Suroso sudah berada dalam setelan jasnya ketika Narendra mengetuk
pintu kamar bertuliskan angka 101 yang bercat peach itu.
“Masuk saja.“ ucapnya dari dalam, terdengar pelan di luar.
“Saya sudah siap untuk berangkat.“ ucapnya lagi.
“Baiklah. Sebelum berangkat kita memiliki jadwal sarapan pagi
terlebih dahulu. Pak Malik dan Mr. Ferdinand sudah menunggu di bawah. Sesuai
pesanan Ibu Wakil Presiden kepada kedutaan, kami menyiapkan makanan yang rendah
kolesterol demi menjaga kesehatan Bapak Presiden.“ Sahut Narendra.
Suroso mengangguk. Dia setuju saja, “di luar forum resmi, panggil
saya Bapak atau apalah terserah. Tidak usah ada embel-embel presiden.“
“Baiklah.. Gus!“
Dua laki-laki terpaut usia 32
tahun itu kemudian berjalan beriringan menuju elevator. Tak perlu waktu lama
untuk sampai di lantai satu. Suroso dan Narendra segera bergabung dengan Malik
dan Ferdinand di meja makan. Mereka menyantap sarapan pagi dengan penuh
semangat. Suroso tidak pernah suka membiarkan prosesi makan menjadi sepi, ia
sepakat bahwa saat makan hendaknya orang tidak bicara, tetapi ia enggan dengan
keheningan yang hanya diisi oleh suara sendok yang beradu dengan piring. Di
sela-sela suapan, ia memilih membicarakan kesiapannya untuk berpidato di Milennium
Summit satu jam lagi.
Malik, Ferdinand, dan juga Narendra memberikan umpan balik yang
positif terhadap pembicaraan itu. Malik mengatakan bahwa ia sangat berharap Milennium
Development Goals (MDGs) yang segera lahir di Milennium Summit nanti akan
menjadi solusi yang baik untuk mengentaskan masalah global yang ada. Tentu
saja, dia dengan sikap kritisnya tidak mau berharap terlalu banyak, “Selama ada
usaha, pasti ada hasil, entah berapa persen tingkat keberhasilannya. Dan semoga
forum ini dengan gagasannya adalah solusi yang memiliki tingkat keberhasilan
tinggi.“ ucapnya.
Semua orang di meja makan mengangguk, kecuali Suroso. Ia tetap
berwajah tenang dan tanpa ekspresi “Tentu saja“ jawabnya enteng.
“Mohon maaf atas pertanyaan ini, tetapi saya penasaran kenapa Gus
Sur memilih untuk menginap di Green Meadows daripada di Gedung United Nation
Plaza. Dengan berbagai pertimbangan, tentunya akan lebih mudah jika Bapak
menginap di sana.“ Narendra menatap Gus Sur. Ia mengharapkan jawaban yang
panjang dan penuh pertimbangan logis.
“Saya tidak suka menjadi terlalu resmi.“ Suroso menjawab singkat,
ia kemudian tertawa.
“Kau seperti tidak tahu Presiden kita saja Ren“ Malik menepuk
pundak Narendra yang duduk tepat di sebelahnya.
Narendra tertawa, “Tidak salah apa yang mereka tulis di
koran-koran“ ia membatin, dan cukup bersyukur karena ia bisa bertemu Suroso
yang sama sekali tidak menampakkan kesan horror meskipun sedang berada di
posisi yang memungkinkan dia menjadi diktator.
Tak lama setelahnya, mereka beranjak meninggalkan meja makan. Mobil
yang akan mengantarkan mereka ke Markas besar PBB sudah menunggu di depan pintu
utama Green Meadows.
“We are heading to 760 United Nation Plaza New York, New York
10017, Headquarters of the United Nations, right?“ ucap supir kepada Narendra
yang duduk di bagian depan.
“Yes, that`s right!“ sahut Narendra.
“It takes 15 minutes from here. Please have a good seat and make
yourself comfort. “
“For sure.“ Narendra menimpali.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, melewati jalanan kota New
York yang dipadati bangunan bertembok. Kehidupan kota New York lebih modern
dibandingkan Indonesia yang masih mencoba merangkak, kemajuan kentara sekali
telah menyentuh kota ini sejak lama. Ada banyak gedung tinggi menjulang. Letak
bangunan, sungai, dan pepohonan yang
serasi menunjukkan tata kota yang ideal.
Setelah hampir 15 menit berlalu, dari kaca jendela mobil, Malik
dapat melihat Markas Besar Perserikatan Bangsa Bangsa yang megah. Bangunan itu
didesain oleh arsitek Brazil, Oscar Niemeyer. Bendera-bendera negara anggota
berjajar rapi di pelatarannya, berkibar-kibar di tiup angin. Menambahkan kesan
sakral. Sungai East yang berseberangan dengan gedung 39 lantai itu menambah
daya tarik tersendiri bagi keindahan gedung PBB.
