(SUROSO 12) MENGHADAPI SITUASI GENTING

Setelah sholat isya dan berwirid sebentar, Malik menemui Suroso di kamarnya. Ia mendapati lelaki tua yang sekaligus sahabatnya itu tengah bersujud di lantai, menghadap kiblat. Ia memutuskan untuk menunggu di kursi yang ada di dalam kamar Suroso, cukup lama sampai Suroso bangun dari sujudnya.
“Saya sengaja membuka pintu pelan-pelan dan duduk pelan-pelan agar tidak membangunkan Anda dari munajat. “ ucap Malik ketika Suroso sudah selesai dengan ritualnya.
Suroso tersenyum, “Seharusnya Anda langsung membangunkan saya tadi.“
“Ah, saya tidak suka mengganggu ketentraman orang yang sedang susah“ Malik menyahut cepat.  
Suroso tertawa, Suroso dan Malik sudah terbiasa dengan gurauan-gurauan sarkasme semasa mereka muda, dan kebiasaan ini berlanjut sampai sekarang ketika mereka hanya duduk berdua saja.
“Sepertinya Anda berniat kembali ke Jakarta malam ini“ Malik mulai berbicara seirus.
Suroso berdiri, berjalan menuju tempat duduk di depan Malik, “Seperti yang Anda ketahui, saya harus ke Jakarta untuk memimpin sidang. Kasus Zona X harus segera ditangani, membiarkannya terlalu lama akan menjadi borok yang semakin membusuk. Dan Anda tahu apa yang harus Anda lakukan“ Suroso kini duduk. Sebagai orang yang sudah dikenalnya lama, Suroso selalu mempercayai Malik dan memang sangat percaya diri bahwa Malik mengerti tugasnya tanpa harus dijelaskan panjang lebar.
“Baiklah. Sepertinya Anda berniat meninggalkan saya di sini. Kalau begitu saya akan menemui Atta Nouman. Beliau nampaknya sangat geram dengan kematian 3 pekerjanya. Sangat disesalkan bahwa dari informasi yang saya dapatkan, militer kita mungkin saja terlibat di dalamnya. Tetapi belum ada bukti kuat dan saya tidak bisa dengan serta merta menuduh.“ jawab Malik, “Entah kenapa membicarakan ini membuat saya begitu haus.“ dia tertawa, mengambil minuman kaleng yang disuguhkan di meja.
“Sejak kapan orang haus minum minuman kaleng?“ Suroso mengejek. Dia tahu Malik tidak pernah suka meminum sesuatu yang berada dalam kemasan.
“Anda tidak menyuguhkan apapun selain minuman ini di meja.“                 
Dua lelaki sebaya itu tertawa bersamaan, setidaknya membicarakan situasi genting dengan suasana yang santai akan membuat otak lebih mudah berpikir, itu menurut mereka.
“Saya punya bukti dan cukup mengerti mengapa mereka melakukan tindakan keji ini. Tetapi tetap saja, tidak akan mudah mengadili orang-orang yang secara hakikat kebal dari hukum. Sekuat apapun saya mencoba mengurangi kekuasaan militer yang melampaui batas, usaha itu tetap tidak akan menghasilkan produk yang instan. Perlu proses yang tidak sebentar untuk menghilangkan budaya lama yang mengakar.“ Suroso kembali pada topik yang sedang dibicarakan.
Malik mengiyakan ucapan Suroso, ia mengerti bukti apa yang dimiliki lawan bicaranya itu, dan memang tidak akan mudah melawan dominasi militer yang terlalu kuat. Mereka terlanjur di-anak-emas-kan dan diagungkan di generasi sebelumnya, dan serangan-serangan Suroso untuk melemahkan kekuatan mereka adalah ancaman yang bagi para anak emas itu cukup berarti.
“Mungkin Anda tidak seharusnya berlaku terlalu keras kepada mereka Gus. Sejauh yang saya ketahui tentang hukum Newton III, setiap aksi akan melahirkan reaksi. Dan aksi Anda menekan kekuasaan mereka menimbulkan reaksi yang sangat tidak menguntungkan bagi Anda. Selain itu, Anda juga tahu, semakin Anda bertindak tegas kepada banyak pihak, maka musuh Anda juga akan bertambah setiap saatnya. Saya tahu Anda tidak bisa berkompromi dengan prinsip Anda. Kejujuran, keadilan, dan keterbukaan itu yang ingin Anda tegakkan, tetapi langkah ke sana membuat Anda semakin dimusuhi“ Malik mengutarakan analisanya yang selama ini hanya dia pendam, ia menunggu waktu yang tepat untuk bicara “dan saya rasa kita tidak boleh melupakan satu hal, kerusuhan di Zona X mungkin saja masih ada kaitannya dengan Thomas.“ lanjutnya.
