(Pantai Kenjeran 1 Jumadil Awal)
Sebuah kisah nyata tentang perjalanan singkat di Kota Pahlawan, Surabaya. Tentang betapa rencana Allah selalu lebih baik daripada rencana seorang hamba. Tentang ikhlas dan menerima. Serta tentang keluarga jurnalis kecil yang tengah mengepakkan sayapnya.
31 Januari 2017
Memenuhi Resolusi 2017 (Relasi dan Prestasi), aku menyibukkan diri dengan beragam aktivitas sebagai wujud aktualisasi diri. Ke-enolanku menjadi mahasiwa harus dibayar dengan mekso awak pada semester tua ini. Nyambi skripsi nyambi nyari event yang kiranya dapat memperbanyak jaringan sekaligus menambah daftar prestasi.
Karena bagaimanapun juga, kualitas diri yang baik akan mempertemukan kita dengan jodoh yang memiliki kualitas kurang lebih sama (ngapain bahasnya jodoh coba =D).
Ya, setidaknya demikian.
Dan aku bersyukur sekali, dipertemukan dengan orang-orang hebat yang memiliki pemikiran-pemikiran luar biasa untuk pembangunan negeri ini. Dari orang-orang seperti mereka aku belajar banyak hal, dan menyadari satu hal, bahwa aku masih sangat jauh tertinggal. Tetapi bukan manusia pembelajar namanya kalau tertinggal dan tidak mau belajar. Maka dari itu, mulai dari sekarang aku mencoba untuk aktif dan melepas rasa malas, yang jujur saja itu menjadi kendala terbesar bagiku.
28 Januari 2017 lalu beberapa kru Media Santri NU (MSN) mengikuti kegiatan Kopdar yang diselenggarakan PWNU Jawa Timur di Aula PWNU Surabaya. Pemberangkatan sudah direncanakan H-2, dengan mobil sebagai kendaraan transport. Kita sepakat. Karena kalau motoran, selain tidak tahu jalan, juga lebih rawan kecelakaan.
Pada hari yang telah direncanakan, jam 11.00 WIB kita seharusnya sudah berangkat ke Surabaya. Mengingat acara akan dimulai jam 13.00 waktu setempat. Tapi karena kurangnya koordinasi, pemberangkatan menjadi molor dan amburadul. Jam 12 Mas Faishol, (Pimred MSN) bilang kalau travelyang disewa mendadak ngancel. Sontak, grup menjadi geger. Gimana? Apa naik motor saja? Kalau ga berangkat sekarang, kita bakalan telat banget. Jadi gimana? Sebentar tak carikan travel. Bla bla and bla
Diskusi mandek di tengah jalan. Akhirnya kita pasrah, berangkat terserah, ga berangkat terserah. Manut sama Pimred yang waktu itu lagi di Sawojajar. Jam 12 lebih 15an Mas Faishol bilang kalau dapat sewaan mobil, tapi Avanza. Jadi kemungkinan ga muat kalau buat 11 orang. Kebetulan, di tengah kebuntuan tadi 3 orang sudah mengundurkan diri. Tinggal kita berdelapan.
Setelah mobil disewa, Kita masih sempat udur-uduran, sido gak? Wes jam siji iki. Percuma rono, kita tok acarane wes mari. Mobile yo gak teko-teko sisan. Sido gak seh dan lain sebagainya. Lelah di PHP, akhirnya aku memilih untuk tidur sejenak di kamar. Lagipula aku sudah rapi, tinggal berkerudung. Hanya saja usaha tidurku itu gagal, bagaimanapun juga aku kepikiran.
Sekitar jam 1, mas Fai kowar-kowar lagi. Katanya mobil sudah datang. Kita disuruh stand by di Masjid. Akupun bergegas dan cuss ke masjid bareng dek Arina. Di Masjid, we see no one. Mbak Zainab dan Mbak Rifa juga katanya ga jadi ikut. Then waiting is our best effort. Sambil membujuk-bujuk kru yang lain.
Setelah mbulet-mbulet ria, akhirnya kita berangkat ke Surabaya. Jam 1 lebih dikit. Prediksinya jam 3 akan sampai di lokasi dan bisa mengikuti kopdar, minimal untuk sesi 2 lah. Paling tidak acara kan selesai jam 17.00.
Manusia merencanakan, Allah yang menentukan. Entah karena hujan, entah karena hari sebelumnya adalah Imlek, jalalnan Malang-Surabaya macet bukan main. Jam 3, yang seharusnya kita sudah duduk manis di aula PWNU, kita malah masih duduk anteng di mobil. Melihat hujan dan mobil-mobil berjejalan di jalan raya. Kita masih di Singosari. Dan Ponpes. Gasek-Singosari membutuhkan waktu 2 jam itu awesome banget. Melelahkan. Kan aslinya Cuma butuh 30 menit.
