Melbourne masih sibuk seperti biasa. Udara dingin berhembus menusuk
kulit. Menyambut musim gugur yang sebentar lagi tiba. Langit yang luas,
lapangan-lapangan yang ditumbuhi bangunan dengan seni arsitektur tinggi, jalan
raya yang panjang dan berkelok. Semuanya masih sama. Tidak ada yang berubah
sejak terakhir kali Nuha melihat kota ini, sekitar satu bulan yang lalu. Hanya
satu yang kurang. Ucapan selamat datang di Melbourne dari Sander, serta
senyumnya yang manis.
Pertama kali Nuha datang ke kota ini, Sander mengajaknya
berkeliling ke berbagai tempat, mengenalkannya pada bangunan-bangunan megah di
pusat kota dan situs-situs wisata alam jauh di pinggiran kota. Lelaki itu tidak
pernah sedikitpun terlihat jengkel atau kesal bahkan ketika sedang
lelah-lelahnya.
“Apa dia selalu sebaik itu?“ Nuha bergumam pelan. Sekuat hati ia
menahan diri agar tidak menangis. Tetapi seberapa kokohpun pertahanan dirinya,
ia tetap tidak bisa menahan air mata yang merembes keluar. Terlebih melihat
keluarga Sander yang juga banjir air mata, mengitari peti mati yang berbentuk persegi
panjang itu. Nuha paham, seberapapun besarnya ia kehilangan, orang tua Sander
pasti lebih merasa kehilangan dibanding dirinya.
“Tidak seharusnya orang tua melihat kematian anaknya. Tetapi itulah
takdir.“ Nuha bergumam pelan. Lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada
Lindsey dan Aji yang berada di sampingnya. Mereka semua tampak berusaha
terlihat tegar.
Sejurus kemudian, jenazah Sander dan para pelayatnya beriringan
naik mobil. Turun ke jalan hitam beraspal. Melaju dengan kecepatan sedang,
menuju ke sebuah rumah di pinggiran kota Melbourne.
Rumah itu adalah sebuah rumah kecil, dengan taman yang luas di
samping kanan kirinya dan satu gazebo yang terletak dekat kolam ikan koi. Bagi
kota Melbourne yang sudah tersentuh teknologi tinggi, rumah itu adalah anomali.
Berkebalikan antara kemewahan dan kesederhanaan.
Mobil-mobil pengantar jenazah mendarat di halaman rumah kecil itu.
Orang-orang segera disibukkan dengan persiapan pemakaman yang akan dilakukan
esok hari. Keluarga Sander sepakat untuk mengundur pemakaman sampai besok
karena beberapa ritual yang belum mereka lakukan. Mereka juga perlu mencukupkan
rindu sebelum sama sekali tidak bisa melihat wajah anggota keluarga yang sangat
disayangi itu. Sander sangat jarang berada di rumah karena aktivitasnya di luar
yang padat, dan mendapati kepulangannya dalam keadaan seperti ini, adalah hal
yang memilukan bagi keluarganya.
Malam hari berlalu dengan hawa-hawa kesedihan yang masih sangat
sulit diuapkan. Untuk beberapa saat, rasa kehilangan itu bisa terlupakan dengan
pembicaraan panjang mengenai Sander semasa hidup. Kegiatannya di luar.
Kelucuannya sewaktu anak-anak. Dan hal-hal yang disukainya. Membicarakan itu
semua membuat mereka merasa bahwa Sander masih hidup dan dapat diingat dengan
baik. Tetapi setelahnya, yang ada justru kenangan yang membuat rindu semakin
membara.
Pagi hari, setelah semua tidak dapat tidur semalam suntuk, keluarga
Sander yang berpakaian serba hitam dan beberapa kenalan Sander semasa hidup
berkumpul di makam tak jauh dari rumah. Mereka berdiri mengelilingi sebuah peti
berwarna coklat kayu yang diplitur. Beberapa mengenakan kacamata hitam besar.
Barangkali untuk penutup agar mata mereka yang membengkak tidak terlihat oleh
orang lain.
Orang-orang masih berdiri dengan syahdu ketika tiba-tiba seorang
pemuda datang, berbisik-bisik kepada orang tua Sander, dan kemudian bergegas
duduk di samping peti jenazah. Dengan dibantu ayah Sander, ia membuka tutup
peti itu. Ia hening sejenak, menutup matanya dalam-dalam dan terlihat menahan
tangis.
Dari tempat Nuha berdiri, sekilas terlihat wajah Sander yang damai.
Laki-laki itu selalu terlihat baik berada di dalam setelan jas seperti yang ia
kenakan saat ini, dengan sepatu hitam yang bersih dan sarung tangan putih. Setelah
cukup memandangi wajah Sander, laki-laki yang baru datang tadi berdiri. Peti
sudah ditutup kembali. Upacara pemakaman segera dimulai dengan khidmat.
Orang-orang tampak merunduk dan berdoa.
***
0 comments:
Post a Comment