Nuha dan Lindsey mengerjapkan mata berulang kali. Mereka baru saja
membuka mata setelah pick up yang mengantarkan mereka berhenti di depan
sebuah rumah sederhana yang atapnya dipenuhi ilalang kering berjajar rapi.
Seorang anggota tentara mengantarkan mereka untuk masuk,
menjelaskan apa-apa saja yang harus dilakukan agar tetap aman.
“Berada di daerah konflik adalah hal yang tidak menyenangkan. Saya
heran kenapa pemuda seperti kalian justru bersikeras untuk datang ke sini“
Anggota tentara itu tertawa, ia berniat bergurau tetapi terdengar seperti
sebuah ironi.
Nuha dan rekan-rekannya hanya tersenyum. Setelah tentara itu pergi,
mereka bergegas meletakkan ranselnya dan mencari tempat berbaring paling
nyaman. Tidak ada kasur, hanya tikar di lantai. Tetapi rasa lelah sekaligus
kantuk yang dalam membuat beberapa dari mereka dengan cepat terkapar.
Suasana menjadi begitu hening, bahkan Aji sudah mendengkur keras.
“I am going to UNHCR office.[1]“ tiba-tiba
Sander bangun dari pembaringannya, dengan urat-urat mata memerah dan kantung
mata yang cukup terlihat.
“Sekarang?“ Nuha yang masih berjaga menyahut.
Sander mengangguk, ia terlihat mencari barang di ranselnya, “Saya
harus menemui Mrs. Gym untuk memastikan beberapa hal.“ ucapnya.
“Selarut ini?“ Nuha menutup buku karangan Faulkner di tangannya,
meletakkannya sembarangan di sekitar tempat ia duduk. Ditatapnya Sander, “No
Sander! Just stay. Masih ada besok“ ucapnya tegas tetapi dengan intonasi yang lembut.
“Saya harus pergi Noeh, saya takut tidak bisa menemui Mrs. Gym
besok.“ Sander mengenakan jaketnya. Ia telah siap untuk pergi.
“Tidak aman keluar malam di daerah konflik Sander. Kita tidak tahu
apa yang bisa saja terjadi. We work together tomorrow. Just stay, please.“ Nuha
menarik nafas dan menghembuskannya pelan, “Saya tau kamu lebih dari sekedar bisa untuk menjaga
diri sendiri, tetapi tetap saja.“ Nuha menggantungkan kalimatnya.
Sander mendekat ke arah
Nuha, ia tersenyum, “I know you are worrying me. But trust me I will be fine
and right back.“ Sander berdiri, memberikan sebuah kotak kecil bersampul hijau tosca
kepada Nuha lalu beranjak keluar.
Nuha meletakkan kotak kecil itu di sampingnya. Ia turut berdiri, lalu
berjalan mengikuti langkah Sander keluar. Dengan jilbab yang hanya disampirkan
di kepala dan disilangkan di pundak, ia mematung di depan pintu, memandang
Sander yang mulai nampak jauh dan hanya terlihat dari belakang. Ia ingin tahu
apakah Sander tetap bersikukuh untuk pergi jika melihat dirinya berjaga di luar
seperti itu.
“Tujuh.. delapan.. “ Nuha menghitung seorang diri. Pada hitungan
kesembilan ia melihat Sander menoleh ke belakang, ke arah Nuha berdiri di depan
pintu. Dia berharap laki-laki yang sering dijumpainya dalam setahun terakhir
ini akan berbalik badan dan kembali, tetapi Sander tidak melakukan itu. Dari
kejauhan, laki-laki itu hanya tersenyum, melambaikan tangan dengan ayunan yang
tinggi, lalu kembali berjalan ke arah yang sama. Punggungnya semakin terlihat
jauh dan lenyap di balik pepohonan yang tampak menghitam.
