Zona X
Hari telah petang ketika Nuha dan beberapa jurnalis Reuters tiba di
Dili. Mereka beristirahat sejenak sebelum kembali melanjutkan perjalanan ke
Zona X, tempat yang mereka tuju untuk meliput berita perkembangan situasi
daerah konflik. Selama berada dalam tugas, para jurnalis itu akan sering
melakukan perjalanan Dili–Zona X karena mereka hanya diizinkan maksimal 3 hari
untuk berada di Zona X dengan alasan keamanan.
“Rasanya lapar sekali“ Nuha berbicara pelan, ia memegangi perutnya,
dan mengernyitkan alis kanannya. Nuha bahkan belum sempat memakan nasi sejak
berangkat dari Jakarta. Dan di Dili, dia tidak akan mendapatkan dengan mudah,
Markas TNI hanya menyediakan makanan yang terbatas.
“Did you say something?“ tanya Sander Diego yang duduk di samping
Nuha. Dia menoleh ke arah Nuha yang duduk tepat di sampingnya. Sander Diego
adalah rekan kerja Nuha di The Age, sebuah media informasi milik
Australia. Pemuda itu tiga tahun lebih tua dari Nuha dan agak melankolis
kadang-kadang. Ia cukup fasih berbahasa Indonesia, karena dalam satu tahun
terakhir, ia banyak menghabiskan waktunya untuk berada di daerah konflik
bersama Nuha dan jurnalis lainnya yang berasal dari Indonesia.
“ah! No. Nothing“ Nuha tersenyum, ia tidak berniat membuat siapapun
khawatir.
“You look pale anyway, you really okay?“ .
“I am totally fine Sander!“ sahut Nuha cepat.
“Well.“, Sander menarik nafas dalam dan menghembuskan karbonnya perlahan
melalui mulut, “I hope they will give us food. I am starving“ ia memandang ke tentara
yang sedang berjaga di camp, mondar-mandir dengan kesibukan yang entah
apa.
“They will. Just wait.“ Nuha tersenyum, menghibur. “Saya sholat
Isya` dulu. Takut tidak sempat“ ia beranjak, menuju ke sebuah tenda yang
diperuntukkan sebagai tempat tidur bagi siapa saja yang bergender perempuan.
“I thought you are on the rag!“ ujar Sander keras-keras. Ia segera
meringis ketika Nuha yang telah berjalan beberapa langkah menoleh ke arahnya. Perempuan
yang mengenakan baju casual abu-abu itu mengerutkan kedua alisnya, menatap
tajam Sander.
“Maaf. Karena tadi kamu tidak sholat maghrib, jadi..“ ujar Sander
pelan, ia menggaruk-garuk rambut kepalanya.
“Sudahlah. Kamu juga tidak akan mengerti jika saya menjelaskan
tentang Sholat Jamak[1]“
Nuha melanjutkan langkahnya.
“Sure!“ Sander menggumam kepada dirinya sendiri. Ia melihat
punggung Nuha yang segera hilang di balik kain tenda.
“Boy! Sudah hilang orangnya. Tidak usah memandangi tenda
seakan-akan itu Nuha.“ Aji menepuk pundak Sander. Ia tertawa meledek, “Kalau
kau menikahi dia, kau akan jadi mantu presiden!“ pemuda asal Solo itu kembali
tertawa.
“Saya dan Nuha berteman“, tukas Sander dengan aksen Australia yang
kental, “Dan saya tahu batasanku.“ imbuhnya.
Dua pemuda itu kemudian
tenggelam dalam pembicaraan yang panjang. Aji, yang bernama lengkap Aji Dharma,
menceritakan perjuangannya selama menjadi aktivis di era orde baru. Susah senangnya
menghadapi pemerintahan yang sangat menekan dan hubungannya yang erat dengan
rekan-rekan sesama aktivis. Ia juga menceritakan persinggungannya dengan Nuha
dalam beberapa kegiatan sosial.
