Meramu

MERDABA ~ Meramu Damai Bersama

SASTRA

Goresan Tinta Cerpen dan Puisi

BOOK CORNER

Temukan Rekomendasi dan Review Buku dari Meramu.com

SEPUTAR ISLAM

Artikel Seputar Islam.

Biology Corner

Belajar Biologi Bersama

There Can Be Miracle When You Believe

I do believe.
that every single step will lead us to something beautiful.
that belief is such a magnet which will pull the dreams to come closer.
that every single soul is kind, but sometimes bad things happened, and then it changes

The tittle is unrelated, isn't?
It's because I don't know what to write but I want to write. I got that words "There Can Be Miracle When You Believe" after listening a song from Mariah Carey and Whitney Houston. So I just write it down here hehe.

About  belief. I always want to believe in something positive, but you know it's hard sometimes. and I just need to try and try, right? Being positive is a habit, so I need to get used to it. I need to train my self.

Some days ago, Mas Bara uploaded an instastory linked to Nas' post (who Nas? I forget). I just remember the content. That Nas say that in this real world we couldn't ask for justice. If someone slap us, we should not slap them back. It will just make the situation get even worse instead of get better. So the very first thing we need to do is giving forgiveness.

Yeah! So good to know the post when I was in a high curiosity about forgiveness. Forgiving is really a miracle. I believe that. And the ability to forgive is -once again- need to be trained, we have to get used to it. Just like our prophet, Muhammad pbuh.

Anyway, thank you Mas Baraa for introducing me to Nas. I will silently pray for you in return. Hope you find your way for always. Hope you are blessed a peaceful heart and wisdom. Hope Allah gives you a lot of love.


Terimakasih Sudah Lahir ke Dunia

Dalam sebuah perjalanan panjang, ada berbagai cerita dan manusia yang bisa kita temui. Kadang kita tertawa dengan penuh rasa bahagia, kadang juga kita menangis dengan beberapa penyesalan dan rasa kecewa. Bagaimanapun, hidup ini menjadi sempurna dengan setiap warna yang kita temui di dalamnya.

Rasanya aku tidak ingin mengakui bahwa di beberapa bagian dalam hidup, aku pernah terjatuh dan tersungkur. Dan bahkan, mungkin akan terulang lagi di masa yang akan datang. Rasanya aku juga tidak ingin mengakui bahwa di sebagian titik dari garis panjang, aku pernah merasa insecure dan tidak percaya pada diri sendiri.

Kadang, hidup dengan sengaja membuat kita terjatuh berkali-kali. Di saat itu kita seolah menjadi besi yang tengah ditempa. Dipanaskan berkali-kali, dipukul berkali-kali, agar meleleh dan bisa dibentuk. Melewati fase itu memang tidak mudah. Bahkan sangat sulit. Terlebih ketika yang hilang adalah rasa percaya diri. Entah kenapa, di saat demikian, sebaik apapun kondisi di lingkungan kita, pandangan kita tetaplah tidak baik. Unfortunately kita mengenakan kacamata yang tidak tepat karena pengalaman-pengalaman yang telah lewat.
Unfortunately, sesak dan kecewa yang pernah kita timbun, membuat kita menjadi sedikit kehilangan kendali atas diri sendiri.

Keadaan itu menjadi semakin buruk, ketika orang-orang di sekitar kita bukannya memberi solusi, tetapi malah cenderung menyalahkan. Instead of calming they even judging. Tidak menyalahkan juga, karena manusia memang memiliki kecenderungan untuk mencari penyebab atas terjadinya sesuatu. Dan jika mereka jatuh pada satu kesimpulan, maka menyalahkan sebenarnya adalah cara mereka menunjukkan kasih sayang.

Tapi,
kita tahu kan?
Dipersalahkan itu tidak enak. Jadi jika seseorang datang kepadamu, jangan sekali-kali kau memukulnya dengan kata-kata yang menyudutkan, beri saja kata-kata yang menenangkan. Namun, jika sedikit pengingat dibutuhkan, maka sampaikan ia dengan penuh pengertian - tanpa tendensi menyalahkan. Biarpun masih tetap akan pahit, tetapi paling tidak kadar pahitnya berkurang.

Karena ada waktu, di mana kita sebenarnya cuma butuh kalimat, "tidak papa. Ini hanya proses. Kau bisa menjadi lebih baik setelahnya. kau hanya perlu melakukan ini dan itu."

Itu saja. begitu lebih baik daripada mencaci dengan alasan-alasan yang mungkin memang fakta, tetapi mencaci tidak akan memecahkan masalah bukan? justru memperkeruh suasana.

Kembali lagi.
Kehilangan rasa percaya diri. Kadang kita melihat kehidupan orang lain tampak bahagia, penuh warna. Padahal we do not know what they are going through their days. Kita cuma bisa melihat sebatas penglihatan indera mata. Selebihnya, kita tidak tahu. Kadang juga, kita melihat orang lain mencapai berbagai prestasi, dan kita tidak tahu, apa saja usaha yang telah dilakukannya, dan betapa dulu ia berdarah-darah untuk sampai ke sana.

Ah. Truly! Hidup ini sawang sinawang.

Akhirnya aku sampai pada suatu kesimpulan, It's okay to be insecure sometimes. Sepertinya itu memang fase wajar. Yang terpenting, insecurenya tidak lama-lama. Yang penting after fall pada fase itu, kita tidak memutuskan untuk berhenti. Asal berjalan, meski pelan, pasti akan ada sesuatu yang ditemukan.

Di satu waktu, ketika kita terpaksa kecewa karena ternyata kepercayaan kita tidak diindahkan, semoga kita bisa senantiasa berbesar hati dan memaafkan. Karena terkadang, kecewa bukan hal yang bisa dihindari. Satu hal lagi, semoga di lingkaran kita tidak ada salah paham, ya, dan tidak ada tokoh seperti sengkuni, yang bisa membuat hal-hal baik menjadi salah dipahami.

Dan..
Terimakasih telah bersedia lahir ke dunia dan tumbuh dengan baik. Kau adalah anugerah bagi banyak hati. Kehadiranmu membawa cinta, oleh karena itu kau harus tetap menjaga cinta itu dan menebarkannya di manapun berada. Kembangkan cinta itu sampai kau lupa bagaimana rasanya membenci. Karena hatimu terlalu berharga untuk di isi dengan kebencian. Jika suatu saat, ternyata kejadian demi kejadian menggiringku untuk membenci, maka ingatkan aku - bahwa cintaku kepadamu seharusnya cukup untuk menjadi penetral. Ingatkan aku bahwa hidupku terlalu singkat untuk sekedar diwarnai dengan kegundahan.

Selamat petang.

The Love Letter

If Allah can take away something you never imagined losing then Allah can replace it with something you never imagined owning - Auliyah Shofiyah, quoted from Kirana's beloved mama.

Arah Langkah

Image result for sketch
26 Januari 2020

The new year was just yesterday. Tetapi 5 hari lagi ternyata sudah Februari. Waktu memang cepat berlalu, atau hanya rasanya saja yang cepat? Jangan-jangan kehadiran gawai dan teknologi lainnya yang membuat waktku terasa cepat, padahal aslinya ia sama saja dengan yang dulu. Aku tidak tahu.

Yang aku tahu, 26 hari pertama tahun ini menyimpan banyak sekali peristiwa. Pertama, banjir bandang di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Selama aku hidup, ini pertama kalinya banjir terjadi sebesar itu, Berita banjir di Jakarta memang bukan hal baru. Setiap akhir tahun berita itu pasti ada. Tetapi banjir yang sampai menyeret mobil-mobil dan merusak jalanan, rasanya masih sangat baru. Tidak tahu lagi jika dulu pernah terjadi dan luput dari pemberitaan media.

Kedua, Reynhard S yang membuat media heboh dengan aksinya. Apapun alasan ia melakukan perbuatan itu, atas dasar suka sama suka, atau dengan pemaksaan, tetap saja itu bukan hal yang dibenarkan. Ia telah membuat tanah air terkenal, dengan caranya sendiri.

Ketiga, Australia - salah satu negara yang sangat ingin kukunjungi melalui program AIMEP (Australia-Indonesia Muslim Exchange Program) - dilanda kebakaran besar-besaran. The fact shocks me a lot. Aku sama sekali tidak pernah berpikir bahwa Australia akan mengalami musibah seperti itu. Belum sembuh dari luka akibat kebakaran hutan, Australia kembali dilanda badai es.

Keempat, Virus Corona yang belakangan ini mewabah, terutama di daerah Tiongkok dan Hongkong. Jika dipikir terlalu mendalam, rasanya menakutkan. Semoga kita semua sehat dan aman ya. Jaga kesehatan!

Kelima, AS yang secara terbuka menyerang Jendral Iran. Lalu Iran yang melepas rudal ke pesawat yang sedang terbang menuju Kanada atau mana itu, banyak nyawa melayang. Bahkan juga anak-anak. Aku kira nyawa bukan barang mainan, tetapi entah mengapa di seberang ia dianggap sedemikian gampang.

Belum lagi hal-hal lain yang terjadi dan tak sempat dikabarkan media. Januari ini begitu penuh sesak peristiwa.

Jadi, apa rencanamu berikutnya?

Yang jelas, untuk memikirkan semua hal di atas. "saat ini", belum ranah kita. Kita masih dalam batasan cukup mengikuti dan menunjukkan rasa prihatin. Kemarin Us Dian sempat berencana mengadopsi koala, untuk menyelamatkan koala itu dari kebakaran di Aussie. Tetapi aku tidak memiliki keinginan yang sama, Aussie sudah cukup kaya, jadi kualihkan dananya untuk keperluan lain.
Sementara banjir di Jakarta, seharusnya aku membantu. Tetapi entah kenapa aku tidak juga bergerak. Apa aku terlalu apatis? Entahlah. Jika iya, aku patut bersedih karena telah menjadi apatis. Jika Gus Dur muda hidup di jaman ini, Beliau mungkin sudah melakukan banyak hal. Tetapi aku di usia ini, tetap bukan siapa-siapa, dan selalu sibuk dengan duniaku sendiri.

