Suroso turun dari pesawat. Beberapa ajudan pengawal presiden sudah
sedari tadi menunggu di Bandara. Semuanya bergegas turun ke lapangan ketika
laki-laki berkacamata tebal itu mulai terlihat di landasan. Suroso berjalan
dengan langkah pelan, tidak tergesa. Beberapa pengawalnya menawarkan agar
presiden yang baru saja pulang dari layatannya ke New York itu beristirahat
sejenak di Istana. Tidur mungkin. Atau pijat jika diperlukan.
Mereka khawatir jika presiden yang usianya tak lagi muda itu akan
kelelahan dan kemudian jatuh sakit. Tentu saja tidak baik membiarkan seorang
kepala negara jatuh sakit bukan?
“Nanti saja. Saya bisa istirahat kapan saja dan di mana saja. Masak
iya, citra negara sedang genting-gentingnya malah saya tinggal istirahat di
istana.“ Suroso seperti biasa, menjawab santai.
Para pengawal mengangguk, mengerti, sekaligus khawatir. Baru kali
ini mereka menemui presiden yang tidak pernah lelah, atau mungkin lebih karena
mereka tidak berkesempatan menemui presiden-presiden lain yang juga tak kalah
tahan bantingnya dibanding Suroso.
Segera setelah melewati jalanan yang sibuk, suasana tengah hari
yang pengap dan memusingkan, Suroso berada di ruang sidang yang penuh dengan
AC. Jajaran menteri sudah lengkap –dengan beberapa yang tidak hadir-, duduk di
kursinya masing-masing. Siap memberikan pendapat-pendapatnya dan saling tuduh
jika memang keadaan memaksa.
Bagaimanapun, dari rentetan peristiwa yang ada, telah lahir
berbagai prasangka-prasangka yang mengarah pada beberapa orang, termasuk kepada
yang tidak bersalah dan bahkan tidak tahu apa-apa.
Suroso membuka sidang. Ruangan itu masih hening. Orang-orang
menunggu kesempatan untuk mengutarakan analisis dan bukti-buktinya. Suroso
memberikan sambutan sebentar lalu menyerahkan kendali sidang kepada Sulastri,
wakilnya.
“Kita akan memulai dari bagaimana kerusuhan itu terjadi. Sesuai
dengan laporan yang telah masuk ... “
Sulastri memulai panjang lebar.
Setelah penjelasannya yang panjang selesai. Ia memberikan
kesempatan kepada menteri-menterinya yang sudah sedari tadi menahan diri untuk
berbicara.
“Ibu wakil presiden.“ salah seorang menteri yang duduk di barisan depan
mengacungkan tangan.
Sulastri mempersilahkan.
“Sejauh yang saya ikuti, situasi di zona X memang semakin meradang
paska jejak pendapat setahun yang lalu. Tetapi semakin ke sini, situasi di
daerah itu semakin memburuk. Bukannya saya berniat menunjuk siapa-siapa. Hanya
saja saya ragu jika para pengungsi itu tidak mendapatkan bisikan-bisikan buruk
dari beberapa pihak.“ ia memulai dengan analisisnya yang berani.
Ia membiarkan orang-orang berbisik-bisik sejenak, lalu melanjutkan
“Saya mengatakan ini bukan karena asal bicara. Ngawur. Dan tidak berdasar.
Tetapi jika Bapak Ibu menteri jeli melihat, mengamati, dan memikirkannya lebih
dalam, tentu Anda sekalian akan merasa ada sesuatu yang tidak beres.“
Semua orang tampak berpikir.
“Bukankah itu artinya Anda menuduh salah satu dari kita adalah
dalang dibalik kerusuhan zona X?“ Menteri yang lain menimpali.
“Mohon maaf Bapak yang saya hormati, saya tidak mengatakannya
demikian. Saya hanya berasumsi bahwa ada bisikan-bisikan. Yang entah bisikan
itu dari mana datangnya.“ segera menteri yang duduk di barisan depan menyahut
cepat.
Seorang menteri yang nampaknya dari tadi ingin berbicara
mengacungkan tangan, ia tidak sabar mengemukakan temuannya, “Saya tidak
membahas bisikan-bisikan. Saya hanya ingin mengutarakan kejanggalan saya.“
Ruang sidang hening, hanya terdengar sedikit suara bisik-bisik di
beberapa sudut.
“Kita tahu bahwa di zona X, kita sudah menempatkan banyak petugas
keamanan, yang tentunya bekerja untuk mengamankan situasi di sana. Bahkan di
sana juga sudah diterapkan jam malam. Lalu kenapa masih saja ada kecolongan
yang bahkan sampai membakar kantor PBB. Saya rasa itu hal sepele yang harus
kita perhatikan. Apalagi, jarak tenda darurat mereka ke kantor itu tidak jauh.
