Tidak ada yang salah dengan Cinta, tetapi kita tidak hanya hidup dengan cinta. Ada agama, ada norma. dan kita tidak bisa melepaskan keduanya hanya untuk cinta.
Tidak Salah
Tidak ada yang salah dengan Cinta, tetapi kita tidak hanya hidup dengan cinta. Ada agama, ada norma. dan kita tidak bisa melepaskan keduanya hanya untuk cinta.
HANYA JIKA KITA TAK BERTEMU
Setelah sampai sejauh ini, aku bertekad. Jika aku sama sekali tak menemukan benang merah antara kau dan aku. Jika memang demikian, maka aku akan melepaskanmu dengan penuh keikhlasan. Aku hanya manusia lemah yang tidak bisa menentang kehendak Tuhan. Aku hanya manusia lemah yang tidak bisa memaksakan kehendak kepada siapapun.
Dan jika memang itu yang benar-benar
terjadi sampai akhir dari masa perjalanan kita, maka aku akan mengemasmu
menjadi satu cerita yang tidak pernah terlupa. Aku akan menyingkirkan kesan
bahwa kau adalah orang berharga. Aku akan menyingkirkan pandangan bahwa jika
itu kau hidupku pasti akan lebih bermakna. Dan aku akan membuang jauh-jauh
angan untuk dapat berjalan bersamamu dan putra-putra kita di tepian pantai
suatu hari yang ternyata tidak akan pernah ada.
Saat itu tiba, maka kau telah
terbungkus rapi menjadi kenangan tak berpita. Karena aku takut jika ada pita
aku tak bisa membukamu lagi, bahkan sekedar sebagai cerita. Sampai jumpa nanti
di hari bahagia kita. Hari bahagia yang tidak kita jalani bersama.
(SUROSO 19) KELUARGA
Sore yang hangat. Bangunan peninggalan Belanda yang dingin.
Pantulan sinar matahari di beberapa sisi dan orang-orang berseragam hitam yang
kaku. Semuanya terasa akrab. Begitu juga dengan tirai-tirainya yang berwarna
ungu tua. Benar-benar terasa akrab.
Semuanya seperti sebuah waktu di masa lalu yang terulang kembali.
De javu yang menyenangkan. Dalam pengulangan itu, Nuha berjalan menyusuri ruang
depan yang luas. Ia sangat lelah. Dan sangat rindu. Pada semua yang ada di
dalam gedung bercat putih.
Beberapa hari ini ia telah melewati banyak hal. Kehilangan
seseorang. Dan menyaksikan kekisruhan yang sama sekali tidak diharapkannya.
Semua itu benar-benar tidak mudah bagi jiwa perempuannya, yang cenderung
mencintai perdamaian. Lagipula, siapa juga yang mencintai pertikaian. Tidak ada
kenyamanan di sana. Kecuali orang-orang yang memang menyalahi kodratnya.
Nuha berjalan lambat. Ia menikmati setiap perasaan yang menyelimuti
ketika melewati ubin-ubin besar dan benda-benda yang sudah sering dilihatnya. Langkahnya
kemudian terhenti di depan sebuah pintu.
Pintu itu mengarah ke sebuah kamar yang jendelanya terbuka. Dari
tempat Nuha berdiri, tampak seorang perempuan duduk di atas kursi goyang, di
sampingnya terdapat secangkir teh yang masih mengepulkan asap.
Perempuan itu menoleh, tersenyum. Nuha ikut tersenyum. Hangat.
“Sudah pulang?“
Tanpa merasa perlu menjawab, Nuha segera berlari ke arah perempuan
itu. Nuha menciuminya dan memeluknya erat.
“Betapa saya merindukan Ibuk.“ ucapnya masih dalam pelukan.
“Saya lebih merindukanmu Nduk.“ perempuan itu membelai pelan
punggung Nuha.
Nuha melepas pelukannya.
“Sepertinya putriku jadi lebih kurus.“ Diah memandangi Nuha, “Ibuk
akan senang jika kamu pergi ke kamar mandi. Menyegarkan tubuh, lalu bergabung
dengan kami di meja makan.“ imbuhnya.
Nuha mengangguk.
“Bapak sudah pulang?“ ujarnya.
Diah tersenyum, mengangguk, “Sudah. Dua hari yang lalu Bapakmu
sudah pulang ke sini. Dia juga merindukanmu.“
Nuha menggigit bibirnya, lalu tersenyum.
“Bagaimana dengan Najib? Dia pasti kesepian selama aku tidak di
rumah.“
“Dia menemukan kesibukan baru yang membuatya tidak sempat merasa
kesepian. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.“
Terdengar suara tawa beriringan.
“Baiklah.“ ucap Nuha sumringah, “Kalau begitu saya akan mandi dan
segera menyusul ke meja makan.“ ia mencium ibunya sekali lagi. Lalu undur
diri menuju kamar.
Nuha berjalan keluar kamar. Ritme langkahnya lebih cepat dari
sebelumnya. Melewati lorong-lorong yang hening.
Ia memandangi beberapa foto pajangan di dinding. Foto keluarganya
nampak serasi dan enak dipandang. Foto Bapaknya yang berada di dalam setelan
jas hitam dan kemeja putih, dengan kopyah hitam, tampak membanggakan. Tetapi
melihat foto itu, membuat hatinya perih.
Nuha menggigit bibirnya. Ia sering melakukan itu ketika sedang menghawatirkan
suatu hal. Begitu tiba di kamar, ia langsung menghempaskan tubuhnya ke atas
kasur. Telentang. Memandangi langit-langit kamarnya yang pucat.
“Bagaimana di sana Sander? Sepertinya kamu sudah cukup bahagia
dengan tempatmu sekarang. Seharusnya aku dapat mencegahmu pergi hari itu.“ Nuha
menggumam.
Beberapa saat lamanya ia merenung. Setengah menikmati posisi
telentan yang membuat tulang punggungnya nyaman, dan setengah lagi karena rasa
hampa yang membuatnya kosong.