Akhir-akhir ini, di luar hal-hal besar tadi, aku sibuk sekali memikirkan ke mana kaki harus melangkah. Dulu, aku berjalan cukup mengikuti alur. berjalan saja. ke manapun, asal masih ada penunjuk arah, aku akan berjalan. Tetapi sekarang, aku merasa aku masih belum memutuskan apapun.

Sepuluh tahun ke depan, duapuluh tahun ke depan, apa aku akan tetap seperti ini? Apa aku akan tetap tinggal dan melakukan hal yang sama setiap harinya? Betapa menakutkannya menjadi tua dengan rutinitas yang selalu sama dan dihantui deadline yang itu-itu saja.
Dulu waktu mondok, aku bepikir, betapa menyenangkannya hidup di tengah-tengah santri. Melihat merkea ngaji kitab kuning setiap pagi dan sore. Mendengar bacaan Quran dan sholawat setiap hari. dan saling berkirim doa agar keberkahan senantiasa meliputi. Karena entah, di dunia yang sibuk ini, hidup dalam lingkungan pesantren selalu terasa meneduhkan. Ada sesuatu di sana, yang tidak bisa dinalar dengan logika. Dan ada ketentraman, yang sulit dijelaskan. Meski tak dipungkiri, yang namanya gejolak sudan tentu ada. Kendati demikian, dengan segala gejolaknya, pesantren tetap terasa meneduhkan.

Barangkali, itu juga yang menjadi alasan Bapak mendirikan yayasan ini, dan ingin disemayamkan di komplek sekolah ini, Ba. Jika memiliki kesempatan yang sama, akupun ingin seperti itu - setelah meninggal, masih banyak orang yang mendoakan.

Tetapi apapun yang telah menunggu di depan, itu bukan wewenang kita kan, Ba? Kata Bapak, manusia boleh merencanakan, tetapi Allah yang menentukan. Asal kita mendahulukan kepentingan Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhan kita.

Dan kau tahu kan, Ba? untuk sampai ke tahap mendahulukan kepentingan Allah - rasanya masih perlu banyak latihan. Mungkin pelan-pelan. Sambil berjalan. Kita bisa mulai belajar memaafkan dan mengikhlaskan dulu. Nanti naik tingkat lagi. Karena terkadang, kita sudah cukup menguasai konsep, tetap praktik - entah kenapa tidak juga bisa dilakukan. Apakah yang seperti itu cuma aku? atau kecenderungan manusia memang begitu?

Entahlah.

Mari kita berdoa saja, semoga kita selalu dianugerahi kemampuan untuk istiqomah dalam kebaikan. Semoga hati kita cukup lapang, untuk dapat senantiasa memaafkan. Dan semoga, kita diberi rizqi teman-teman yang baik, yang bisa saling mengingatkan dalam ketaqwaan. Aamiin.





Hari Yang Indah


23 Januari 2020

Satu tahun enam bulan empat belas hari, sejak pertama kali aku menjadi bagian dari tempat ini. Waktu itu tiada hal lain kecuali rasa syukur dan kebahagiaan - karena setelah 6 bulan menganggur, akhirnya aku officially bekerja. Awalnya sempat dibingungkan dengan dua pilihan. Apakah harus memasuki lembaga sebelah atau lembaga ini.

Lembaga sebelah menerimaku satu minggu setelah tes yang pertama dan satu-satunya. Tes yang hanya sekali itu sudah mencakup semuanya: Tes tulis, wawancara, dan Baca Quran, jadi aku tidak perlu berkali-kali datang. Sepulang tes dari lembaga sebelah, I felt the happiness, karena aku merasa disambut dengan baik oleh direktur yayasan yang mewawancaraiku - Pak Muadzin. Rasanya aku menemukan frekuensi yang sama, kecuali bagian wawancara tentang gejolak politik di Jakarta yang menyangkut Ahok. Kami sedikit berbeda mengenai konsep politisasi agama dan berpolitik dengan agama. Bagiku, politisasi agama adalah memanfaatkan agama sebagai topeng untuk mencapai tujuan politik. Dan berpolitik dengan agama artinya melakukan kegiatan politik dengan sedikit-banyak berlandaskan nilai-nilai yang ada pada agama. Tentu saja, politisasi agama bagiku bukan hal baik. Seperti halnya Ahok, yang menjadi korban dari praktik itu.

Tetapi secara keseluruhan, aku menyukai wawancaranya yang mengesankan bahwa Pak Muadzin sudah sangat menyukaiku, dan akupun siap bekerja di sana dengan sepenuh hati.

Hari senin setelah pemberitahuan diterima, aku diminta untuk datang di kantor yayasan sebelah. Ketika itu aku masih bimbang dengan keputusan yang akan kuambil. Bapak, setelah awalnya meridhoi, tiba-tiba berubah pikiran. Aku tidak diberi izin untuk menjadi bagian yayasan itu. Dengan alasan-alasan yang aku tahu pasti. Aku mencoba meyakinkan Beliau bahwa dasarku sudah cukup kuat, jadi aku tidak akan terbawa arus. Aku sudah punya benteng sendiri, dan aku tidak mungkin lepas dari nilai-nilai yang selama ini kupegang. Tetapi Bapak masih kukuh. Beliau menyarankan aku untuk memasuki lembaga lain.

Akhirnya di Hari Senin yang disepakati, aku tetap datang ke Yayasan sebelah. Menemui Pak Muadzin. Dengan sangat menyesal kukatakan bahwa aku tidak jadi memasuki lembaga itu. Tidak di SMAnya, tidak juga di mahadnya. Alasan-alasan kuberikan. Beliaupun memahami dan mengatakan, "Hal seperti ini memang sering terjadi. Kami memaklumi."

Aku merasa sangat tidak enak, juga kepada tetangga yang telah membantuku menaruh lamaran di yayasan itu. Tapi mau bagaimana lagi, aku juga harus mengikuti kata orangtua. Dan  mengambil keputusan.

Aku kembali dilanda kegundahan. Waktu itu, lamaran yang sudah hampir 1 bulan kumasukkan di lembaga yang sekarang kutempati tidak kunjung membuahkan hasil. Aku tidak juga dipanggil. Sepertinya memang tidak ada tempat.

Sampai suatu malam, Bapak mendapat telepon dari seseorang. Beliau diminta untuk datang ke suatu tempat. Kemudian Beliau menanyaiku perihal lamaran yang kutaruh. Aku tidak tahu bagaimana.

Beberapa hari kemudian, di Jumat Barokah, aku mendapat panggilan untuk tes tulis, satu minggu berikutnya tes wawancara dan baca quran, satu minggu berikutnya Microteaching di SMA, satu minggu setelahnya Microteaching di SD, dan satu minggu setelahnya wawancara lagi dengan orang Mahad. Total waktu tes di lembaga ini adalah 5 Minggu. Jujur saja itu melelahkan. Aku sempat berpikir, What kind of place I would be sampai tesnya sebegitu panjang dan belibet. Terlebih setelah wawancara terakhir dengan Mahad, rasanya aku sudah membulatkan niat untuk batal masuk di lembaga ini. Kesannya sungguh tidak menyenangkan. Dan rasanya aku tidak diharapkan untuk menjadi bagian.

Cukup lama sampai aku menerima informasi bahwa aku diterima. Satu minggu setelah lebaran Tahun 2018. Akhirnya proses panjang itu selesai. 9 Juli 2018 aku resmi menjadi keluarga lembaga ini.

Dan sekarang ..
Baru langkah awal, tapi aku sudah mulai kehilangan arah. Entah bagaimana tekad tidak sekuat dulu. Entah bagaimana banyak hal kecil yang dulu bisa dengan mudah lewat, sekarang terasa sangat menganggu. Mungkin aku perlu duduk sebentar, atau lebih baik keluar?

Aku bimbang antara menjadi anak muda yang setia pada tempat ia berada, atau logis dengan mengambil kesempatan yang lain. Entahlah. Aku masih ingin duduk dulu. Mempertimbangkan lagi. Antara tetap berada di sini atau melangkah pergi.

Semoga segera ada titik terang. Tetap berada di sini atau tidak, itu urusan nanti. Biarkan kaki melangkah dulu. Biarkan mata melihat dan telinga mendengar lebih banyak dulu. Kuat ya Kak. Jangan dulu patah. Kita cuma perlu berbenah dan menata langkah ^^

Kita Sampai di Persimpangan


Kau bisa berbalik arah. Kuputuskan untuk membiarkanmu pergi. Sudah cukup banyak kata kutuliskan untuk mewakili seberapa bersyukurnya aku bisa menemukanmu. Harus kuucapkan banyak terimakasih karena hadirmu memberi warna baru dalam hidupku. Memang hanya sedikit waktu yang bisa kuhabiskan bersamamu, tetapi yang sedikit itu telah banyak memberi makna. Mengenalmu membuatku belajar mencintai tanpa keraguan, sekaligus belajar melepaskan. Tidak ada yang sia-sia dari sebuah pertemuan. Pun dengan pertemuan kita. Apapun yang menjadi kisah akhirnya, pertemuan kita tetap membawa hikmah.

Jujur saja, ini sedikit sulit. Ada terlalu banyak keraguan. Ada terlalu banyak ketidakmungkinan. karena itu aku melepaskanmu. Kau bisa pergi ke manapun kau mau. Tetapi ingatlah, kita masih teman seperti yang dulu. Kau bisa datang kepadaku kapanpun kau mau. Aku akan menghubungimu kapanpun aku membutuhkanmu.

Sekali lagi, terimakasih telah menjadi bagian ceritaku. Kau adalah salah satu anugerah yang dikirimkan Tuhan untukku. Menemukanmu setelah sekian waktu pengembaraanku adalah hadiah yang indah. Sampai bertemu di lain waktu.


Maukah Kau Duduk Sebentar?

