12 Januari 2020
Bagaimana kabarmu pagi ini, Ba?
Aku sudah memutuskan satu hal. Aku yakin kau telah tahu perasaan ini tidak seperti dulu lagi. Tetapi kurasa, daripada mengikisnya sampai benar-benar hilang, akan lebih baik jika aku memupuknya kembali.
Kupikir, lebih baik mencintai seseorang dan fokus pada cinta itu, daripada membenci banyak hal dalam kehidupan, lalu fokus pada kebencian dan terjerembab jatuh. Perihal apakah frekuensi kita sama atau berbeda, itu urusan belakang. Biarkan kaki berjalan dulu. Biarkan waktu perlahan menampakkan takdir satu persatu. Selama itu, aku masih bisa mencintaimu, dan mengabaikan kebencian yang ada di sekelilingku.
Kau telah di sini sekian tahun. Lebih dulu daripada aku. Ketika aku masih berkelana dan mengembara di Malang, kau telah terlebih dahulu berada dan tinggal di tempat ini. Sebagaimana kau tahu, setiap tempat memiliki tantangannya masing-masing. Setiap tempat menyimpan berbagai karakter manusia, yang jika disatukan, bisa baik dan bisa tidak. Tetapi perbedaan itu membuat tempat ini menarik. Mengesalkan juga kadang-kadang. Ritme perjalanan memang seperti itu, bukan?
Akhir 2017 kemarin, aku masih mahasiswi tingkat akhir yang sedang menunggu wisuda. Itu setelah perjuangan yang cukup panjang. Sangat disesalkan, atau patut disyukuri juga mungkin, aku telat satu semester. Jadi, aku baru dapat wisuda setelah menempuh semester 9.
Masalahnya sepele sekali. Semester 8 sebenarnya aku sudah menyelesaikan skripsi yang berdarah-darah itu (eah :D). Berdarah-darah karena aku dan dua orang temanku mendapatkan dosen paling killer di FMIPA, Beliau adalah dosen Ekologi yang menjabat juga sebagai Wakil Dekan 1. Namanya Pak Ibrohim. Jangan tanya berapa kali aku menangis selama skripsi. Seringkali setelah bimbingan, aku harus mengumpulkan kembali kepercayaan diri dan niat, untuk revisi dan lanjut ke bab-bab berikutnya. Pak Ibrohim suka sekali memarahiku x,x, terutama ketika referensiku tidak banyak, dan jawabanku terlihat ragu. Menurut beberapa teman, level skripsi di Pak Ibrohim itu, hampir-hampir setara dengan thesis. jadi, agak
hard memang. dan aku agak kesal dengan itu.
Aku sempat menggerutu berkali-kali. Umumnya anak prodi pendidikan, kalau membuat perangkat pembelajaran boleh cukup mengambil materi dari buku paket atau jurnal. Sementara khusus pak Ibrohim, jika ingin membuat perangkat pembelajaran, materinya harus meneliti dan mengamati sendiri kekayaan lokal di tanah kelahiran. Harus disusun sendiri dan riil
by data pengamatan.
Akhirnya aku pulang ke Tuban. Meneliti Mangrove Center Tuban di Jenu. Harus beberapa kali ke sana untuk melakukan penelitian jenis mangrove apa saja yang hidup di ekosistem itu, dan bentos serta zooplankton-fitoplankton apa saja yang ada di perairannya. Rantai makanannyapun harus menyusun sendiri berdasarkan hewan-hewan dan tumbuhan yang ditemukan. Aku sempat
down, karena sampel air yang aku bawa dari Tuban, lupa tidak diberi formalin, akhirnya cuma sedikit plankton yang ditemukan, kebanyakan sudah rusak.
Tetapi benar kata seorang teman, barangkali dengan kesulitan, Allah berencana mendekatkan kita dengan beberapa orang. Waktu itu, ada banyak sekali pertolongan dari teman. Ada Buk Vil yang berjuang bareng, kadang janjian bimbingan bareng, curhat tentang pak Ibrohim karena kita sama-sama anak bimbingan Beliau. Ada Khusnul yang membantu waktu penelitian lapangan di Tuban. Ada Mbak Atiq yang bantuannya sudah tidak bisa dihitung pakai tangan. Ada juga Aji dan Mas Assa (dua mantan ketua HMJ Lebah Madu) yang banyak membantu untuk mengamati plankton pakai mikroskop, karena jujur saja aku susah mengidentifikasi plankton, bagiku mereka hampir serupa dan sama semua.
Jika diingat lagi, Allah sangat baik kepadaku, dengan mendatangkan teman-teman yang luar biasa baik. Aku jadi sadar, manusia, semandiri apapun, memang tidak bisa berjalan sendirian, akan selalu butuh bantuan.
