Setelah sholat isya dan berwirid sebentar, Malik menemui Suroso di
kamarnya. Ia mendapati lelaki tua yang sekaligus sahabatnya itu tengah bersujud
di lantai, menghadap kiblat. Ia memutuskan untuk menunggu di kursi yang ada di
dalam kamar Suroso, cukup lama sampai Suroso bangun dari sujudnya.
“Saya sengaja membuka pintu pelan-pelan dan duduk pelan-pelan agar
tidak membangunkan Anda dari munajat. “ ucap Malik ketika Suroso sudah selesai
dengan ritualnya.
Suroso tersenyum, “Seharusnya Anda langsung membangunkan saya tadi.“
“Ah, saya tidak suka mengganggu ketentraman orang yang sedang
susah“ Malik menyahut cepat.
Suroso tertawa, Suroso dan Malik sudah terbiasa dengan
gurauan-gurauan sarkasme semasa mereka muda, dan kebiasaan ini berlanjut sampai
sekarang ketika mereka hanya duduk berdua saja.
“Sepertinya Anda berniat kembali ke Jakarta malam ini“ Malik mulai
berbicara seirus.
Suroso berdiri, berjalan menuju tempat duduk di depan Malik,
“Seperti yang Anda ketahui, saya harus ke Jakarta untuk memimpin sidang. Kasus
Zona X harus segera ditangani, membiarkannya terlalu lama akan menjadi borok
yang semakin membusuk. Dan Anda tahu apa yang harus Anda lakukan“ Suroso kini
duduk. Sebagai orang yang sudah dikenalnya lama, Suroso selalu mempercayai
Malik dan memang sangat percaya diri bahwa Malik mengerti tugasnya tanpa harus
dijelaskan panjang lebar.
“Baiklah. Sepertinya Anda berniat meninggalkan saya di sini. Kalau
begitu saya akan menemui Atta Nouman. Beliau nampaknya sangat geram dengan
kematian 3 pekerjanya. Sangat disesalkan bahwa dari informasi yang saya
dapatkan, militer kita mungkin saja terlibat di dalamnya. Tetapi belum ada
bukti kuat dan saya tidak bisa dengan serta merta menuduh.“ jawab Malik, “Entah
kenapa membicarakan ini membuat saya begitu haus.“ dia tertawa, mengambil
minuman kaleng yang disuguhkan di meja.
“Sejak kapan orang haus minum minuman kaleng?“ Suroso mengejek. Dia
tahu Malik tidak pernah suka meminum sesuatu yang berada dalam kemasan.
“Anda tidak menyuguhkan apapun
selain minuman ini di meja.“
Dua lelaki sebaya itu tertawa
bersamaan, setidaknya membicarakan situasi genting dengan suasana yang santai
akan membuat otak lebih mudah berpikir, itu menurut mereka.
“Saya punya bukti dan cukup mengerti mengapa mereka melakukan
tindakan keji ini. Tetapi tetap saja, tidak akan mudah mengadili orang-orang
yang secara hakikat kebal dari hukum. Sekuat apapun saya mencoba mengurangi
kekuasaan militer yang melampaui batas, usaha itu tetap tidak akan menghasilkan
produk yang instan. Perlu proses yang tidak sebentar untuk menghilangkan budaya
lama yang mengakar.“ Suroso kembali pada topik yang sedang dibicarakan.
Malik mengiyakan ucapan Suroso, ia mengerti bukti apa yang dimiliki
lawan bicaranya itu, dan memang tidak akan mudah melawan dominasi militer yang
terlalu kuat. Mereka terlanjur di-anak-emas-kan dan diagungkan di generasi
sebelumnya, dan serangan-serangan Suroso untuk melemahkan kekuatan mereka
adalah ancaman yang bagi para anak emas itu cukup berarti.
“Mungkin Anda tidak seharusnya berlaku terlalu keras kepada mereka
Gus. Sejauh yang saya ketahui tentang hukum Newton III, setiap aksi akan
melahirkan reaksi. Dan aksi Anda menekan kekuasaan mereka menimbulkan reaksi
yang sangat tidak menguntungkan bagi Anda. Selain itu, Anda juga tahu, semakin
Anda bertindak tegas kepada banyak pihak, maka musuh Anda juga akan bertambah
setiap saatnya. Saya tahu Anda tidak bisa berkompromi dengan prinsip Anda.
Kejujuran, keadilan, dan keterbukaan itu yang ingin Anda tegakkan, tetapi
langkah ke sana membuat Anda semakin dimusuhi“ Malik mengutarakan analisanya
yang selama ini hanya dia pendam, ia menunggu waktu yang tepat untuk bicara “dan
saya rasa kita tidak boleh melupakan satu hal, kerusuhan di Zona X mungkin saja
masih ada kaitannya dengan Thomas.“ lanjutnya.
Suroso manggut-manggut. Ia sangat menyadari posisinya.