Meskipun tau bakalan telat, kita tetep lanjut perjalanan. Eman kan kalau balik? =D Di mobil, ada saja yang di obrolkan, gojlokan, kuliah, beasiswa dll. Sedang Mas Ofik tetap saja diam seribu bahasa. Kalau ga salah, sampai pulang Mas Ofic bicara ga lebih dari 10x. Sumpah, pendiam banget. Sampai-sampai temen* menyebut Mas Ofic Wali (guyonan sih).
Sambil jalan, Dek Arina kebagian tugas memantau kegiatan lewat Mas Ainur. Jadi, kita tau disana sedang apa dan sebagainya. Sampai pukul 17.00, kita masih di Pasuruan, di tol panjang tepatnya. Maka harapan untuk mengikuti kopdarpun sudah sepenuhnya pupus.
Di dalam hati aku merasa geli, kalau acara sudah selesai, kita ini mau ngapain ke Surabaya. Kan tujuan utamanya sudah jelas-jelas ga keturunan. Tapi yasudahlah, manut saja. lagipula aku juga sudah lama mengidam-ngidamkan jalan-jalan ke Surabaya, terutama juga pengen sowan ke rumah Allah di Masjid Agung Surabaya.
Sekitar jam 18.30, kita tiba di kantor PWNU Jatim. Kondisi disana sudah sepi, tinggal panittia acara yang gelentangan di sekitar gedung. Tiduran. Kotak bekas makanan juga berserakan dimana-mana. Membuat aku semakin lapar, mengingat sejak siang belum makan.
Kedatangan kami disambut dengan hangat oleh panitia. Kami segera membuat majlis kecil, melingkar di depan ruang panitia, di depan ruang konferensi sepertinya. Setelah berbasa-basi sejenak, kami diperkenankan untuk take shoot di ruang konferensi. Di ruang itu, ada banyak gambar-gambar yang berisi keterangan mengenai pelaksanaan Muktamar NU mulai dari yang pertama sampai dengan yang ke 33 di Jombang 2015 lalu. Foto-foto ulama` Nahdliyyin juga dipajang di setiap sudut ruangan. Membuatku merasa memasuki museum Nahdhatul Ulama. Serasa memasuki ruang dimensi.
Menurutku, gedung PWNU Jawa Timur designya awesome. Tempelan wallpaper dinding yang berbasis putih dengan motif bunga hijau sungguh meneduhkan. Simple dan enak dipandang. Tata letak ruangan, juga pemilihan warna coklat sebagai alas sungguh kombinasi yang luar biasa. Di seluruh bagian gedung, tidak luput dari foto-foto para ulama`. Great lah pokoknya.
Setelah merasa cukup dengan kamera, kami –hawaniyyun- segera kembali ke majlis semula. Sebelum lanjut berdiskusi, panitia memberikan waktu kami untuk melaksanakan sholat terlebih dahulu. Sholat jamak ta`khir Maghrib Isya.
…
“Baiklah. Demi mengobati rasa kecewa kalian, yang sudah datang jauh-jauh dari Malang, dan ternyata ketinggalan acara“ Pak Abdullah Hamid tertawa kecil, “maka sekarang, kami membuat halaqoh kecil. Yah, untuk sharing2 hasil kopdar tadi. Ngoten nggih Pak? “ Pak Hamid mengedarkan pandang ke Gus Nadjib, Ketua LTNNU.
Si Gus mantuk-mantuk saja, senyum kedamaian mager disana.
“dan juga untuk melegakan rasa haus kalian. Rasa haus akan ilmu tentunya. Segala sesuatu pasti berhikmah. Begitupun dengan kedatangan kalian yang super telat ini“ Pak Hamid menjeda
Peserta kopdar spesial malam itu tertawa semua, termasuk aku. Menyadari betapa telatnya kami datang, bahkan sampai acara buyar.
“kalau kalian datang lebih awal, mungkin kalian tidak bisa ngobrol se intens ini. Bisa jadi kalian malah hanya mengagumi sosok sekjen NU dan Pak Karwo. Materinya lewat“
Kami tertawa serentak, suasana malam itu begitu hangat dan akrab. Aku tidak lagi menyesal sudah datang terlambat. Benar kata Pak Hamid, semua pasti berhikmah. Allah tentu lebih tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Apalah rencana manusia yang terkadang hanya berlandaskan nafsu dan ketidaktahuan semata. Rencana Allah jauh lebih agung dan worth it. Yah, meskipun terkadang dalam mencapai rencana Allah itu perlu bersusah-susah terlebih dahulu. Bahkan terkadang sampai merasa putus asa dan everything`s useless. Tapi biarlah. Memang semua itu sudah proses.