Apa setelah membaca ini, kau beranggapan Pak Ibrohim jahat, Ba?
hahaha. Kenyataannya tidak demikian. Menjelang ujian sidang, aku menyadari satu hal, bahwa yang dilakukan Pak Ibrohim, tidak lain adalah untuk membuat mahasiswanya belajar dan berkembang. Beliau sangat tidak ingin mahasiswanya lemah mental dan kemudian ketika memasuki dunia kerja, menjadi cengeng dan tidak tahan banting.
Itu kenapa Beliau berkali-kali bilang,
"Kamu kok mesti nanti-nanti! Jangan bilang nanti-nanti terus!"
"Kamu ga baca buku ya?"
"saya kecewa dengan hasil kerja kamu!"
Daripada konten skripsi itu sendiri, Pak Ibrohim sebenarnya lebih ingin menekankan pada latihan mental dan kemampuan untuk mengambil referensi serta kemauan untuk bekerja keras. Apa kamu tahu Ba? kenapa Beliau meminta anak bimbingannya mengambil topik skripsi di tanah kelahiran? Karena setelah pulang nanti, kemungkinan besar mahasiswa akan kembali ke rumahnya masing-masing. Maka penting bagi mereka untuk mengenali kampung halamannya sendiri. Selain itu, dengan melakukan penelitian di kota asal, maka mahasiswa akan dituntut untuk berjejaring dengan beberapa tokoh di kota asalnya. Dan itu adalah bekal yang penting bagi calon
fresh graduate.
Masih ada lagi.
Aku tidak tahu bagaimana dengan Dosen lain. Yang aku tahu, Pak Ibrohim adalah dosen yang sibuk. Beliau seringkali menghadiri acara di luar kota, kalau tidak begitu ya rapat di rektorat atau dekanat. Bisa dibayangkan betapa aku harus berjam-jam menunggu Beliau di depan ruang kerjanya. Bahkan aku pernah menunggu Beliau dari jam 10 sampai jam 5 sore.
Istimewanya, ketika Pak Ibrohim sudah memberikan penilaian bahwa mahasiswanya sungguh-sungguh, maka Beliau juga akan sangat berbaik hati menyempatkan waktu.
Terkadang, ketika Pak Ibrohim sedang rapat dengan pejabat fakultas, di ruangan yang letaknya persis di depan ruang kerja WD 1, lalu jika kebetulan Pak Bro (panggilan sayang anak Biologi ke Pak Ibrohim) melihat mahasiswa bimbingannya celingak-celinguk, maka Pak Bro akan dengan sengaja keluar. Beliau akan berpura-pura mengambil sesuatu di ruangannya, setelah itu melihat ke arah kami dan bertanya, "Kalian mau apa?". Dapat dipastikan setelahnya kami pasti bimbingan, meski cuma sebentar.
Terkadang juga, Pak Bro yang super sibuk itu rela memberikan waktu istirahatnya untuk kami. Aku tahu Beliau sering lelah, tetapi tidak pernah ditampakkan. Aku salut sekali, Beliau tipe pekerja keras. Dan waktu itu, satu hal yang membuatku tidak mau pindah dosen (waktu itu masih menyimpulkan Pak Bro jahat yaa..), adalah Kebiasaan Pak Bro yang menjaga sholatnya. Aku percaya orang yang menjaga sholatnya tidak mungkin berbuat aniaya kepada orang lain, termasuk kepada mahasiswanya :D. Dan ternyata benar.
Setelah selesai bergulat dengan proses skripsi, yang alhamdulillah 1 semester selesai, aku harus menghadapi kenyataan pahit. Ketika itu aku sedang mengurus proses wisuda, tinggal beberapa tahap lagi selesai, dan ternyata pembagian SKSku tidak pas. Jumlahnya sudah memenuhi, 145 sks. Tetapi di bagian matkul keterampilan kurang 1 sks, sementara di bagian lain kelebihan 1sks. Jadi aku tidak bisa mengikuti wisuda dan harus menambah satu matkul lagi.
I was so shock at the time. I cried. Karena sudah mencoba ditahan tapi ndak bisa. Tiba* aku jadi insecure sendiri haha. Setelah nangis* dan kecewa untuk sementara waktu, aku ikut KRS.an lagi, mengambil matkul Pembelajaran Abad 21 bareng adik tingkat. Sebenarnya waktu itu yang paling membebani pikiran adalah aku harus membayar UKT lagi, 3.500.000. Aku merasa kasihan sama Bapak Ibuk. Padahal seharusnya biaya itu dialihkan ke adik yang tahun itu mulai masuk kuliah. Akhirnya sambil nunggu 1 semester selesai, aku menyibukkan diri dengan bekerja paruh waktu. Jualan kopi :D, kerjasama dengan teman, dan karena aku memiliki banyak waktu longgar, aku jadi punya kesempatan buat lebih all out di Gusdurian dan nulis-nulis di MSN.