16 Januari 2020

Cukup lama kaki melangkah.
Semakin ke sini, rasanya semakin goyah.
Semakin diresapi, rasanya semakin patah.
Tetapi jalan terbaiknya bukan menyerah, kan?

Sekilas, langit di luar tampak cerah. Penuh warna.
Masih ada burung berterbangan, jadi aku tidak ingin dulu menutup mata.
Setiap pagi matahari masih tetap kembali bersinar, jadi aku masih akan tetap berlari.

Kadang sunyi menjadi teman yang paling indah.
Dimana kita tidak perlu menjadi orang lain. Menangis atau tertawa, hanya kau dan Ilahi yang tahu.
Tidak ada yang abadi. Pun kecewa dan sedih. Pun kebanggaan dan kebahagiaan.
Semua datang tepat pada waktunya. Silih berganti.

Jadi tidak ada yang melarangmu menangis, tetapi cukupkan untuk sementara.
Setelahnya biar bahagia menjadi penggantinya.

..

Sembari menikmati senja, mari kita bercerita.
Hidup memang tak sebercanda itu, tetapi juga tak sekaku itu.
Kadang mati-matian kita kejar sesuatu, tetapi sayangnya yang kita kejar justru semakin menjauh.
Setelah begitu lelah dan akhirnya pasrah, kadang yang pernah kita lepaskan akhirnya datang dan tinggal.
Bagaimanapun, jika semua terjadi sesuai dengan kemauan kita, maka itu baik. Tetapi jika yang terjadi di luar harapan kita, maka itu lebih baik. Karena itu berarti kehendak Yang Maha Kuasa. Itu berarti Allah sedang memilihkan jalan yang terbaik untuk kita.

Kita bersyukur, karena kita tidak melulu bahagia, atau melulu sedih.
Mampu merasakan setiap warna dalam jiwa adalah anugerah yang luar biasa indah.
Mampu bertahan pada pilihan, adalah juga anugerah.
Mampu melepaskan yang tidak bisa kita dapatkan, pun anugerah.

Ada banyak sekali anugerah.
Kita tidak bisa menghitungnya satu per satu.

..
dan kamu,
Suatu saat akan kubiarkan kau membaca ini. Mungkin dengan perasaan jenuh, karena sebuah tulisan yang ditulis oleh orang yang sama, tentu akan selalu senada dan seirama. Pasti membosankan, iya kan?

Aku selalu ingin tahu bagaimana perasaanmu setelah selesai kau khatamkan satu bacaan. Andai kita bisa duduk bersama dan berbicara, mungkin aku akan tahu. Tetapi memulai bercerita kadang bukan hal mudah. Ada banyak kekhawatiran datang sebelum sesuatu benar-benar diungkapkan. Ada banyak ketakutan sebelum kita benar-benar mengambil langkah.

Terkadang aku sedikit menyesal, kenapa manusia memiliki insting paranormal. Menebak-nebak sesuatu padahal ia belum tahu yang sesungguhnya. Menerka-nerka seakan ia tahu segalanya, padahal yang ia tahu hanyalah spekulasinya sendiri. dan aku sering seperti itu. Sungguh. Itu memalukan. Tetapi insting paranormal itu terlalu mengakar, dan susah dihilangkan.

Jadi, maukah kau duduk sebentar? Kita bisa bercerita banyak hal :)




By Chance

Untuk kedua kalinya, dalam bulan ini, I meet your beloved papa. Setiap kali hendak menemui Beliau, aku masih harus mengatur hati, agar tangan tidak tremor, dan tidak berbuat atau mengatakan hal-hal konyol.

Kadang aku bertanya-tanya, kenapa untuk menemui seorang manusia saja hatiku bisa bergetar cukup hebat? Tetapi dibanding wawancara yang dulu, kemarin dan saat ini - aku lebih bisa mengatur emosi. Sedikit lebih tenang.

Aku bersyukur dengan adanya rencana Beliau untuk menanam durian di komplek Mahad ini, Ba. It gives me chances to meet Him more often. I am afraid to make him disappointed if the program is fail. But I will try my best. Will for sure give my best.

But I feel a bit sad. It seems He doesn't recognize me. I want to tell him about the progress of His Biography book, I want to ask everything I need to know about Him, but it's likely I have no brave anymore.

It is okay, Ba. The book is still in progress. Sorry for make it long. 

In Case of Forgiving


Sanam Teri Kasam. It is a tittle of Indian Movie. The story is soheart-breaking. It contains a lot of life-learning. What teary the most is the part when Saru's Father realizes his mistake. He hold a ceremony for death for his alive daughter. And parent's sentences is somehow a prayer for their children. Saru is eventually died after suffering a cancer.

There is a word said by Saru that I can't forget. She said,
"People don't live together because they forget, and they live together because they forgive."

Yes, forgiveness.
I want to keep it - The forgiveness. I will save it and use it when I need. I will forgive my self when I have to. I will forgive the situation because I have to. I will forgive to let my heart find its peace.

Should We Forgive?

January, 14 2020

Hello again, Ba. Today is a beautiful day. Tuesday with a cloudy sky.
Lately there were so many things caught up by my mind. Most of them is about anger and the term of forgiving.

To begin, I had a friction with a friend in my working place. Actually it was just a little friction. But the friction was continuously happen. Yeah! however we know, as long as we get along with people, we will be able to laugh - have jokes - do silly things together, but we might also experience frictions. No matter what. No matter how hard we try to do things as well and as smooth as possible, the frictions is still unavoidable.

We for sure wouldn't be able to walk without  making any mistake. We wouldn't be able to walk without creating any friction. Therefore the art of realizing mistakes and trying to forgive become so important.

I read an instagram's feed of a friend two days ago. She wrote about a matter that recently I cared about. It was about forgiving.

She said that she has difficulties in forgiving someone whom hurt her. So she asked her husband, "Dear, tell me how to forgive?"
"What is getting in your way to forgive?" Her husband replied.
"Well, then I forgive but I can't forget the pain. Is that mean that I haven't forgive yet?"
"Sometimes there are levels in life, dear. If there are things that don't meet our expectation, let's just start it with forgiving. whatsoever it is, let's just forgive. If we have done with that forgiving thing, we will be able to ask an apologize without need to hardly think who is the right and the wrong, and we don't need to wait people to ask for apologize." her husband said patiently, full of understanding.
After the talking, she then done with herself in case of forgiving. But one day, she felt uncomfortable again because a memory. She came to her husband again, asking for solution
"You have forgiven, but not letting go yet. You just need to focus on your day without think back the disappointing moment. Just think that Allah is wishing to give you a new present by that moment."

It's a reminder for me too. that I just need to focus on my day without remember any bad moment in the past. In case of patience, let's just see our prophet Muhammad pbuh. In case of forgiving, we can see Him too. Long time ago, after Islam won Mecca and Hindun binti Utbah was entering Islam, Rasulullah pbuh still can't put His eyes on Hindun. He didn't want to see Hindun because everytime He see hindun, he remembered a time when Hindun wanted to eat the heart of Hamzah bin Abdul Muththalib (Rasulullah' uncle) in Uhud war. It wasn't mean that Rasulullah didn't forgive Hindun yet, nor let the pain go. He just couldn't forget the case. Just it.

So, it is okay. Truly okay if we can't forget several things easily. We just need to try to forgive as much as we can. Forgiving is not for someone else but for our selves. For our serenity. and our comfort. We have a right to be happy.

Tentang Perjalanan (Beta)


12 Januari 2020

Bagaimana kabarmu pagi ini, Ba?
Aku sudah memutuskan satu hal. Aku yakin kau telah tahu perasaan ini tidak seperti dulu lagi. Tetapi kurasa, daripada mengikisnya sampai benar-benar hilang, akan lebih baik jika aku memupuknya kembali.

Kupikir, lebih baik mencintai seseorang dan fokus pada cinta itu, daripada membenci banyak hal dalam kehidupan, lalu fokus pada kebencian dan terjerembab jatuh. Perihal apakah frekuensi kita sama atau berbeda, itu urusan belakang. Biarkan kaki berjalan dulu. Biarkan waktu perlahan menampakkan takdir satu persatu. Selama itu, aku masih bisa mencintaimu, dan mengabaikan kebencian yang ada di sekelilingku.

Kau telah di sini sekian tahun. Lebih dulu daripada aku. Ketika aku masih berkelana dan mengembara di Malang, kau telah terlebih dahulu berada dan tinggal di tempat ini. Sebagaimana kau tahu, setiap tempat memiliki tantangannya masing-masing. Setiap tempat menyimpan berbagai karakter manusia, yang jika disatukan, bisa baik dan bisa tidak. Tetapi perbedaan itu membuat tempat ini menarik. Mengesalkan juga kadang-kadang. Ritme perjalanan memang seperti itu, bukan?

Akhir 2017 kemarin,  aku masih mahasiswi tingkat akhir yang sedang menunggu wisuda. Itu setelah perjuangan yang cukup panjang. Sangat disesalkan, atau patut disyukuri juga mungkin, aku telat satu semester. Jadi, aku baru dapat wisuda setelah menempuh semester 9.

Masalahnya sepele sekali. Semester 8 sebenarnya aku sudah menyelesaikan skripsi yang berdarah-darah itu (eah :D). Berdarah-darah karena aku dan dua orang temanku mendapatkan dosen paling killer di FMIPA, Beliau adalah dosen Ekologi yang menjabat juga sebagai Wakil Dekan 1. Namanya Pak Ibrohim. Jangan tanya berapa kali aku menangis selama skripsi. Seringkali setelah bimbingan, aku harus mengumpulkan kembali kepercayaan diri dan niat, untuk revisi dan lanjut ke bab-bab berikutnya. Pak Ibrohim suka sekali memarahiku x,x, terutama ketika referensiku tidak banyak, dan jawabanku terlihat ragu. Menurut beberapa teman, level skripsi di Pak Ibrohim itu, hampir-hampir setara dengan thesis. jadi, agak hard memang. dan aku agak kesal dengan itu.