Pak Hamid selanjutnya memberikan waktu kepada Gus Nadjib untuk memberikan sekapur sirih. Materi Kopdar yang telah lewat dijelaskan oleh beliau juga. (mohon maaf, materi kopdar bersifat rahasia negara, jadi gaboleh ditulis hihi :))
…
Mas Rifa`i, yang tadi dimintai tolong untuk foto, juga mendapat giliran menyampaikan pesan-pesan. Dia adalah mahasiswa UB, entah sudah lulus entah masih aktif. Seorang ahli IT yang sejak Maba sudah hits karena kasus Jonru. Dia lebih terkesan pendiam.
(maaf juga, content diskusi tidak boleh dishare :))
…
Hal lainnya, aku kurang begitu ingat. Yang jelas pertemuan malam itu bagiku sangat menyenangkan dan bermanfaat. Setidaknya, dari sana, semangatku untuk berjuang kembali dalam ranah politik menjadi tergugah. Sebelumnya, mulai dari tahun 2013, aku sudah tidak berminat lagi untuk menjadi aktivis. Terlebih dalam ranah politik. Justru sebaliknya, aku sangat membenci politik. Karena bagiku politik adalah hal yang sangat menjijikkan. Pandangan itu kemudian sedikit berubah, ketika di tengah-tengah prosesku menjadi mahasiswa aku melihat politik sangat dibutuhkan. Sehingga jika aku tak belajar maka aku akn tertinggal oleh perkembangan jaman.
Semoga Allah memudahkan langkah dan menuntun kami pada jalan yang benar.
Sekitar ja 10.30an, acara privat kopdar selesai. Kita berpamitan kepada panitia, berbasa basi sejenak kemudian cuss. Kami tidak cuss sendirian, Mas Ainur, Mas Danis, dan Mas …. (aku lupa nama. Yang jelas dia anak ITS semester 8 jurusan Fisika. Aslinya Kediri. Ohya ingat, namanya mas Zidni =D) turut serta menemani perjalanan kami sebagai pemandu jalan.
Tujuan utamanya adalah Sunan Ampel. Mbah Bolong dan Mbah Sugeng dikirimi Alfatihah. Pulang dari Sunan Ampel badanku sudah lemas sekali. Pasalnya aku baru makan pagi tadi dan sampai jam 23.00an belum terisi apapun, kecuali satu pisang goreng dan segelas air mineral. Padahal kan aku orangnya paling gabisa kalau disuruh nahan lapar. Jadi deh, waktu tahlilan, aku sempat kepikiran soal makanan hwaha. Semoga itu lumrah.
Rasa lapar yang mendera ternyata juga di iringi rasa kantuk yang alhamdulillahnya masih di level rendah. Begitu keluar dari komplek makam sunan Ampel, aku nempel di dinding gerbang. Butuh bersandar. Sayangnya belum ada pundak yang dapat dijadikan sandaran. Melas ga sih =D
Melihatku semelas itu Mas Zidni akhirnya ngomong,
“Ngantuk Mbak“.
Aku mesem saja. “begitulah Mas“ aku terkekeh, Mbak Rifa turut serta.
Mas Ainur yang berdiri di samping mas Zidni menimpali, “Masak aktivis jam segini sudah ngantuk?“
Aku kembali tersenyum. Masam, melas, sekaligus memohon maklum bahwa aku merasa lelah. Kami menunggu di samping pusara mbah Bolong cukup lama. Mas Ofic, Mbak Zainab, dan Dek Ratri masih khusuk berdoa di makam sunan Ampel. Sembari menunggu, Mas Zidni menjelaskan kepadaku tentang kisah mbah Bolong yang konon katanya dapat melihat ka`bah hanya melalui lubang tembok, yang mana itu juga merupakan asal-usul mengapa beliau mendapat laqab mbah Bolong.
Aku mengiya-iyakan sembari memberi beberapa respon yang kupikir perlu untuk dilontarkan. Mas Ainur, Mbak Rifa, Mas Fay, Dek Arina tengah berbicara topik lain.