“Baiklah! hati-hati dan segera kembali“ Nuha menggumam kepada
dirinya sendiri. Ia kembali masuk. Nuha mengerti, jika Sander sampai bersikeras
seperti itu, artinya dia sedang mencari sesuatu yang sangat penting. Tetapi
rasa khawatir telah menyelimuti putri Suroso itu. Memang ada banyak kemungkinan
baik, tetapi sedikit kemungkinan buruk membuatnya tidak bisa kembali tidur
dengan tenang. Ada banyak pertanyaan –bagaimana jika– yang tidak akan pernah
terjawab dengan utuh sebelum Sander kembali ke basecamp.
Sementara itu, Sander tengah berjalan menyusuri jalanan lengang
dengan penerangan yang sangat kurang. Ia melewati jalan setepak yang masih
banyak ditumbuhi pepohanan rindang. Tidak ada tanda-tanda kehidupan kecuali
suara jangkrik dan hewan-hewan kecil lainnya. Benar-benar keheningan yang
sempurna, tetapi terasa ganjil. Biarpun sedang ada pemberlakuan jam malam,
tidak seharusnya zona X menjadi mati dan sama sekali tidak ada aktivitas
manusia. Paling tidak, seharusnya ada petugas keamanan yang berkeliling kecuali
mereka telah sangat yakin zona X sudah dalam keadaan aman terkendali.
**
Setelah berjalan cukup lama, Sander tiba di depan sebuah bangunan
sederhana bercat putih. Bangunan itu adalah tempat tinggal sementara bagi para
utusan PBB yang menangani pengungsi dari Timtim.
Ia mematung beberapa saat lamanya sebelum akhirnya mengetuk pintu
bangunan itu. Sejurus kemudian, seorang laki-laki berumur sekitar 30 tahunan
dengan wajah khas orang barat membuka pintu. Laki-laki itu mengamati Sander
sejenak, lalu dia tersenyum.
“Welcome! You must be Sander! I am Luka Dominik“ ucapnya ramah,
“Gym was waiting for you. Come in.“ dia berjalan ke kursi yang terdapat di
ruang depan, Sander mengikutinya di belakang. Laki-laki itu kemudian berbicara
banyak seperti sedang mengobrol dengan adiknya sendiri. Ia mengatakan Gym
sedang keluar untuk mengurus suatu hal, karena itu Gym memintanya untuk
menemani Sander sebelum Gym kembali dari urusannya.
Di tengah pembicaraan yang hangat terkait situasi terbaru para
pengungsi, Sander dan Luka dikejutkan oleh suara ribut di luar rumah. Luka melirik
jam dinding tepat di atas Sander, jarum kecilnya menuju angka 11. Ia
mengerling, seharusnya tidak ada kegiatan apapun di tengah malam seperti ini.
Dengan rasa penasaran yang besar, Luka keluar untuk melihat apa
yang sebenarnya terjadi. Sander mengikutinya dari belakang. Dua laki-laki itu
terkejut melihat para pengungsi dari kamp-kamp darurat bergerombol di hadapan
mereka, dengan raut muka yang menyimpan kemarahan. Dua pekerja UNHCR lainnya
yang semula tidur ikut terbangun dan menyusul Luka ke depan rumah. Mereka tak
kalah bingung dibanding Luka dan Sander, tetapi mereka segera mengerti
keadaaannya dan mencoba mengambil langkah antisipatif.
Luka sempat berbicara dengan salah satu pengungsi yang menjadi
pemimpin gerakan, tetapi usaha itu tidak menghasilkan kesepakatan yang baik.
Entah kemasukan angin dari mana, para pengungsi itu menjadi brutal dan tak
terkendali. Paska jejak-pendapat satu tahun lalu, para pengungsi itu menjadi
sensitif terhadap para pendatang, utamanya yang berwajah bule. Tetapi mereka
tidak pernah bertindak seberingas ini sebelumnya. Pembicaraan menjadi alot dan
tidak menemukan titik temu karena perasaan anti-bule mereka sudah berada dalam
level tertinggi malam itu. Ditambah lagi Mendoza Moar, salah satu dari pimpinan
pengungsi terbunuh dalam kekerasan yang terjadi beberapa hari sebelumnya.