Suroso manggut-manggut. Ia sangat menyadari posisinya. Terkadang Suroso memang terlalu optimis dengan tindakannya sehingga berpikiran akan selalu dapat lolos dari setiap permasalahan yang melilit. Tetapi masalah tetap saja masalah, dalam skala luas dan papan politik seperti ini, masalah bisa saja memakan korban, dan berakhir sangat menyakitkan. Namun demikianlah Suroso, ia akan mengambil segala resiko yang ada untuk menegakkan apa yang diyakininya benar, utamanya untuk membela kemanusiaan.
“Saya memahami itu Mas, kadang-kadang langkah saya terlalu berani. Tetapi untuk sampai pada perubahan besar, kita memang harus melakukan hal-hal besar yang terkadang sulit diterima. Saya paham betul itu. Tetapi jika Mas Malik dengan halus meminta saya untuk mengeluarkan perintah pemberhentian penyelidikan kasus korupsi Thomas, saya tidak bisa. Sebenarnya saya sudah mendengar informasi bahwa Thomas berada di balik semua ini. Ada banyak yang mengatakan bahwa usaha kita menyelidiki kekayaannya adalah alasan Thomas mengadakan serangan balik. Tetapi biarpun itu yang terjadi, saya tidak akan mengeluarkan perintah untuk membatalkan penyelidikannya. Jika demikian yang saya lakukan, di mana letak keadilan negara ini.“ Suroso nampak kukuh, ucapannya menegaskan bahwa ia sangat teguh pendirian, tetapi dalam hati ia mulai mempertimbangkan ulang keputusannya.
“Memenjarakan Thomas sama artinya mengorbankan lebih banyak lagi orang yang tidak bersalah Gus.“ Malik diam sejenak. Ia tahu tidak mudah merubah pendirian seseorang, “Baiklah.“ lanjutnya.
“Anda bisa tetap melanjutkan kasus Thomas dan menunggu teror-teror berikutnya. Itu sepenuhnya keputusan Anda. Kecuali jika Anda memiliki cara lain untuk mencegah hal-hal itu terjadi.“ Thomas menatap serius ke arah Suroso.
Suroso tampak berpikir. Ia diam untuk beberapa saat.
“Tak mudah memutuskan. Ini simalakama. Maju kena mundur kena. Tetapi pasti ada pilihan yang akan menyebabkan kerugian lebih sedikit. Aku akan mempertimbangkannya lagi.“
Malik mengangguk, “Itu yang saya harapkan.“ ia meminum lagi minuman kalengnya.
Terdengar suara ketukan di pintu.
“Tampaknya itu Narendra.“ Malik menoleh ke arah pintu.
“Masuk saja.“ Suroso berucap agak keras.
Narendra tampak membuka pintu. Ia masih dalam setelan kemeja merah dan celana hitam pekatnya. Dengan langkah santai tapi tegas ia mendekat ke tempat Suroso dan Malik duduk.
“Saya mendapatkan dua tiket ke Jakarta Gus. Penerbangan jam 1 malam ini. Apakah itu baik? jika terlalu malam dan Anda butuh istirahat, saya bisa menggantinya dengan penerbangan selanjutnya.“
“Duduklah dulu. Itu di samping Menlu ada tempat longgar“ Suroso menyahut. Ia diam sejenak untuk menunggu Narendra duduk, “Tidak masalah. Terbang jam berapapun sama saja. Nanti saya bisa tidur di pesawat. Yang penting harus cepat sampai Jakarta.“ lanjutnya.
“Baiklah Gus. Apa ada yang bisa saya bantu dengan mengemas barang-barang Anda?“ Narendra kembali menawarkan bantuan.
Suroso menggeleng pelan. Ia mengatakan bahwa semuanya sudah siap, tinggal berangkat.
“Jika demikian, saya akan memberitahu Mr. Ferdinand untuk pemberangkatannya.“
Narendra bergegas undur diri. Ia keluar dan menuju kamar Ferdinand, memberitahukan apa yang seharusnya ia beritahukan.
Tidak lama kemudian, Malik juga keluar dari kamar Suroso dengan menggenggam sebuah kertas putih bertulisan tangan yang dilipat sedemikian rupa.
“Formalkan sedikit. Lalu sampaikan ini kepada Beliau.“ kalimat itu terngiang-ngiang di telinga Malik, Suroso mengatakannya dengan sangat halus dan tersenyum. Tetapi Malik sudah sangat mengenal Suroso. Dia bisa mengerti kapan Suroso sedang dalam keadaan tidak baik dan kapan Suroso sedang bahagia. Malik lebih dari sekedar bisa untuk mengenali raut datar Suroso ketika dalam keadaan tertekan, seperti sekarang ini misalnya, meski suasana hati yang kalut itu gigih sekali disembunyikan.
“Baiklah. Aku akan mengusahakan yang terbaik.“ Malik tersenyum. Masih optimis dan ceria seperti biasa.


***

0 comments:

Post a Comment