(SUROSO 15) MELBOURNE

Melbourne masih sibuk seperti biasa. Udara dingin berhembus menusuk kulit. Menyambut musim gugur yang sebentar lagi tiba. Langit yang luas, lapangan-lapangan yang ditumbuhi bangunan dengan seni arsitektur tinggi, jalan raya yang panjang dan berkelok. Semuanya masih sama. Tidak ada yang berubah sejak terakhir kali Nuha melihat kota ini, sekitar satu bulan yang lalu. Hanya satu yang kurang. Ucapan selamat datang di Melbourne dari Sander, serta senyumnya yang manis.
Pertama kali Nuha datang ke kota ini, Sander mengajaknya berkeliling ke berbagai tempat, mengenalkannya pada bangunan-bangunan megah di pusat kota dan situs-situs wisata alam jauh di pinggiran kota. Lelaki itu tidak pernah sedikitpun terlihat jengkel atau kesal bahkan ketika sedang lelah-lelahnya.
“Apa dia selalu sebaik itu?“ Nuha bergumam pelan. Sekuat hati ia menahan diri agar tidak menangis. Tetapi seberapa kokohpun pertahanan dirinya, ia tetap tidak bisa menahan air mata yang merembes keluar. Terlebih melihat keluarga Sander yang juga banjir air mata, mengitari peti mati yang berbentuk persegi panjang itu. Nuha paham, seberapapun besarnya ia kehilangan, orang tua Sander pasti lebih merasa kehilangan dibanding dirinya.
“Tidak seharusnya orang tua melihat kematian anaknya. Tetapi itulah takdir.“ Nuha bergumam pelan. Lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Lindsey dan Aji yang berada di sampingnya. Mereka semua tampak berusaha terlihat tegar.
Sejurus kemudian, jenazah Sander dan para pelayatnya beriringan naik mobil. Turun ke jalan hitam beraspal. Melaju dengan kecepatan sedang, menuju ke sebuah rumah di pinggiran kota Melbourne.
Rumah itu adalah sebuah rumah kecil, dengan taman yang luas di samping kanan kirinya dan satu gazebo yang terletak dekat kolam ikan koi. Bagi kota Melbourne yang sudah tersentuh teknologi tinggi, rumah itu adalah anomali. Berkebalikan antara kemewahan dan kesederhanaan.
Mobil-mobil pengantar jenazah mendarat di halaman rumah kecil itu. Orang-orang segera disibukkan dengan persiapan pemakaman yang akan dilakukan esok hari. Keluarga Sander sepakat untuk mengundur pemakaman sampai besok karena beberapa ritual yang belum mereka lakukan. Mereka juga perlu mencukupkan rindu sebelum sama sekali tidak bisa melihat wajah anggota keluarga yang sangat disayangi itu. Sander sangat jarang berada di rumah karena aktivitasnya di luar yang padat, dan mendapati kepulangannya dalam keadaan seperti ini, adalah hal yang memilukan bagi keluarganya.
Malam hari berlalu dengan hawa-hawa kesedihan yang masih sangat sulit diuapkan. Untuk beberapa saat, rasa kehilangan itu bisa terlupakan dengan pembicaraan panjang mengenai Sander semasa hidup. Kegiatannya di luar. Kelucuannya sewaktu anak-anak. Dan hal-hal yang disukainya. Membicarakan itu semua membuat mereka merasa bahwa Sander masih hidup dan dapat diingat dengan baik. Tetapi setelahnya, yang ada justru kenangan yang membuat rindu semakin membara.
Pagi hari, setelah semua tidak dapat tidur semalam suntuk, keluarga Sander yang berpakaian serba hitam dan beberapa kenalan Sander semasa hidup berkumpul di makam tak jauh dari rumah. Mereka berdiri mengelilingi sebuah peti berwarna coklat kayu yang diplitur. Beberapa mengenakan kacamata hitam besar. Barangkali untuk penutup agar mata mereka yang membengkak tidak terlihat oleh orang lain.
Orang-orang masih berdiri dengan syahdu ketika tiba-tiba seorang pemuda datang, berbisik-bisik kepada orang tua Sander, dan kemudian bergegas duduk di samping peti jenazah. Dengan dibantu ayah Sander, ia membuka tutup peti itu. Ia hening sejenak, menutup matanya dalam-dalam dan terlihat menahan tangis.
Dari tempat Nuha berdiri, sekilas terlihat wajah Sander yang damai. Laki-laki itu selalu terlihat baik berada di dalam setelan jas seperti yang ia kenakan saat ini, dengan sepatu hitam yang bersih dan sarung tangan putih. Setelah cukup memandangi wajah Sander, laki-laki yang baru datang tadi berdiri. Peti sudah ditutup kembali. Upacara pemakaman segera dimulai dengan khidmat. Orang-orang tampak merunduk dan berdoa.


***

0 comments:

Post a Comment