“Tunggu!“ Nuha beranjak. Ia bangun dari telentangnya. Dengan
tergesa menuju rak buku yang terletak di sudut kamar. Disibaknya buku-buku yang
berjajar. Pandangannya jatuh pada buku bersampul hitam kecoklatan karangan
Harry A. Poeze, judul buku yang ditulis dengan huruf balok berwarna merah tebal
membuat siapapun tau bahwa itu buku berat. Bukan massanya. Tetapi isinya.
Ia mengambilnya, membolak-balik beberapa halaman awal. Ia
menemukan
***
(SUROSO 18) PADA SUATU SORE
Di kota Melbourne yang padat. Di bawah arakan awan yang beriringan
ke ufuk. Nuha duduk menepi di sebuah kuburan yang baru tadi pagi digali. Bunga-bunga
di atas tanahnya masih segar dan menimbulkan harum semerbak. Ia merunduk dalam.
Mengucapkan doa-doa yang tidak dapat didengar. Hanya mulut yang berkomat-kamit.
Disertai air mata yang menetes pelan.
Ia khusuk. Mengabaikan burung-burung yang bermigrasi entah ke mana.
Mengabaikan daun-daun yang menari ditiup angin tak jauh darinya. Ia benar-benar
khusuk. Mengucapkan salam perpisahan yang mungkin bukan untuk terakhir kalinya,
tetapi sepertinya akan lama ia tidak kembali ke sini.
“Belum selesai?“ terdengar suara laki-laki. Nuha asing dengan suara
itu, ia menyeka air mata sejenak lalu menoleh ke belakang.
Seorang lelaki berdiri tepat di belakangnya. Tersenyum.
“Sepertinya tidak hanya saya yang masih merasa berat dengan
kepergian Sander.“ laki-laki itu berucap.
Nuha mengabaikan pertanyaan itu. Ia mengambil nafas dalam. Berdiri.
Untuk beberapa saat memandangi langit. Barangkali mengadukan perasaannya. Ia
kemudian berbalik arah. Dilihatnya lelaki itu lagi.
“Anda orang itu bukan? Yang membuka peti jenazah sesaat sebelum
upacara pemakaman dimulai.“ ia berkata datar.
Lelaki itu mengangguk, “Tidak salah.“
“Sepertinya Anda dekat dengan Sander.“ lelaki itu melanjutkan.
“Bukan sesuatu yang penting untuk Anda ketahui.“ Nuha melangkah.
“Sebagai orang dekat Sander, aku mungkin perlu mengetahuinya juga.“
Lelaki itu mengejar.
“Apa pentingnya?“ Nuha sama sekali tak menoleh. Ia terus berjalan.
Lurus ke depan.
“Sangat penting jika kau mau menjawabnya.“
Nuha hening. Tidak ada jawaban.
“Bagaimana?“
Nuha masih tak bergeming.
Lelaki itu berjalan beberapa langkah lebih cepat, ia sekarang berdiri
di depan Nuha, tepatnya beberapa senti saja di depan Nuha, ditatapnya perempuan
itu, “Bagaimana?“ ia mengejar lagi.
Nuha mendongak. Lelaki itu memang cukup tinggi.
“Kau orang Indonesia juga? Bahasamu fasih dan wajahmu khas
pribumi.“ Nuha menimpali.
“Apakah itu artinya iya?“
Nuha tak menjawab. Ia berjalan. Menjauh dari komplek pemakaman.
Laki-laki tadi tetap membuntuti di belakangnya.
“Namaku Narendra. Sander sering menyebut kata Nuha dalam
surat-suratnya kepadaku. Sander juga mengatakan kepadaku beberapa hal yang
menurutnya janggal, dan dia tidak mengatakan kejanggalan-kejanggalan itu kepada
siapapun, kecuali aku. Setidaknya itu yang dia ditulis dalam suratnya. Jadi, kurasa
kita bisa bersama-sama mencari benang merah dari kejadian-kejadian di Zona X,
yang mungkin ada kaitannya dengan percaturan politik negeri kita. Atau mungkin
juga tidak. Yaa.. hanya jika kau mau“ ia terus saja berkata-kata meski tak
didengar. Disejajarkannya langkah kaki yang sebenarnya lebar dengan langkah
kaki Nuha.
Nuha masih abai. Ia terus berjalan. Berpura-pura sama sekali tak
mendengar. Namun dalam diamnya, ia mulai berpikir untuk mengatakan sepakat.
Pikiran logisnya memang bertanya-tanya, apakah laki-laki yang mengaku bernama
Narendra itu dapat ia percaya. Nuha bahkan baru melihatnya dua kali ini. Di
pemakaman tadi pagi. Dan sore ini.
Tetapi tawaran yang dia berikan sepertinya tidak bisa diabaikan
begitu saja. Apalagi itu berkaitan dengan Sander.
“Anda pasti merasa tidak nyaman saya buntuti seperti ini.“
Mendengar itu Nuha berhenti sejenak, ia pasang wajah sengak,
dipandangnya Narendra dengan tatapan tajam, mengisyaratkan –kalau tahu kenapa
tidak pergi dari tadi?–.
Nuha kembali berjalan.
“Saya tidak melakukan ini karena saya ingin. Dalam surat
terakhirnya, di akhir Agustus lalu, dia meminta saya menemui Anda jika sesuatu
terjadi. Sepertinya dari awal Sander memang sudah mempunyai firasat. Dan saya
tidak bisa mengabaikan pesannya begitu saja.“
Nuha menoleh.
“Jika memang demikian,“ kalimatnya menggantung, “Mari kita
bekerjasama. Saya tidak tahu apakah saya harus mempercayai Anda atau tidak.
Tetapi mari kita saling bertukar informasi yang berguna.“ ucapnya kemudian.
Narendra tersenyum. Mengangguk.
“Sebagaimana Anda tahu saya adalah Nuha, maka Anda pasti akan bisa
menemukan bagaimana cara menghubungi saya lagi setelah ini. Saya pamit. Jangan
ikuti lagi.“ Nuha mulai berjalan. Menjauh. Menuju sebuah rumah sederhana.
