(SUROSO 18) PADA SUATU SORE

Di kota Melbourne yang padat. Di bawah arakan awan yang beriringan ke ufuk. Nuha duduk menepi di sebuah kuburan yang baru tadi pagi digali. Bunga-bunga di atas tanahnya masih segar dan menimbulkan harum semerbak. Ia merunduk dalam. Mengucapkan doa-doa yang tidak dapat didengar. Hanya mulut yang berkomat-kamit. Disertai air mata yang menetes pelan.
Ia khusuk. Mengabaikan burung-burung yang bermigrasi entah ke mana. Mengabaikan daun-daun yang menari ditiup angin tak jauh darinya. Ia benar-benar khusuk. Mengucapkan salam perpisahan yang mungkin bukan untuk terakhir kalinya, tetapi sepertinya akan lama ia tidak kembali ke sini.
“Belum selesai?“ terdengar suara laki-laki. Nuha asing dengan suara itu, ia menyeka air mata sejenak lalu menoleh ke belakang.
Seorang lelaki berdiri tepat di belakangnya. Tersenyum.
“Sepertinya tidak hanya saya yang masih merasa berat dengan kepergian Sander.“ laki-laki itu berucap.  
Nuha mengabaikan pertanyaan itu. Ia mengambil nafas dalam. Berdiri. Untuk beberapa saat memandangi langit. Barangkali mengadukan perasaannya. Ia kemudian berbalik arah. Dilihatnya lelaki itu lagi.
“Anda orang itu bukan? Yang membuka peti jenazah sesaat sebelum upacara pemakaman dimulai.“ ia berkata datar.
Lelaki itu mengangguk, “Tidak salah.“
“Sepertinya Anda dekat dengan Sander.“ lelaki itu melanjutkan.
“Bukan sesuatu yang penting untuk Anda ketahui.“ Nuha melangkah.
“Sebagai orang dekat Sander, aku mungkin perlu mengetahuinya juga.“ Lelaki itu mengejar.
“Apa pentingnya?“ Nuha sama sekali tak menoleh. Ia terus berjalan. Lurus ke depan.
“Sangat penting jika kau mau menjawabnya.“
Nuha hening. Tidak ada jawaban.
“Bagaimana?“
Nuha masih tak bergeming.
Lelaki itu berjalan beberapa langkah lebih cepat, ia sekarang berdiri di depan Nuha, tepatnya beberapa senti saja di depan Nuha, ditatapnya perempuan itu, “Bagaimana?“ ia mengejar lagi.
Nuha mendongak. Lelaki itu memang cukup tinggi.
“Kau orang Indonesia juga? Bahasamu fasih dan wajahmu khas pribumi.“ Nuha menimpali.
“Apakah itu artinya iya?“
Nuha tak menjawab. Ia berjalan. Menjauh dari komplek pemakaman.
Laki-laki tadi tetap membuntuti di belakangnya.
“Namaku Narendra. Sander sering menyebut kata Nuha dalam surat-suratnya kepadaku. Sander juga mengatakan kepadaku beberapa hal yang menurutnya janggal, dan dia tidak mengatakan kejanggalan-kejanggalan itu kepada siapapun, kecuali aku. Setidaknya itu yang dia ditulis dalam suratnya. Jadi, kurasa kita bisa bersama-sama mencari benang merah dari kejadian-kejadian di Zona X, yang mungkin ada kaitannya dengan percaturan politik negeri kita. Atau mungkin juga tidak. Yaa.. hanya jika kau mau“ ia terus saja berkata-kata meski tak didengar. Disejajarkannya langkah kaki yang sebenarnya lebar dengan langkah kaki Nuha.
Nuha masih abai. Ia terus berjalan. Berpura-pura sama sekali tak mendengar. Namun dalam diamnya, ia mulai berpikir untuk mengatakan sepakat. Pikiran logisnya memang bertanya-tanya, apakah laki-laki yang mengaku bernama Narendra itu dapat ia percaya. Nuha bahkan baru melihatnya dua kali ini. Di pemakaman tadi pagi. Dan sore ini.
Tetapi tawaran yang dia berikan sepertinya tidak bisa diabaikan begitu saja. Apalagi itu berkaitan dengan Sander.
“Anda pasti merasa tidak nyaman saya buntuti seperti ini.“
Mendengar itu Nuha berhenti sejenak, ia pasang wajah sengak, dipandangnya Narendra dengan tatapan tajam, mengisyaratkan –kalau tahu kenapa tidak pergi dari tadi?–.
Nuha kembali berjalan.
“Saya tidak melakukan ini karena saya ingin. Dalam surat terakhirnya, di akhir Agustus lalu, dia meminta saya menemui Anda jika sesuatu terjadi. Sepertinya dari awal Sander memang sudah mempunyai firasat. Dan saya tidak bisa mengabaikan pesannya begitu saja.“
Nuha menoleh.
“Jika memang demikian,“ kalimatnya menggantung, “Mari kita bekerjasama. Saya tidak tahu apakah saya harus mempercayai Anda atau tidak. Tetapi mari kita saling bertukar informasi yang berguna.“ ucapnya kemudian.
Narendra tersenyum. Mengangguk.
“Sebagaimana Anda tahu saya adalah Nuha, maka Anda pasti akan bisa menemukan bagaimana cara menghubungi saya lagi setelah ini. Saya pamit. Jangan ikuti lagi.“ Nuha mulai berjalan. Menjauh. Menuju sebuah rumah sederhana.
Ia mengemas beberapa perlengkapan. Berpamitan kepada keluarga Sander dan Lindsey yang melepasnya dengan pelukan dan air mata. Sejurus kemudian ia telah berada di dalam sebuah mobil yang melaju cepat menuju Bandara.
Nuha mengudara. Masih duduk di sebelah jendela. Memandang keluar. Melihat awan. Melihat cakrawala dengan cara sedikit berbeda. Ia pulang. Kembali ke tanah air yang dicintainya.


***

0 comments:

Post a Comment