(SUROSO 10) SUATU MALAM YANG BERSEJARAH

Nuha dan Lindsey mengerjapkan mata berulang kali. Mereka baru saja membuka mata setelah pick up yang mengantarkan mereka berhenti di depan sebuah rumah sederhana yang atapnya dipenuhi ilalang kering berjajar rapi.
Seorang anggota tentara mengantarkan mereka untuk masuk, menjelaskan apa-apa saja yang harus dilakukan agar tetap aman.
“Berada di daerah konflik adalah hal yang tidak menyenangkan. Saya heran kenapa pemuda seperti kalian justru bersikeras untuk datang ke sini“ Anggota tentara itu tertawa, ia berniat bergurau tetapi terdengar seperti sebuah ironi.
Nuha dan rekan-rekannya hanya tersenyum. Setelah tentara itu pergi, mereka bergegas meletakkan ranselnya dan mencari tempat berbaring paling nyaman. Tidak ada kasur, hanya tikar di lantai. Tetapi rasa lelah sekaligus kantuk yang dalam membuat beberapa dari mereka dengan cepat terkapar.
Suasana menjadi begitu hening, bahkan Aji sudah mendengkur keras.
“I am going to UNHCR office.[1]“ tiba-tiba Sander bangun dari pembaringannya, dengan urat-urat mata memerah dan kantung mata yang cukup terlihat.
“Sekarang?“ Nuha yang masih berjaga menyahut.
Sander mengangguk, ia terlihat mencari barang di ranselnya, “Saya harus menemui Mrs. Gym untuk memastikan beberapa hal.“ ucapnya.
“Selarut ini?“ Nuha menutup buku karangan Faulkner di tangannya, meletakkannya sembarangan di sekitar tempat ia duduk. Ditatapnya Sander, “No Sander! Just stay. Masih ada besok“ ucapnya tegas tetapi  dengan intonasi yang lembut.
“Saya harus pergi Noeh, saya takut tidak bisa menemui Mrs. Gym besok.“ Sander mengenakan jaketnya. Ia telah siap untuk pergi.
“Tidak aman keluar malam di daerah konflik Sander. Kita tidak tahu apa yang bisa saja terjadi. We work together tomorrow. Just stay, please.“ Nuha menarik nafas dan menghembuskannya pelan,  “Saya tau kamu lebih dari sekedar bisa untuk menjaga diri sendiri, tetapi tetap saja.“ Nuha menggantungkan kalimatnya.
 Sander mendekat ke arah Nuha, ia tersenyum, “I know you are worrying me. But trust me I will be fine and right back.“ Sander berdiri, memberikan sebuah kotak kecil bersampul hijau tosca kepada Nuha lalu beranjak keluar.
Nuha meletakkan kotak kecil itu di sampingnya. Ia turut berdiri, lalu berjalan mengikuti langkah Sander keluar. Dengan jilbab yang hanya disampirkan di kepala dan disilangkan di pundak, ia mematung di depan pintu, memandang Sander yang mulai nampak jauh dan hanya terlihat dari belakang. Ia ingin tahu apakah Sander tetap bersikukuh untuk pergi jika melihat dirinya berjaga di luar seperti itu.
“Tujuh.. delapan.. “ Nuha menghitung seorang diri. Pada hitungan kesembilan ia melihat Sander menoleh ke belakang, ke arah Nuha berdiri di depan pintu. Dia berharap laki-laki yang sering dijumpainya dalam setahun terakhir ini akan berbalik badan dan kembali, tetapi Sander tidak melakukan itu. Dari kejauhan, laki-laki itu hanya tersenyum, melambaikan tangan dengan ayunan yang tinggi, lalu kembali berjalan ke arah yang sama. Punggungnya semakin terlihat jauh dan lenyap di balik pepohonan yang tampak menghitam.
“Baiklah! hati-hati dan segera kembali“ Nuha menggumam kepada dirinya sendiri. Ia kembali masuk. Nuha mengerti, jika Sander sampai bersikeras seperti itu, artinya dia sedang mencari sesuatu yang sangat penting. Tetapi rasa khawatir telah menyelimuti putri Suroso itu. Memang ada banyak kemungkinan baik, tetapi sedikit kemungkinan buruk membuatnya tidak bisa kembali tidur dengan tenang. Ada banyak pertanyaan –bagaimana jika– yang tidak akan pernah terjawab dengan utuh sebelum Sander kembali ke basecamp.
Sementara itu, Sander tengah berjalan menyusuri jalanan lengang dengan penerangan yang sangat kurang. Ia melewati jalan setepak yang masih banyak ditumbuhi pepohanan rindang. Tidak ada tanda-tanda kehidupan kecuali suara jangkrik dan hewan-hewan kecil lainnya. Benar-benar keheningan yang sempurna, tetapi terasa ganjil. Biarpun sedang ada pemberlakuan jam malam, tidak seharusnya zona X menjadi mati dan sama sekali tidak ada aktivitas manusia. Paling tidak, seharusnya ada petugas keamanan yang berkeliling kecuali mereka telah sangat yakin zona X sudah dalam keadaan aman terkendali.