Ia mengemas beberapa perlengkapan. Berpamitan kepada keluarga
Sander dan Lindsey yang melepasnya dengan pelukan dan air mata. Sejurus
kemudian ia telah berada di dalam sebuah mobil yang melaju cepat menuju
Bandara.
Nuha mengudara. Masih duduk di sebelah jendela. Memandang keluar.
Melihat awan. Melihat cakrawala dengan cara sedikit berbeda. Ia pulang. Kembali
ke tanah air yang dicintainya.
***
(SUROSO 17)
Suroso nampak tenang. Ia memperbaiki posisi duduknya. Mengambil mic
di depannya dan mulai berdehem.
Para menteri khusuk di tempatnya masing-masing, tidak sabar
mendengarkan Suroso berbicara. Mereka penasaran apa yang hendak diucapkan
presiden yang sedari awal sidang dimulai tidur itu.
“Barangkali hanya kata-kata tidak nyambung dan patut ditertawakan.“
terdengar bisikan di salah satu pojok ruangan.
“Terimakasih atas usulan-usulan yang telah Bapak Ibu berikan.“
Suroso mengawali.
Ruangan masih hening. Hanya terdengar beberapa kursi yang
digoyang-goyang dan bolpoin yang diketuk-ketukkan ke meja. Selebihnya
benar-benar hanya keheningan.
“Secara pribadi, saya terkejut mendengar kabar kerusuhan di zona X.
Dan saya sangat menyesal bahwa 3 pekerja PBB yang bertugas di sana turut
menjadi korban diantara korban-korban lainnya. Anda sekalian mungkin mengerti,
bagaimana posisi saya di pertemuan Milennium waktu itu. Di tengah para anggota
PBB, dengan kabar yang demikian tidak menyenangkan.“ Suroso diam sejenak, ia
menyapu isi ruangan itu dengan tatapan tajam, jika memang bisa dikatakan tajam.
“Untuk beberapa alasan, saya sepakat dengan usulan pertama tadi. Mungkin
saja sudah sejak lama ada isu negatif yang dibisikkan kepada para pengungsi
itu. Ya kita tahu, untuk membisiki ada keahlian khusus. Dan kita tidak perlu
menuduh siapapun, tidak ada perlunya saling menuduh. Tetapi dengan berat hati
saya mengatakan bahwa semua ini tidak terlepas dari peran militer.“
Ruangan menjadi gaduh. Suroso membiarkannya sejenak,
Suroso mengetuk-ngetuk microfonnya. Membunyikan bunyi duk duk yang
membuat para orang berdasi itu diam kembali.
“Tetapi sekali lagi kita tidak perlu menuduh siapapun. Saya tidak
mengatakan militer terlibat, saya hanya menegaskan bahwa peran mereka penting
di sini. Untuk mengamankan. Untuk menjaga ketentraman. Dan untuk bapak Ketua
MPR yang saya hormati, terimakasih atas pengingat yang sangat membangun, tetapi
Anda juga perlu menggarisbawahi satu hal, di sini kepala negara tidak bekerja
sendiri. Jadi apakah bijak mengatakan demikian dan menumpukan kesalahan pada
satu pihak? Anda tentu lebih tahu jawabannya.“ Suroso menghentikan ucapannya,
tersenyum tanpa beban.
Sebenarnya ia sangat dongkol mendengar ucapan Samad mengenai
dirinya. Ia ingat bahwa laki-laki itu dulu yang mendukungnya untuk menjadi
presiden, dulu ia adalah sahabat yang manis dan dapat diandalkan, siapa tahu
kalau sekarang dia justru menjadi belati yang selalu menusuk dari berbagai
sisi.
Mendengar jawaban Suroso, Samad –di tempat duduknya-, tidak dapat
berkutik. Ia merasa perlu menyampaikan bantahan-bantahan dan bukti-bukti yang
telah dengan susah payah ia kumpulkan tentang kelalaian Suroso kepada para
pejabat negara itu, tetapi dengan pertimbangan bahwa ia mungkin akan
dimentahkan lagi, akhirnya Samad memilih untuk diam. Tersenyum datar,
mengangguk-angguk.
Mengatakan itu semua membuat Suroso merasa haus. Diambilnya sebotol
air mineral yang disuguhkan di depannya. Ia minum beberapa teguk dengan santai.
Orang-orang masih menunggunya berbicara. Beberapa masih terkagum-kagum, baru
menyadari kalau presiden mereka ternyata unik. Dapat mendengar setiap jengkal
perkataan bahkan dalam keadaan tidur lelap.
“Terlepas dari semua itu, penyelidikan harus tetap dilakukan, kita
serahkan saja pada pihak yang berwenang.“ Suroso menunjuk beberapa orang dari
instansi tertentu, “Selain itu kita juga harus memulihkan citra Indonesia yang
sekarang entah berada di titik mana. Maka dari itu, saya sudah meminta Menteri
Luar Negeri untuk berkunjung ke kantor PBB di New York, menemui Mr. Atta
Nouman, membicarakan masalah ini dan sebisa mungkin mengurangi sanksi
internasional yang akan diberikan kepada kita.“ Suroso mencukupkan kalimatnya.
Sidang ditutup. Ruang sidang berubah menjadi gaduh, penuh dengan
orang lalu lalang yang hendak pergi ke luar ruangan. Suroso tetap duduk di
tempat. Masih ada kecurigaan-kecurigaan yang tidak bisa begitu saja dienyahkan.
Masih ada amarah-amarah yang masih mencoba dihilangkan, satu persatu, pelan
pelan.
***
(SUROSO 16) SIDANG
Suroso turun dari pesawat. Beberapa ajudan pengawal presiden sudah
sedari tadi menunggu di Bandara. Semuanya bergegas turun ke lapangan ketika
laki-laki berkacamata tebal itu mulai terlihat di landasan. Suroso berjalan
dengan langkah pelan, tidak tergesa. Beberapa pengawalnya menawarkan agar
presiden yang baru saja pulang dari layatannya ke New York itu beristirahat
sejenak di Istana. Tidur mungkin. Atau pijat jika diperlukan.