Aku sempat menggerutu berkali-kali. Umumnya anak prodi pendidikan, kalau membuat perangkat pembelajaran boleh cukup mengambil  materi dari buku paket atau jurnal. Sementara khusus pak Ibrohim, jika ingin membuat perangkat pembelajaran, materinya harus meneliti dan mengamati sendiri kekayaan lokal di tanah kelahiran. Harus disusun sendiri dan riil by data pengamatan.

Akhirnya aku pulang ke Tuban. Meneliti Mangrove Center Tuban di Jenu. Harus beberapa kali ke sana untuk melakukan penelitian jenis mangrove apa saja yang hidup di ekosistem itu, dan bentos serta zooplankton-fitoplankton apa saja yang ada di perairannya. Rantai makanannyapun harus menyusun sendiri berdasarkan hewan-hewan dan tumbuhan yang ditemukan. Aku sempat down, karena sampel air yang aku bawa dari Tuban, lupa tidak diberi formalin, akhirnya cuma sedikit plankton yang ditemukan, kebanyakan sudah rusak.
Tetapi benar kata seorang teman, barangkali dengan kesulitan, Allah berencana mendekatkan kita dengan beberapa orang. Waktu itu, ada banyak sekali pertolongan dari teman. Ada Buk Vil yang berjuang bareng, kadang janjian bimbingan bareng, curhat tentang pak Ibrohim karena kita sama-sama anak bimbingan Beliau. Ada Khusnul yang membantu waktu penelitian lapangan di Tuban. Ada Mbak Atiq yang bantuannya sudah tidak bisa dihitung pakai tangan. Ada juga Aji dan Mas Assa (dua mantan ketua HMJ Lebah Madu) yang banyak membantu untuk mengamati plankton pakai mikroskop, karena jujur saja aku susah mengidentifikasi plankton, bagiku mereka hampir serupa dan sama semua.

Jika diingat lagi, Allah sangat baik kepadaku, dengan mendatangkan teman-teman yang luar biasa baik. Aku jadi sadar, manusia, semandiri apapun, memang tidak bisa berjalan sendirian, akan selalu butuh bantuan.

Apa setelah membaca ini, kau beranggapan Pak Ibrohim jahat, Ba?

hahaha. Kenyataannya tidak demikian. Menjelang ujian sidang, aku menyadari satu hal, bahwa yang dilakukan Pak Ibrohim, tidak lain adalah untuk membuat mahasiswanya belajar dan berkembang. Beliau sangat tidak ingin mahasiswanya lemah mental dan kemudian ketika memasuki dunia kerja, menjadi cengeng dan tidak tahan banting.

Itu kenapa Beliau berkali-kali bilang,
"Kamu kok mesti nanti-nanti! Jangan bilang nanti-nanti terus!"
"Kamu ga baca buku ya?"
"saya kecewa dengan hasil kerja kamu!"

Daripada konten skripsi itu sendiri, Pak Ibrohim sebenarnya lebih ingin menekankan pada latihan mental dan kemampuan untuk mengambil referensi serta kemauan untuk bekerja keras. Apa kamu tahu Ba? kenapa Beliau meminta anak bimbingannya mengambil topik skripsi di tanah kelahiran? Karena setelah pulang nanti, kemungkinan besar mahasiswa akan kembali ke rumahnya masing-masing. Maka penting bagi mereka untuk mengenali kampung halamannya sendiri. Selain itu, dengan melakukan penelitian di kota asal, maka mahasiswa akan dituntut untuk berjejaring dengan beberapa tokoh di kota asalnya. Dan itu adalah bekal yang penting bagi calon fresh graduate.

Masih ada lagi.
Aku tidak tahu bagaimana dengan Dosen lain. Yang aku tahu, Pak Ibrohim adalah dosen yang sibuk. Beliau seringkali menghadiri acara di luar kota, kalau tidak begitu ya rapat di rektorat atau dekanat. Bisa dibayangkan betapa aku harus berjam-jam menunggu Beliau di depan ruang kerjanya. Bahkan aku pernah menunggu Beliau dari jam 10 sampai jam 5 sore.
Istimewanya, ketika Pak Ibrohim sudah memberikan penilaian bahwa mahasiswanya sungguh-sungguh, maka Beliau juga akan sangat berbaik hati menyempatkan waktu.

Terkadang, ketika Pak Ibrohim sedang rapat dengan pejabat fakultas, di ruangan yang letaknya persis di depan ruang kerja WD 1, lalu jika kebetulan Pak Bro (panggilan sayang anak Biologi ke Pak Ibrohim) melihat mahasiswa bimbingannya celingak-celinguk, maka Pak Bro akan dengan sengaja keluar. Beliau akan berpura-pura mengambil sesuatu di ruangannya, setelah itu melihat ke arah kami dan bertanya, "Kalian mau apa?". Dapat dipastikan setelahnya kami pasti bimbingan, meski cuma sebentar.

Terkadang juga, Pak Bro yang super sibuk itu rela memberikan waktu istirahatnya untuk kami. Aku tahu Beliau sering lelah, tetapi tidak pernah ditampakkan. Aku salut sekali, Beliau tipe pekerja keras. Dan waktu itu, satu hal yang membuatku tidak mau pindah dosen (waktu itu masih menyimpulkan Pak Bro jahat yaa..), adalah Kebiasaan Pak Bro yang menjaga sholatnya. Aku percaya orang yang menjaga sholatnya tidak mungkin berbuat aniaya kepada orang lain, termasuk kepada mahasiswanya :D. Dan ternyata benar.

Setelah selesai bergulat dengan proses skripsi, yang alhamdulillah 1 semester selesai, aku harus menghadapi kenyataan pahit. Ketika itu aku sedang mengurus proses wisuda, tinggal beberapa tahap lagi selesai, dan ternyata pembagian SKSku tidak pas. Jumlahnya sudah memenuhi, 145 sks. Tetapi di bagian matkul keterampilan kurang 1 sks, sementara di bagian lain kelebihan 1sks. Jadi aku tidak bisa mengikuti wisuda dan harus menambah satu matkul lagi.

I was so shock at the time. I cried. Karena sudah mencoba ditahan tapi ndak bisa. Tiba* aku jadi insecure sendiri haha. Setelah nangis* dan kecewa untuk sementara waktu, aku ikut KRS.an lagi, mengambil matkul Pembelajaran Abad 21 bareng adik tingkat. Sebenarnya waktu itu yang paling membebani pikiran adalah aku harus membayar UKT lagi, 3.500.000. Aku merasa kasihan sama Bapak Ibuk. Padahal seharusnya biaya itu dialihkan ke adik yang tahun itu mulai masuk kuliah. Akhirnya sambil nunggu 1 semester selesai, aku menyibukkan diri dengan bekerja paruh waktu. Jualan kopi :D, kerjasama dengan teman, dan karena aku memiliki banyak waktu longgar, aku jadi punya kesempatan buat lebih all out di Gusdurian dan nulis-nulis di MSN.

Ah! Maaf. Aku jadi bercerita panjang lebar.

Yang jelas, dulu ketika masih menunggu wisuda, aku sering berkendara melewati depan SMP BAS. Suatu ketika, entah kenapa tiba-tiba terbesit pikiran bahwa aku akan berada di gedung tengah sawah itu nanti, kalau sudah lulus. Tujuh bulan kemudian, sesuatu yang awalnya hanya sebatas kata hati tak berdasar, ternyata menjadi sungguhan.

Tertanggal 9 Juli 2018, hari Senin, aku resmi menjadi bagian dari Lembaga Pendidikan ini, Ba. Ketika itu, kau baru saja lulus, dan aku baru saja masuk. Sebuah keberuntungan, karena ternyata kita masih berkesempatan untuk saling mengenal, meski tak memiliki banyak kesempatan untuk bersua.

Ba, setelah memasuki dunia kerja, aku mulai mengerti kenapa Pak Bro bersikap sedemikian keras dan tegas kepadaku. Lingkungan kerja memberikan tekanan yang lebih dibanding ketika kita masih pelajar. Mahasiswa paling-paling dituntut untuk mengerjakan tugas dengan DL menumpuk setiap harinya. Jika tidak mengumpulkan atau mengumpulkan dengan kerjaan asal-asalan, resikonya kalau tidak lulus mata kuliah paling ya dapat C. ketika dapat C, kita masih bisa mencari pelarian untuk membebaskan pikiran. Entah ke warung kopi. Entah nongki cangki bareng temen. Pokoknya do things yang itu bisa membuat kita merasa tersegarkan kembali.

Sementara di dunia kerja, kita salah sedikit saja, sudah pasti akan banyak statement negatif dari rekan di sana sini. Ketika kuliah, kita bisa mengaktualisasi diri di mana saja semau kita. Mau aktif di organisasi ekstra, mau menjadi pejabat BEM, mau menjadi anak UKM, atau menjadi Volunteer, itu semua terserah kita. Kita memiliki banyak waktu untuk itu. sedangkan ketika sudah bekerja, entah kenapa waktu kita menjadi begitu terbatas. Barangkali karena masih seorang pemula, jadi belum canggih dalam mengatur waktu.

Terlebih, di sini, aku harus menginap di mahad 3 hari dan tetap berangkat ke mahad setiap pagi dan sore, di hari lainnya. Rasanya waktuku menjadi semakin terbatas. Sebenarnya, jika aku mau berbesar hati dan menerima kondisi bahwa aku harus menetap di mahad, mungkin tenagaku tidak akan secepat itu habis setiap sore mulai datang. Barangkali, keadaanku yang sedikit mudah lelah dikarenakan pikiranku sendiri. Oleh karena itu, aku mulai belajar untuk ikhlas, dan belajar untuk acuh terhadap segala bentuk omongan-omongan negatif. Terlalu menguras pikiran. Jadi lebih baik dilewatkan.