Begitu turun dari mobil, Suroso dijemput oleh petugas berpakaian
serba hitam dengan sikap yang sangat resmi. Mereka mengarahkan Suroso untuk
menuju ruang Milennium Summit. Sementara itu, Ferdinand, Malik, dan Narendra
diarahkan untuk melihat-lihat kebun di pelataran depan dan ruang-ruang Markas
PBB sembari menunggu konferensi berlangsung.
“Take your time. We really are okay to look around. “ ucap
Ferdinand kepada Suroso.
Suroso berjalan dengan dampingan petugas, memasuki sebuah ruangan
dengan dua buah pintu berwarna coklat tua yang besar. Ruangan itu telah penuh
dengan para pemimpin tertinggi dari 149 negara dan beberapa delegasi lainnya.
Mereka berbicara dalam bahasa universal, Inggris, dengan berbagai aksen yang
khas.
“Pleased to meet you again Sur! It must be hard for you to lead a
new-born country. You know what I mean new-born right! “ ucap salah seorang
petinggi negara yang duduk di samping Suroso. Petinggi itu memiliki postur
tubuh dad-bod dan rambut yang hampir semuanya memutih. Ia sedikit pendek
dan berwajah bulat.
“It is not hard at all. I faced some critical stage and got some
pressure at times but still everything is okay! “
Si pria dad-bod tertawa, “Good Man!“
Suroso ikut tertawa, ia dan pria dad-bod itu berbicara
seperti sahabat lama yang sudah lama tidak bertemu.
Ruangan besar dengan tirai biru di beberapa sisi yang menjadi
tempat konferensi mendadak hening ketika pemandu acara mulai mengucapkan salam
pembuka melalui pengeras suara. Ia adalah seorang perempuan dengan tubuh
semampai yang dibalut blazer hitam elegan dan rok hitam selutut. Wajah
orientalnya nampak serasi dengan potongan rambut sebahu. Ia terlihat sangat
percaya diri dan terlatih untuk menjadi MC di forum-forum bertaraf internasional.
Wanita pemandu acara itu membuka acara dengan sebuah prosesi resmi,
kemudian ia memberikan kesempatan kepada
para petinggi negara untuk mendiskusikan berbagai persoalan terkait masalah
global. Krisis ekonomi yang belakangan terjadi telah memperburuk keadaan
beberapa negara, utamanya negara dengan predikat berkembang. Untuk alasan
itulah para petinggi itu sekarang berkumpul.
Dalam konferensi yang telah berlangsung hampir sehari, mereka
kemudian mengerucutkan beberapa poin untuk dijadikan fokus utama permasalahan
global yang harus segera ditangani. Poin-poin itu dimuat dalam Deklarasi
Milennium yang mereka sebut sebagai MDGs. Sebelum konferensi ditutup, pemandu
acara wanita itu mempersilahkan perwakilan pemimpi tertinggi negara untuk
memberikan pidatonya.
“We have to take real actions for what we have declared. Reducing
extreme poverty and making a series of time-bound targets by year of 2015 as a
success will only be able to achieve by our good partnership and bound.“ Suroso
berdiri di atas podium, memberikan pidaatonya di depan semua peserta
konferensi. Ia mendapat kehormatan tersebut karena sepak terjangnya dalam
memperjuangkan hak asasi dan kesetimpangan sudah dikenal luas. Kalimat
terakhirnya segera disambut dengan tepuk tangan meriah dari berbagai sudut
ruangan.
Suroso meletakkan microfon. Dengan dampingan petugas, ia diantar
kembali duduk ke tempatnya semula.
“Great!“ ucap si pria dad-bod kepada Suroso yang ditanggapi
dengan senyuman.
Setelah Suroso duduk dan forum kembali tenang, pemandu acara yang
baru saja naik ke podium mempersilahkan pembicara berikutnya untuk naik ke atas
panggung.
Seorang pria berperawakan jangkung dengan tubuh tegap dan berisi
berdiri dari barisan kursi depan. Ia membungkukkan punggung ke beberapa arah
sebagai tanda hormatnya kepada peserta Milennium summit. Kulitnya hitam khas
orang Afrika. Rambutnya yang keriting dipotong tipis ala tentara dan seluruhnya
berwarna putih.
Pria itu memiliki mata yang tajam dan sangat berkharisma. Ia
melangkah menuju podium dengan jenjang kaki yang panjang dan langkah yang
tegas. Ia adalah Sekretaris Jenderal PBB, Atta Nouman.