Mereka khawatir jika presiden yang usianya tak lagi muda itu akan
kelelahan dan kemudian jatuh sakit. Tentu saja tidak baik membiarkan seorang
kepala negara jatuh sakit bukan?
“Nanti saja. Saya bisa istirahat kapan saja dan di mana saja. Masak
iya, citra negara sedang genting-gentingnya malah saya tinggal istirahat di
istana.“ Suroso seperti biasa, menjawab santai.
Para pengawal mengangguk, mengerti, sekaligus khawatir. Baru kali
ini mereka menemui presiden yang tidak pernah lelah, atau mungkin lebih karena
mereka tidak berkesempatan menemui presiden-presiden lain yang juga tak kalah
tahan bantingnya dibanding Suroso.
Segera setelah melewati jalanan yang sibuk, suasana tengah hari
yang pengap dan memusingkan, Suroso berada di ruang sidang yang penuh dengan
AC. Jajaran menteri sudah lengkap –dengan beberapa yang tidak hadir-, duduk di
kursinya masing-masing. Siap memberikan pendapat-pendapatnya dan saling tuduh
jika memang keadaan memaksa.
Bagaimanapun, dari rentetan peristiwa yang ada, telah lahir
berbagai prasangka-prasangka yang mengarah pada beberapa orang, termasuk kepada
yang tidak bersalah dan bahkan tidak tahu apa-apa.
Suroso membuka sidang. Ruangan itu masih hening. Orang-orang
menunggu kesempatan untuk mengutarakan analisis dan bukti-buktinya. Suroso
memberikan sambutan sebentar lalu menyerahkan kendali sidang kepada Sulastri,
wakilnya.
“Kita akan memulai dari bagaimana kerusuhan itu terjadi. Sesuai
dengan laporan yang telah masuk ... “
Sulastri memulai panjang lebar.
Setelah penjelasannya yang panjang selesai. Ia memberikan
kesempatan kepada menteri-menterinya yang sudah sedari tadi menahan diri untuk
berbicara.
“Ibu wakil presiden.“ salah seorang menteri yang duduk di barisan depan
mengacungkan tangan.
Sulastri mempersilahkan.
“Sejauh yang saya ikuti, situasi di zona X memang semakin meradang
paska jejak pendapat setahun yang lalu. Tetapi semakin ke sini, situasi di
daerah itu semakin memburuk. Bukannya saya berniat menunjuk siapa-siapa. Hanya
saja saya ragu jika para pengungsi itu tidak mendapatkan bisikan-bisikan buruk
dari beberapa pihak.“ ia memulai dengan analisisnya yang berani.
Ia membiarkan orang-orang berbisik-bisik sejenak, lalu melanjutkan
“Saya mengatakan ini bukan karena asal bicara. Ngawur. Dan tidak berdasar.
Tetapi jika Bapak Ibu menteri jeli melihat, mengamati, dan memikirkannya lebih
dalam, tentu Anda sekalian akan merasa ada sesuatu yang tidak beres.“
Semua orang tampak berpikir.
“Bukankah itu artinya Anda menuduh salah satu dari kita adalah
dalang dibalik kerusuhan zona X?“ Menteri yang lain menimpali.
“Mohon maaf Bapak yang saya hormati, saya tidak mengatakannya
demikian. Saya hanya berasumsi bahwa ada bisikan-bisikan. Yang entah bisikan
itu dari mana datangnya.“ segera menteri yang duduk di barisan depan menyahut
cepat.
Seorang menteri yang nampaknya dari tadi ingin berbicara
mengacungkan tangan, ia tidak sabar mengemukakan temuannya, “Saya tidak
membahas bisikan-bisikan. Saya hanya ingin mengutarakan kejanggalan saya.“
Ruang sidang hening, hanya terdengar sedikit suara bisik-bisik di
beberapa sudut.
“Kita tahu bahwa di zona X, kita sudah menempatkan banyak petugas
keamanan, yang tentunya bekerja untuk mengamankan situasi di sana. Bahkan di
sana juga sudah diterapkan jam malam. Lalu kenapa masih saja ada kecolongan
yang bahkan sampai membakar kantor PBB. Saya rasa itu hal sepele yang harus
kita perhatikan. Apalagi, jarak tenda darurat mereka ke kantor itu tidak jauh.
Apa tidak ada antipasi atau memang sengaja dibiarkan“ Menteri itu mengungkapkan
pendapat yang tak kalah tajam.
Yang merasa menjadi sasaran, atau paling tidak merasa instasinya
menjadi sasaran, segera mengacungkan tangan, membela diri.
“Bagaimana bisa Anda berkata demikian Tuan?“ ucapnya mengawali.
“Saya rasa Anda sudah cukup berpengalaman untuk mengetahui bahwa
menghadapi massa yang sedang dalam amarah bukanlah hal mudah. Coba bayangkan
kembali, berapa petugas kita yang ditugaskan di sana dan berapa jumlah massa
yang ikut demo malam itu. Tentu saja jumlah itu tidak seimbang antara satu
dengan lainnya. Kata pembiaran yang Anda lontarkan saya kira sangat tidak pas
diucapkan di sini.“ ia menjelaskan panjang lebar.
Suasana menegang. Semua berkutat dengan analisis masing-masing.
Sulastri sibuk mempersilahkan sana mempersilahkan sini dan menyimak baik-baik
setiap pendapat yang masuk.
Sementara sidang berjalan panas, saling tuduh, saling
mempertahankan, dan saling beradu kebenaran, Suroso justru terlelap dalam
tidurnya. Ia terlampau lelah untuk menyimak yang dibicarakan orang orang-orang
dalam kabinetnya. Lagipula tugasnya untuk membuka sidang sudah terlaksana, dan
sekarang waktu yang tepat untuk beristirahat. Tidur sejenak tentunya tidak
masalah.
