“Semuanya terlalu tepat waktu untuk dikatakan sebagai sebuah
kebetulan.“ Malik berujar serius.
“Memang tidak ada kebetulan.“ Sahut Suroso. Laki-laki tua itu masih
terguncang, detak jantungnya tidak teratur, tangannya sedikit menunjukkan
gejala tremor, tetapi sikapnya tetap tenang. Wajahnya terlihat datar meski
menampakkan kerutan-kerutan yang mengindikasikan ketegangan, “Sudah jelas
sasarannya apa. Mereka memilih waktu yang tepat dan keadaan mendukung mereka
dengan baik. Hal ini tentunya sudah direncanakan jauh-jauhari. Yang sangat
disayangkan, bukan taktik mereka yang baik untuk menjatuhkan saya di forum PBB,
tetapi hati mati mereka yang tega membunuh manusia untuk kepentingan politik.“
terdengar nada geram di ucapan Suroso.
“Saya mempunyai bayangan
poros siapa yang mungkin menjadi dalang kerusuhan ini. Tetapi apakah itu benar,
Gus?“ Malik menimpali.
“Bagaimana saya tahu, wong kamu tidak menyebutkan poros
siapa“ Suroso mencoba membuat suasana lebih cair. Terlalu tegang.
“Kenapa kalian berdua begitu syahdu?“ Suroso menoleh ke arah
Ferdinand dan Narendra. Ferdinand dan Narendra hanya meringis sebentar, lalu
diam lagi. Mereka tidak tahu apa yang harus diucapkan. Ferdinand utamanya. Sejak
kerusuhan di Zona X marak diberitakan beberapa jam yang lalu, hubungan
negaranya dan presiden Indonesia menjadi semakin panas.
Suroso sudah setahun ini merasa enggan dengan sikap pemerintahan
Australia yang menurutnya angkuh dan terkesan menggurui, “Mereka tidak mengerti
bagaimana rasanya menjadi reformis dalam situasi peralihan seperti ini. Mereka
hanya tahu bagaimana mengomentari, seperti komentator bola yang seakan-akan
paling handal tetapi ketika berada di lapangan mereka bahkan tidak bisa
menendang bola dengan benar.“ tuturnya suatu ketika.
Bahkan banyak media tanah air yang memuat pernyataan-pernyataan
keras dari berbagai pihak terhadap pemerintahan Australia. Dalam situasi
seperti itu, banyak orang Indonesia yang kemudian menjadi sentimentil terhadap
orang Australia. Ditambah lagi banyak yang menyebutkan bahwa dalang di balik
kerusuhan Zona X yang baru ini terjadi adalah salah satu Intelijen Australia,
Max Clean. Tentunya Ferdinand merasa kikuk karena dia adalah warga negara
Australia, yang berada di tengah-tengah orang Indonesia. Dia takut jika
kemudian tidak lagi diterima dan hubungannya dengan Suroso menjadi renggang.
Bagaimanapun, Ferdinand berpikir akan banyak kebencian yang mengarah kepadanya.
Jadi, dia memililh untuk tetap diam.
Mobil hitam yang mengantarkan Suroso dan rekan-rekannya sudah
sampai di depan lobi Green Meadows. Suroso turun dari mobil dengan
dibantu oleh Narendra, berjalan menuju kamar. Ferdinand dan Malik menyusul di
belakang.
Sementara itu, langit mulai terlihat sendu, sebentar lagi petang
akan menyelimuti kota New York yang semakin dingin. Dedaunan yang terdapat di
halaman depan Green Meadows nampak menguning keemasan, beberapa jatuh di
atas aspal dan belum sempat dibersihkan.
“Malik,“ Suroso berhenti sejenak di depan pintu elevator lantai 2.
Ia berbalik menengok ke arah Malik, “Temui aku setelah sholat Isya`. Dan
Ferdinand, kau boleh beristirahat di kamarmu“ ucapnya kemudian.
Tanpa bertanya apapun Malik mengiyakan permintaan Suroso, begitu
pula dengan Ferdinand.
“Bagaimana dengan saya Gus? Mungkin saya bisa membantu untuk
beberapa hal?“ Narendra menawarkan diri. Ia merasa tidak enak karena sedari
tadi hanya diam, tak berbicara apapun.
“Carikan 2 tiket ke Indonesia secepatnya dan sebelum itu antarkan
saya ke kamar.“ jawab Suroso. Tubuhnya sudah semakin letih, dia butuh
mengistirahatkan diri dengan tidur sejenak.
Malik dan Ferdinand segera berjalan menuju kamar masing-masing.
Narendra memapah Suroso ke kamarnya. Sebenarnya Suroso bisa berjalan sendiri,
penglihatannya –meski tidak begitu jelas – masih dapat digunakan melihat
benda-benda di sekitarnya dengan cukup baik. Tetapi kejadian di Milennium
Summit tadi membuat ia sedikit kehilangan kendali. Tekanan darahnya naik dan ia
takut akan roboh jika berjalan sendiri.
“Gus, boleh saya mengatakan sesuatu?“ Ucap Narendra pelan. Ia
membantu Suroso untuk duduk di kursi kamarnya.
“Katakan saja. Apakah itu sesuatu yang sangat menyinggung sehingga
kau ragu mengucapkannya?“
Narendra merapatkan kedua bibirnya, “Tugas yang sedang saya lakukan
sekarang, yaitu memandu Anda di kota ini, adalah prioritas bagi saya. Tetapi
saya baru saja mendapat kabar, bahwa rekan saya terbunuh dalam kerusuhan yng
terjadi di Zona X. Saya tidak memiliki pilihan lain kecuali menghadiri
pemakamannya. Dia bukan keluarga yang terikat oleh darah, tetapi dia sangat
berharga dan saya benar-benar harus menghadirinya. Maka dari itu saya tidak
bisa memandu Bapak Presiden lagi“ Narendra mengucapkan setiap kalimatnya dengan
hati-hati, ia tidak mau menyinggung Suroso, tetapi ia sudah siap dengan
konsekuensi dianggap tidak profesional.
Suroso diam sejenak. Ia tampak berpikir.
“Silahkan. Jika dia adalah orang yang berharga, maka kau harus
menghadiri pemakamannya. Lagipula setelah ini saya akan kembali ke Jakarta. Itu
artinya tugas anda sudah selesai. Tetapi sebelumnya, carikan saya 2 tiket ke
Jakarta yang paling cepat.“ Suroso menjeda kalimatnya, ia sedikit terbatuk,
“dan satu lagi, jangan panggil saya dengan embel-embel presiden dalam situasi
tidak resmi.“ Suroso menampakkan gigi-giginya, ia tertawa untuk membuat suasana
tidak terlalu kaku.
Narendra tersenyum, ia lega karena Suroso memberikan jawaban yang
sama sekali tidak diduganya. Bahkan dengan senang hati mengizinkan.
“Baik Gus. Saya akan mencari tiket dengan jadwal penerbangan
tercepat dan dengan segera memberitahukannya kepada Anda.“ Narendra yang sedang
bungah menyalami Suroso dan mencium punggung tangannya. Setelah itu ia
bergegas pamit undur diri untuk sholat maghrib dan membeli tiket.
***
0 comments:
Post a Comment