**

Setelah berjalan cukup lama, Sander tiba di depan sebuah bangunan sederhana bercat putih. Bangunan itu adalah tempat tinggal sementara bagi para utusan PBB yang menangani pengungsi dari Timtim.
Ia mematung beberapa saat lamanya sebelum akhirnya mengetuk pintu bangunan itu. Sejurus kemudian, seorang laki-laki berumur sekitar 30 tahunan dengan wajah khas orang barat membuka pintu. Laki-laki itu mengamati Sander sejenak, lalu dia tersenyum.
“Welcome! You must be Sander! I am Luka Dominik“ ucapnya ramah, “Gym was waiting for you. Come in.“ dia berjalan ke kursi yang terdapat di ruang depan, Sander mengikutinya di belakang. Laki-laki itu kemudian berbicara banyak seperti sedang mengobrol dengan adiknya sendiri. Ia mengatakan Gym sedang keluar untuk mengurus suatu hal, karena itu Gym memintanya untuk menemani Sander sebelum Gym kembali dari urusannya.
Di tengah pembicaraan yang hangat terkait situasi terbaru para pengungsi, Sander dan Luka dikejutkan oleh suara ribut di luar rumah. Luka melirik jam dinding tepat di atas Sander, jarum kecilnya menuju angka 11. Ia mengerling, seharusnya tidak ada kegiatan apapun di tengah malam seperti ini.
Dengan rasa penasaran yang besar, Luka keluar untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Sander mengikutinya dari belakang. Dua laki-laki itu terkejut melihat para pengungsi dari kamp-kamp darurat bergerombol di hadapan mereka, dengan raut muka yang menyimpan kemarahan. Dua pekerja UNHCR lainnya yang semula tidur ikut terbangun dan menyusul Luka ke depan rumah. Mereka tak kalah bingung dibanding Luka dan Sander, tetapi mereka segera mengerti keadaaannya dan mencoba mengambil langkah antisipatif.
Luka sempat berbicara dengan salah satu pengungsi yang menjadi pemimpin gerakan, tetapi usaha itu tidak menghasilkan kesepakatan yang baik. Entah kemasukan angin dari mana, para pengungsi itu menjadi brutal dan tak terkendali. Paska jejak-pendapat satu tahun lalu, para pengungsi itu menjadi sensitif terhadap para pendatang, utamanya yang berwajah bule. Tetapi mereka tidak pernah bertindak seberingas ini sebelumnya. Pembicaraan menjadi alot dan tidak menemukan titik temu karena perasaan anti-bule mereka sudah berada dalam level tertinggi malam itu. Ditambah lagi Mendoza Moar, salah satu dari pimpinan pengungsi terbunuh dalam kekerasan yang terjadi beberapa hari sebelumnya. Terbunuhnya Mendoza adalah luka bagi para pengungsi itu.
Dalam ketegangan yang memuncak, Sander mencoba ikut menenangkan dan menarik garis simpul tentang apa yang sedang terjadi. Tanpa sempat mengerti dan menarik kesimpulan, tiga laki-laki dari gerombolan massa meringsek masuk ke dalam dan menuangkan jirigen berisi bahan bakar di beberapa sudut rumah. Dua pekerja UNHCR mencoba menghentikan aksi itu, tetapi gagal. Sander dan Luka masih berada di depan rumah, menghadang para pengungsi lainnya yang mulai bersikap anarkis.
Terjadi baku hantam antara dua kubu yang jumlahnya sangat tidak seimbang itu. Sander dan Luka mulai menyerah dengan nasibnya, mereka dikeroyok, dipukuli, ditendang. Sementara itu, dua pekerja UNHCR lainnya berada di dalam rumah. Dalam kondisi limbung, Sander mencium bau sesuatu yang gosong. Massa yang berada di sekitar Sander bersorak-sorak dalam bahasa yang tidak dimengertinya. Ia menoleh ke arah Luka, laki-laki berdarah Kroasia itu terkapar lemas di atas tanah. Penuh luka di sekujur tubuh dan wajah yang lebam. Sander mengalihkan pandangannya ke arah bangunan yang baru saja menjadi tempat ia singgah. Bagian depan bangunan itu tampak memerah dilahap api, yang perlahan merembet dan membesar.
Sander kemudian memejamkan matanya, membukanya lagi, ia menoleh ke beberapa arah, mencari dua pekerja UNHCR lainnya, tetapi tidak ada. Perlahan kesadaran Sander mulai berkurang, ia merasa ngilu di beberapa bagian tubuhnya, di tangan, di kaki, di perut, dan ia merasa seperti sedang menjilat cairan yang mengandung besi.
Sander merasa kepalanya semakin pening, penglihatannya kabur, dan ia berada dalam keadaan di mana telinganya dapat mendengar tetapi tubuhnya kaku tak dapat digerakkan, bahkan kelopak matanya tak dapat dibuka. Ia masih mendengar suara orang-orang bersorak, sebagian dalam euforia kemenangan, sebagian dalam kepuasan melampiaskan dendam, dan sebagian lagi hanya diam dan melihat api yang semakin berkobar.
Di mana petugas keamanan di saat-saat seperti ini. Bagaimana jika Nuha melihat keadaanku. Bagaimana jika.. Sander berbisik dalam hati, tak terdengar. Ia mulai kesulitan bernafas. Beberapa menit berikutnya ia benar-benar tidak bisa menghirup oksigen untuk dimasukkan ke dalam paru-parunya. Tubuhnya lunglai, tergeletak tak jauh dari rumah yang kini sudah mengepulkan asap hitam tebal. Api sudah sebagian besar padam.
Di tengah euforia pengungsi yang belum selesai, satu suara peluru yang ditembakkan ke udara terdengar dari kejauhan. Massa segera membubarkan diri, berlari ke segala arah untuk mengecoh petugas keamanan. Atau mereka sebenarnya tidak berpikiran mengecoh, mereka hanya ingin berlari dan menyelamatkan diri. Jangan sampai tertangkap, itu saja yang mereka pikirkan.
Segera setelah perluru ditembakkan, petugas keamanan bergegas mendekat ke tempat kejadian pembakaran. Mereka menangkap beberapa orang dan membiarkan ratusan orang lainnya pergi.

***



[1] United Nation High Commissioner for Refugees

0 comments:

Post a Comment