“Jika kita mau menarik ulur, berminggu-minggu sebelum kerusuhan itu
terjadi, bukankah keadaan aman-aman saja. Bagaimana bisa tiba-tiba ada asap
mengepul sementara tidak ada api yang membakar sebelumnya.“ menteri pengusung
teori bisikan berbicara lagi. Kali ini ia sangat bersemangat dan menggebu-gebu,
“Kita fair saja, berpikir netral, pasti ada pihak yang menjadi dalang di
balik semua ini. Yang pasti dia bukan orang biasa. Paling tidak dia harus
memiliki akses ke sana dan ke orang-orang dalam. Sekali lagi, saya tidak
menuduh siapapun. Toh saya juga tidak memiliki bukti apapun. Tetapi tidak ada
salahnya jika usulan saya ini ditelusuri lebih jauh, kalau bersih dan tidak
terlibat ya bersih saja. Kecuali memang masih ada sangkut paut, ya ceritanya
lain lagi.“
Samad, si ketua MPR, yang sedari tadi hanya diam menyimak dan
mengamati mulai tergelitik. Ia segera menyahut kalimat menteri terakhir,
“Dari semua yang Bapak-Ibu sekalian kemukakan, saya menarik satu
garis merah. Bahwa semua kejadian ini bukan hanya salah militer yang tidak
bekerja dengan baik, atau tadi kata Bapak Widji membiarkan, bukan juga karena
bisikan-bisikan yang kemudian mempengaruhi para pengungsi itu. Dari sini kita
bisa melihat adanya kinerja Presiden yang tidak dapat berkoordinasi dengan baik
dengan pejabat-pejabatnya. Saya tahu mungkin niatnya baik untuk mengadakan
beberapa kunjungan luar negeri dan memperkuat hubungan bilateral, tetapi bukan
berarti urusan dalam negeri harus terlalaikan, bahkan sampai ada kejadian
seperti di zona X. Saya rasa itu hal yang sanga patut digaris-bawahi dan
ditindaklanjuti.“ Samad ikut angkat suara.
Beberapa anggota sidang itu memang tidak menyukai Suroso, tetapi
tidak ada yang menduga Samad akan mengucapkan kalimat serapi itu untuk menuding
seorang presiden yang bahkan ada di ruangan yang sama dengannya. Bagi orang
yang cukup berperasaan, kalimat-kalimat itu adalah ucapan yang jelas menyakiti
hati.
Ruangan menjadi penuh kasak-kusuk. Suasana sidang menjadi semakin
panas. Entah pada derajat berapa jika diukur menggunakan termometer suhu.
Mungkin akan melebihi suhu badan anak jika sedang demam.
Setelah tidak sampai pada kesepakatan yang bulat, dan semua yang
ingin berbicara telah mendapatkan kesempatannya, Sulastri segera menutup
sidang. Ia mengembalikan pimpinan sidang kepada Suroso yang baru saja bangun
beberapa saat lalu.
***
(SUROSO 15) MELBOURNE
Melbourne masih sibuk seperti biasa. Udara dingin berhembus menusuk
kulit. Menyambut musim gugur yang sebentar lagi tiba. Langit yang luas,
lapangan-lapangan yang ditumbuhi bangunan dengan seni arsitektur tinggi, jalan
raya yang panjang dan berkelok. Semuanya masih sama. Tidak ada yang berubah
sejak terakhir kali Nuha melihat kota ini, sekitar satu bulan yang lalu. Hanya
satu yang kurang. Ucapan selamat datang di Melbourne dari Sander, serta
senyumnya yang manis.
Pertama kali Nuha datang ke kota ini, Sander mengajaknya
berkeliling ke berbagai tempat, mengenalkannya pada bangunan-bangunan megah di
pusat kota dan situs-situs wisata alam jauh di pinggiran kota. Lelaki itu tidak
pernah sedikitpun terlihat jengkel atau kesal bahkan ketika sedang
lelah-lelahnya.
“Apa dia selalu sebaik itu?“ Nuha bergumam pelan. Sekuat hati ia
menahan diri agar tidak menangis. Tetapi seberapa kokohpun pertahanan dirinya,
ia tetap tidak bisa menahan air mata yang merembes keluar. Terlebih melihat
keluarga Sander yang juga banjir air mata, mengitari peti mati yang berbentuk persegi
panjang itu. Nuha paham, seberapapun besarnya ia kehilangan, orang tua Sander
pasti lebih merasa kehilangan dibanding dirinya.
“Tidak seharusnya orang tua melihat kematian anaknya. Tetapi itulah
takdir.“ Nuha bergumam pelan. Lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada
Lindsey dan Aji yang berada di sampingnya. Mereka semua tampak berusaha
terlihat tegar.
Sejurus kemudian, jenazah Sander dan para pelayatnya beriringan
naik mobil. Turun ke jalan hitam beraspal. Melaju dengan kecepatan sedang,
menuju ke sebuah rumah di pinggiran kota Melbourne.
Rumah itu adalah sebuah rumah kecil, dengan taman yang luas di
samping kanan kirinya dan satu gazebo yang terletak dekat kolam ikan koi. Bagi
kota Melbourne yang sudah tersentuh teknologi tinggi, rumah itu adalah anomali.
Berkebalikan antara kemewahan dan kesederhanaan.
Mobil-mobil pengantar jenazah mendarat di halaman rumah kecil itu.
Orang-orang segera disibukkan dengan persiapan pemakaman yang akan dilakukan
esok hari. Keluarga Sander sepakat untuk mengundur pemakaman sampai besok
karena beberapa ritual yang belum mereka lakukan. Mereka juga perlu mencukupkan
rindu sebelum sama sekali tidak bisa melihat wajah anggota keluarga yang sangat
disayangi itu. Sander sangat jarang berada di rumah karena aktivitasnya di luar
yang padat, dan mendapati kepulangannya dalam keadaan seperti ini, adalah hal
yang memilukan bagi keluarganya.
