MEMOAR UNTUK KITA KENANG (1)


Image result for corner of a cafe
picture by Heybert

Suatu Tempat, 24 November 2019

Hai, aku di sini lagi. Tepat di tempat kau duduk dulu. Sengaja aku datang ke sini, untuk mengenang waktu di mana kita pernah bersama – meski tidak berdua. Aku berharap dengan begini aku akan usai memikirkanmu.
Aku harap aku tidak lagi mengais kenangan-kenangan bersamamu.
Hai, siapa kamu? Sungguh, siapa kamu?
Sampai aku harus sebegini mencintaimu. Sampai tidak ada satupun hari terlewati tanpa namamu tersebut oleh lisanku.

Kau tahu?
Di bawah ramai sekali. Mereka sedang bahagia dan bangga atas sesuatu. Dan di sini, aku hening sekali. Diam dari tadi. Mengerjakan soal, lalu teringat lagi kepadamu.
Bukankah kau akan merasa lucu mendapatiku mencintaimu?
Sementara tidak banyak waktu kita lewati bersama. Sementara aku tidak cukup mengenalmu. Sementara kau lebih muda dariku.
Aku selalu memasrahkan perasaan ini kepada Allah. Agar ia yang menuntun kita. Pada langkah yang terbaik. Pada keputusan yang terbaik.
Aku tidak tahu apa itu. Tetapi kita tahu, Allah akan selalu memberikan yang terbaik untuk hambaNya.
Sungguh maafkan aku jika kehadiranku membuatmu terganggu.
Jika ternyata kau merasakan hal yang sama, mencintai dan merindukanku sedalam yang aku rasakan kepadamu, maka maafkan aku untuk itu. Tetapi entah bagaimana, aku tidak yakin kau merasakannya juga. Tentu lebih banyak hal menarik yang mengisi pikiran dan hatimu, daripada sekedar aku.
Percayalah, jika sekarang aku menyukaimu sebanyak ini.. yang sebenar-benarnya - aku tidak pernah berencana mengenalmu dan jatuh cinta kepadamu.
Aku tidak tahu jika itu tentangmu, maka aku jadi segila itu mengusahakan untuk dapat berbicara dan mengenal lebih dalam.
Sungguh maafkan aku. Jika kau mengenalku– maka itu aku yang memulai.
Dan menyudahi, tidak pernah semudah memulai.
Seandainya aku cukup berani, aku lebih memilih untuk mengatakan ini kepadamu. Agar kau tahu yang sebenarnya. Jika memang rasa ini tidak seimbang. Maka itu lebih baik jika aku tahu yang kau rasakan. Biar pahit sekalian pahit. Biar bisa kuhentikan aliran kisah ini dengan segera.
Tetapi sayangnya, aku tidak berani patah, dan aku lebih tidak berani melepaskan yang telah dimulai. Terlebih, mana ada perempuan memulai? Itu tidak lazim.
Yang jelas, aku paling takut jika kau menjauh. Itu saja.
aku harus bagaimana?
Perasaan ini harus dibawa ke mana?
Karena..
Nyatanya, tempat yang sama, siklus jam yang sama – pada hari dan tanggal berbeda, tidak mampu menghadirkanmu seutuhnya. Aku masih sendiri. Tidak ada yang bisa dipandang dan diajak bicara lagi.

0 comments:

Post a Comment