“Nuha adalah sosok yang sederhana meskipun berasal dari keluarga
yang –kau tahu-, terpandang. Hampir semua orang di negara kami tahu siapa
ayahnya dan dia juga berdarah biru dalam hirarki pesantren. Tetapi dia tidak
pernah menunjukkan atribut kedarah-biruan atau posisi anak orang penting kepada
teman-temannya.“ Aji menghentikan ucapannya, ia menoleh ke arah Sander yang
tampak memicingkan mata, “kau mengerti apa yang aku katakan kan Sander?“ ia
memastikan.
Sander mengangguk, “Ada beberapa kata asing, tapi saya bisa menarik
garis besarnya.“ Sander meringis, “What do you mean by Hampir?“ ia bertanya.
“Hampir“ Aji memberi jeda pada kalimatnya, “Almost of all people,
means not all“ lanjutnya.
“I know Aji!“ Sander menyanggah cepat, “yang saya tanyakan bukan arti
hampir, tetapi bagaimana bisa kamu mengatakan ada orang Indonesia yang tidak
tahu siapa Ayah Nuha. Bagaimana rakyat tidak mengetahui presidennya? Imbuhnya.
“Oh!“ Aji tertawa, “Aku tahu maksudmu.“ ia menepuk-nepuk bahu
Sander.
“Bisa saja ada yang tidak tahu siapa itu Bapak Suroso. Misalnya
orang-orang di perbatasan, atau orang-orang konservatif di tengah hutan.“ Aji
menjelaskan maksudnya.
“Ada yang menyebut nama Bapakku?“ sela Nuha. Sander dan Aji tidak
menyadari kedatangan gadis yang dibalut kerudung biru tua itu karena terlalu
asyik dengan apa yang mereka bicarakan, “The Army told us to eat. Dan
setelahnya kita akan meluncur ke Zona X. Go ahead!“ Nuha segera berlalu tanpa
ingin mendengar jawaban apapun dari Sander dan Aji. Ia berjalan ke arah rekan
jurnalisnya yang lain dan memberitahukan hal serupa.
Ada sekitar 15 orang jurnalis yang saat ini berada di Dili, tetapi
hanya 4 orang yang berasal dari Indonesia. Tidak semua jurnalis yang memiliki
identitas dapat meliput berita terkait zona X, mereka harus memiliki izin
khusus yang sangat sulit diurus, dan lebih sulit lagi didapatkan meski telah
diurus.
Suasana makan malam sangat khidmat. Karena lapar yang sudah tak
tertahan, mereka tak sempat lagi membincangkan sesuatu di sela-sela kunyahan.
Benar kata pepatah, apapun menjadi lezat ketika perut sedang dalam keadaan
keroncongan, bahkan jika makanan yang ada hanya nasi putih dan ikan asin
sekalipun.
Usai makan malam, lima dari lima-belas jurnalis diangkut
menggunakan mobil pick-up menuju Zona X. Setiap pemberangkatan, pihak
keamanan hanya mengizinkan 5 orang jurnalis untuk ikut.
“Lebih sedikit lebih mudah dilindungi.“ begitu kata mereka di hari
pertama para jurnalis itu datang.
Mobil melaju cepat, menyusuri jalanan perbatasan, melewati hamparan
sawah yang hanya terlihat gelap dan tak bergairah, serta lautan yang
memantulkan sinar dari benda-benda di angkasa.
Hawa dingin begitu menusuk tulang, tetapi ada kebersamaan yang
membuat rasa dingin itu menjadi hangat. Nuha berdampingan dengan Lindsey Noah,
rekannya di The Age, duduk di pojok depan samping kanan bagian belakang pick
up. Sementara itu, Aji Dharma, Sander Diego, dan satu jurnalis lainnya
duduk memencar.
Mereka tak saling bicara, hanya menikmati suguhan pemandangan malam
yang ada. Sesekali Aji, yang sesungguhnya paling tidak bisa diam, melemparkan
guyonan-guyonan segar yang sayangnya tetap terdengar garing. Tetapi justru
garing itu yang membuat mereka tertawa.
“Selalu kamu Ji!“ sergah Lindsey sekali waktu.
“Don`t be like that Miss Linduu“ tukas Aji. Dan mendengar itu
mereka akan tertawa lagi.
***
0 comments:
Post a Comment