(SUROSO 11) IN THE NAME OF


“Semuanya terlalu tepat waktu untuk dikatakan sebagai sebuah kebetulan.“ Malik berujar serius.  
“Memang tidak ada kebetulan.“ Sahut Suroso. Laki-laki tua itu masih terguncang, detak jantungnya tidak teratur, tangannya sedikit menunjukkan gejala tremor, tetapi sikapnya tetap tenang. Wajahnya terlihat datar meski menampakkan kerutan-kerutan yang mengindikasikan ketegangan, “Sudah jelas sasarannya apa. Mereka memilih waktu yang tepat dan keadaan mendukung mereka dengan baik. Hal ini tentunya sudah direncanakan jauh-jauhari. Yang sangat disayangkan, bukan taktik mereka yang baik untuk menjatuhkan saya di forum PBB, tetapi hati mati mereka yang tega membunuh manusia untuk kepentingan politik.“ terdengar nada geram di ucapan Suroso.
 “Saya mempunyai bayangan poros siapa yang mungkin menjadi dalang kerusuhan ini. Tetapi apakah itu benar, Gus?“ Malik menimpali.
“Bagaimana saya tahu, wong kamu tidak menyebutkan poros siapa“ Suroso mencoba membuat suasana lebih cair. Terlalu tegang.
“Kenapa kalian berdua begitu syahdu?“ Suroso menoleh ke arah Ferdinand dan Narendra. Ferdinand dan Narendra hanya meringis sebentar, lalu diam lagi. Mereka tidak tahu apa yang harus diucapkan. Ferdinand utamanya. Sejak kerusuhan di Zona X marak diberitakan beberapa jam yang lalu, hubungan negaranya dan presiden Indonesia menjadi semakin panas.
Suroso sudah setahun ini merasa enggan dengan sikap pemerintahan Australia yang menurutnya angkuh dan terkesan menggurui, “Mereka tidak mengerti bagaimana rasanya menjadi reformis dalam situasi peralihan seperti ini. Mereka hanya tahu bagaimana mengomentari, seperti komentator bola yang seakan-akan paling handal tetapi ketika berada di lapangan mereka bahkan tidak bisa menendang bola dengan benar.“ tuturnya suatu ketika.
Bahkan banyak media tanah air yang memuat pernyataan-pernyataan keras dari berbagai pihak terhadap pemerintahan Australia. Dalam situasi seperti itu, banyak orang Indonesia yang kemudian menjadi sentimentil terhadap orang Australia. Ditambah lagi banyak yang menyebutkan bahwa dalang di balik kerusuhan Zona X yang baru ini terjadi adalah salah satu Intelijen Australia, Max Clean. Tentunya Ferdinand merasa kikuk karena dia adalah warga negara Australia, yang berada di tengah-tengah orang Indonesia. Dia takut jika kemudian tidak lagi diterima dan hubungannya dengan Suroso menjadi renggang. Bagaimanapun, Ferdinand berpikir akan banyak kebencian yang mengarah kepadanya. Jadi, dia memililh untuk tetap diam.
Mobil hitam yang mengantarkan Suroso dan rekan-rekannya sudah sampai di depan lobi Green Meadows. Suroso turun dari mobil dengan dibantu oleh Narendra, berjalan menuju kamar. Ferdinand dan Malik menyusul di belakang.
Sementara itu, langit mulai terlihat sendu, sebentar lagi petang akan menyelimuti kota New York yang semakin dingin. Dedaunan yang terdapat di halaman depan Green Meadows nampak menguning keemasan, beberapa jatuh di atas aspal dan belum sempat dibersihkan.
“Malik,“ Suroso berhenti sejenak di depan pintu elevator lantai 2. Ia berbalik menengok ke arah Malik, “Temui aku setelah sholat Isya`. Dan Ferdinand, kau boleh beristirahat di kamarmu“ ucapnya kemudian.
Tanpa bertanya apapun Malik mengiyakan permintaan Suroso, begitu pula dengan Ferdinand.
“Bagaimana dengan saya Gus? Mungkin saya bisa membantu untuk beberapa hal?“ Narendra menawarkan diri. Ia merasa tidak enak karena sedari tadi hanya diam, tak berbicara apapun.
“Carikan 2 tiket ke Indonesia secepatnya dan sebelum itu antarkan saya ke kamar.“ jawab Suroso. Tubuhnya sudah semakin letih, dia butuh mengistirahatkan diri dengan tidur sejenak.
Malik dan Ferdinand segera berjalan menuju kamar masing-masing. Narendra memapah Suroso ke kamarnya. Sebenarnya Suroso bisa berjalan sendiri, penglihatannya –meski tidak begitu jelas – masih dapat digunakan melihat benda-benda di sekitarnya dengan cukup baik. Tetapi kejadian di Milennium Summit tadi membuat ia sedikit kehilangan kendali. Tekanan darahnya naik dan ia takut akan roboh jika berjalan sendiri.
“Gus, boleh saya mengatakan sesuatu?“ Ucap Narendra pelan. Ia membantu Suroso untuk duduk di kursi kamarnya.
“Katakan saja. Apakah itu sesuatu yang sangat menyinggung sehingga kau ragu mengucapkannya?“
Narendra merapatkan kedua bibirnya, “Tugas yang sedang saya lakukan sekarang, yaitu memandu Anda di kota ini, adalah prioritas bagi saya. Tetapi saya baru saja mendapat kabar, bahwa rekan saya terbunuh dalam kerusuhan yng terjadi di Zona X. Saya tidak memiliki pilihan lain kecuali menghadiri pemakamannya. Dia bukan keluarga yang terikat oleh darah, tetapi dia sangat berharga dan saya benar-benar harus menghadirinya. Maka dari itu saya tidak bisa memandu Bapak Presiden lagi“ Narendra mengucapkan setiap kalimatnya dengan hati-hati, ia tidak mau menyinggung Suroso, tetapi ia sudah siap dengan konsekuensi dianggap tidak profesional.
Suroso diam sejenak. Ia tampak berpikir.
“Silahkan. Jika dia adalah orang yang berharga, maka kau harus menghadiri pemakamannya. Lagipula setelah ini saya akan kembali ke Jakarta. Itu artinya tugas anda sudah selesai. Tetapi sebelumnya, carikan saya 2 tiket ke Jakarta yang paling cepat.“ Suroso menjeda kalimatnya, ia sedikit terbatuk, “dan satu lagi, jangan panggil saya dengan embel-embel presiden dalam situasi tidak resmi.“ Suroso menampakkan gigi-giginya, ia tertawa untuk membuat suasana tidak terlalu kaku.
Narendra tersenyum, ia lega karena Suroso memberikan jawaban yang sama sekali tidak diduganya. Bahkan dengan senang hati mengizinkan.
“Baik Gus. Saya akan mencari tiket dengan jadwal penerbangan tercepat dan dengan segera memberitahukannya kepada Anda.“ Narendra yang sedang bungah menyalami Suroso dan mencium punggung tangannya. Setelah itu ia bergegas pamit undur diri untuk sholat maghrib dan membeli tiket.


***

0 comments:

Post a Comment