Suroso nampak tenang. Ia memperbaiki posisi duduknya. Mengambil mic
di depannya dan mulai berdehem.
Para menteri khusuk di tempatnya masing-masing, tidak sabar
mendengarkan Suroso berbicara. Mereka penasaran apa yang hendak diucapkan
presiden yang sedari awal sidang dimulai tidur itu.
“Barangkali hanya kata-kata tidak nyambung dan patut ditertawakan.“
terdengar bisikan di salah satu pojok ruangan.
“Terimakasih atas usulan-usulan yang telah Bapak Ibu berikan.“
Suroso mengawali.
Ruangan masih hening. Hanya terdengar beberapa kursi yang
digoyang-goyang dan bolpoin yang diketuk-ketukkan ke meja. Selebihnya
benar-benar hanya keheningan.
“Secara pribadi, saya terkejut mendengar kabar kerusuhan di zona X.
Dan saya sangat menyesal bahwa 3 pekerja PBB yang bertugas di sana turut
menjadi korban diantara korban-korban lainnya. Anda sekalian mungkin mengerti,
bagaimana posisi saya di pertemuan Milennium waktu itu. Di tengah para anggota
PBB, dengan kabar yang demikian tidak menyenangkan.“ Suroso diam sejenak, ia
menyapu isi ruangan itu dengan tatapan tajam, jika memang bisa dikatakan tajam.
“Untuk beberapa alasan, saya sepakat dengan usulan pertama tadi. Mungkin
saja sudah sejak lama ada isu negatif yang dibisikkan kepada para pengungsi
itu. Ya kita tahu, untuk membisiki ada keahlian khusus. Dan kita tidak perlu
menuduh siapapun, tidak ada perlunya saling menuduh. Tetapi dengan berat hati
saya mengatakan bahwa semua ini tidak terlepas dari peran militer.“
Ruangan menjadi gaduh. Suroso membiarkannya sejenak,
Suroso mengetuk-ngetuk microfonnya. Membunyikan bunyi duk duk yang
membuat para orang berdasi itu diam kembali.
“Tetapi sekali lagi kita tidak perlu menuduh siapapun. Saya tidak
mengatakan militer terlibat, saya hanya menegaskan bahwa peran mereka penting
di sini. Untuk mengamankan. Untuk menjaga ketentraman. Dan untuk bapak Ketua
MPR yang saya hormati, terimakasih atas pengingat yang sangat membangun, tetapi
Anda juga perlu menggarisbawahi satu hal, di sini kepala negara tidak bekerja
sendiri. Jadi apakah bijak mengatakan demikian dan menumpukan kesalahan pada
satu pihak? Anda tentu lebih tahu jawabannya.“ Suroso menghentikan ucapannya,
tersenyum tanpa beban.
Sebenarnya ia sangat dongkol mendengar ucapan Samad mengenai
dirinya. Ia ingat bahwa laki-laki itu dulu yang mendukungnya untuk menjadi
presiden, dulu ia adalah sahabat yang manis dan dapat diandalkan, siapa tahu
kalau sekarang dia justru menjadi belati yang selalu menusuk dari berbagai
sisi.
Mendengar jawaban Suroso, Samad –di tempat duduknya-, tidak dapat
berkutik. Ia merasa perlu menyampaikan bantahan-bantahan dan bukti-bukti yang
telah dengan susah payah ia kumpulkan tentang kelalaian Suroso kepada para
pejabat negara itu, tetapi dengan pertimbangan bahwa ia mungkin akan
dimentahkan lagi, akhirnya Samad memilih untuk diam. Tersenyum datar,
mengangguk-angguk.
Mengatakan itu semua membuat Suroso merasa haus. Diambilnya sebotol
air mineral yang disuguhkan di depannya. Ia minum beberapa teguk dengan santai.
Orang-orang masih menunggunya berbicara. Beberapa masih terkagum-kagum, baru
menyadari kalau presiden mereka ternyata unik. Dapat mendengar setiap jengkal
perkataan bahkan dalam keadaan tidur lelap.
“Terlepas dari semua itu, penyelidikan harus tetap dilakukan, kita
serahkan saja pada pihak yang berwenang.“ Suroso menunjuk beberapa orang dari
instansi tertentu, “Selain itu kita juga harus memulihkan citra Indonesia yang
sekarang entah berada di titik mana. Maka dari itu, saya sudah meminta Menteri
Luar Negeri untuk berkunjung ke kantor PBB di New York, menemui Mr. Atta
Nouman, membicarakan masalah ini dan sebisa mungkin mengurangi sanksi
internasional yang akan diberikan kepada kita.“ Suroso mencukupkan kalimatnya.
Sidang ditutup. Ruang sidang berubah menjadi gaduh, penuh dengan
orang lalu lalang yang hendak pergi ke luar ruangan. Suroso tetap duduk di
tempat. Masih ada kecurigaan-kecurigaan yang tidak bisa begitu saja dienyahkan.
Masih ada amarah-amarah yang masih mencoba dihilangkan, satu persatu, pelan
pelan.
***
0 comments:
Post a Comment