Aku yakin setiap orang itu baik, Ba. Hanya saja, perihal tidak bisa kita menerima perbedaan, kadang membuat kita menjadi berseberangan. Di satu sisi, kadang kita juga terlalu sensitif, atau bisa juga mereka yang sudah kelewatan. Yang jelas, Ba ... Dalam hubungan pekerjaan, main perasaan itu kiranya hal yang tidak sepenuhnya benar. Agaknya lebih baik kita mengedepankan logika, sebelum memainkan perasaan.

Karena karakter yang kita temui berbeda-beda, maka kita harus beradaptasi dengan semuanya. Ada yang baik sekali dan ringan tangan, yang bahkan tanpa kita memintapun, dia akan dengan senang hati memberikan bantuan. Ada yang suka sekali mencela orang, apapun yang kita lakukan, di matanya pasti banyak salahnya, biasanya orang seperti itu akan selalu mengunggulkan hasil pekerjaannya sendiri. Ada yang di depan kita baik, tetapi di belakang menjelek-jelekkan. Ada juga yang baik dan cekatan, biasanya orang ini akan solutif ketika kita menghadapi masalah, dia tidak akan menyalahkan, tetapi akan memberi solusi.

Ada banyak sekali karakter, Ba. Jika kita terlalu mudah sakit hati, kita yang akan lelah sendiri. Memang tidak dipungkiri, kadang rasanya ingin muntab juga. Capeknya tidak tertahan lagi.  Tetapi gapapa, yang penting setelah yang tidak tertahan itu, kita bisa take a deep breath dan kembali adem lagi hehe.






Tentang Perjalanan (Alfa)


Ba, untuk melengkapi cerita sebelumnya, maka kusuguhkan analisis Presiden ke 6 kita,  Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, tentang kejadian yang membuat Iran membara. Tulisan ini diunggah di akun Facebook Beliau, jadi aku hanya copy paste saja.
Baca dengan pikiran terbuka ya, 
Bagi yang berharap tahun 2020 ini dunia kita menjadi lebih aman dan damai, harus bersiap untuk kecewa. Bahkan frustrasi. Tidak ada tanda-tanda untuk itu. Yang terjadi, di awal tahun baru ini kawasan Timur Tengah kembali membara.

Tahun 2019 yang baru kita tinggalkan ditandai dengan maraknya gerakan protes sosial. Kemarahan dan perlawanan rakyat terjadi di lebih dari 30 negara. Mereka melawan pemimpin dan pemerintahannya karena merasa tidak mendapatkan keadilan, ekonominya sulit dan ruang kebebasan untuk berekspresi dibatasi. Ragamnya berbeda-beda. Mulai dari sulitnya mendapatkan pekerjaan, harga-harga naik sementara daya beli rakyat turun, hingga pemerintahnya dinilai korup sementara beban utang negara meningkat tajam. Juga karena pemimpinnya dianggap ingin terus berkuasa dengan cara mengubah konstitusi dan undang-undang. Juga pemilihan umum yang baru saja dilaksanakan dianggap curang, sehingga rakyat tidak terima dan turun ke jalan. Yang lain, rakyat merasa ruang kebebasan untuk berekspresi ditutup disertai tindakan-tindakan yang represif dari pihak penguasa. Ada juga, terutama di negara-negara maju, rakyat marah karena pemerintahnya dianggap lalai dan tak serius dalam melawan perubahan iklim dan krisis lingkungan.

Sementara gejolak sosial global di tahun 2019 itu belum sepenuhnya usai, kini dunia menghadapai ancaman yang lebih serius. Geopolitik di kawasan Timur Tengah (Raya) kembali mendidih, yang sangat bisa merobek keamanan internasional yang sudah rapuh. Mengapa banyak pihak sungguh cemas dengan perkembangan terbaru di kawasan ini, karena banyaknya negara yang melibatkan diri dengan kepentingan yang berbeda-beda. Belum "non-state actors" yang selama ini turut meramaikan benturan politik, sosial dan keamanan yang ada. Meskipun seolah saat ini mata dunia tertuju kepada Iran, Irak dan Amerika Serikat, jangan diabaikan peran negara lain. Ada Rusia, Turki, Israel, Suriah, Saudi Arabia, Libya, Mesir, Qatar, Afghanistan dan Yaman serta sejumlah negara NATO. Tentu masih ada yang lain. Kalau situasi makin memburuk dan belasan negara itu melibatkan diri, apalagi pada posisi yang berhadap-hadapan memang keadaan sungguh menakutkan. Itulah sebabnya sebagian dari kita mulai bertanya, jangan-jangan perang dunia yang kita takutkan terjadi lagi. Akankah ke situ?

Saya pribadi termasuk orang yang tak mudah percaya bahwa krisis di Timur Tengah saat ini bakal menjurus ke sebuah perang besar. Apalagi perang dunia. Namun, saya punya hak untuk cemas dan sekaligus menyerukan kepada para pemimpin dunia agar tidak abstain, dan tidak melakukan pembiaran. Maksud saya, janganlah para "world leaders" itu "do nothing". Mereka, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, harus "do something". Terlalu berbahaya jika nasib dunia, utamanya nasib 600 ratus juta lebih saudara-saudara kita yang hidup dan tinggal di kawasan itu, hanya diserahkan kepada para politisi dan para jenderal Amerika Serikat, Iran dan Irak. Timur Tengah dan bahkan dunia akan bernasib buruk jika para politisi, diplomat dan jenderal di negara-negara itu melakukan kesalahan yang besar. Risikonya bisa memunculkan terjadinya tragedi kemanusiaan yang juga besar. Generasi masa kini memang tidak pernah merasakan harga yang harus dibayar oleh sebuah perang dunia, sebagaimana yang terjadi di awal dan medio abad 20 dulu. Sebenarnya, melalui buku-buku sejarah atau film-film, sebagian dari mereka mengetahui getirnya penderitaan manusia yang menjadi korban dari sebuah peperangan berskala besar.

Pasca tewasnya Jenderal Iran, Qassem Soleimani, oleh serangan udara Amerika Serikat beberapa hari lalu, siang dan malam saya mengikuti pemberitaan media internasional. Saya ikuti aksi-aksi (dan juga reaksi) politik, sosial dan militer di banyak negara yang punya kaitan dan kepentingan dengan Timur Tengah. Utamanya yang dilakukan oleh Irak, Iran dan Amerika Serikat. Bukan hanya pada tingkat pemimpin puncak, tetapi juga pada pihak eksekutif, legislatif, militer dan bahkan rakyatnya. Bukan hanya aksi-aksi nyata yang dilakukan di masing-masing negara, tetapi juga pada hebohnya sikap ancam-mengancam, perang mulut dan retorika besar yang digaungkan.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah sebuah perang besar yang mengerikan bakal benar-benar terjadi? Jawabannya tentu tak mudah. Saya yakin tak ada yang berani memastikan perang itu pasti terjadi. Atau sebaliknya. Oleh karena itu, dalam kaitan ini, saya hanya ingin menyampaikan pendapat dan harapan saya. Pendapat saya mengait pada kapan atau dalam keadaan apa perang di kawasan itu benar-benar terjadi. Sedangkan harapan saya adalah apa yang harus dilakukan oleh Amerika Serikat, Iran dan Irak dan juga dunia pada umumnya, agar sebuah peperangan di kawasan yang rakyatnya sudah cukup menderita itu dapat dicegah dan dihindari. Saya orang biasa dan tak punya kekuasaan yang formal. Namun, sebagai warga dunia yang mencintai perdamaian dan keadilan, secara moral saya merasa punya kewajiban untuk "to say something".

Penyebab terjadinya perang antar negara, atau yang melibatkan banyak negara, berbeda-beda. Pemicu meletusnya sebuah peperangan juga macam-macam. Perang Dunia ke-1, yang menyebabkan korban jiwa 40 juta orang, disebabkan oleh terbunuhnya Pangeran Franz Ferdinand dari Austria-Hongaria di Sarajevo pada bulan Juni 1914. Peristiwa yang menyulut peperangan besar ini sering disebut sebagai "kecelakaan sejarah" (unexpected accident). Sementara, Perang Dunia ke-2 yang terjadi di mandala Pasifik dipicu oleh serangan "pendadakan" angkatan udara Jepang terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour, 7 Desember 1941. Untuk diingat, keseluruhan korban perang dunia ke-2 di mandala Eropa dan mandala Pasifik berjumlah 70-85 juta jiwa. Para ahli sejarah mengatakan bahwa Jepang menyerang Amerika Serikat itu adalah sebuah kesalahan. Diibaratkan Jepang sebagai membangunkan macan tidur. Kesalahan itu sebuah "strategic miscalculation" yang dilakukan oleh para politisi dan jenderal-jenderal militer Jepang.

Kejadian miskalkulasi ini, atau salah hitung, kerap menjadi faktor yang mendorong terjadinya peperangan. Demikian juga kejadian di lapangan, yang tak terduga, seperti yang terjadi di Sarajevo tahun 1914 dulu.

Dari kacamata ini, sejarah tengah menunggu apakah politisi dan jenderal Amerika Serikat dan Iran melakukan miskalkulasi, sehingga akhirnya mendorong terjadinya perang terbuka di antara mereka. Di luar itu, apakah juga tiba-tiba terjadi peristiwa di lapangan, entah di Irak, di Iran, ataupun di tempat dimana aset dan satuan-satuan militer Amerika Serikat berada. Sebuah peristiwa yang bisa ditafsirkan sebagai aksi untuk melancarkan peperangan, meskipun para politisi dan petinggi militer tak merencanakan dan memerintahkannya. Kalau kedua hal ini tak terjadi dalam waktu mendatang, dunia bisa menghela nafas lega. Paling tidak untuk sementara.

Tetapi, harus diingat, di kawasan Timur Tengah terlalu banyak elemen yang tidak selalu berada dalam satu garis komando dengan pemimpin puncaknya. Dalam konteks permusuhan dan ketegangan Amerika Serikat dengan Iran saat ini, ada sejumlah elemen di luar Iran (dalam kapasitasnya sebagai negara). Misalnya Hesbollah di Libanon, Hamas di Palestina, dan elemen dalam negeri Irak yang sangat pro Iran. Belum organisasi radikal dan terorisme yang meskipun tidak ada kaitannya dengan Iran, tetapi anti Amerika. Jadi, segala kemungkinan yang menjadi pemicu meletusnya sebuah perang terbuka selalu ada.