Apa tidak ada antipasi atau memang sengaja dibiarkan“ Menteri itu mengungkapkan
pendapat yang tak kalah tajam.
Yang merasa menjadi sasaran, atau paling tidak merasa instasinya
menjadi sasaran, segera mengacungkan tangan, membela diri.
“Bagaimana bisa Anda berkata demikian Tuan?“ ucapnya mengawali.
“Saya rasa Anda sudah cukup berpengalaman untuk mengetahui bahwa
menghadapi massa yang sedang dalam amarah bukanlah hal mudah. Coba bayangkan
kembali, berapa petugas kita yang ditugaskan di sana dan berapa jumlah massa
yang ikut demo malam itu. Tentu saja jumlah itu tidak seimbang antara satu
dengan lainnya. Kata pembiaran yang Anda lontarkan saya kira sangat tidak pas
diucapkan di sini.“ ia menjelaskan panjang lebar.
Suasana menegang. Semua berkutat dengan analisis masing-masing.
Sulastri sibuk mempersilahkan sana mempersilahkan sini dan menyimak baik-baik
setiap pendapat yang masuk.
Sementara sidang berjalan panas, saling tuduh, saling
mempertahankan, dan saling beradu kebenaran, Suroso justru terlelap dalam
tidurnya. Ia terlampau lelah untuk menyimak yang dibicarakan orang orang-orang
dalam kabinetnya. Lagipula tugasnya untuk membuka sidang sudah terlaksana, dan
sekarang waktu yang tepat untuk beristirahat. Tidur sejenak tentunya tidak
masalah.
“Jika kita mau menarik ulur, berminggu-minggu sebelum kerusuhan itu
terjadi, bukankah keadaan aman-aman saja. Bagaimana bisa tiba-tiba ada asap
mengepul sementara tidak ada api yang membakar sebelumnya.“ menteri pengusung
teori bisikan berbicara lagi. Kali ini ia sangat bersemangat dan menggebu-gebu,
“Kita fair saja, berpikir netral, pasti ada pihak yang menjadi dalang di
balik semua ini. Yang pasti dia bukan orang biasa. Paling tidak dia harus
memiliki akses ke sana dan ke orang-orang dalam. Sekali lagi, saya tidak
menuduh siapapun. Toh saya juga tidak memiliki bukti apapun. Tetapi tidak ada
salahnya jika usulan saya ini ditelusuri lebih jauh, kalau bersih dan tidak
terlibat ya bersih saja. Kecuali memang masih ada sangkut paut, ya ceritanya
lain lagi.“
Samad, si ketua MPR, yang sedari tadi hanya diam menyimak dan
mengamati mulai tergelitik. Ia segera menyahut kalimat menteri terakhir,
“Dari semua yang Bapak-Ibu sekalian kemukakan, saya menarik satu
garis merah. Bahwa semua kejadian ini bukan hanya salah militer yang tidak
bekerja dengan baik, atau tadi kata Bapak Widji membiarkan, bukan juga karena
bisikan-bisikan yang kemudian mempengaruhi para pengungsi itu. Dari sini kita
bisa melihat adanya kinerja Presiden yang tidak dapat berkoordinasi dengan baik
dengan pejabat-pejabatnya. Saya tahu mungkin niatnya baik untuk mengadakan
beberapa kunjungan luar negeri dan memperkuat hubungan bilateral, tetapi bukan
berarti urusan dalam negeri harus terlalaikan, bahkan sampai ada kejadian
seperti di zona X. Saya rasa itu hal yang sanga patut digaris-bawahi dan
ditindaklanjuti.“ Samad ikut angkat suara.
Beberapa anggota sidang itu memang tidak menyukai Suroso, tetapi
tidak ada yang menduga Samad akan mengucapkan kalimat serapi itu untuk menuding
seorang presiden yang bahkan ada di ruangan yang sama dengannya. Bagi orang
yang cukup berperasaan, kalimat-kalimat itu adalah ucapan yang jelas menyakiti
hati.
Ruangan menjadi penuh kasak-kusuk. Suasana sidang menjadi semakin
panas. Entah pada derajat berapa jika diukur menggunakan termometer suhu.
Mungkin akan melebihi suhu badan anak jika sedang demam.
Setelah tidak sampai pada kesepakatan yang bulat, dan semua yang
ingin berbicara telah mendapatkan kesempatannya, Sulastri segera menutup
sidang. Ia mengembalikan pimpinan sidang kepada Suroso yang baru saja bangun
beberapa saat lalu.
***
0 comments:
Post a Comment