Ket: Gambar diambil dari Pinterest
6 Desember 2019
Lalu perlahan kita
berjalan menjauh. Pelan-pelan melupakan. Sedikit demi sedikit menyingkirkan.
Bukan karena kita mau begitu. Tetapi perasaan ragu membuat kita mundur. Kita
tahu, asumsi tentang rasa tidak akan pernah usai – setidaknya sebelum kita benar-benar
menyatakannya, dan tahu hasilnya.
Tetapi kita tidak pernah
berani berkata. Alasan malu, alasan merusak kenyamanan, membuat kita dengan
sangat terpaksa tetap berdiri di tempat di mana kita biasa berada. Tidak lagi
menjadi penting, apakah perasaan kita seirama atau berlainan arah. Yang lebih
penting bagi kita adalah bagaimana caranya mengenyahkan rindu yang kian hari
kian merekah.
Kita berharap, lewat
angin rindu kita tersampaikan. Kita berharap, lewat telepati perasaan kita
tersampaikan. Tapi ilmu kita tak setinggi itu. Tak ada angin yang menyampaikan
rindu. Tidak ada telepati yang bertemu.
Dalam diam aku berpikir,
apa suatu saat nanti, cerita ini akan berakhir begitu saja? Tidak menghasilkan
apapun. Hilang. Lenyap. Tak memberi kesan apa-apa.
Sungguh, jika ada
pilihan, aku tentu tidak akan memilih jalan itu.
Akan lebih indah, jika
kau datang, memintaku kepada orangtuaku, membawaku kepada ayah ibumu, kita
berjuang bersama, dan hidup
bersama.
Aku tahu, hidup bersama
bukan akhir, melainkan awal.
Setelah mengikrarkan ikatan untuk menyempurnakan separuh iman, akan banyak hal baru kita temukan. Akan satu-persatu
kekurangan terlihat, tetapi juga seiring waktu berjalan, kita akan memupuk
pengertian dan pemahaman. Akan ada kerikil di sana, dan sepertinya akan
menyenangkan melewati kerikil itu bersama. Kita bisa mengayuh bersama-sama.
Melewati setiap lika-liku yang ada.
Terkadang aku juga
bertanya-tanya,
Aku menunggumu untuk apa?
Dari sekian juta manusia,
kenapa harus kamu yang aku
tunggu-tunggu?
Kenapa bukan orang
lain saja?
Pikiran bahwa aku belum
cukup dewasa sering menghantui, karena aku jatuh cinta dan berharap pada seseorang yang lebih muda sepertimu.
Andai aku lebih dewasa, kataku suatu ketika, tentu aku tak akan berlama-lama
dengan cerita tentang kamu. Tentu aku akan beranjak pergi dan memutuskan untuk
berlabuh dengan seseorang yang lebih bisa aku harapkan.
Lalu aku berkata lagi, kenapa
harus demikian. Siapa tahu memang dia yang telah ditetapkan. Usia tidak menjadi satu-satunya tolak ukur kedewasaan.
Tentu bisikan demikian,
tidak lain kumaksudkan untuk menentramkan hati dan perasaan.
Kau tahu, percakapan itu terus berulang setiap kali.
Sesekali berganti
pertanyaan,
Mau sampai kapan seperti
ini? Digantung asumsimu sendiri? Melihat ke arahnya seorang
diri?
Mau sampai kapan seperti
ini? Berbicara seorang diri, berjuang seorang diri. Kau
melepaskan hanya untuk
menunggu seseorang yang tidak pasti.
Pada akhirnya, aku
benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Pada akhirnya aku hanya
selalu bertanya apa jawabannya tidak? Apa mencintai dan menunggumu adalah hal yang salah?
Aku bertanya-tanya, untuk apa aku mengenalmu? Kenapa
perasaan ini harus bertumbuh dan tertuju kepadamu,
padahal jika perasaan ini ada untuk orang lain, ceritanya mungkin akan lebih
mudah. Tidak perlu memupuk banyak gundah dan khawatir yang
kadang terasa cukup menyesakkan.
Jika itu orang lain,
mungkin aku tidak perlu
menebak-nebak alur ceritanya sendiri, aku tidak perlu meragu sendiri, aku tidak
perlu merindu seorang diri, dan terpaku pada sosok yang terasa jauh tetapi
dekat juga di satu sisi.
Ah! Aku bisa apa?
Lebih baik aku pasrah saja. Pada Allah. Yang lebih tahu. Yang lebih
mengerti.
La haula wa laa quwwata
illa billah.
0 comments:
Post a Comment