Perang juga mudah terjadi di tangan pemimpin yang eratik (erratic) dan "gemar perang" (warlike). Saat ini sejarah juga sedang menguji apakah Presiden Trump, Ayatollah Khamenei dan Presiden Rouhani termasuk kategori pemimpin yang eratik dan suka perang atau tidak. Semoga mereka bukan tipe itu. Semoga pikiran jernih, kalkulasi yang matang dan kearifan hati menyertai para pemimpin tersebut. Semoga doa dan harapan saya ini, saya yakin juga banyak yang berdoa dan berharap demikian, dikabulkan oleh Allah Swt, Tuhan Yang Maha Kuasa. Saya tahu bahwa para pemimpin itu sangat mencintai bangsa dan negaranya. Saya tahu bahwa mereka juga patriot sejati bagi tanah airnya. Namun, patriotisme dan nasionalisme yang positif tidaklah boleh menghalang-halangi para pemimpin itu jika hendak menyelesaikan masalah sedamai mungkin. Paling tidak bukan memilih perang sebagai satu-satunya cara. Saya yakin "political and diplomatic resources" masih tersedia. Saya yakin masih ada jalan untuk mencegah terjadinya peperangan besar.

Saya tahu memang keadaan sangat tidak mudah bagi para pemimpin Iran dan Amerika Serikat. Ada persoalan harga diri dan juga keadilan (justice) yang harus ditegakkan. Akar permusuhan di antara mereka juga sangat dalam. Iran merasa sangat dipermalukan (humiliated) dengan tewasnya Jenderal Soleimani yang sangat dibanggakan dan dicintainya. Namun, jangan lupa pula Amerika Serikat juga pernah merasa terhina ketika 52 orang warga negaranya disandera selama 444 hari di Kedutaan Besar mereka di Teheran tahun 1979-1981 yang lalu.

Sekali lagi, situasinya memang tidak mudah saat ini. Kita saksikan di layar televisi, emosi dan kemarahan rakyat Iran tinggi sekali. Para pemimpin Iran "pastilah" berada di ombak dan arus besar yang menyeru dilakukannya pembalasan yang lebih keras terhadap Amerika Serikat. Namun, orang bijak menasehatkan kepada para pemimpin agar tidak mengambil keputusan yang gegabah tatkala hati dan pikiran mereka sedang diliputi oleh amarah yang memuncak. Maknanya... keputusan itu bisa salah. Hal begini tentu berlaku pula bagi para pemimpin Amerika Serikat. Di samping itu, politik selalu menyediakan pilihan. Dalam politik segalanya juga mungkin. Tidakkah Otto Von Bismarck pernah mengatakan bahwa politik adalah "the art of the possible". Politik juga berangkat dari kehendak para pemimpinnya. "So, if there is a will, there is a way".

Dewasa ini dunia berada dalam situasi yang jauh dari teduh. Banyak sikap dan pandangan yang serba ekstrim. Paling tidak lebih ekstrim dibandingkan dengan situasi sepuluh-dua puluh tahun yang lalu. Gelombang nasionalisme, populisme, rasisme dan radikalisme makin menguat (on the rise). Demikian juga otoritarianisme. Saya kira bukan hanya Donald Trump yang mengangkat simbol-simbol nasionalisme "America First". Saya amati banyak pemimpin dunia seperti itu. Barangkali itu pula sikap pemimpin Iran. Demikian pula Tiongkok, Rusia, Inggris, Korea Utara dan banyak lagi yang lain. Barangkali, semua negara juga begitu. Apa yang dikatakan oleh Ian Bremmer dalam bukunya G Zero World ~ Every Nation for Itself, bagai mendapatkan pembenaran sejarah.
Selama 10 tahun memimpin Indonesia dulu saya masih merasakan suasana dunia yang lebih baik. "Kehangatan dan kedekatan" di antara pemimpin dunia masih terasa. Misalnya, meskipun ada perbedaan kepentingan antara Amerika Serikat dengan Tiongkok dan Rusia, namun para pemimpinnya masih membuka ruang untuk berdialog dan berkolaborasi untuk kepentingan bersama. Demikian juga antara Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan. Demikian juga antara Inggris, Perancis dan Jerman untuk urusan Eropa. Juga antara Tiongkok dengan negara-negara ASEAN menyangkut urusan Laut Tiongkok Selatan. Juga antara Saudi Arabia, Iran, Qatar, Mesir dan negara-negara Islam di Timur Tengah dalam urusan kerjasama dunia Islam. Termasuk tentunya kemesraan antara Amerika Serikat dengan kedua tetangganya, Kanada dan Meksiko.

Kesediaan untuk duduk bersama dan mencari solusi atas berbagai permasalahan global di antara negara-negara besar (global players and regional powers) amat dirasakan. Apakah itu berkaitan dengan kerjasama mengatasi krisis ekonomi dunia 2008-2009, mengelola perubahan iklim, memerangi kemiskinan global, melawan terorisme dan kejahatan transnasional, serta kerjasama-kerjasama yang lain.

Kedekatan antar pemimpin dunia juga tercermin dalam kebersamaan di berbagai forum. Misalnya PBB, G20, G8 (+), APEC, OKI, D8, ASEAN, EAS, GNB, ASEM (yang secara pribadi saya aktif berperan di dalamnya), serta forum-forum kerjasama multilateral dan regional yang lain. Apapun latar belakang ideologi dan sistem politik yang dianut, apapun tingkatan kemajuan ekonomi serta kepentingan nasionalnya, para pemimpin dunia masih relatif "rukun". Tentu saja minus perseteruan yang terjadi di antara negara-negara tertentu yang memang sudah berlangsung lama dan nyaris permanen. Misalnya, antara Iran dengan Israel, antara Amerika Serikat dengan Korea Utara, Iran dan juga Venezuela.

Dalam pengamatan saya, G20 tidak sekokoh dulu. G8 sudah mati suri. Di tubuh OKI nampak ada jarak dan ketegangan internal yang meningkat. Bahkan, ASEAN pun tidak sekohesif dulu. Di internal Uni Eropa sering terjadi "pertengkaran" yang antara lain ditandai dengan keluarnya Inggris dari organisasi yang berusia tua itu. Mengapa ini terjadi? Tentu banyak teori dan alasan yang bisa diungkapkan. Namun, menguatnya kembali sentimen nasionalisme dan populisme turut menjadi penyebab. Berbagai organisasi kerjasama kawasan ikut melemah semangatnya untuk selalu berada dalam satu posisi, karena barangkali masing-masing negara harus mengutamakan kepentingan nasionalnya masing-masing.

Kembali pada topik tulisan ini, kalau ada yang sangat mencemaskan dan sungguh ingin tahu apakah ketegangan yang begitu memuncak di Timur Tengah ini bakal menyulut terjadinya perang terbuka di kawasan itu, tiga faktor yang saya kedepankan tersebut bisa dijadikan pisau analisis. Miskalkulasi, pemimpin yang eratik dan nasionalisme yang ekstrem. Silakan ditelaah sendiri.

Namun, ada satu hal yang mungkin luput dari percaturan para pengamat geopolitik dan hubungan antar bangsa. Yang satu ini justru yang mungkin akan sangat menentukan "endgame" dari kemelut berintensitas tinggi di Timur Tengah ini. Saya tidak yakin, paling tidak saat ini, kalau baik Presiden Trump maupun Ayatollah Khamenei dan Presiden Rouhani benar-benar siap dan sungguh ingin berperang. Pasti para pemimpin itu sangat menyadari bahwa di belakangnya ada puluhan bahkan ratusan juta manusia yang dipimpinnya. Mereka juga tahu keputusan dan tindakan yang akan diambil akan berdampak pada situasi kawasan secara keseluruhan, bahkan dunia. Mereka juga tidak ingin punya "legacy" yang buruk dalam biografinya masing-masing jika keputusan dan pilihannya salah. Dengan ini semua, saya masih punya keyakinan bahwa pilihan yang diambil akan sangat rasional. Rasional dan "bermoral". Artinya, perang terbuka di antara kedua negara bukanlah pilihan utama. Jika bukan, apa yang akan terjadi?

Sangat mungkin ketegangan bahkan permusuhan yang sangat memuncak ini akan berakhir dengan sebuah "kesepakatan besar" (great deal). Sebuah kesepakatan strategis yang adil. (A strategic, fair deal). Tentu ada "take and give" diantara mereka. Elemennya bisa soal sanksi ekonomi, pengembangan nuklir Iran, komitmen untuk tidak saling menyerang aset dan objek militer masing-masing. Apa bentuknya? Biarlah para pemimpin kedua negara itu yang akan menentukan dan memilihnya. Dunia dan sejarah harus memberikan kesempatan kepada mereka. Semua pihak juga harus mendorong dan mempersuasi agar solusi indah itu terjadi, jangan sebaliknya merintangi dan memprovokasi untuk tidak terjadi.

Siapa tahu sejarah menyediakan peluang baru bagi hubungan antara Amerika Serikat dan Iran. Siapa tahu para pemimpin di kedua negara penting ini tergerak untuk berpikir "out of the box", misalnya membangun paradigma dan cara pandang baru dalam hubungan bilateralnya di masa depan. Haruskah kedua bangsa itu menjadi musuh permanen di abad 21 yang banyak menjanjikan jalan bagi sebuah perubahan?

Apa yang bakal terjadi di hari-hari, atau di minggu-minggu mendatang, bisa menjadi "game changer". Artinya, apa yang akan diputuskan dan dilakukan oleh para pemimpin Amerika Serikat dan Iran bisa mengubah jalannya sejarah di masa depan. Semoga yang akan datang adalah yang membawa harapan baik, bukan sebaliknya, sebuah malapetaka dan titik gelap dalam sejarah kemanusiaan.

