JATUH BANGUN AKU MENGEJARMU






image
3 tahun silam aku lulus dari Madrasah Aliyah Sunan Drajat. Kemudian mendapat keberuntungan diterima di Universitas Negeri Malang, jurusan Biologi. Waktu itu aku berumur 18 tahun. Aku tidak labil, hanya saja belum stabil.
Tiga tahun silam aku begitu terkungkung dengan asas keakuan. Pendiam. Defensif. Ambisius tanpa memandang potensi. Keras kepala. Dan sepertinya menyebalkan. Tiga tahun silam aku tak memulai semuanya dengan baik. Untung saja aku bertemu dengan orang-orang baik, sehingga langkah tidak baikku tertutupi dan dilengkapi oleh mereka.
Tiga tahun lalu, aku merasa dunia berbalik 180 derajat. Dimulai sejak kelas XII Aliyah, ketika neraca yang semula diatas perlahan turun kebawah. Ketika semua kebahagiaan perlahan luruh seperti time capsul yang perlahan habis seiring berjalannya waktu.
Semua bertahap.
Dimulai saat masa kepengurusan IPNU/IPPNU periodeku usai. Hari-hari yang menyenangkan bersama teman-teman pun tak dapat lagi di ulang. Tak ada celoteh cerewet dari Farhat, yang selalu asyik membicarakan teori mbuletnya. Tak ada gurauan usil dari Barok yang selalu membuatku tertawa, tak peduli apapun, segala perbuatan Barok adalah lucu bagiku. Dia sosok keren yang andal sekali mencairkan suasana. dia kocak. Tak ada lagi pertengkaran kecil yang ganjil antara Nurell dan Lafil, atau Nurel dan Barok. Tak ada lagi percakapan antara aku dan Shobirin, aku dan Fajar. Tak ada jalan bareng antara aku dan mami Nilla. Tak ada talaman bareng-bareng pengurus IPNU/IPPNU. Tidak ada kegiatan Jumat nyapu kandang. Tidak ada acara jaga apel dibawah pohon depan kelas bahasa lagi. Dan juga, tidak ada lagi kisah tentang hati yang dapat ku urai dengan kata-kata.
Tidak ada.
Semua berakhir begitu saja ketika aku dan Shobirin telah menyerahkan bendera IPNU/IPPNU kepada Dek Luluk dan dek ketua IPNU baru. Semua hilang begitu saja, meninggalkan kenangan yang terkadang ingin sekali ku ulang.
Argh.. aku selalu merindukan mereka. Entahlah, mereka merindukanku atau tidak. Yang jelas mereka selalu akan menempati satu tempat khusus di hatiku. Selalu.
Bermula dari usainya kepengurusan, maka kegiatankupun hanya fokus di Buletin Fokus pondok, belajar untuk ujian, dikelas,-kadang-kadang- hanya tiduran. Menjadi sedikit kehilangan warna. Dan di kelas XII Aliyah itu juga, aku merasa kualitas hidupku semakin menurun. Satu setiap hari. Sehingga nilai yang kumiliki perlahan luruh seluruhnya.
Tak bersisa. Dan tak dapat dikais lagi untuk dikumpulkan.
Aku kehilangan. Benar-benar kehilangan. Tak hanya cerita, tetapi juga kepercayaan diri, jati diri, etos kerja, motivasi diri. Semuanya saja. Jika speedometer kehidupan adalah 100% maka aku kehilangan 50%nya.
Menyedihkan.
Sebenarnya tak begitu menyedihkan. Hanya saja dalam lembaran ini aku sedang fokus pada kisah sedihnya. Tentang rasa kehilangannya. Tentang masa lalu yang tak dapat lagi didekap dengan kedua tangan.
Di kelas XII, yang membuat buruk bukanlah kehilangan mereka. Tetapi kehilangan sifat rajin.. bangun sering kesiangan, dan jarang membaca Alquran. Ya, malas seperti itu membuat diriku menjadi seperti bukan aku.
Singkat cerita, semua menjadi lebih parah ketika aku masuk perguruan tinggi. Semua menjadi semakin jatuh ketika aku merasa diriku tak mampu mengimbangi teman-teman kampus yang seems great and I seems nothing.
Semua menjadi seakan semakin berbalik.
Aku yang dulu the 1st ranker di SMP dan Aliyah menjadi last ranker di kampus. Aku tak tau harus menggambarkannya dengan kata-kata apa. Yang jelas itu menyakitkan. Yang jelas itu membuatmu ingin berhenti kuliah dan lari dari kenyataan. Yang jelas, kau seperti menjadi ratu yang kemudian dikutuk menjadi babu. Ya… yang jelas itu tak menyenangkan.
Lama sekali aku berproses. Menjajaki masa-masa tidak mengenakkan. Bergelut dengan berbagai perdebatan batin. Berprasangka diri tak mampu. Merasa rendah diri. Merasa tak ada harpaan. Merasa masa depan hanyalah kegagalan. Dan merasa yang tidak-tidak.