Malam hari berlalu dengan hawa-hawa kesedihan yang masih sangat
sulit diuapkan. Untuk beberapa saat, rasa kehilangan itu bisa terlupakan dengan
pembicaraan panjang mengenai Sander semasa hidup. Kegiatannya di luar.
Kelucuannya sewaktu anak-anak. Dan hal-hal yang disukainya. Membicarakan itu
semua membuat mereka merasa bahwa Sander masih hidup dan dapat diingat dengan
baik. Tetapi setelahnya, yang ada justru kenangan yang membuat rindu semakin
membara.
Pagi hari, setelah semua tidak dapat tidur semalam suntuk, keluarga
Sander yang berpakaian serba hitam dan beberapa kenalan Sander semasa hidup
berkumpul di makam tak jauh dari rumah. Mereka berdiri mengelilingi sebuah peti
berwarna coklat kayu yang diplitur. Beberapa mengenakan kacamata hitam besar.
Barangkali untuk penutup agar mata mereka yang membengkak tidak terlihat oleh
orang lain.
Orang-orang masih berdiri dengan syahdu ketika tiba-tiba seorang
pemuda datang, berbisik-bisik kepada orang tua Sander, dan kemudian bergegas
duduk di samping peti jenazah. Dengan dibantu ayah Sander, ia membuka tutup
peti itu. Ia hening sejenak, menutup matanya dalam-dalam dan terlihat menahan
tangis.
Dari tempat Nuha berdiri, sekilas terlihat wajah Sander yang damai.
Laki-laki itu selalu terlihat baik berada di dalam setelan jas seperti yang ia
kenakan saat ini, dengan sepatu hitam yang bersih dan sarung tangan putih. Setelah
cukup memandangi wajah Sander, laki-laki yang baru datang tadi berdiri. Peti
sudah ditutup kembali. Upacara pemakaman segera dimulai dengan khidmat.
Orang-orang tampak merunduk dan berdoa.
***
(SUROSO 14) TENTANG SANDER
Siangnya. Pada hari itu juga –beberapa jam setelah kerusuhan
terjadi–, sesudah memastikan bahwa keadaan cukup aman untuk pergi, beberapa
tentara mengantarkan para jurnalis itu kembali ke Dili. Mereka tidak lagi
diangkut menggunakan mobil pick up seperti ketika mereka berangkat
kemarin. Saat ini mereka naik mobil ambulan, beserta 3 jenazah pekerja UNHCR
dan jenzah Sander yang akan segera diterbangkan ke negara masing-masing.
Sementara 7 jenazah lainnya, yang juga menjadi korban kerusuhan, disemayamkan
di kampung halaman mereka, zona X.
Dalam perjalanan, Nuha tidak mengucapkan sepatah katapun. Ia enggan
berbicara. Ia hanya memandang keluar jendela mobil. Melihat ilalang yang
meninggi, dan hamparan laut yang membiru. Syahdu tapi bisu. Indah tapi tak
dapat diajak bercengkrama dan tertawa.
Sekilas, Nuha melihat gereja Katholik Roma di persimpangan jalan.
Nampak bersahaja dari kejauhan. Nuha tersenyum, tetapi beberapa tetes air mata
mengalir dari kedua kelopaknya. Nuha masih ingat, selama berada di Dili, Sander
giat mengunjungi gereja itu tiap-tiap minggu atau setiap kali merasa tidak
tenang. Sander adalah seorang Katholik yang taat. Seseorang yang toleran dan
tidak pernah memaksakan kebenarannya sendiri.
Nuha menyeka air matanya, ia mengalihkan pandangannya. Menguatkan
hatinya. Dan tersenyum untuk alasan-alasan tertentu agar luka di dalam dirinya
tak terlalu mencuat. Samar-samar, pada jarak yang cukup jauh, ia mulai melihat
kamp darurat tentara yang sudah akrab baginya.
Beberapa jam berikutnya, tidak ada lagi kamp-kamp yang terlihat. Nuha,
Lindsey, dan Aji sudah berada di dalam pesawat. Terbang menuju Melbourne untuk
mengantar jenazah Sander. Jenazah itu berada di dalam peti, di bagian lain
pesawat, dan akan dimakamkan di kampung halaman Sander.
“Sander orang baik. Tak menyangka akan secepat ini.“ Aji menoleh ke
arah Nuha yang tengah sibuk memandang ke luar jendela.
Nuha mengangguk, ia hening sejenak, “Orang baik memang biasanya
cepat berpulang.“ ia menoleh ke arah Aji. Tersenyum.
Aji ikut tersenyum.
***
(SUROSO 13) SETIAP YANG BERNYAWA AKAN TIADA
Zona X masih berkabung. Kantor cabang PBB yang terbakar masih
mengepulkan asap samar-samar. Sudah mendekati waktu subuh tetapi tidak ada yang
kembali terlelap meski kantuk mendera. Sementara para anggota keamanan sedang
berpatroli keliling, Nuha dan rekan-rekan jurnalisnya tetap berada di kamp
darurat. Mereka tak diperbolehkan kemanapun sampai situasi aman, terutama yang
bertampang bule. Lindsey sempat menolak untuk tinggal di kamp, tetapi dia tetap
tidak bisa pergi kemanapun.
Bagaimanapun, menurut Lindsey, sudah pekerjaan jurnalis untuk
menerima segala resiko yang ada di lapangan. Termasuk jika ada kecelakaan yang
kemudian mengancam jiwa, seperti halnya yang dialami Sander.
“Seharusnya aku sudah di lapangan.“ gerutunya dalam inggris yang
kental.
“Sudahlah Lindsey. Stay put. Kita cuma satu punya nyawa dan tidak
bijak menggunkannya sembarangan. Saya tidak mau kejadian yang menimpa Sander
terjadi padamu juga. I beg you. Please.“ Nuha berkata dingin. Dia duduk di
antara rekan-rekannya.
Nuha masih sangat terpukul atas kematian Sander. Baru kemarin dia
berbicara dengan Sander, melihat setiap tingkah polahnya yang kadang-kang
membuat perut geli, dan berbagi banyak hal tentang kehidupan yang meresahkan.