Dalam pidatonya yang bergelora, Atta Nouman mengungkapkan rasa
terimakasihnya atas kepedulian peserta yang hadir di Milennium Summit terhadap
krisis kemanusiaan yang ada. Dia juga berbicara mengenai pentingnya menjaga
ketertiban hidup bersama dan mengeluhkan satu hal yang baru saja terjadi,
“I do proud that all of us are here to find a decent solution for
the global problems. But I fell in the deep sorrow that three of United Nation
workers were killed in Indonesia recently.“ Atta Nouman mengucapkan dengan
penuh tekanan di setiap kalimatnya.
Mendengar pidato Atta Nouman, semua pandangan peserta yang hadir
segera tertuju kepada Suroso dengan tatapan yang terasa sekali seperti sebuah
cacian tak bersuara. Suroso tertegun beberapa saat. Dia baru mengetahui
peristiwa itu dari Atta Nouman. Suroso sangat terkejut dan merasa sedang
dipermalukan, tetapi dia masih belum bisa memberikan respon apapun, tidak
selagi Sekjen PBB masih dan sedang berbicara.
“This tragedy underlines once again the dangers faced by unarmed
humanitarian workers serving the united nations in conflict or post-conflict
situations. The Security council, and I, my self, have repeatedly expressed
concern about the safety of United Nations personnel in the field, both
military and civilian“ Atta Nouman melanjutkan pidatonya.
Setiap kata yang dikeluarkan Atta Nouman seperti pedang yang
ditusukkan berkali-kali kepada Suroso. Pria yang dua tahun lebih muda dari Atta
Nouman itu merasa semakin dipermalukan. Dia merasa tidak ada ruang baginya
untuk bernafas. Dia tahu semua –atau paling tidak sebagian besar– yang hadir di
konferensi itu saat ini tengah melihatnya dengan pandangan merendahkan. Ia
seperti anak burung merpati yang baru saja belajar terbang dan dipuji, lalu
tiba-tiba jatuh dan dicaci.
Dalam kekalutannya berpikir, dan posisinya yang terpojok, Suroso
segera tahu bahwa peristiwa pembunuhan pekerja PBB pasti ada kaitannya dengan
lawan-lawannya di tanah air. Tetapi dia tak punya bukti dan tak ada baiknya
menyanggah ketika semua kesalahan telah ditujukan kepadanya.
Dalam sedikit kesempatan yang diberikan kepadanya untuk berargumen,
Suroso hanya menyatakan permintaan maafnya dan mengatakan bahwa ia sangat menyesal
dengan apa yang terjadi. Suroso kemudian menegaskan bahwa ia akan melakukan
usaha maksimal untuk menangkap pelaku pembunuhan di daerah konflik tersebut.
Tetapi api telah disulut dan permintaan maaf tidak dapat dengan
mudah menyelesaikan masalah. Permintaan maaf yang tulus dari Suroso benar-benar
tidak merubah apapun. Banyak mata masih memandangnya dengan tatapan menghina
dan Atta Nouman masih sangat kecewa kepadanya. Nama Suroso benar-benar jatuh ke
titik terendah di mata dunia.
Sampai konferensi berakhir, Suroso masih sangat berusaha untuk
terlihat tegar dan kuat. Dia mencoba menampakkan diri sedang dalam kondisi
baik, meskipun hatinya sedang hancur lebur. Ia keluar forum dengan dipapah
seorang panitia lokal.
Ferdinand telah mendengar berita pembunuhan dari informannya di
Jakarta. Bersama dengan Malik dan Narendra, ia menunggu Suroso di lobi depan
dengan perasaan sangat khawatir, dia terus mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya
ke lantai dan memasang wajah tegang.
“He must be okay! Trust me. Nothing will going wrong.“ sesekali Malik
berusaha menenangkan, meskipun ia sendiri sebenarnya juga sangat khawatir. Tetapi
Malik adalah Malik, seseorang dengan pembawaan santai dan ceria. Ia tak begitu
suka menampakkan keresahannya di depan publik, dan ia cenderung optimis tentang
apa yang sedang dan telah terjadi. Ia tak pernah memiliki alasan untuk terpuruk
meskipun keadaan sedang buruk-buruknya.
Sementara itu, Narendra hanya diam mematung, ia sadar diri bahwa
ini bukan ranahnya untuk berbicara panjang lebar. Jika ia berbicara, bisa saja
apa yang diucapkannya salah dan justru semakin memperkeruh suasana. Jadi dia
diam saja.
Dalam ketegangan pikiran, Suroso nampak berjalan di koridor dari
arah ruang pertemuan. Lelaki berusia 60 tahun itu terlihat pucat dan lelah.
Malik, Ferdinand, dan Narendra segera menghampirinya.
“I am fine! Let`s go back to Green Meadows.“ ujar Suroso kepada 3
rekannya, lebih pada kata-kata menghibur daripada menyatakan keadaannya yang
sesungguhnya.
***
0 comments:
Post a Comment