Sore yang hangat. Bangunan peninggalan Belanda yang dingin.
Pantulan sinar matahari di beberapa sisi dan orang-orang berseragam hitam yang
kaku. Semuanya terasa akrab. Begitu juga dengan tirai-tirainya yang berwarna
ungu tua. Benar-benar terasa akrab.
Semuanya seperti sebuah waktu di masa lalu yang terulang kembali.
De javu yang menyenangkan. Dalam pengulangan itu, Nuha berjalan menyusuri ruang
depan yang luas. Ia sangat lelah. Dan sangat rindu. Pada semua yang ada di
dalam gedung bercat putih.
Beberapa hari ini ia telah melewati banyak hal. Kehilangan
seseorang. Dan menyaksikan kekisruhan yang sama sekali tidak diharapkannya.
Semua itu benar-benar tidak mudah bagi jiwa perempuannya, yang cenderung
mencintai perdamaian. Lagipula, siapa juga yang mencintai pertikaian. Tidak ada
kenyamanan di sana. Kecuali orang-orang yang memang menyalahi kodratnya.
Nuha berjalan lambat. Ia menikmati setiap perasaan yang menyelimuti
ketika melewati ubin-ubin besar dan benda-benda yang sudah sering dilihatnya. Langkahnya
kemudian terhenti di depan sebuah pintu.
Pintu itu mengarah ke sebuah kamar yang jendelanya terbuka. Dari
tempat Nuha berdiri, tampak seorang perempuan duduk di atas kursi goyang, di
sampingnya terdapat secangkir teh yang masih mengepulkan asap.
Perempuan itu menoleh, tersenyum. Nuha ikut tersenyum. Hangat.
“Sudah pulang?“
Tanpa merasa perlu menjawab, Nuha segera berlari ke arah perempuan
itu. Nuha menciuminya dan memeluknya erat.
“Betapa saya merindukan Ibuk.“ ucapnya masih dalam pelukan.
“Saya lebih merindukanmu Nduk.“ perempuan itu membelai pelan
punggung Nuha.
Nuha melepas pelukannya.
“Sepertinya putriku jadi lebih kurus.“ Diah memandangi Nuha, “Ibuk
akan senang jika kamu pergi ke kamar mandi. Menyegarkan tubuh, lalu bergabung
dengan kami di meja makan.“ imbuhnya.
Nuha mengangguk.
“Bapak sudah pulang?“ ujarnya.
Diah tersenyum, mengangguk, “Sudah. Dua hari yang lalu Bapakmu
sudah pulang ke sini. Dia juga merindukanmu.“
Nuha menggigit bibirnya, lalu tersenyum.
“Bagaimana dengan Najib? Dia pasti kesepian selama aku tidak di
rumah.“
“Dia menemukan kesibukan baru yang membuatya tidak sempat merasa
kesepian. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.“
Terdengar suara tawa beriringan.
“Baiklah.“ ucap Nuha sumringah, “Kalau begitu saya akan mandi dan
segera menyusul ke meja makan.“ ia mencium ibunya sekali lagi. Lalu undur
diri menuju kamar.
Nuha berjalan keluar kamar. Ritme langkahnya lebih cepat dari
sebelumnya. Melewati lorong-lorong yang hening.
Ia memandangi beberapa foto pajangan di dinding. Foto keluarganya
nampak serasi dan enak dipandang. Foto Bapaknya yang berada di dalam setelan
jas hitam dan kemeja putih, dengan kopyah hitam, tampak membanggakan. Tetapi
melihat foto itu, membuat hatinya perih.
Nuha menggigit bibirnya. Ia sering melakukan itu ketika sedang menghawatirkan
suatu hal. Begitu tiba di kamar, ia langsung menghempaskan tubuhnya ke atas
kasur. Telentang. Memandangi langit-langit kamarnya yang pucat.
“Bagaimana di sana Sander? Sepertinya kamu sudah cukup bahagia
dengan tempatmu sekarang. Seharusnya aku dapat mencegahmu pergi hari itu.“ Nuha
menggumam.
Beberapa saat lamanya ia merenung. Setengah menikmati posisi
telentan yang membuat tulang punggungnya nyaman, dan setengah lagi karena rasa
hampa yang membuatnya kosong.
“Tunggu!“ Nuha beranjak. Ia bangun dari telentangnya. Dengan
tergesa menuju rak buku yang terletak di sudut kamar. Disibaknya buku-buku yang
berjajar. Pandangannya jatuh pada buku bersampul hitam kecoklatan karangan
Harry A. Poeze, judul buku yang ditulis dengan huruf balok berwarna merah tebal
membuat siapapun tau bahwa itu buku berat. Bukan massanya. Tetapi isinya.
Ia mengambilnya, membolak-balik beberapa halaman awal. Ia
menemukan
***
0 comments:
Post a Comment