Baru tadi malam juga, ia melihat laki-laki itu tersenyum dan berkata akan
segera kembali, tetapi pagi ini Sander telah pergi begitu saja. Meninggalkan
luka. Nuha masih sangat tidak percaya bahwa orang terdekatnya itu sudah tidak
dapat lagi dijumpainya.
Nuha memang mengerti bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati,
tetapi ia tidak pernah bisa mengerti jikalau kematian aka selalu sesakit itu. Tidak
peduli seberapa kalipun mengalaminya. Tidak peduli betapapun pasrah atau
siapnya. Kematian selalu meninggalkan luka yang dalam dan rindu yang tak pernah
bisa diobati.
“I am begging, Lindsey.“ Nuha berujar lagi. Pelan, tapi dalam.
Sesekali air matanya jatuh dan segera diusapnya.
Lindsey tidak berkata apa-apa lagi. Perempuan berambut blonde itu
tidak ingin ada perdebatan antara dirinya dan Nuha. Selain itu, yang diucapkan
Nuha tidak sepenuhnya salah meski cukup berlawanan dengan keinginannya.
Dalam waktu menunggu yang sama sekali tidak menyenangkan itu,
mereka akhirnya memutuskan untuk berbagi informasi yang telah mereka dapatkan
tentang perkembangan perkara. Mereka sepakat untuk tidak membicarkan tentang
Sander. Akan terlalu menyakitkan dan membuat trauma. Sepertinya memang lebih
baik jika mereka hanya menyimpan rasa kehilangan itu di hati mereka
masing-masing. Karena tidak baik terlihat lemah. Tidak baik terlihat rapuh,
meski sebenarnya hati sedang patah-patahnya.
“Baiklah. Kita sepakat menulis ini untuk dijadikan berita di media
kita masing-masing. Secara jujur dan apa adanya. Kita patut membiarkan dunia
tahu apa yang sebenarnya terjadi.“ Aji menegaskan di akhir diskusi mereka.
Semuanya
mengangguk. Sepakat.
***
(SUROSO 12) MENGHADAPI SITUASI GENTING
Setelah sholat isya dan berwirid sebentar, Malik menemui Suroso di
kamarnya. Ia mendapati lelaki tua yang sekaligus sahabatnya itu tengah bersujud
di lantai, menghadap kiblat. Ia memutuskan untuk menunggu di kursi yang ada di
dalam kamar Suroso, cukup lama sampai Suroso bangun dari sujudnya.
“Saya sengaja membuka pintu pelan-pelan dan duduk pelan-pelan agar
tidak membangunkan Anda dari munajat. “ ucap Malik ketika Suroso sudah selesai
dengan ritualnya.
Suroso tersenyum, “Seharusnya Anda langsung membangunkan saya tadi.“
“Ah, saya tidak suka mengganggu ketentraman orang yang sedang
susah“ Malik menyahut cepat.
Suroso tertawa, Suroso dan Malik sudah terbiasa dengan
gurauan-gurauan sarkasme semasa mereka muda, dan kebiasaan ini berlanjut sampai
sekarang ketika mereka hanya duduk berdua saja.
“Sepertinya Anda berniat kembali ke Jakarta malam ini“ Malik mulai
berbicara seirus.
Suroso berdiri, berjalan menuju tempat duduk di depan Malik,
“Seperti yang Anda ketahui, saya harus ke Jakarta untuk memimpin sidang. Kasus
Zona X harus segera ditangani, membiarkannya terlalu lama akan menjadi borok
yang semakin membusuk. Dan Anda tahu apa yang harus Anda lakukan“ Suroso kini
duduk. Sebagai orang yang sudah dikenalnya lama, Suroso selalu mempercayai
Malik dan memang sangat percaya diri bahwa Malik mengerti tugasnya tanpa harus
dijelaskan panjang lebar.
“Baiklah. Sepertinya Anda berniat meninggalkan saya di sini. Kalau
begitu saya akan menemui Atta Nouman. Beliau nampaknya sangat geram dengan
kematian 3 pekerjanya. Sangat disesalkan bahwa dari informasi yang saya
dapatkan, militer kita mungkin saja terlibat di dalamnya. Tetapi belum ada
bukti kuat dan saya tidak bisa dengan serta merta menuduh.“ jawab Malik, “Entah
kenapa membicarakan ini membuat saya begitu haus.“ dia tertawa, mengambil
minuman kaleng yang disuguhkan di meja.
“Sejak kapan orang haus minum minuman kaleng?“ Suroso mengejek. Dia
tahu Malik tidak pernah suka meminum sesuatu yang berada dalam kemasan.
“Anda tidak menyuguhkan apapun
selain minuman ini di meja.“
Dua lelaki sebaya itu tertawa
bersamaan, setidaknya membicarakan situasi genting dengan suasana yang santai
akan membuat otak lebih mudah berpikir, itu menurut mereka.
“Saya punya bukti dan cukup mengerti mengapa mereka melakukan
tindakan keji ini. Tetapi tetap saja, tidak akan mudah mengadili orang-orang
yang secara hakikat kebal dari hukum. Sekuat apapun saya mencoba mengurangi
kekuasaan militer yang melampaui batas, usaha itu tetap tidak akan menghasilkan
produk yang instan. Perlu proses yang tidak sebentar untuk menghilangkan budaya
lama yang mengakar.“ Suroso kembali pada topik yang sedang dibicarakan.
Malik mengiyakan ucapan Suroso, ia mengerti bukti apa yang dimiliki
lawan bicaranya itu, dan memang tidak akan mudah melawan dominasi militer yang
terlalu kuat. Mereka terlanjur di-anak-emas-kan dan diagungkan di generasi
sebelumnya, dan serangan-serangan Suroso untuk melemahkan kekuatan mereka
adalah ancaman yang bagi para anak emas itu cukup berarti.
