa kita terjatuh dan tidak pernah sampai pada tangga paling atas, yakni Allah swt.

0 comments:

Post a Comment