Cikeas, 6 Januari 2020

Tentang Perjalanan




Pagi ini aku menyapamu kembali.
Aku berharap harimu akan lebih baik daripada yang telah terlewat kemarin. Di sini, semua masih sama. Tidak ada yang berubah, kecuali hari yang lebih banyak dihiasi hujan, daripada curah matahari.

Aku bersyukur, karena setelah lama menunggu, akhirnya hujan turun. Deras. Dan alhamdulillah tidak banjir. Sedih sekali, bahwasannya saudara kita, di sisi barat sana harus mengalami hari yang tidak menyenangkan karena banjir bandang.

Perasaan sedih yang sama, karena saudara kita, Jendral Qaseem Sulaiman meninggal karena ulah Donald Trump. Aku tidak berani berkata terlalu banyak karena aku belum mendalami perihal Trump dan Jendral Sulaiman. Tetapi yang aku tahu, Jendral Sulaiman tentu bukan kelompok ISIS, justru Beliaulah yang memerangi ISIS. Dan Trump, dengan alibi kejinya, justru menuduh Beliau adalah bagian dari ISIS. Padahal kita tahu, ISIS berkolaborasi dengan siapa. Kelompok teroris itu dibiayai siapa. Sangat disayangkan, di zaman yang katanya keadilan ditegakkan, tapi masih ada kesemena-menaan di negara yang merdeka. Oleh negara yang katanya adikuasa.

Ba,
Kuanggap kau bukan anak muda yang tidak tahu apa-apa. Aku yakin kau telah mempelajari banyak hal. Mengetahui banyak hal. Dan aku yakin kau juga tahu; semakin kita belajar, maka semakin kita akan merasa bahwa kita tidak tahu apa-apa. Semesta ini luas Ba, jika kita mengorek lebih dalam tentang rahasianya, maka kita akan dibuat semakin penasaran dengan lebih banyak hal. Jika kita menyelam kian dalam, maka akan lebih banyak makhluk laut yang membuat kita semakin merasa kecil, dibanding jika kita hanya melihat dari permukaan.

Jadi, karena kau bukan bocah, yang cukup berbahagia dengan berlarian ke sana dan ke mari, maka aku ingin bercerita banyak hal denganmu.

Kau tahu, Aku membenci perbuatan Trump. Aku tidak pernah suka orang itu semenjak ia tampil orasi for the election. Hanya rasa tidak suka yang tidak memiliki dasar. Bagiku wajahnya m...m :D. Mungkin itu saja alasannya. Tidak berdasar kan?

Kita bisa membayangkan, betapa pedihnya hati rakyat Iran. Dan lagi, seorang jendral dibunuh ketika ia tengah menjadi tamu istimewa sebuah negara yang merdeka, adalah sebuah tindakan yang menjatuhkan harkat dan martabat negara.

Tapi jika kita melihat dengan kacamata lain, Ba..
Misalnya, jika kita melihat dengan pemahaman bahwa dunia ini memang sudah diNash untuk terjadi huru-hara sampai pada hari akhir nanti. Kau paham maksudku?
Biar kuperjelas,

Di SD kita tentu pernah belajar, bahwa agama Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, dan hanya satu yang paling benar, yakni ahlus sunnah wal jama’ah. Sampai saat ini, banyak sekali golongan yang mengaku sebagai ahlus sunnah wal jama’ah. Dan bahkan kitapun, sebagai warga Nahdliyyin, mengaku sebagai ahlus sunnah. Itu wajar kan, Ba. Setidaknya banyak dari pendahulu kita telah berijtihad untuk merumuskan konsep ahlus sunnah itu sendiri, dan menerapkannya dalam organisasi yang sekarang kita ikuti.
Yang jelas kita berpegang pada Al Quran dan hadits. Yang jelas cara kita berpegang tidak letterlijk dan kaku, tetapi lentur dan mengambil intisari. Ibaratnya sebuah kelapa, kita tidak terpaku pada serabut atau kelapanya saja, tetapi kita memeras santannya juga.

Nah, Ba. Kita sudah diajari bahwa golongan akan terpecah. Itu artinya sebuah Nash bahwa dunia memang tempat kebaikan dan keburukan bersatu.

Firman Allah dalam Al Quran, kita diciptakan berpasang-pasangan. Azwaajaa. Laki-laki dengan perempuan. Siang dan malam. Hitam dan putih. Semuanya saling melengkapi. Begitu pula keburukan bagi kebaikan. Ia melengkapi. Meski keburukan atau kejahatan rasanya tidak enak didengar.

Jadi kalau kita melihat dari Nashnya, bagaimanapun, Trump sedang mendapat peran menjadi manusia jahat. Jahat menurut beberapa pihak. Beruntung dan bersyukur sekali kita, jika memiliki peran sebagai orang baik.

Dulu, ada anak turunnya Muawiyah yang memenggal kepala keturunan Rasulullah di Padang Karbala, kita tentu bisa merasakan betapa sakitnya dan pedihnya, juga memikirkan betapa kurang ajarnya perbuatan itu. Tetapi tentu itu semua sudah menjadi ketetapan Allah. Jika Allah berkenan, Allah bisa saja membuat jalan ceritanya menjadi lain. Setidaknya ada hikmah, karena pembantaian itu, akhirnya dzurriyah Rasulullah saat ini banyak yang hidup di negara kita. Kita juga bisa mengambil pelajaran dari apa yang telah berlalu. Sambil sekuat hati, berdoa dan mengusahakan, agar kita dianugerahi kebaikan dan keistiqomahan dalam kebaikan.

Ceritanya kita usaikan di sini dulu ya, Ba. Besok kita bercerita lagi. Cerita yang lain, tentang perjalanan.


Counting The Days

Image result for winter

I am stuck here.
Still counting the days until I find a reason to go. As I am doing my best, to keep going on in the hours of mine, I hope good things will keep happening. It is true. Sometimes I fall. Sometimes I cry. Sometimes I want to scream loudly. but it is just some points of a long line. I still have another and more points with joyous and happiness.

At some points, living this life is truly like living a box with four angels. Indeed. Brown at all side. No other color.  But guess, after that points' passed, We will soon realize that having the chance to live in this earth as a human is tremendous.

I always love to have a self-talk. I always say to my self, it is okay to be bad sometimes, it is okay to fail sometimes, what becomes really matter is if you have no courage to move on from that failure, from the heartbreak you gained. It is always fine for not being a perfect-human. You just need to be a human with good intention and attitude, you just need to be persistent with every single step you take. Failure is however a friend. You couldn't ask yourself to be a human with superpower. You are not spider-man, nor Maleficent. Just be normal! Human with efforts and prayers.

So, whatever it is. We are unique with our each selves. Thus, I love my self. and I love you. I have no reason to hate. I just love you with a feeling of annoyed sometimes. 

Menunggu Giliran Be Like

Saat ini kita bimbang menunggu jodoh, berdebar menunggu kapan diberi amanah menggendong buah hati. kita pelan* mengumpulkan keberanian melawan keraguan dalam menapaki usaha. Setelahnya, jika memang sudah takdirnya, kita akan berhasil mencapai target dan mulai menyusun rencana baru lainnya.

Besok, tanpa terasa kita sudah menjadi tua, waktunya bertanya*, kapan giliranku tiba?

Itu sudah pasti. Setiap yang bernafas pasti akan mati. Berpulang ke tempat di mana kita berasal. Meninggalkan semua yang pernah kita kumpulkan, di dunia fana ini.

Tapi sebelum itu, kita masih punya kesempatan untuk mencari bekal. Sebanyak-banyaknya. Sambil menunggu waktu itu tiba, semoga kita selalu sadar, bahwa waktu kita berbatas. Masih banyak atau sedikit tidak ada yang tahu. Hanya satu hal yang kita tahu, kita bisa berdoa agar diberikan istiqomah dalam kebaikan.

Mari menunggu giliran dengan tenang. Mari berdoa dengan kesungguhan.

MEMOAR UNTUK KITA KENANG ~

Aku selesai.
Waktunya menghadapi kenyataan.
Sudah saatnya menyudahi yang seharusnya dilewatkan.
Kita bisa bertemu lagi nanti, dengan cerita yang berbeda, dengan sudut pandang lain.
Kau tahu?
Setiap rasa adalah indah. Tak peduli atas nama luka atau bahagia. Kau harus percaya bahwa setiap rasa itu indah.
Jika tidak indah sekarang, nanti kalau sudah jadi pelajaran - pasti indah dan berharga juga.
Kita berpisah sebelum sempat bersama.
Aku memilih itu. Bukan karena takut patah.
Tetapi sepertinya memang sebaiknya kita tidak bersama.
Suatu saat,
Akan ada waktu di mana kakimu tersandung, dan kau jatuh.
Saat itu aku tidak ada di sana, tetapi pasti, seseorang yang lain akan menemanimu. Membantumu berdiri. dan pelan-pelan mendorongmu untuk kuat dan berlari lagi.
Kita tahu hidup tidak mudah, jika memang dikatakan demikian.
Tapi bedakan. Bedakan antara putus asa dan benar-benar mengerti.
Mengatakan hidup tidak mudah bukan berarti akan menyerah. Hanya sadar, bahwa untuk maju, butuh keseriusan dan keteguhan. Tidak boleh setengah-setengah.

Ah! Sulit sekali mengusaikan cerita ini.
Sebenarnya masih ada banyak rasa yang ingin kuuraikan.
Masih ada banyak hal tentang kita yang belum aku tuliskan.
Tetapi aku tidak memiliki banyak waktu.

JIka kuteruskan,
Aku takut terlalu dalam menyelam. Lalu lupa jalan kembali ke daratan.
Dan tiba-tiba sudah 10 tahun kemudian. kau tahu kan, waktu cepat berlalu. Jadi aku terpaksa harus melewatkanmu untuk membuka cerita lain dalam hidupku.

Sampai jumpa di lain waktu.