Setelah personil lengkap, kita segera beranjak. Mencari penghidupan. Maksudku mencari makan. Kita sepakat untuk mencari makanan yang tidak merogoh kantong terlalu dalam (wajarlah mahasiswa), yang enak, dan yang banyak. Maunya =D
Akhirnya kita sepakat berhenti di pinggir jalan, tepatnya di jalanan sekitar pasar Kapasan Surabaya. Di sebuah kedai lalapan yang bagiku menunya mahal-mahal. Nasi+telur 8.000, ayam 12.000, bebek 20.000. bagi mahasiswa Malang itu bukan harga yang murah, maka ketika aku melontarkan pernyataan ke Mas Zidni,
“Wah, mahal ya“
Mas Zidni menyahut, “mahal Mbak? “
Aku meringis, “bagiku mahal sih Mas“ kemudian kami memesan makanan yang mayoritas telur. Itu yang paling terjangkau =D
Jeda waktu pemesanan dan penyajian makanan cukup lama. Perutku semakin krucuk-krucuk saja. Sedang diskusi di lingkaran kecil yang kami buat semakin hangat saja. Membahas daerah masing-masing, membahas NU dan entah apa lagi. Aku tidak terlalu mengingat detailnya. Yang jelas, suasana malam itu terasa sangat akrab. Seakan kami semua telah lama saling mengenal, hingga romantisme persahabatan begitu erat kami rasakan.
Aku seperti tak ingin melepas waktu itu. Ingin ku rengkuh erat. Aku tak ingin perjumpaan dan persahabatan yang semanis itu akan segera berlalu begitu saja. Hanya meninggalkan kenangan dan cerita. Tapi apalah daya, di tanganku tak ada alat pemberhenti waktu.
Selesai makan, Mas Danis dengan pawakan lugu dan kalemnya bilang,
“Mas Mbak, ndak usah bayar. Biar dari pihak panitia saja yang bayar“
Wah kebetulan uangku lagi pas-pasan. Batinku girang. Sontak saja kami mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya. Sudah ditraktir. Di ajak jalan-jalan. Duh baik banget sih mereka hihi. Ya begitulah orang NU, kalem, wibawa, alim, baik lah pokoknya.
Trip dadakan dan tanpa rencana itu berlanjut ke Suramadu, Mas Ainur yang mengusulkan. Awalnya beberapa orang tak setuju dengan rencana itu, tetapi akhirnya kami berangkat juga. Kini, Mas Danis turut serta naik mobil. Menggantikan Mas Ainur yang berhijrah naik motor bareng Mas Zidni. Kau tahu? Malam itu aku benar-benar merasa sedang bersama keluargaku sendiri. So worth it.
Banyak keinginanku secara ajaib terkabul pada malam itu. Berkunjung ke Masjid Agung Surabaya, meskipun hanya melihat luarnya saja. Dapat privat kopdar dari petinggi PWNU. Berkeliling kota Surabaya. Udah gitu dapat bonus orang-orang hebat di sekelilingku lagi. Sungguh, Nikmat Tuhan mana lagi yang harus aku dustakan? Tidak ada. Allah maha sempurna maha bijaksana. Alhamdulillah.
Kapasan-Suramadu tidak memerlukan waktu lama. Kurang lebih 15 menitan kami sudah sampai dibawah megahnya jembatan Suramadu. Angin laut malam yang teduh menerpaku dengan ucapan selamat datangnya yang meresap hangat ke dalam hati.
SURAMADU MALAM HARI. Meski pemandangan besarnya adalah gelap, tapi itu justru yang menambah anggun kerlap-kerlip lampu yang berjajar di sepanjang jembatan. Tak kudapat bintang di petala langit. Tapi keanggunan Suramadu sudah cukup membuatku terpesona. Tidak perlu yang lain lagi. Bagiku ini sudah luar biasa.
Kami mendaratkan kaki di tempat ngopi, tepat di pinggir pantai yang airnya kecoklatan. Katanya, air laut Jawa tidak bisa berwarna bening. Karena kandungan lumpurnya banyak. Jadi, its okay lah. Begini saja sudah cantik. Dan, ada mereka di sisiku itu sudah lebih dari cukup.
Kami memesan beberapa minuman. Kebanyakan susu hangat. Soalnya waktu itu gerimis kecil-kecil tengah turun dengan syahdunya. Kami segera mencari tempat paling nyaman untuk duduk. Untuk kembali menggelar acara kopdar yang sebenarnya (kan ini di warung kopi) =D. Mbak Zainab dan Mas Zidni memiliki forum mereka sendiri, menghadap laut. Tak taulah apa yang tengah asyik mereka perbincangkan.
Mas Zidni dan Mbak Zai sekarang include di forum kami. Lainnya masih tidur. Ada begitu banyak yang kami bicarakan. Aku tak mengingat semuanya. Hanya beberapa saja yang kebetulan mengena di hatiku.
