(SUROSO 17)

Suroso nampak tenang. Ia memperbaiki posisi duduknya. Mengambil mic di depannya dan mulai berdehem.
Para menteri khusuk di tempatnya masing-masing, tidak sabar mendengarkan Suroso berbicara. Mereka penasaran apa yang hendak diucapkan presiden yang sedari awal sidang dimulai tidur itu.
“Barangkali hanya kata-kata tidak nyambung dan patut ditertawakan.“ terdengar bisikan di salah satu pojok ruangan.
“Terimakasih atas usulan-usulan yang telah Bapak Ibu berikan.“ Suroso mengawali.
Ruangan masih hening. Hanya terdengar beberapa kursi yang digoyang-goyang dan bolpoin yang diketuk-ketukkan ke meja. Selebihnya benar-benar hanya keheningan.
“Secara pribadi, saya terkejut mendengar kabar kerusuhan di zona X. Dan saya sangat menyesal bahwa 3 pekerja PBB yang bertugas di sana turut menjadi korban diantara korban-korban lainnya. Anda sekalian mungkin mengerti, bagaimana posisi saya di pertemuan Milennium waktu itu. Di tengah para anggota PBB, dengan kabar yang demikian tidak menyenangkan.“ Suroso diam sejenak, ia menyapu isi ruangan itu dengan tatapan tajam, jika memang bisa dikatakan tajam.
“Untuk beberapa alasan, saya sepakat dengan usulan pertama tadi. Mungkin saja sudah sejak lama ada isu negatif yang dibisikkan kepada para pengungsi itu. Ya kita tahu, untuk membisiki ada keahlian khusus. Dan kita tidak perlu menuduh siapapun, tidak ada perlunya saling menuduh. Tetapi dengan berat hati saya mengatakan bahwa semua ini tidak terlepas dari peran militer.“
Ruangan menjadi gaduh. Suroso membiarkannya sejenak,
Suroso mengetuk-ngetuk microfonnya. Membunyikan bunyi duk duk yang membuat para orang berdasi itu diam kembali.
“Tetapi sekali lagi kita tidak perlu menuduh siapapun. Saya tidak mengatakan militer terlibat, saya hanya menegaskan bahwa peran mereka penting di sini. Untuk mengamankan. Untuk menjaga ketentraman. Dan untuk bapak Ketua MPR yang saya hormati, terimakasih atas pengingat yang sangat membangun, tetapi Anda juga perlu menggarisbawahi satu hal, di sini kepala negara tidak bekerja sendiri. Jadi apakah bijak mengatakan demikian dan menumpukan kesalahan pada satu pihak? Anda tentu lebih tahu jawabannya.“ Suroso menghentikan ucapannya, tersenyum tanpa beban.
Sebenarnya ia sangat dongkol mendengar ucapan Samad mengenai dirinya. Ia ingat bahwa laki-laki itu dulu yang mendukungnya untuk menjadi presiden, dulu ia adalah sahabat yang manis dan dapat diandalkan, siapa tahu kalau sekarang dia justru menjadi belati yang selalu menusuk dari berbagai sisi.
Mendengar jawaban Suroso, Samad –di tempat duduknya-, tidak dapat berkutik. Ia merasa perlu menyampaikan bantahan-bantahan dan bukti-bukti yang telah dengan susah payah ia kumpulkan tentang kelalaian Suroso kepada para pejabat negara itu, tetapi dengan pertimbangan bahwa ia mungkin akan dimentahkan lagi, akhirnya Samad memilih untuk diam. Tersenyum datar, mengangguk-angguk.
Mengatakan itu semua membuat Suroso merasa haus. Diambilnya sebotol air mineral yang disuguhkan di depannya. Ia minum beberapa teguk dengan santai. Orang-orang masih menunggunya berbicara. Beberapa masih terkagum-kagum, baru menyadari kalau presiden mereka ternyata unik. Dapat mendengar setiap jengkal perkataan bahkan dalam keadaan tidur lelap.
“Terlepas dari semua itu, penyelidikan harus tetap dilakukan, kita serahkan saja pada pihak yang berwenang.“ Suroso menunjuk beberapa orang dari instansi tertentu, “Selain itu kita juga harus memulihkan citra Indonesia yang sekarang entah berada di titik mana. Maka dari itu, saya sudah meminta Menteri Luar Negeri untuk berkunjung ke kantor PBB di New York, menemui Mr. Atta Nouman, membicarakan masalah ini dan sebisa mungkin mengurangi sanksi internasional yang akan diberikan kepada kita.“ Suroso mencukupkan kalimatnya.
Sidang ditutup. Ruang sidang berubah menjadi gaduh, penuh dengan orang lalu lalang yang hendak pergi ke luar ruangan. Suroso tetap duduk di tempat. Masih ada kecurigaan-kecurigaan yang tidak bisa begitu saja dienyahkan. Masih ada amarah-amarah yang masih mencoba dihilangkan, satu persatu, pelan pelan.


***

0 comments:

Post a Comment