Kekuatan kita mungkin ada batasnya, tetapi cinta kita tidak akan ada habisnya.


Bukankah kita bersyukur?
Bahwa di dunia ini Allah menciptakan makhluk bernama cinta. Cinta tak bernafas dan tak bergerak. Karena ia bukan makhluk hidup. Tetapi ia menghidupkan. Ia tak kuat dan tak bisa dilihat seperti air atau api. Tetapi ia menguatkan.

Dengan cinta, seorang ibu rela sembilan bulan kesusahan mengandung - kesakitan melahirkan. Dengan cinta, Allah menurunkan hujan, membasahi bumi yang kering, menghidupkan rerumputan juga pepohonan. Dengan cinta, manusia bisa saling mengasihi, menghargai, dan menjaga.

Dunia tanpa cinta adalah dunia hampa.
Ketika kita sedang di ujung batas, patah dan menyerah, keberadaan cinta dapat membuat kita bangkit kembali. Tangan-tangan di sekeliling kita, yang mendekap, meski hanya satu dua, dengan ajaibnya mampu menguatkan dan menghidupkan lagi semangat yang pernah terkikis habis.

Karena cinta, Nabi kita, Muhammad saw, tiada henti-hentinya mendoakan kita, ummatnya, bahkan sampai akhir hayatnya. Meski tiada perjumpaan dhohir dengan Rasulullah yang mulia itu, kita tahu, bahwa cinta Beliau selalu ada untuk kita.

Allah Maha Mencintai. Rasulullah penuh kasih. Maka, kitapun harus demikian. Menjadi makhluk yang senantiasa mencintai dan mengasihi, kepada semua makhluk di muka bumi. Kepada manusia. Kepada alam. Kepada binatang, dan tumbuhan.

Hanya saja kita harus ingat, bahwa cinta tidak diciptakan sendirian. Ada benci yang menyeimbangi. Sebagaimana hitam menjadi penyempurna putih. Maka benci melengkapi cinta. Kita anggap saja, tanpa benci, kehidupan di dunia ini akan menjadi tidak berwarna. Monoton dan itu itu saja.

Tetapi bukan berarti kita harus membenci. Diciptakannya benci sebagai penyempurna, membuat kita mengerti, bahwa kita tidak akan pernah bisa lepas dari makhluk itu, seperti kita tidak bisa lepas dari cinta.

Menyadarinya membuat kita dapat memaklumi, bahwasannya sebaik dan sebenar apapun manusia, pasti tetap akan ada yang membenci. Tidak usah jauh-jauh. Lihat saja Rasulullah saw. Siapa yang menyangsikan kesempurnaan akhlaq Beliau? yang bahkan kepada orang yang memusuhi, Beliau tetap memaafkan dan mengasihi. Keindahan akhlaq Rasulullah sudah tidak diragukan lagi, tetapi meski begitu, ternyata masih banyak orang yang membenci dan memusuhi.

Jadi, tidak usah khawatir jika tidak disukai. Tak perlu risau jika dibenci. Kadang-kadang memang kita cuma perlu fokus pada cinta yang ada di sekeliling kita. Karena terpaku pada kebencian, hanya akan menghabiskan tenaga. Membuang waktu sia-sia. Sama halnya dengan membenci. Ia terlalu menguras energi. Dan membuat hidup menjadi banyak kehilangan arti.




Hamba Sang Maha Segala


Image result for autumn
Hari ini aku belajar untuk memahami orang lain. Belajar untuk memahami apa kemauan mereka, dan bagaimana cara membuat mereka senang. Tetapi ternyata memang benar, kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Terlalu naif memiliki ambisi seperti itu.
Setiap kepala memiliki isinya, dan isinya sudah pasti tidak sama. Tidak ada yang pernah mutlak sama di dunia ini.

Kemudian aku belajar untuk menentukan prioritas, siapa saja yang ingin kuperjuangkan, dan siapa yang harus dilepaskan. Mustahil mengejar dua rusa dalam waktu bersamaan. Bukannya menangkap dua-duanya, yang ada justru kehilangan keduanya.

Aku mengerti, sekeras dan segigih apapun aku mencoba menghindari kekecewaan, baik mengecewakan atau dikecawakan, aku tetap tidak pernah lepas dari proses kecewa. Seperti sudah bawaan lahir. Harus dirasakan untuk membuat sesuatu menjadi berarti. Setelah direnungkan, hidup tanpa tantangan, memang tidak mengasyikkan.

Pada dasarnya manusia menyukai tantangan dan proses jatuh bangun, meski tidak sepenuhnya disadari. Contoh kecil, kita rela datang ke sungai dengan arus besar, hanya untuk bermain arum jeram. Basah-basahan. Kedinginan. Kelelahan. Kita juga kadang dengan senang hati naik tornado. Dijungkir-balik sedemikian rupa di ketinggian. Tak jarang setelahnya kita merasa mual, pusing, dan muntah. Tapi setelah sekian waktu berlalu, kita malah dengan bodohnya mau naik lagi.

Iya, semua itu, baik naik tornado atau bermain arum jeram, kita lakukan untuk memacu adrenalin. Adrenalin membuat jantung kita berdebar. Dan kita menikmati itu. Kita bilang seru. Bedanya, kalau di kehidupan yang diskenariokan Tuhan, kita tidak mengharapkan akan dijungkir balik sedemikian rupa. Padahal intinya sama, kita dijatuhkan, dihempas, ditolong, diberi petunjuk, tidak lain semuanya untuk membuat kita menjadi penuh makna.

Tetapi sudah barang tentu, melewatinya membutuhkan keberanian dan kepasrahan yang penuh. Sedikit rasa putus asa, banyak harap, dan tawakkal, membuat prosesnya menjadi sempurna.
Sekali lagi, aku mengerti, semua proses dan rasa dalam kehidupan ini tidak bisa dihindari. Harus dilalui. Jadi, mari kita melaluinya saja. Setelah prioritas kita tentukan. Kita bisa berjalan lurus ke depan. Berhenti kadang-kadang juga bukan masalah besar. kita Cuma perlu bernafas sebentar untuk selanjutkan kembali berjalan.

Hammasah yaa. Bismillah bi-idznillah. Selagi kita adalah hamba Sang Maha Segala, maka apa yang perlu kita khawatirkan dan gusarkan?

MEMOAR UNTUK KITA KENANG (5)



Ket: Gambar bukan milik pribadi

16 November 2019

Sore yang cerah. Belakangan, Tuban terasa sedikit panas. Sudah musim hujan. Tetapi yang terasa baru suasana sendunya. Sementara hujan sampai saat ini belum juga turun.
Hari ini Sabtu, hari ke 16 bulan November.

Siang tadi, berkesempatan menghadiri pernikahan kesayangan kami, Mira dan Ab. Pernikahannya meriah sekali. Kemarin, di hari yang sama, juga menghadiri pernikahan mbaa Dinta dan Mas Udin.

Akan banyak undangan pernikahan di bulan ini dan bulan depan. Dan pertanyaan, kamu kapan? Akan semakin banyak berdatangan.

Sebenarnya, pernikahan memang bukan persoalan siapa lebih dulu atau persoalan usia, tetapi lebih pada kesiapan dan niat untuk membangun rumah tangga lillahi ta’ala.

Tetapi akhir-akhir ini, pernikahan bagiku seperti sebuah tuntutan. You are 25 and you are getting older, so you have to marry soon. Look at your friend, they are no more a girl but a woman with husband and children.

Well, persoalannya sekarang adalah aku diburu usia.
Sebenarnya tidak juga. Aku tidak terlalu gugup dengan usia. Jauh dalam lubuk hati, akupun ingin membina rumah tangga bersama seseorang yang telah ditetapkan oleh Allah untukku. Untuk menjadi penyempurna separuh iman. Untuk menemani perjalanan di sisa umur yang sudah semakin berkurang.

Tetapi, aku belum juga dapat melabuhkan hati pada seseorang. Aku belum juga mampu meyakinkan diri untuk menerima seseorang.

Aku justru mendapati diriku jatuh hati pada seseorang, yang menurutku, aku tidak harus hati kepadanya. Laki-laki yang usianya baru 19 dan akan menjadi 20 tiga bulan lagi. Aku justru terlalu banyak berangan-angan tentang dia, bagaimana jika kita bersama, bagaimana kita akan meyakinkan kedua orang tua kita, dan bagaimana kita akan saling menguatkan dalam setiap kondisi.

Apa perasaanku tepat?
Apa angan-anganku tepat?
Aku tidak tahu. Entah kenapa aku sangat yakin perasaan itu tidak benar.

Benar memang, aku sangat menyukai dia, menyukai apa saja yang dia lakukan, menyukai bagaimana dia menjadi dirinya sendiri. Tetapi rasa suka saja tidak bisa menjadi alasan yang kuat untuk menikah.
Pertanyaan-pertanyaan ini sangat menggangguku.

Bagaimana jika dia ternyata menertawakanku karena aku jatuh hati kepadanya?
Seperti aku tidak tahu diri saja.

Bagaimana jika ternyata dia sudah memiliki seseorang dalam hatinya?
Ah, betapa bodohnya aku.

Orang-orang selalu berkata, seseorang seperti dia pasti kelak menikah dengan perempuan luar biasa. Tidak mungkin dia mendapatkan orang yang biasa-biasa saja. Lalu aku sadar diri, aku hanya perempuan biasa yang lebih tua darinya.
Pada akhirnya aku hanya bisa berserah.

Allah lebih berhak atas apapun. Mendekatkan atau menjauhkan. Menyatukan atau memisahkan. Allah lebih berhak.

Sebagai hamba, aku ridho dengan segala ketetapanNya. Tidak mungkin Allah akan mendholimi hambaNya. Tidak mungkin Allah memilihkan jalan yang buruk untuk hambaNya. Jadi, entah itu dia atau orang lain, yang kelak kuiringi berjalan, itu bukan masalah lagi. Aku ridho dengan segala keputusan Allah.

La Haula wa Laa Quwwata Illa Billah.