Mas Ain bilang, “ngapain sih mbak-mbak itu maunya di ajarin setelah nikah. Baca Quran katanya nanti biar di ajari suami saja. Kan belajar sekarang masih bisa. Memperbaiki bacaan kepada kiai“
“loh, biar romantis. “ aku menimpali sekenanya.
“Romantis dari mananya? “ sanggahan balik.
“Nah itu bedanya laki sama perempuan Mas. Kalau perempuan itu pola pikirnya seperti dek Uswah, condong pakai hati. Kalau laki-laki kan pakai logika“ Mbak Zainab, yang sedari tadi mendengarkan ikut menyahut.
“Ah, masak gitu sih“ gantian Mas Zidni yang nimbrung.
Aku menjawab pertanyaan Mas Zidni dengan senyuman, “iya banget Mas“.
“Romantis itu ya bercumbu“ Mas Ainur memberikan pernyataan cethar. Itu yang sedari tadi dia dan Mas Fay bahas di mobil. Fokusnya kitab Qurrotul Uyun yang kilatan kemarin di kaji di pondok Gasek. Mas Fay malah bilang, “kita itu Mas, ngaji qurrotul sudah, sore dan malam malah. Cuman kurang 1. praktik“. Kaum hawa yang notabene memiliki rasa sungkan lebih besar cuek-cuek saja. Memilih untuk diam.
“pura-pura ga dengar ah“ ucapku
“loh jangan pura-pura ga dengar dek Us. Pura-pura gatau saja“ Mbak Rifa nyambung.
Lantas kita tertawa.
Dan sekarang topik itu lagi yang diangkat mas Ainur. Membuat ekspresiku menjadi tidak bisa biasa. Dan aku yakin itu kelihatan sekali, “apa sih Mas“ aku memandang Mas Ainur.
“Loh, apa salahnya membahas masalah bercumbu. Kaum muda itu memang awam soal seks. Mereka sungkan untuk membicarakannya padahal itu perlu“ jawabnya.
Plis ya Mas.. tapi ga dalam forum cewek-cowok kayak gini juga kali. Aku membatin.
“jangan-jangan mbak Uswah ini yagn mikirnya macem*“
Aku mati kutu. “engga ya, oke deh monggo saja dibahas. Cuman ya kita ga biasa saja bahas kayak gitu“ aku masih dalam prosesku mengembalikan ekspresi normalku akibat rasa canggung.
Gara-gara bahasan romantis. Batinku. Selanjutnya, aku dan Mas AIn saling beradu argumentasi.
“Pak Hamid itu dulu nikahnya sama ketua PC Jepara. Sama-sama ketua cabang“
“Kayaknya Mas Ainur mau menirukan jejak beliau“ aku meringis.
“entahlah Mbak. Belum mikir sampai kesana. Apa sih, jodoh itu sudah pasti. Ngapain dikejar-kejar“
“kalau ga ada usaha ya ga bakalan jadi Mas. Apalagi sampean cowok“
“loh Mbak, mengejar itu yang ga pasti-pasti saja. Surga misalnya“
“ya ndak bisa gitu Mas, takdir itu harus diusahakan. Ga bisa dibiarkan glundrung semprung kayak gitu. Apa Mas Ain gamau nikah? “
“Nikah itu ga wajib loh Mbak“
“loh, memang Mas. Tapi nikah itu juga bisa menyempurnakan separuh agama“
“kan menyempurnakan agama dapat melalui berbagai jalan mbak“
“tapi nanti kalau meninggal ga ada yang nahlili Mas. Sampean NU kan?“
“ditahlili umate mbak, kan calone yai“ Mas Zidni nimbrung.
“bisa jadi itu Mas“ aku menyahut.
Aku lupa kelanjutannya apa. Yang jelas di akhir bab aku bilang, “duh kita ini Mas, kayak kucing sama tikus. Kalau ketemu debat terus“
Dia pada akhirnya akan selalu bilang, “gapapa Mbak, beda itu baik. Yang penting ga bertengkar kan? Justru itu dapat menambah wawasan kita“
Okelah. Aku menutup. Setelah itu kita cuss. Balik ke Malang. Pasalnya jam sudah menunjukkan pukl 02.00. sudah dini hari. Dan kami harus menyiapkan tenaga untuk esok. Kami berpisah dengan mas Zidni dan Mas Danis setelah mengucapkan terimakasih dan berbasa-basi sejenak. Mengucapkan hati-hati di jalan dan semoga bertemu lagi.
Selama di perjalanan aku tidur. Pulas. Begitupun dengan personil yang lain. Hanya Mas Ofic dan Mbak Zainab yang stay. Kudu melek soalnya di depan.
0 comments:
Post a Comment