Terkadang Suroso memang terlalu optimis dengan tindakannya sehingga berpikiran
akan selalu dapat lolos dari setiap permasalahan yang melilit. Tetapi masalah
tetap saja masalah, dalam skala luas dan papan politik seperti ini, masalah
bisa saja memakan korban, dan berakhir sangat menyakitkan. Namun demikianlah
Suroso, ia akan mengambil segala resiko yang ada untuk menegakkan apa yang
diyakininya benar, utamanya untuk membela kemanusiaan.
“Saya memahami itu Mas, kadang-kadang langkah saya terlalu berani.
Tetapi untuk sampai pada perubahan besar, kita memang harus melakukan hal-hal
besar yang terkadang sulit diterima. Saya paham betul itu. Tetapi jika Mas
Malik dengan halus meminta saya untuk mengeluarkan perintah pemberhentian penyelidikan
kasus korupsi Thomas, saya tidak bisa. Sebenarnya saya sudah mendengar
informasi bahwa Thomas berada di balik semua ini. Ada banyak yang mengatakan
bahwa usaha kita menyelidiki kekayaannya adalah alasan Thomas mengadakan
serangan balik. Tetapi biarpun itu yang terjadi, saya tidak akan mengeluarkan
perintah untuk membatalkan penyelidikannya. Jika demikian yang saya lakukan, di
mana letak keadilan negara ini.“ Suroso nampak kukuh, ucapannya menegaskan
bahwa ia sangat teguh pendirian, tetapi dalam hati ia mulai mempertimbangkan
ulang keputusannya.
“Memenjarakan Thomas sama artinya mengorbankan lebih banyak lagi
orang yang tidak bersalah Gus.“ Malik diam sejenak. Ia tahu tidak mudah merubah
pendirian seseorang, “Baiklah.“ lanjutnya.
“Anda bisa tetap melanjutkan kasus Thomas dan menunggu teror-teror
berikutnya. Itu sepenuhnya keputusan Anda. Kecuali jika Anda memiliki cara lain
untuk mencegah hal-hal itu terjadi.“ Thomas menatap serius ke arah Suroso.
Suroso tampak berpikir. Ia diam untuk beberapa saat.
“Tak mudah memutuskan. Ini simalakama. Maju kena mundur kena.
Tetapi pasti ada pilihan yang akan menyebabkan kerugian lebih sedikit. Aku akan
mempertimbangkannya lagi.“
Malik mengangguk, “Itu yang saya harapkan.“ ia meminum lagi minuman
kalengnya.
Terdengar suara ketukan di pintu.
“Tampaknya itu Narendra.“ Malik menoleh ke arah pintu.
“Masuk saja.“ Suroso berucap agak keras.
Narendra tampak membuka pintu. Ia masih dalam setelan kemeja merah
dan celana hitam pekatnya. Dengan langkah santai tapi tegas ia mendekat ke
tempat Suroso dan Malik duduk.
“Saya mendapatkan dua tiket ke Jakarta Gus. Penerbangan jam 1 malam
ini. Apakah itu baik? jika terlalu malam dan Anda butuh istirahat, saya bisa
menggantinya dengan penerbangan selanjutnya.“
“Duduklah dulu. Itu di samping Menlu ada tempat longgar“ Suroso
menyahut. Ia diam sejenak untuk menunggu Narendra duduk, “Tidak masalah.
Terbang jam berapapun sama saja. Nanti saya bisa tidur di pesawat. Yang penting
harus cepat sampai Jakarta.“ lanjutnya.
“Baiklah Gus. Apa ada yang bisa saya bantu dengan mengemas
barang-barang Anda?“ Narendra kembali menawarkan bantuan.
Suroso menggeleng pelan. Ia mengatakan bahwa semuanya sudah siap,
tinggal berangkat.
“Jika demikian, saya akan memberitahu Mr. Ferdinand untuk
pemberangkatannya.“
Narendra bergegas undur diri. Ia keluar dan menuju kamar Ferdinand,
memberitahukan apa yang seharusnya ia beritahukan.
Tidak lama kemudian, Malik juga keluar dari kamar Suroso dengan
menggenggam sebuah kertas putih bertulisan tangan yang dilipat sedemikian rupa.
“Formalkan sedikit. Lalu sampaikan ini kepada Beliau.“ kalimat itu
terngiang-ngiang di telinga Malik, Suroso mengatakannya dengan sangat halus dan
tersenyum. Tetapi Malik sudah sangat mengenal Suroso. Dia bisa mengerti kapan
Suroso sedang dalam keadaan tidak baik dan kapan Suroso sedang bahagia. Malik
lebih dari sekedar bisa untuk mengenali raut datar Suroso ketika dalam keadaan
tertekan, seperti sekarang ini misalnya, meski suasana hati yang kalut itu
gigih sekali disembunyikan.
“Baiklah. Aku akan mengusahakan yang terbaik.“ Malik tersenyum.
Masih optimis dan ceria seperti biasa.
***
0 comments:
Post a Comment