-Prolog-
Suatu Hari pada
Tahun 2001
Hari-hari itu menjadi hari yang tidak akan pernah bisa dilupakan
oleh siapapun juga. Tidak bagi Suroso. Bagi istrinya. Anak-anaknya. Sahabat
dekatnya. Atau bahkan bagi lawan-lawannya sekalipun. Bedanya, Suroso dan orang-orang
terdekatnya mengingat peristiwa yang berentetan itu sebagai sesuatu yang
sedikit tidak enak untuk dikemas sebagai cerita. Dan lawan-lawannya
mengingatnya sebagai sebuah kemenangan telak. Keberhasilan yang cemerlang.
Setelah perjalanan yang cukup panjang, atau mungkin tidak terlalu
panjang dalam siklus pemerintahan, lawan-lawan politiknya berhasil memakzulkan
seorang Suroso dari kursi kepresidenan. Orang-orang yang berseberangan dengan Suroso sudah
merencanakan kejatuhan itu sejak awal Suroso menjabat. Bahkan ketika
perhitungan suara baru selesai dan Suroso belum dilantik mereka sudah
merencanakan semua itu. Mereka telah dengan sangat gigih menyusun strategi-strategi
dan dengan ajeg menggulirkan isu-isu negatif untuk memperburuk citra Suroso
di depan publik. Tentu saja hal seperti itu tak mudah dilakukan. Perlu
meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga lebih. Dan tentu saja, hanya orang-orang
cerdas, berkelas, dan punya kedudukan yang bisa menyusun strategi seapik dan
serapi itu. Kalau tidak, dapat dipastikan usaha-usaha mereka tak akan berhasil.
Mula-mula, para elit senayan menuduh Suroso melakukan tindakan
serakah. Korupsi bantuan luar negeri dan mengalirkan anggaran bulog ke dalam
kantong sendiri. Padahal jelas-jelas Suroso tidak akan doyan memakan
barang haram hasil korupsi. Sejak kecil Suroso hidup di pesantren dan sudah
sangat hafal ayat-ayat Quran yang melarang manusia budiman mengambil hak orang
lain dengan tidak adil. Mulai dari Al Baqoroh 188 sampai Al Maidah 42. Jadi
mana mungkin Suroso mendustai hafalannya dengan melakukan tindakan yang bertentangan
dari keyakinannya sendiri.
Hanya saja orang-orang elit senayan itu berpikir Suroso sama seperti
mereka, yang akan menghalalkan segala cara untuk sekedar menimbun harta dunia. Mungkin
juga sebenarnya mereka tahu, bahwa Suroso sangat tidak mungkin berbuat senaif
itu. Tetapi apa boleh buat, mereka perlu membuat berita miring agar kejatuhan
presiden nampak alami karena ketidakbecusannya sendiri dan bukan rekayasa orang-orang
berkepentingan.
Puncaknya, selama sepekan terakhir sebelum Suroso benar-benar
jatuh, media massa sibuk membicarakan presiden Indonesia yang kabarnya tengah
berdiri di tepi. Sebentar lagi akan terjun bebas ke jurang. Awak-awak media
gencar memberitakan kasus Buloggate dan Bruneigate yang katanya didalangi oleh
presiden, masyarakat sibuk dengan desas-desus bahwa presiden tidak kompeten dalam
menjalankan tugas, pembawaannya terlalu santai, suka seenaknya sendiri dalam
mengambil tindakan, dan hobi pelesiran ke luar negeri.
Sementara suhu politik kian memanas dan presiden kian krisis
kepercayaan, pejabat-pejabat negara yang duduk di kursi MPR sibuk mengejar
sidang istimewa. Para anggota MPR sudah tidak sabar mengganti presiden yang
sebentar lagi akan mati karir politiknya itu dengan presiden baru yang lebih
mudah diajak berkongsi.
Sebelum pelengseran benar-benar terjadi, ketegangan politik antara
Presiden dan para elit senanyan sempat mereda beberapa saat; tepatnya setelah
presiden berhasil menggertak dewan MPR dengan mengeluarkan dekrit yang dihitung-hitung
dapat membuat usaha menjatuhkan presiden menjadi sia-sia. Dalam kesempatan itu,
Suroso akhirnya dapat bernafas lega, negoisasi dan usahanya berhasil, pikirnya.
“Keadaan sudah membaik. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.
Presiden sudah menjauh dari tepi dan Sidang Istimewa tidak perlu digelar“
Begitu ucap salah seorang petinggi Partai Kesejahteraan Umat (PKU) kepada awak TV
Belanda yang kebetulan sedang meliput kondisi politik Indonesia.
Namun tidak lama kemudian, di tengah wawancara, -Samad- si petinggi
PKU yang namanya tidak kalah tenar dibanding presiden, mendapat panggilan dari
Amir, koleganya di PKU. Amir mengajak Samad untuk meninggalkan wawancara
sejenak,
“Mohon maaf ada sesuatu yang harus kami bicarakan. Kalian bisa
menunggu sebentar dan saya akan segera kembali“, Samad meminta jeda kepada para
wartawan.
Ia dan Amir menjauh beberapa langkah dari kerumunan, setidaknya
pada jarak yang tidak memungkinkan para wartawan untuk mendengar apa yang
mereka bicarakan. Kedua kader PKU itu tampak serius dengan pembicaraannya,
Samad yang postur tubuhnya lebih kecil dari Amir nampak mendongak berkali-kali
agar bisa melihat wajah lawan bicaranya dengan jelas. Lima belas menit kemudian
Samad kembali menemui wartawan,
“Ada perubahan keadaan. Sidang Istimewa akan dipercepat hari senin
depan“, Samad berkata dengan tegas.
Menarik kembali apa yang diucapkannya beberapa menit sebelumnya.
Para wartawan yang memang selalu ingin tahu mencecarnya dengan berbagai
pertanyaan. Dan Samad sebagai ketua MPR yang dipercaya sebagai sumber valid,
membuat para wartawan menjadi semakin penasaran dengan pernyataannya yang tidak
konsisten.
Abai dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepadanya, Samad
dengan dikawal ajudan beringsut menjauh dari wartawan, berjalan dengan
penjagaan penuh menuju pintu utama gedung MPR. Setelah pernyataan terakhir ia
memilih untuk tidak memberi respon apapun. Ia memilih untuk menjawab setiap
pertanyaan dengan tersenyum, senyum datar yang tidak dapat diartikan.
***
0 comments:
Post a Comment