Terbunuhnya Mendoza adalah luka bagi para pengungsi itu.
Dalam ketegangan yang memuncak, Sander mencoba ikut menenangkan dan
menarik garis simpul tentang apa yang sedang terjadi. Tanpa sempat mengerti dan
menarik kesimpulan, tiga laki-laki dari gerombolan massa meringsek masuk ke
dalam dan menuangkan jirigen berisi bahan bakar di beberapa sudut rumah. Dua
pekerja UNHCR mencoba menghentikan aksi itu, tetapi gagal. Sander dan Luka masih
berada di depan rumah, menghadang para pengungsi lainnya yang mulai bersikap
anarkis.
Terjadi baku hantam antara dua kubu yang jumlahnya sangat tidak
seimbang itu. Sander dan Luka mulai menyerah dengan nasibnya, mereka dikeroyok,
dipukuli, ditendang. Sementara itu, dua pekerja UNHCR lainnya berada di dalam
rumah. Dalam kondisi limbung, Sander mencium bau sesuatu yang gosong. Massa
yang berada di sekitar Sander bersorak-sorak dalam bahasa yang tidak
dimengertinya. Ia menoleh ke arah Luka, laki-laki berdarah Kroasia itu terkapar
lemas di atas tanah. Penuh luka di sekujur tubuh dan wajah yang lebam. Sander mengalihkan
pandangannya ke arah bangunan yang baru saja menjadi tempat ia singgah. Bagian
depan bangunan itu tampak memerah dilahap api, yang perlahan merembet dan
membesar.
Sander kemudian memejamkan matanya, membukanya lagi, ia menoleh ke
beberapa arah, mencari dua pekerja UNHCR lainnya, tetapi tidak ada. Perlahan
kesadaran Sander mulai berkurang, ia merasa ngilu di beberapa bagian tubuhnya,
di tangan, di kaki, di perut, dan ia merasa seperti sedang menjilat cairan yang
mengandung besi.
Sander merasa kepalanya semakin pening, penglihatannya kabur, dan
ia berada dalam keadaan di mana telinganya dapat mendengar tetapi tubuhnya kaku
tak dapat digerakkan, bahkan kelopak matanya tak dapat dibuka. Ia masih
mendengar suara orang-orang bersorak, sebagian dalam euforia kemenangan,
sebagian dalam kepuasan melampiaskan dendam, dan sebagian lagi hanya diam dan
melihat api yang semakin berkobar.
Di mana petugas keamanan di saat-saat seperti ini. Bagaimana jika
Nuha melihat keadaanku. Bagaimana jika.. Sander berbisik dalam hati, tak terdengar. Ia mulai kesulitan
bernafas. Beberapa menit berikutnya ia benar-benar tidak bisa menghirup oksigen
untuk dimasukkan ke dalam paru-parunya. Tubuhnya lunglai, tergeletak tak jauh
dari rumah yang kini sudah mengepulkan asap hitam tebal. Api sudah sebagian
besar padam.
Di tengah euforia pengungsi yang belum selesai, satu suara peluru
yang ditembakkan ke udara terdengar dari kejauhan. Massa segera membubarkan
diri, berlari ke segala arah untuk mengecoh petugas keamanan. Atau mereka
sebenarnya tidak berpikiran mengecoh, mereka hanya ingin berlari dan
menyelamatkan diri. Jangan sampai tertangkap, itu saja yang mereka pikirkan.
Segera setelah perluru ditembakkan, petugas keamanan bergegas
mendekat ke tempat kejadian pembakaran. Mereka menangkap beberapa orang dan
membiarkan ratusan orang lainnya pergi.
***
0 comments:
Post a Comment