
Indonesia
adalah suatu negara bangsa dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Kemajemukan
budaya, agama, ras, dan suku merupakan kekayaan yang telah lama dimiliki Bangsa
ini. Kemajemukan itulah yang menjadi ciri khas Indonesia, yang sejak dari dulu
masyarakatnya dapat hidup rukun dan damai meski memiliki banyak perbedaan.
Namun sayangnya, kemajemukan itu akhir-akhir ini tengah berusaha dikikis oleh
kaum puritan yang mengatasnamakan Islam.
Kemajemukan
yang dimiliki bangsa ini sedang dalam masa kritis. Gerakan untuk menyeragamkan
pandangan menjadi Islam kaffah telah begitu merebak. Gerakan baru yang
terkesan bermuatan politis itu begitu digandrungi oleh sebagian masyarakat
Indonesia dengan iming-iming jihad fi sabililillah. Gerakan Islam kaffah
itulah yang perlahan berusaha menggeser Indonesia dari suatu Negara Kesatuan
menjadi Indonesia dengan sistem khilafah islamiyah.
Kaum puritan
dengan dalih kembali pada Islam yang haq sebisa mungkin menggeser budaya
Bangsa Indonesia yang kaya menjadi budaya Arab tanpa memperdalam bagaimana
Islam yang sesungguhnya. Gerakan Khilafah Islamiyah juga telah banyak
mengikis semangat nasionalisme masyarakat Indonesia pada jaman ini. Semangat arabisasi
telah membuat sebagian besar orang begitu mencita-citakan negara Islam
ala arab dan pesimis terhadap NKRI yang jelas-jelas telah memberikan
mereka kelonggaran dalam menjalankan syariat Islam tanpa ada kekhawatiran
apapun.
Hal ini
tentunya berlawanan dengan semangat perjuangan para pahlawan pada masa
kemerdekaan. Termasuk di dalamnya barisan para kiai dan santri. KH. Hasyim
Asy’ari salah satunya. Maka dari itu hingga sekarang kalimat Hubbu al wathon
min al iman viral di kalangan nahdliyyin untuk tetap meneguhkn sikap
cinta tanah air.
Sikap cinta
tanah air begitu kentara dari sosok kharimastik KH. M. Hasyim Asy’ari. Beliau
pernah memberikan fatwa bahwa perang melawan penjajah dan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia adalah bagian dari jihad fi sabilillah.
Apa yang difatwakan
oleh KH. Hasyim Asy’ari akan sangat berpengaruh pada moral perjuangan Ummat
Islam kala itu. Beliau memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi
psikis para pejuang. Jika Beliau memfatwakan perang, maka ummat Islam akan
teguh pendirian untuk menjalankan apa yang telah beliau fatwakan. Jika Beliau
memfatwakan ummat Islam untuk mendukung Belanda, maka moral dan semangat untuk
berjuang itupun akan runtuh. Hal itu pula yang mendasari Bung Tomo dan Jenderal
Sudirman untuk mengirim utusan kepada KH. M. Hasyim Asy’ari pada 3
Ramadhan 1366 H sesaat setelah terjadinya Agresi Militer Belanda 1.
Dengan
dampingan pimpinan Laskar Sabilillah Surabaya, -Kyai Ghufron-, KH. Hasyim
Asy’ari menemui utusan tersebut. Sang tamu menyampaikan surat dari Jenderal
Sudirman yang intinya meminta Hadratusy Syekh KH. M. Hasyim Asy’ari
untuk mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda dan
dipaksa untuk membuat pernyataan mendukung tindakan Belanda; Sebab pada waktu
itu Belanda tengah gencar melakukan serangan ke berbagai daerah di Jawa.
Setelah meminta
waktu satu malam untuk berpikir, KH. M. Hasyim Asy’ari menyatakan ketidaksediaan
memenuhi isi surat tersebut. Itu artinya komando bagi para laskar untuk
berjuang sampai titik darah penghabisan. Empat hari berselang, yakni pada 7
Ramadhan 1366 H, datang lagi utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Utusan
tersebut melalui surat yang dibawa, memohon komando jihad fi sabilillah
dari KH. M. Hasyim Asy’ari bagi Ummat Islam Indonesia karena Belanda telah
menguasai wilayah Karesidenan Malang. Banyak anggota Laskar Hizbullah
dan Sabilillah yang telah gugur menjadi korban.
KH. M. Hasyim Asy’ari
kembali meminta waktu satu malam untuk dapat memberikan keputusan. Namun,
tak lama berselang datang kabar bahwa kota Singosari, Malang sebagai basis
pertahanan Hizbullah dan Sabilillah telah jatuh ke tangan
Belanda. Mendengar kabar demikian KH. M. Hasyim Asy’ari berujar Masya Allah
Masya Allah sambil memegang kepala lalu tak sadarkan diri.
Dokter
Nitisastro yang memeriksa keadaan KH. M. Hasyim Asy’ari mengatakan bahwa sang Hadratusy
Syekh mengalami pendarahan otak yang sangat hebat. Pada pukul 03.00 dini
hari, tanggal 7 Ramadhan 1366 H, KH. M. Hasyim Asy’ari berpulang menemui
kekasihnya yang haqiqi. Inna lillahi wa Inna Ilaihih Raji’un.
KH. M. Hasyim
Asy’ari begitu teguh membela kedaulatan NKRI. Semangat dan jiwa nasionalisme yang
kuat juga tercermin dari setiap dhawuh-dhawuh yang Beliau sampaikan
kepada santri-santri Beliau. Karena keteguhan memperjuangkan NKRI itulah KH. M.
Hasyim Asy’ari mendapat gelar sebagai pahlawan nasional dari Presiden Soekarno
melalui Kepres. No. 249/1964.
Melihat
betapa KH. Hasyim Asy’ari mencintai tanah air Indonesia dan keteguhan Beliau
dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang waktu itu masih
sangat rentan; lantas apa yang membuat kita harus memuja-muja segala tentang
budaya Bangsa Arab dan menanggalkan nasionalisme serta rasa cinta tanah air?
Padahal
faktanya, selama ini kita sholat, beribadah, dan hidup dalam naungan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Selama ini kita bebas dan aman menjalankan
syari’at Islam tanpa takut akan adanya ancaman karena NKRI yang
berdaulat. Dalam kitab Muqtahofat li ahli al bukayat karangan
KH. Marzuki Mustamar dituliskan bahwa, tidak diperbolehkan meninggalkan
sesuatu yang telah nyata adanya untuk sesuatu yang masih diangan-angankan.
NKRI Harga Mati.
0 comments:
Post a Comment