(SUROSO 19) KELUARGA

Sore yang hangat. Bangunan peninggalan Belanda yang dingin. Pantulan sinar matahari di beberapa sisi dan orang-orang berseragam hitam yang kaku. Semuanya terasa akrab. Begitu juga dengan tirai-tirainya yang berwarna ungu tua. Benar-benar terasa akrab.
Semuanya seperti sebuah waktu di masa lalu yang terulang kembali. De javu yang menyenangkan. Dalam pengulangan itu, Nuha berjalan menyusuri ruang depan yang luas. Ia sangat lelah. Dan sangat rindu. Pada semua yang ada di dalam gedung bercat putih.
Beberapa hari ini ia telah melewati banyak hal. Kehilangan seseorang. Dan menyaksikan kekisruhan yang sama sekali tidak diharapkannya. Semua itu benar-benar tidak mudah bagi jiwa perempuannya, yang cenderung mencintai perdamaian. Lagipula, siapa juga yang mencintai pertikaian. Tidak ada kenyamanan di sana. Kecuali orang-orang yang memang menyalahi kodratnya.
Nuha berjalan lambat. Ia menikmati setiap perasaan yang menyelimuti ketika melewati ubin-ubin besar dan benda-benda yang sudah sering dilihatnya. Langkahnya kemudian terhenti di depan sebuah pintu.
Pintu itu mengarah ke sebuah kamar yang jendelanya terbuka. Dari tempat Nuha berdiri, tampak seorang perempuan duduk di atas kursi goyang, di sampingnya terdapat secangkir teh yang masih mengepulkan asap.
Perempuan itu menoleh, tersenyum. Nuha ikut tersenyum. Hangat.
“Sudah pulang?“
Tanpa merasa perlu menjawab, Nuha segera berlari ke arah perempuan itu. Nuha menciuminya dan memeluknya erat.
“Betapa saya merindukan Ibuk.“ ucapnya masih dalam pelukan.
“Saya lebih merindukanmu Nduk.“ perempuan itu membelai pelan punggung Nuha.
Nuha melepas pelukannya.
“Sepertinya putriku jadi lebih kurus.“ Diah memandangi Nuha, “Ibuk akan senang jika kamu pergi ke kamar mandi. Menyegarkan tubuh, lalu bergabung dengan kami di meja makan.“ imbuhnya.
Nuha mengangguk.
“Bapak sudah pulang?“ ujarnya.
Diah tersenyum, mengangguk, “Sudah. Dua hari yang lalu Bapakmu sudah pulang ke sini. Dia juga merindukanmu.“
Nuha menggigit bibirnya, lalu tersenyum.
“Bagaimana dengan Najib? Dia pasti kesepian selama aku tidak di rumah.“
“Dia menemukan kesibukan baru yang membuatya tidak sempat merasa kesepian. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.“
Terdengar suara tawa beriringan.
“Baiklah.“ ucap Nuha sumringah, “Kalau begitu saya akan mandi dan segera menyusul ke meja makan.“ ia mencium ibunya sekali lagi. Lalu undur diri  menuju kamar.
Nuha berjalan keluar kamar. Ritme langkahnya lebih cepat dari sebelumnya. Melewati lorong-lorong yang hening.
Ia memandangi beberapa foto pajangan di dinding. Foto keluarganya nampak serasi dan enak dipandang. Foto Bapaknya yang berada di dalam setelan jas hitam dan kemeja putih, dengan kopyah hitam, tampak membanggakan. Tetapi melihat foto itu, membuat hatinya perih.
Nuha menggigit bibirnya. Ia sering melakukan itu ketika sedang menghawatirkan suatu hal. Begitu tiba di kamar, ia langsung menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Telentang. Memandangi langit-langit kamarnya yang pucat.
“Bagaimana di sana Sander? Sepertinya kamu sudah cukup bahagia dengan tempatmu sekarang. Seharusnya aku dapat mencegahmu pergi hari itu.“ Nuha menggumam.
Beberapa saat lamanya ia merenung. Setengah menikmati posisi telentan yang membuat tulang punggungnya nyaman, dan setengah lagi karena rasa hampa yang membuatnya kosong.
“Tunggu!“ Nuha beranjak. Ia bangun dari telentangnya. Dengan tergesa menuju rak buku yang terletak di sudut kamar. Disibaknya buku-buku yang berjajar. Pandangannya jatuh pada buku bersampul hitam kecoklatan karangan Harry A. Poeze, judul buku yang ditulis dengan huruf balok berwarna merah tebal membuat siapapun tau bahwa itu buku berat. Bukan massanya. Tetapi isinya.
Ia mengambilnya, membolak-balik beberapa halaman awal. Ia menemukan 


***

0 comments:

Post a Comment