(SUROSO 2) GITU SAJA KOK REPOT

Sabtu, akhir Juli 2001
Malam sudah cukup larut ketika Suroso akhirnya memenuhi permintaan putri sulungnya. Dengan dipapah oleh Nuha -si putri sulung- dan kawalan ajudan presiden yang berpakaian serba hitam, Suroso berjalan pelan menuju beranda depan istana negara. Jalannya agak kesulitan, karena selain penglihatannya yang kurang berfungsi dengan baik tanpa kacamata, tubuh Suroso juga sedang dalam keadaan letih.
Penglihatannya dan tubuh gendutnya menurun drastis setelah mengalami serangan stroke dua kali. Masih bisa beraktivitas layaknya orang sehat itu adalah suatu keistimewaan bagi Suroso. Lebih hebatnya lagi, dengan keadaan fisik yang tidak begitu normal, Suroso masih bisa berpikir dengan jernih dan tetap tidak lupa membuat guyonan-guyonan segar di saat sempat.
Suroso masih mengenakan setelan kaos oblong putih, celana pendek, dan sandal jepit ketika ia berdiri di beranda, melambai-lambaikan tangan kepada para pendukungnya yang sejak sepekan terakhir tak pernah absen dari halaman istana negara.  Pendukung-pendukung itu kebanyakan berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, yang berbondong-bondong ke Jakarta untuk mengungkapkan rasa simpati dan dukungannya kepada presiden yang sebentar lagi lengser.
Sejak beredar pengumuman bahwa istana negara dibuka untuk umum, mereka segera meringsek masuk ke kawasan istana. Membuat majlis. Sambil kadang-kadang mengangkat spanduk bertuliskan, “Kami bersama presiden!“, “Batalkan Sidang Istimewa“, dan spanduk-spanduk serupa yang diangkat secara berkala.
Suroso tidak dapat melihat kerumunan massa yang khusus datang untuk mendukungnya. Ia hanya mendengar suara-suara yang menyebut namanya, meneriakkan dukungan, mengumandangkan takbir, dan suara-suara lain yang lebih terdengar seperti suara tawon daripada suara manusia yang dapat didengar.
“Bapak bisa mendengar suara-suara itu?“ Nuha berbisik kepada Bapaknya, “Mereka datang ke sini untuk mendukung Bapak. Jumlahnya banyak sekali.“ 
Mendengar bisikan putrinya, Suroso berhenti melambaikan tangan sejenak. Sekarang dia hanya berdiri saja. Sejurus kemudian ia melambaikan tangan lagi. Wajah lelaki tua itu tampak lelah karena tekanan peristiwa yang terjadi seharian penuh ini semakin memuncak.
Sidang istimewa sudah di depan mata dan tidak ada negoisasi yang bisa dilakukan lagi. Berbagai lobi yang ia lakukan dengan pihak-pihak oposisi tidak ada yang membuahkan hasil. Dekrit presiden yang dikeluarkan juga tidak memberi pengaruh berarti terhadap situasi politik yang memanas dan jabatan yang di ujung tanduk.
Sementara Suroso berjalan kembali memasuki istana negara, para jurnalis media yang meliput di luar istana segera disibukkan dengan desas-desus sikap presiden yang terkesan sembrono. Terutama jurnalis media asing.
Bagi para jurnalis itu, seorang presiden tidak pantas berpakaian santai layaknya jutaan orang Indonesia yang sedang bersantai di rumah. Terlebih pakaian itu digunakan untuk menyapa pendukung di halaman istana. Dalam tafsiran mereka, Presiden menganggap enteng masalah yang sedang menimpanya, atau mungkin menurut mereka presiden sudah gila dan tidak memahami posisinya yang sedang genting.
Mereka tidak sampai akal untuk berpikir bahwa presiden juga manusia yang waktu itu baru saja selesai latihan fisik. Terlebih lagi presiden itu adalah Suroso, orang yang tidak terlalu menyukai protokoler kepresidenan dan tidak mau repot-repot berganti pakaian hanya untuk urusan sepele. Karena bagi Suroso, penampilan tidak pernah lebih penting dari esensi yang ada dibalik penampilan itu sendiri.
Berita dan siaran TV tentang seorang presiden yang berpakaian oblong dan bercelanan pendek segera mencuat di media-media nasional dan asing. Suroso sudah sedari dulu menjadi sorotan media karena gaya bicaranya yang ceplas-ceplos dan sikapnya yang berani menentang arus. Tetapi saat ini, karena isu-isu miring yang terus digelontorkan, Suroso dipandang sebagai presiden yang tidak becus mengurus pemerintahan. Reputasinya pada hari-hari itu mencapai tingkat paling rendah dalam skala nasional, setidaknya di kalangan elit terpelajar dan juga di dunia internasional; Ia banyak mendapat cacian dan hinaan.
“Tidak masalah. Gitu saja kok repot. Dipandang rendah di mata manusia tidak akan membuat seseorang menjadi hina“ begitu ungkap Suroso ketika salah satu rekannya menyampaikan pandangan publik terhadap dirinya saat ini.


***

0 comments:

Post a Comment