Ah! Maaf. Aku jadi bercerita panjang lebar.
Yang jelas, dulu ketika masih menunggu wisuda, aku sering berkendara melewati depan SMP BAS. Suatu ketika, entah kenapa tiba-tiba terbesit pikiran bahwa aku akan berada di gedung tengah sawah itu nanti, kalau sudah lulus. Tujuh bulan kemudian, sesuatu yang awalnya hanya sebatas kata hati tak berdasar, ternyata menjadi sungguhan.
Tertanggal 9 Juli 2018, hari Senin, aku resmi menjadi bagian dari Lembaga Pendidikan ini, Ba. Ketika itu, kau baru saja lulus, dan aku baru saja masuk. Sebuah keberuntungan, karena ternyata kita masih berkesempatan untuk saling mengenal, meski tak memiliki banyak kesempatan untuk bersua.
Ba, setelah memasuki dunia kerja, aku mulai mengerti kenapa Pak Bro bersikap sedemikian keras dan tegas kepadaku. Lingkungan kerja memberikan tekanan yang lebih dibanding ketika kita masih pelajar. Mahasiswa paling-paling dituntut untuk mengerjakan tugas dengan DL menumpuk setiap harinya. Jika tidak mengumpulkan atau mengumpulkan dengan kerjaan asal-asalan, resikonya kalau tidak lulus mata kuliah paling ya dapat C. ketika dapat C, kita masih bisa mencari pelarian untuk membebaskan pikiran. Entah ke warung kopi. Entah nongki cangki bareng temen. Pokoknya
do things yang itu bisa membuat kita merasa tersegarkan kembali.
Sementara di dunia kerja, kita salah sedikit saja, sudah pasti akan banyak
statement negatif dari rekan di sana sini. Ketika kuliah, kita bisa mengaktualisasi diri di mana saja semau kita. Mau aktif di organisasi ekstra, mau menjadi pejabat BEM, mau menjadi anak UKM, atau menjadi
Volunteer, itu semua terserah kita. Kita memiliki banyak waktu untuk itu. sedangkan ketika sudah bekerja, entah kenapa waktu kita menjadi begitu terbatas. Barangkali karena masih seorang pemula, jadi belum canggih dalam mengatur waktu.
Terlebih, di sini, aku harus menginap di mahad 3 hari dan tetap berangkat ke mahad setiap pagi dan sore, di hari lainnya. Rasanya waktuku menjadi semakin terbatas. Sebenarnya, jika aku mau berbesar hati dan menerima kondisi bahwa aku harus menetap di mahad, mungkin tenagaku tidak akan secepat itu habis setiap sore mulai datang. Barangkali, keadaanku yang sedikit mudah lelah dikarenakan pikiranku sendiri. Oleh karena itu, aku mulai belajar untuk ikhlas, dan belajar untuk acuh terhadap segala bentuk omongan-omongan negatif. Terlalu menguras pikiran. Jadi lebih baik dilewatkan.
Aku yakin setiap orang itu baik, Ba. Hanya saja, perihal tidak bisa kita menerima perbedaan, kadang membuat kita menjadi berseberangan. Di satu sisi, kadang kita juga terlalu sensitif, atau bisa juga mereka yang sudah kelewatan. Yang jelas, Ba ... Dalam hubungan pekerjaan, main perasaan itu kiranya hal yang tidak sepenuhnya benar. Agaknya lebih baik kita mengedepankan logika, sebelum memainkan perasaan.
Karena karakter yang kita temui berbeda-beda, maka kita harus beradaptasi dengan semuanya. Ada yang baik sekali dan ringan tangan, yang bahkan tanpa kita memintapun, dia akan dengan senang hati memberikan bantuan. Ada yang suka sekali mencela orang, apapun yang kita lakukan, di matanya pasti banyak salahnya, biasanya orang seperti itu akan selalu mengunggulkan hasil pekerjaannya sendiri. Ada yang di depan kita baik, tetapi di belakang menjelek-jelekkan. Ada juga yang baik dan cekatan, biasanya orang ini akan solutif ketika kita menghadapi masalah, dia tidak akan menyalahkan, tetapi akan memberi solusi.
Ada banyak sekali karakter, Ba. Jika kita terlalu mudah sakit hati, kita yang akan lelah sendiri. Memang tidak dipungkiri, kadang rasanya ingin muntab juga. Capeknya tidak tertahan lagi. Tetapi gapapa, yang penting setelah yang tidak tertahan itu, kita bisa
take a deep breath dan kembali adem lagi hehe.