Zona X masih berkabung. Kantor cabang PBB yang terbakar masih
mengepulkan asap samar-samar. Sudah mendekati waktu subuh tetapi tidak ada yang
kembali terlelap meski kantuk mendera. Sementara para anggota keamanan sedang
berpatroli keliling, Nuha dan rekan-rekan jurnalisnya tetap berada di kamp
darurat. Mereka tak diperbolehkan kemanapun sampai situasi aman, terutama yang
bertampang bule. Lindsey sempat menolak untuk tinggal di kamp, tetapi dia tetap
tidak bisa pergi kemanapun.
Bagaimanapun, menurut Lindsey, sudah pekerjaan jurnalis untuk
menerima segala resiko yang ada di lapangan. Termasuk jika ada kecelakaan yang
kemudian mengancam jiwa, seperti halnya yang dialami Sander.
“Seharusnya aku sudah di lapangan.“ gerutunya dalam inggris yang
kental.
“Sudahlah Lindsey. Stay put. Kita cuma satu punya nyawa dan tidak
bijak menggunkannya sembarangan. Saya tidak mau kejadian yang menimpa Sander
terjadi padamu juga. I beg you. Please.“ Nuha berkata dingin. Dia duduk di
antara rekan-rekannya.
Nuha masih sangat terpukul atas kematian Sander. Baru kemarin dia
berbicara dengan Sander, melihat setiap tingkah polahnya yang kadang-kang
membuat perut geli, dan berbagi banyak hal tentang kehidupan yang meresahkan.
Baru tadi malam juga, ia melihat laki-laki itu tersenyum dan berkata akan
segera kembali, tetapi pagi ini Sander telah pergi begitu saja. Meninggalkan
luka. Nuha masih sangat tidak percaya bahwa orang terdekatnya itu sudah tidak
dapat lagi dijumpainya.
Nuha memang mengerti bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati,
tetapi ia tidak pernah bisa mengerti jikalau kematian aka selalu sesakit itu. Tidak
peduli seberapa kalipun mengalaminya. Tidak peduli betapapun pasrah atau
siapnya. Kematian selalu meninggalkan luka yang dalam dan rindu yang tak pernah
bisa diobati.
“I am begging, Lindsey.“ Nuha berujar lagi. Pelan, tapi dalam.
Sesekali air matanya jatuh dan segera diusapnya.
Lindsey tidak berkata apa-apa lagi. Perempuan berambut blonde itu
tidak ingin ada perdebatan antara dirinya dan Nuha. Selain itu, yang diucapkan
Nuha tidak sepenuhnya salah meski cukup berlawanan dengan keinginannya.
Dalam waktu menunggu yang sama sekali tidak menyenangkan itu,
mereka akhirnya memutuskan untuk berbagi informasi yang telah mereka dapatkan
tentang perkembangan perkara. Mereka sepakat untuk tidak membicarkan tentang
Sander. Akan terlalu menyakitkan dan membuat trauma. Sepertinya memang lebih
baik jika mereka hanya menyimpan rasa kehilangan itu di hati mereka
masing-masing. Karena tidak baik terlihat lemah. Tidak baik terlihat rapuh,
meski sebenarnya hati sedang patah-patahnya.
“Baiklah. Kita sepakat menulis ini untuk dijadikan berita di media
kita masing-masing. Secara jujur dan apa adanya. Kita patut membiarkan dunia
tahu apa yang sebenarnya terjadi.“ Aji menegaskan di akhir diskusi mereka.
Semuanya
mengangguk. Sepakat.
***
0 comments:
Post a Comment