Kala itu aku sangat takut. Bahkan hanya untuk melangkah. Bahkan hanya untuk bersuara, aku sangat takut. Pernah suatu ketika, di awal semester 3 pasca liburan panjang aku begitu takut dan waswas masuk kampus. Aku takut pada bayanganku sendiri. Dan sesusngguhnya ketakutan itu sendirilah yang menjadi masalahku.
Lalu aku berproses. Terus berproses. Merengkuh rasa sakit. Mengabaikan sayatan perih. Mengabaikan pandangan tak mengenakkan. Mencoba melupakan kisah tak enak.
Intinya aku hanya terus berjalan. Menerjang segala yang merintang di depan mata. Masuk HMI, keluar HMI, masuk HMJ, tidak aktif di HMJ, masuk PMII, tidak aktif di PMII, masuk ASC, kadang aktif kadang tidak. Semua kulakukan.
Dari kesemua itu aku ingin berproses. Memperbaiki diri. Tapi kurasa aku tak kunjung baik. Aku sering merasa iri pada Evi yang pintar, pada Gibbie yang apa adanya dan tegar, pada Muna yang sabar dan tawakkal, pada Vilda yang supel dan diterima dimana-dimana. Aku sering iri pada mereka, sahabat-sahabat terbaikkku. Iri bukan berarti ingin merebut apa yang ada pada mereka, iri disini adalah iri dengan ingin menjadi baik seperti mereka.
Hingga suatu ketika, saat pertama kali aku memasuki ASC aku menemukan sebuah keluarga baru yang rasanya akan membuatku betah didalamnya. Itu terjadi pada awal semester 3.
Waktu itu hari minggu. Tepat ketika aku sedang mendapatkan jatah bulanan. Sembari menyandarkan diri di tembok perpustakaan Masjid Al Hikmah, sembari mendengarkan adzan aku meneguhkan satu kalimat sederhana, bahwa aku akan bahagia disini. Dengan keluarga baru. Dengan harapan baru.
Itu langkah awalku. Dari sebuah organisasi yang tak berpihak kemana-mana. Hanya berdiri diatas dan untuk semua golongan. Alquran Study Club.
..
Seiring waktu berlalu, ternyata aku masih sering menghimpun rasa sakit. Menerabas kekecewaan demi kekecewaan. Terlebih pada diri sendiri. Dan menerima berbagai rasa tak diterima serta diabaikan. Tak dihargai.
Awal semester 3 memang titik balik bagiku. Tetapi menemui titik balik tidak serta merta membuat aku menjadi baik dalam segalanya. Rupa-rupanya aku perlu menebus ketidak-baikanku di masa silam terlebih dahulu untuk dapat menghapuskan kesan buruk dan menggantinya dengan kesan baik.
Dan itu tidak mudah. Terlebih ketika hati tengah merasa gundah, terkucilkan, berpikir positif bukanlah hal yang mudah. Sangat tidak mudah. Sekali saja aku menerima perbuatan atau sambutan yang tidak enak, aku akan merasa kembali jatuh. Dari nol. Sehingga aku perlu berkali-kali menguatkan diri lagi. Menegaskan kepada diri sendiri bahwa aku mampu menjadi baik dan berproses dengan baik sebagaimana yang lain telah berproses.
Aku sering merasa diri tidak mampu. Tidak seperti mereka yang telah berlari lebih dulu dan meniti tangga untuk mencapai mimpi yang telah di gagas dalam angan-angan masa depan. Aku merasa selalu tertinggal.
Tetapi sekali lagi semua adalah proses kan?
Jatuh bangunku adalah proses.
Sekarang ini aku menyadari satu hal mengapa aku begitu menderita di semester awal. Pertama adalah karena aku terlalu berambisi. Tak mampu menimbang kemampuan diri sendiri. Kedua, aku terlalu dikungkung oleh rasa malas yang menghalangiku bergerak kemana-mana. Nyaman dengan zona nyaman. Menghindari tantangan.
Ketiga adalah aku yang tidak membuka pikiran untuk menerima pendapat orang lain. Semua yang salah di mataku adalah salah. Sehingga peluangku untuk belajar menjadi sangat kecil. Keempat, aku terlalu pendiam. Tidak mampu membaca lingkungan, terlalu aku, aku, dan aku tanpa memperhatikan bagaimana orang memandang.
Kelima, aku tidak pernah mendengar. Dan terakhir, aku terlalu sibuk untuk dapat dituankan dan terlalu sibuk menimbang-nimbang kekurangan.
Semua itu masalah.
Tetapi alhamdulillahnya,
Dengan semua yang tidak seimbang itu, dengan semua rasa takut itu, Allah membuatku belajar. Aku bersyukur, karena Allah masih membukakan hatiku untuk  dapat membaca dan belajar. Tidak serta merta terkungkung dengan dunia gelap yang acapkali membuatku ingin melangkah mundur.
Dan sungguh – tidak ada orang buruk yang tidak memiliki masa depan, dan tidak ada orang baik yang tidak memiliki masa lalu: Ali Ibn Abi Thalib.
KEEP HAMMASAH ^^
*ditulis pada tahun 2016

0 comments:

Post a Comment