“Mungkin Anda tidak seharusnya berlaku terlalu keras kepada mereka
Gus. Sejauh yang saya ketahui tentang hukum Newton III, setiap aksi akan
melahirkan reaksi. Dan aksi Anda menekan kekuasaan mereka menimbulkan reaksi
yang sangat tidak menguntungkan bagi Anda. Selain itu, Anda juga tahu, semakin
Anda bertindak tegas kepada banyak pihak, maka musuh Anda juga akan bertambah
setiap saatnya. Saya tahu Anda tidak bisa berkompromi dengan prinsip Anda.
Kejujuran, keadilan, dan keterbukaan itu yang ingin Anda tegakkan, tetapi
langkah ke sana membuat Anda semakin dimusuhi“ Malik mengutarakan analisanya
yang selama ini hanya dia pendam, ia menunggu waktu yang tepat untuk bicara “dan
saya rasa kita tidak boleh melupakan satu hal, kerusuhan di Zona X mungkin saja
masih ada kaitannya dengan Thomas.“ lanjutnya.
Suroso manggut-manggut. Ia sangat menyadari posisinya.
Terkadang Suroso memang terlalu optimis dengan tindakannya sehingga berpikiran
akan selalu dapat lolos dari setiap permasalahan yang melilit. Tetapi masalah
tetap saja masalah, dalam skala luas dan papan politik seperti ini, masalah
bisa saja memakan korban, dan berakhir sangat menyakitkan. Namun demikianlah
Suroso, ia akan mengambil segala resiko yang ada untuk menegakkan apa yang
diyakininya benar, utamanya untuk membela kemanusiaan.
“Saya memahami itu Mas, kadang-kadang langkah saya terlalu berani.
Tetapi untuk sampai pada perubahan besar, kita memang harus melakukan hal-hal
besar yang terkadang sulit diterima. Saya paham betul itu. Tetapi jika Mas
Malik dengan halus meminta saya untuk mengeluarkan perintah pemberhentian penyelidikan
kasus korupsi Thomas, saya tidak bisa. Sebenarnya saya sudah mendengar
informasi bahwa Thomas berada di balik semua ini. Ada banyak yang mengatakan
bahwa usaha kita menyelidiki kekayaannya adalah alasan Thomas mengadakan
serangan balik. Tetapi biarpun itu yang terjadi, saya tidak akan mengeluarkan
perintah untuk membatalkan penyelidikannya. Jika demikian yang saya lakukan, di
mana letak keadilan negara ini.“ Suroso nampak kukuh, ucapannya menegaskan
bahwa ia sangat teguh pendirian, tetapi dalam hati ia mulai mempertimbangkan
ulang keputusannya.
“Memenjarakan Thomas sama artinya mengorbankan lebih banyak lagi
orang yang tidak bersalah Gus.“ Malik diam sejenak. Ia tahu tidak mudah merubah
pendirian seseorang, “Baiklah.“ lanjutnya.
“Anda bisa tetap melanjutkan kasus Thomas dan menunggu teror-teror
berikutnya. Itu sepenuhnya keputusan Anda. Kecuali jika Anda memiliki cara lain
untuk mencegah hal-hal itu terjadi.“ Thomas menatap serius ke arah Suroso.
Suroso tampak berpikir. Ia diam untuk beberapa saat.
“Tak mudah memutuskan. Ini simalakama. Maju kena mundur kena.
Tetapi pasti ada pilihan yang akan menyebabkan kerugian lebih sedikit. Aku akan
mempertimbangkannya lagi.“
Malik mengangguk, “Itu yang saya harapkan.“ ia meminum lagi minuman
kalengnya.
Terdengar suara ketukan di pintu.
“Tampaknya itu Narendra.“ Malik menoleh ke arah pintu.
“Masuk saja.“ Suroso berucap agak keras.
Narendra tampak membuka pintu. Ia masih dalam setelan kemeja merah
dan celana hitam pekatnya. Dengan langkah santai tapi tegas ia mendekat ke
tempat Suroso dan Malik duduk.
“Saya mendapatkan dua tiket ke Jakarta Gus. Penerbangan jam 1 malam
ini. Apakah itu baik? jika terlalu malam dan Anda butuh istirahat, saya bisa
menggantinya dengan penerbangan selanjutnya.“
“Duduklah dulu. Itu di samping Menlu ada tempat longgar“ Suroso
menyahut. Ia diam sejenak untuk menunggu Narendra duduk, “Tidak masalah.
Terbang jam berapapun sama saja. Nanti saya bisa tidur di pesawat. Yang penting
harus cepat sampai Jakarta.“ lanjutnya.
“Baiklah Gus. Apa ada yang bisa saya bantu dengan mengemas
barang-barang Anda?“ Narendra kembali menawarkan bantuan.
Suroso menggeleng pelan. Ia mengatakan bahwa semuanya sudah siap,
tinggal berangkat.
“Jika demikian, saya akan memberitahu Mr. Ferdinand untuk
pemberangkatannya.“
Narendra bergegas undur diri. Ia keluar dan menuju kamar Ferdinand,
memberitahukan apa yang seharusnya ia beritahukan.
Tidak lama kemudian, Malik juga keluar dari kamar Suroso dengan
menggenggam sebuah kertas putih bertulisan tangan yang dilipat sedemikian rupa.
“Formalkan sedikit. Lalu sampaikan ini kepada Beliau.“ kalimat itu
terngiang-ngiang di telinga Malik, Suroso mengatakannya dengan sangat halus dan
tersenyum. Tetapi Malik sudah sangat mengenal Suroso. Dia bisa mengerti kapan
Suroso sedang dalam keadaan tidak baik dan kapan Suroso sedang bahagia. Malik
lebih dari sekedar bisa untuk mengenali raut datar Suroso ketika dalam keadaan
tertekan, seperti sekarang ini misalnya, meski suasana hati yang kalut itu
gigih sekali disembunyikan.
“Baiklah. Aku akan mengusahakan yang terbaik.“ Malik tersenyum.
Masih optimis dan ceria seperti biasa.
***